“Kamu
tidak bercanda kan?”
Sekali
lagi tanya itu terulang mengarah kepadaku. Sebuah tanya yang meluncur dari
seorang lelaki tua beruban, berkulit putih, dan berbadan tinggi tegap sekitar 1
meter lebih. Ia bertanya dengan nada penasaran yang menginginkan aku harus
mengeluarkan jawaban dengan segera. Tampak dari sorot mata dan bahasa tubuhnya
ada semacam rasa tidak percaya.
Pertanyaan
itu, jelas sudah berapa kali. Aku tidak tahu pasti dan rasanya malas untuk
menghitungnya. Ia muncul pertama kali ketika aku menjemput dia, si lelaki tua itu,
di Bandara Soekarno-Hatta. Lelaki tua itu bernama Maarten, berasal dari
Belanda, tepatnya Amsterdam. Datang ke Indonesia sejujurnya hanya untuk liburan
sekaligus nostalgia. Maklum, ia lahir dan besar di Indonesia lalu meninggalkan
negeri ketika berumur 30 tahun pada 1950-an. Penyebabnya, konflik Indonesia dan
Belanda akibat sengketa Irian Barat (Papua) yang berujung nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia dan pengusiran.
Maarten
bercerita tentang masa lalunya di Indonesia, yang ia sebut sebagai Hindia,
sebuah nama yang disandang Indonesia pada masa Belanda masih bercokol di
Indonesia. Ia mengatakan bahwa ia lahir di sebuah desa yang tenang di Jawa,
tepatnya di Magelang, dekat dengan sebuah akademi militer. Masa kecilnya di
Magelang begitu sempurna untuk anak-anak penjajah yang begitu lekat dengan
sesuatu yang berbau indisch. Ia bercerita tentang para njai lalu baboe
dan cerita-cerita horor yang kerap diceritakan para njai di rumahnya jika
menjelang tidur. Masa kecil yang sehari-hari lekat dengan bermain dan berlibur
ke daerah-daerah sejuk.
Ketika
berumur 8 tahun, Maarten pindah ke Jakarta, yang ia sebut Batavia mengikuti
ayahnya, seorang birokrat yang dipindahtugaskan. Di Batavia, Maarten yang
terbiasa dengan kondisi sejuk menjadi terkejut ketika tahu Batavia panas. Pada
awalnya, ia sempat rewel dan tidak betah. Namun, lama-kelamaan, ia sudah
terbiasa, ketika setiap akhir pekan sang ayah mengajaknya ke sebuah daerah
sejuk di Meester Cornelis atau Djatinegara. Udara sejuk Gunung Salak masih
menghampiri.
Di
Batavia inilah, Maarten banyak merekam masa-masa menjelang besarnya sebelum dan
sesudah kedatangan Jepang.
“Kamu
tidak bercanda kan kalau Jakarta punya bandara baru? Lalu di mana Kemayoran?”
Begitulah
tanya yang kudapat ketika aku menjemputnya di terminal kedatangan. Sebuah tanya
yang mengindikasikan bahwa ia sepertinya tidak begitu mengetahui situasi yang
terjadi di Indonesia pasca ia meninggalkan negeri ini. Ya, pada 1950-an,
Indonesia, terutama Jakarta, masih menjadikan Kemayoran sebagai bandara
internasional sebelum dialihfungsikan menjadi tempat penyelenggaraan Jakarta
Fair. Aku rasa memori itu masih tertanam kuat dalam pikiran Maarten.
Ketika
Maarten bertanya seperti itu aku berkata,
“Saya
tidak bercanda, meneer,” jawabku dalam bahasa Belanda sebagaimana ia
bertanya padaku dalam bahasa itu, bahasa yang kupelajari dari bangku
universitas. Aku lalu menjelaskan sejarah bergantinya Bandara Kemayoran ke
Soekarno-Hatta.
“Ja,
ja ik begrijp het wel,” jawabnya dalam
bahasa Belanda yang mengindikasikan ia sudah jelas paham apa yang aku utarakan.
Maarten,
jujur aku tidak tahu mengapa harus mendampingi orang ini. Dua hari yang lalu
sebuah email menghampiriku melalui smartphone-ku. Datangnya dari
Ronny, teman semasa kuliah yang sekarang menjadi dosen di almamater jurusanku
di sebuah kampus di Depok. Ia meminta tolong kepadaku supaya menjemput dan
menemani seorang lelaki tua bernama Maarten van den Brug yang tinggal di
Amsterdam sebelum nanti memberikannya ke Ronny. Ronny mengatakan, bahwa ia
tidak bisa menjemput dan mendampingi lelaki tua yang ia kenal ketika sedang
berada di sebuah bar di Amsterdam karena harus mengurusi masalah-masalah
pengajaran di jurusan apalagi menjelang taaldag 6 Desember. Karena
sebagai teman, aku jelas mengiyakan. Untungnya, aku sedang day-off
sehari. Rupanya, lelaki tua kenalan Ronny itu nampak antusias ingin ke
Indonesia setelah Ronny berbicara tentang Indonesia yang membuat Maarten ingin
menuntaskan kangennya.
Dalam
hatiku, jujur aku ragu juga mengingat aku sudah lama tidak menggunakan bahasa
Belandaku semenjak lulus. Aku takut ada beberapa kata yang terlupa dan mungkin
saja malah gagap bicara. Tetapi, rupanya, aku masih bisa lancar berbicara terhadap
Maarten yang bahasa Belanda-nya khas Amsterdam.
Aku
jemput Maarten dengan mobilku lalu aku ajak dia keluar bandara. Kebetulan
bandara sedang tidak ramai sebab hari biasa sehingga lancarlah aku berkendara
menuju Jakarta. Ketika kami memasuki Jakarta, ia mulai bertanya dengan tanya
dan nada yang sama,
“Kamu
tidak bercanda kan? Inikah Batavia?”
Ia
nampak heran dengan Jakarta yang masih ia sebut Batavia berdiri gedung-gedung
pencakar langit nan modern yang nampak angkuh, lalu lintas macet dan semrawut
serta udara panas. Aku lalu menjawab dengan mengiyakan sambil memberikan
penjelasan kepadanya. Ia nampak mengerti sambil memanggut-manggut kemudian
mengambil beberapa foto dari dalam tasnya. Sepertinya foto-foto dirinya dalam
bentuk hitam putih dengan latar beberapa gedung. Gedung-gedung itu, setelah
kuperhatikan, berada di Kota Tua dan Harmoni.
Maarten
kulihat sedang membandingkan foto-foto itu dengan apa yang ia lihat sekarang.
Raut bingung terpancar dari wajahnya. Aku yang melihat itu segera sadar bahwa
apa yang sedang ia bandingkan tidak pada tempatnya. Aku sadar bahwa aku dan
Maarten sedang berada di kawasan bisnis Jakarta, Sudirman-Thamrin. Dalam hati
aku berkata, ya nggak akan nyambung.
Menyadari
itu, aku lantas berujar,
“Meneer,
bagaimana kalau sebaiknya kita ke kawasan seperti yang ada di foto-foto ini?”
“Wat
bedoel je?” tanya Maarten
yang tidak paham maksudku.
“Ya,
meneer akan menemukan apa yang sekiranya sama dengan yang ada foto-foto
milik meneer. Sebab kita sekarang berada bukan di kawasan yang sama dengan
foto-foto itu. Kalo saya lihat di foto-foto itu kebanyakan berada di Kota Tua
dan Harmoni,”
“Kota
Tua? Wat is dat? Is dat nieuwe plaats op Batavia?” tanyanya yang malah tampak bingung.
“Nee,
meneer,” ujarku mencoba memberi penjelasan, “Itu
sebutan untuk sebuah kawasan peninggalan kolonial di utara Jakarta,”
Aku
yang sepertinya agak bingung menjelaskan kemudian melihat foto diri dia bersama
dengan beberapa kawannya yang nampaknya berada di depan Museum Sejarah Jakarta
atau Fatahillah. Spontan aku berucap,
“Nah,
meneer. Di kawasan itu kita akan menemukan gedung seperti yang berada di
foto ini,”
“Ah,
itu gedung Pemerintah Provinsi Jawa Barat,” ia langsung menyambung dengan
semangat.
“Dat
klopt, meneer. Setelah itu kita akan ke Harmoni,”
“Harmonie?” tanya Maarten seketika, “Ah, ja ik herrineer me nog dat.
Molenvliet dan rumah bola,”
“Ya,
seperti itu, meneer,” kataku mengiyakan lalu dalam hati berkata, kalo
sekarang bernama Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk tapi sayang rumah bola itu sudah
hancur. Sayang, memang.
Segera
aku arahkan mobil ke arah Kota Tua sambil bercerita-cerita tentang
tempat-tempat yang kami lewati. Aku lihat rona muka Maarten seketika berubah
ketika kami memasuki kawasan yang masih dibilang lekat dengan banyak bangunan
tuanya. Meski di sana sini banyak berubah.
“Kamu
tidak bercanda, kan?” sekali lagi ia bertanya seperti itu.
“Ini
Molenvliet,” ia lalu mengarahkan kepalanya ke tempatku mengemudi sambil
mengamati, “Ya, ini Molenvliet,”
Itulah
ungkapan yang aku dapatkan ketika kami melintasi Jalan Gajah Mada. Nama dahulu
jalan itu Molenvliet West yang artinya Molenvliet Barat. Aku cukup tahu sejarah
jalan ini yang dibangun oleh seorang Kapitan Cina bernama Phoa Beng Gan pada
abad ke-17. Dinamakan Molenvliet sebab di sepanjang jalan ini, baik timur dan
barat berdiri banyak industri penggilingan gula, arak, dan pembuatan mesiu
menggunakan kincir air. Ya, jadilah kemudian kawasan ini dinamakan Molenvliet
yang artinya “aliran kincir”.
“Zeg,
kenapa tidak ada orang yang mandi di sungai?” Maarten mulai heran, “Kenapa juga
sungainya kecil sekali?”
Pertanyaan
Maarten itu mengingatkanku akan sejarah Jalan Hayam Wuruk-Gajah Mada yang
dahulu bisa dibuat untuk mandi, mencuci pakaian, dan bahkan buang hajat. Dan
jika melihat foto-foto lama nampak sebenarnya kali di sepanjang jalan ini
begitu besar. Aku segera menjawab pertanyaan sambil menjelaskan keadaan di
sepanjang jalan terutama pada 1960 hingga 1970-an ketika kali dipendekkan
permukaannya sehingga sekarang jalan yang menjadi lebar.
Mendengar
penjelasanku itu, Maarten mengangguk paham. Untung saja aku belajar bahasa
Belanda bukan bahasanya saja tetapi juga sejarah. Menurutku, penting. Toh,
akhirnya terpakai juga: sebagai pemandu dadakan.
Maarten
kuperhatikan kembali membandingkan dan mencocokkan keadaan di foto dengan yang
ia lihat sekarang. Ia lalu menaruh fotonya dan berkata,
“Sepertinya
semua sudah berubah,” ujarnya, kemudian sedih, “Bangunan-bangunan tempat dulu
aku bersama teman-temanku sering berjalan-jalan dan berfoto-foto di depannya
lenyap. Apalagi sungai itu, sungai Ciliwung, bukan?”
“Betul
sekali, meneer,” jawabku mengiyakan.
“Jammer
genoeg,” ungkapnya kecewa, “Sungai itu dulu
masih bersih. Rupanya sekarang kotor dan hitam. Kukira wujudnya masih seperti
yang dulu,”
Tentang
ini, aku juga sedih. Ya, tapi inilah yang terjadi di negeriku. Segala sesuatu
yang bersejarah dihancurleburkan. Hanya karena peninggalan penjajah. Jujur, tak
habis pikir dengan pikiran semacam itu. Pikiran yang pragmatis demi kepentingan
ekonomi semata. Lagi, aku jadi ingat rumah bola. Kalau saja Maarten tahu pasti
ia akan sedih.
Kami
lalu lanjut ke Kota Tua mengikuti Sungai Ciliwung yang membawa bangsanya Maarten
datang ke Indonesia ratusan tahun silam. Ya, dari muara Sungai Ciliwunglah,
para londo ini datang ke utara Jakarta lalu membangun permukiman baru di
atas permukiman lama yang dihancurkan. Sungai Ciliwung yang berada di tengah
jalan ini sejujurnya adalah sebuah modifikasi para londo dengan kapitan
Cina.
Sepanjang
perjalanan menuju Kota Tua, Maarten kembali bertanya dengan nada yang sama. Ia
agak heran ketika melihat ada bus TransJakarta melintas dan bukannya trem. Aku
mengatakan trem sudah tidak ada lagi sejak 1960-an ketika kabel-kabel trem
dianggap menganggu dan Bung Karno menyatakan trem tidak cocok dengan Jakarta.
“Bedoel
je, Soekarno?” tanya Maarten
setelah itu.
“Ja,
eerste onze president,” jawabku
singkat, “Weet je over hem?”
“Absoluut,
ja,” ujarnya kemudian geram, “Gara-gara dialah aku harus menyingkir ke
Belanda. Hidup di sana selamanya. Padahal, aku sudah benar-benar mencintai
tanah Hindia ini. Sewaktu Jepang datang, aku tak sekalipun kabur dari tanah
Hindia ini,”
“Saya
mengerti kekesalan Anda terhadap beliau,” kataku membalas, “Namun, itu karena
politik waktu sedang tidak menentu kan?”
“Ah,
politiek is onzin!” ujarnya keras,
“Ik scheelt me niet met de politiek,”
“Okee,
okee, meneer,”
Wajar
kalau kebencian itu ada. Dari sudut pandang Maarten Bung Karno memang sosok yang
bisa jadi paling dibenci. Tapi, dari sudut pandangku tidak. Apa yang dilakukan
Bung Karno waktu itu jelas karena Belanda yang sepertinya ogah memberikan Papua
seusai KMB tahun 1949 dengan alasan ini-itu. Wajar, jika Bung Karno bereaksi
keras. Tetapi, dalam pandangan Maarten yang tidak tahu apa-apa bisa jadi
sesuatu yang menjengkelkan hingga akhirnya ia diusir bersama-sama ribuan orang
Belanda lainnya.
***
Kali
coklat itu mengalirkan airnya dengan tenang. Cuaca nampak sedikit mendung.
Pertanda hujan akan datang. Di tengah tenangnya air itu mengalirlah sampah.
Suatu pemandangan yang cukup merusak. Tetapi inilah yahg aku lihat di depan
Kali Besar di Kota Tua. Di sampingku Maarten yang lagi-lagi mengerucutkan muka,
“Kamu
tidak bercanda kan?”
Lagi,
lagi tanya itu mengemuka. Jujur, aku heran juga dengan pertanyaan itu. Dalam
hati, aku berpikir apakah selama ini yang tersaji itu hanyalah bercandaan.
“Nee,
meneer,” jawabku sabar, “Deze is Kali
Besar of Grote Rivier. Dat Noem je dan,”
“Maar,
waar is de prau’s?” tanyanya, “Ik
zie hem niet,”
“Kenapa
juga sungainya seperti ini, coklat, ada sampah, dan sempit?”
Orang
ini benar-benar mengingat semua dengan detail. Masa lalunya rupanya masih
berlaku ketika ia berada di sini. Masa lalu yang begitu kuat dan membentuk
kepribadiannya. Ia seperti orang-orang zaman dulu yang mengatakan bahwa Kali
Besar adalah kali yang bersih, jernih, dan bisa dialiri perahu. Tidak ada
sampah. Aku lalu menjelaskan dengan pelan kepada Maarten. Ia, sekali lagi,
nampak mengangguk.
“Aku
tidak habis pikir mengapa kalian tidak bisa menjaga peninggalan kami?” tanyanya
kritis, “Apa karena kami dulu jahat sama kalian lantas kalian tidak mau
memelihara?”
“Itu
salah satunya, Maarten,” kataku pelan menjawab, “Tetapi, sekarang kami sudah
berupaya merawat peninggalan bangsamu yang sejujurnya juga warisan sejarah
kami. Meski pahit jika mengingat,”
Maarten
hanya terdiam. Ia lalu mengarahkan pandangan ke Kali Besar yang sebenarnya juga
merupakan Sungai Ciliwung yang hendak mengarah ke laut.
“Di
Kali Besar inilah aku bertemu dengan almarhumah istriku, Frederika, pada 1942
beberapa hari sebelum Jepang datang. Aku ingat aku berperahu dengannya sampai ke
Sunda Kelapa,”
Ia
lalu menunjuk ke arah tempat Sunda Kelapa berada. Ah, rupanya, ia masih ingat.
Ingat sekali.
“Di
sanalah aku menyatakan cintaku dan berniat menikah beberapa bulan kemudian.
Sayang, Jepang keburu datang. Kami pun baru bisa menikah setelah itu di sebuah
tempat di Weltevreden,”
“Jadi,
Kali Besar ini sungguh istimewa untukmu, meneer?”
“Iya,”
jawabnya kemudian mengeluarkan dari kantung celana sebuah foto wanita berwajah
kauskasus, berambut pirang, dan bermata besar, “Aku ke sini sejujurnya ingin
juga mengabarkan kepadanya yang sudah di alam lain tentang muasal cinta kami
bersemi. Sayang,....”
Lelaki
tua itu lalu menangis. Tampak ada penyesalan di dalam dirinya. Ia lalu berkata
kepada foto itu.
“Maafkan
aku, Schaat. Rupanya semua sudah berubah dan tinggal kenangan,”
Ia
kemudian menaruh foto itu kembali ke dalam kantung celana lalu berkata
kepadaku,
“Maaf,
kalo tadi aku selalu merepotkanmu dengan banyak pertanyaan. Jujur, aku selama
itu buta tentang Hindia atau Indonesia bagimu. Selama di Amsterdam aku berusaha
melupakan Hindia tetapi nyatanya tidak bisa. Sampai kemudian istriku meninggal,
aku berjanji akan datang ke Hindia kembali. Aku lalu bertemu temanmu, Ronny dan
kepadanya aku bilang aku ingin ke Hindia,”
“Dat
geeft niet, meneer,” kataku, “Maaf,
kalo saya juga mengecewakan Anda soal nostalgia di sini. Ya, untuk sejarah,
masyarakat kami belum mempunyai kesadaran sama sekali,”
“Ja,
ik begrijp het wel,”
Bangunan-bangunan
di sepanjang Kali Besar nampak gagah meskipun abad dan tahun sudah berganti.
Terutama si toko merah. Pemandangan ini benar-benar seperti Amsterdam. Kanal,
rumah bertingkat namun dengan rasa tropis. Angin berembus kencang dari laut dan
angin itu seperti membawaku ke masa lalu saat kulihat di Kali Besar di depanku
dua pasang muda-mudi sedang berperahu bersama. Aku perhatikan bukankah itu
Maarten dan wanita itu, Frederika? Saat aku melihat ke sampingku, Maarten malah
tidak ada. Aku perhatikan ke sekeliling. Orang-orang Belanda berjalan, trem
melintas depan Museum Sejarah Jakarta, dan mobil-mobil kuno. Lalu pakaianku? Kenapa
seperti pakaian era 1930-an?
Di
manakah aku sebenarnya?
0 komentar:
Posting Komentar