Hamparan
perkebunan teh itu terlihat begitu menyegarkan mata yang memandang. Berpadu
dengan sejuknya udara yang berembus dari Gunung Gede Pangrango yang tampak
gagah kebiruan meskipun beberapa awan hendak menutupi. Di samping hamparan
perkebunan itu nampak jalan untuk kendaraan yang sepi dan berkelok-kelok.
Benar-benar sebuah lanskap yang indah. Pantas saja Daendels mengaguminya ketika
membangun Jalan Raya Pos, ratusan tahun silam.
Baiklah,
itu mungkin kesanku atas wilayah Puncak. Sebuah wilayah yang sejujurnya
bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Mengapa? Sebab ia merupakan wilayah yang
sedari dulu lekat dengan tempat peristirahatan dan objek wisata. Sebut saja
Taman Safari, Kebun Raya Cibodas, Taman Bunga Cipanas, Telaga Warna yang membuat Hella Hasse, si
wanita penulis dari Belanda terpesona sampai-sampai diabadikan dalam salah satu
karyanya, Oeroeg, dan lain-lain. Bahkan, Puncak merupakan wilayah yang
lekat dengan Bandung. Jauh sebelum Tol Cipularang dibangun, Puncak merupakan
primadona jalur Jakarta-Bandung.
Tapi
bukan itu yang sebenarnya tak ingin aku ceritakan. Lha, untuk apa juga? Toh,
semua juga sudah tahu dan hafal dengan tempat-tempat wisata yang kusebut di
atas. Apalagi villa-villa yang bercokol angkuh di sana. Aku hanya ingin
bercerita tentang suatu hal di Puncak. Suatu hal yang semua orang melewatkan
dan bahkan tak peduli. Ia hanya dipedulikan ketika musim penghujan tiba.
“Jernih
bukan?” tanya seorang wanita kepadaku sambil memasukkan tangannya ke dalam
sebuah air dari sebuah sungai kecil yang berukuran tubuh orang dewasa. Sungai
kecil itu berada di antara hamparan perkebunan teh. Widya nama wanita itu.
Aku
lantas ikut menunduk seperti dia lalu memasukkan tanganku ke dalam air itu yang
mengalir deras. Merasakan derasan air yang menghantam tanganku sekaligus
membuat diriku seperti orang yang baru pertama kali melihat air jernih mengalir
dengan deras namun tenang dan seperti bernyanyi.
“Iya,”
jawabku mengiyakan Widya.
Saking
suka dengan air jernih itu kumasukkan lagi satu tanganku. Kurasakan benar-benar
seperti di surga meskipun surga itu hanyalah imaji yang muncul tiba-tiba dalam
pikiranku. Aku menutup mata. Mencoba ingin bersyahdu. Rasanya benar-benar
tenang. Ingin rasanya aku mandi di sungai kecil ini.
“Kenapa?
Kamu tampaknya suka sekali?” tanya Widya yang memperhatikanku dengan sedikit
heran. Mungkin di pikirannya mengatakan bahwa aku seperti orang yang baru
pertama kali melihat sungai jernih sehingga nampak “kampungan”.
“Eh,
iya, “ jawabku mengiyakan kembali, “Aku suka dengan air jernih soalnya. Jarang
lho aku bisa melihat sungai yang jernih lalu memasukkan tangan ke dalam,”
“Lho,
kenapa memangnya?” Widya mulai penasaran dan rasa penasaran itu aku jawab
dengan sejujurnya,
“Ya,
karena aku sering lihatnya sungai-sungai berwarna coklat, keruh, banyak sampah,
dan bau. Apalagi sungai di dekat rumahku. Ah, pasti kamu tahu kan Sungai
Ciliwung?”
“Tentu
saja aku tahu,” kata Widya yakin, “Itu kan yang sering menyebabkan banjir di
Jakarta kalo musim hujan datang?”
“100
persen buat kamu,” kataku lagi dengan senyum lebar, “Ya, gara-gara itu juga
rumahku malah kena banjir. Bener-bener deh tuh sungai,”
“Lho,
kok sungai yang disalahkan?” tanya Widya yang sepertinya tidak menerima
pernyataanku, “Itu kan juga karena ulah manusianya yang berperilaku seenak perutnya.
Buang sampah di sungai, buang hajat juga di sungai. Tinggal di dekat sungai
yang jelas-jelas nggak boleh didiami,”
“Ya,
maksudku bukan begitu,” kataku hendak membela diri dari argumentasinya,
“Ciliwung itu benar-benar ganas jika musim hujan tiba,”
“Sebenarnya
sih nggak ganas kalo manusianya tahu aturan,” kata Widya kembali mengajak
berargumen, “Semua itu kan karena perilaku manusianya. Semua ada di
manusianya,”
Ya,
argumennya itu memang benar. Jujur, aku tak bisa membalas argumennya itu.
Jadinya, aku hanya mengiyakan seperti anak kelas 1 SD yang sedang diajari oleh
gurunya tentang perilaku hidup sehat.
“Kamu
sepertinya memang benar-benar suka ya dengan air dari sungai yang jernih ini?”
tanya Widya kembali mengulang seperti pertanyaan awal.
“Iya,
dan aku ingin mandi,” jawabku sambil terkekeh.
“Lho
kenapa ingin mandi?” tanya Widya kembali.
“Ya,
karena segar,” jawabku yang nampak tidak sabaran ingin membuka baju dan
berendam.
“Bagaimana
kalau tidak segar?”
“Ya,
aku tidak akan mandi,”
Jawabanku
yang nampak simpel itu langsung ditanggapi Widya dengan sebuah senyuman yang
nampak ambisius. Ah, ia pasti akan bertanya kembali.
“Aku
suka jawabanmu,” ujarnya kembali, “Tapi, memangnya kamu tidak sadar kalau
sungai jernih yang sekarang berada di depan kita ini sungai yang membanjiri
tempatmu?”
Mendengar
dia berkata seperti itu, bola mataku membesar seperti melihat sesuatu yang
menggemparkan.
“Maksudmu?”
tanyaku tak percaya. Aku paham maksudnya.
“Kamu
ini,” Widya lalu tertawa-tawa. Ia lalu menepuk bahuku. Tepukan yang diselingi
dengan wangi rambutnya yang hitam memanjang.
“Ya,
sungai kecil yang berada di depan kita ini ya Sungai Ciliwung,”
Ia
tersenyum simpul setelah itu.
Aku
jujur seperti dihantam sebuah godam. Godam itu seperti membuatku harus
mengetahui sesuatu yang baru dan itu mengejutkanku. Air jernih ini? Sungai
kecil ini? Ia yang mengalir deras, Ciliwung? Jujur, aku tak percaya.
Benar-benar percaya. Bagaimana mungkin Sungai Ciliwung yang aku tahu coklat,
kotor, bau, dan banyak bermuatan polusi ternyata....
“Aku
tahu kamu pasti tidak percaya,” kata Widya yang bisa membaca raut mukaku.
“Memang,”
jawabku kini serius.
“Ya,
kamu boleh tidak percaya,” kata Widya mulai bangkit lalu berdiri. Aku
perhatikan ia mengarahkan pandangannya ke Gunung Gede-Pangrango,
“Seandainya
kamu suka membaca geografi, kamu pasti tahu kalau Sungai Ciliwung itu asalnya
dari sana,”
Ia
menunjuk ke arah Gunung Gede-Pangrango yang nampak biru terang dan diliputi
awan puncaknya.
“Lembah
Mandalawangi asal Ciliwung, “ujarnya menjelaskan, “Di lembah itulah sungai ini
berhulu dalam bentuk yang lebih kecil dari ini. Ia lalu mengalir turun ke
Puncak kemudian ke Bogor lalu Depok, dan terakhir Jakarta, tempat kamu itu,”
Widya
yang menjelaskan itu kemudian memalingkan pandangannya ke arah sungai kecil ini
mengalir,
“Dari
Mandalawangi hingga Bogor Ciliwung masih jernih tetapi ketika sudah memasuki
Depok dan Jakarta keruh bahkan hingga ke laut,”
Ketika
ia berkata seperti itu, aku jadi tersadar akan suatu hal. Ya, banjir yang
terjadi di Jakarta itu karena dari Bogor asalnya. Banjir kiriman istilahnya.
“Ya,
karena Bogor yang mengirim banjir ini kan?” tanyaku sejalan dengan pikiranku.
Mendengar
pertanyaanku seperti itu, Widya langsung berubah tatapan dan wajahnya. Nampak
ia tidak terima tanyaku.
“Apa
apa Bogor,” katanya ketus, “Apa apa Bogor. Kamu ini kok jadi manusia tidak bisa
berpikir bijaksana sekali?”
“Tapi,
memang benar kan kenyataannya?” tanyaku sembari membela diri.
“Oh,
jadi kamu sudah termakan dengan banyak ucapan orang kalau Bogor mengirim
banjir. Sekarang aku mau tanya siapa yang banyak membangun villa di Puncak
ini?”
Ia
kembali menunjuk ke beberapa rumah mewah yang nampak berdiri megah di atas
sebuah bukit. Rumah-rumah itu, yang lebih sering disebut villa, nampak
kelihatan nyaman untuk ditinggali. Apalagi pemandangannya pasti mengarah
langsung ke lanskap Puncak. Sungguh seperti di surga. Nyaman.
Tetapi,
tiba-tiba aku tersadar. Aku sekarang sedang ditanyai oleh dia, Widya. Ia nampak
benar-benar tersinggung atas ucapanku. Tatapannya seperti ingin membunuh
tatapanku. Aku jadi takut. Aku terdiam sejenak. Lalu tersadar kembali siapa
yang membangun villa-villa itu.
“Kenapa
kamu diam?” tanyanya, “Kamu nggak tahu atau pura-pura nggak tahu,”
Aku
bingung menjawabnya.
“Kamu
ini memang....dasar!”
Aku,
jujur, masih bingung menjawab.
Ia
lalu menarik nafas sebentar dan berkata,
“Ini
semua kerjaan orang Jakarta, bukan?”
Aku
masih diam. Ia lalu menyerocos,
“Orang
Jakarta sendiri yang menyebabkan banjir di Jakarta. Tanah di Puncak habis
dibabat cuma untuk villa. Akhirnya, ketika hujan datang tidak ada resapan, dan
air langsung begitu saja mengalir turun dengan deras sampai ke tempatmu. Jadi,
jangan salahkan Bogor kalau banjir datang sebab yang menyebabkan banjir itu
orang Jakarta sendiri dari hulu hingga ke hilir,”
Oke,
oke, ujarku dalam hati, aku memang salah.
“Iya,
ini memang salah orang Jakarta semua,” kataku menyalahkan diri sendiri.
“Baguslah
kalau kamu mengaku salah,” kata Widya, “Tapi, kalo kamu doang sepertinya tidak
berpengaruh seharusnya yang membangun villa-villa itu juga meminta maaf,”
“Oke,
oke, “kataku setelah itu, “Bisakah kita berbicara hal yang lain lagi selain
Ciliwung?”
“Kenapa?
Kamu nggak suka? Takut disalahin lagi?”
“Bukan...bukan
itu,” kataku mengelak, “Ya, maksudku untuk penyegaran aja,”
“Penyegaran?
Bukannya kamu udah segar tuh merendam tangan di air jernih?”
“Eh,
itu belom kok,” ujarku mengelak lagi, “Sepertinya aku lebih segar jika melihat
kamu,”
Aku
tertawa. Widya merasa risih tetapi kemudian menabok bahuku sambil mencubit,
“Kamu
ya...bisa aja,”
Aku
jelas kesakitan tetapi aku biarkan saja daripada ia terus cerocos soal
Ciliwung.
Setelah
itu kami berdua duduk di tepian sungai sambil memandang langit Puncak yang
cerah,
“Seandainya
orang-orang masa sekarang mencontoh apa yang dilakukan para raja Pajajaran
mengenai Sungai Ciliwung, ya Ciliwung itu akan ramah,”
Aku
hanya mengiyakan.
Angin
berembus. Menerbangkan sedikit rambutnya. Harum tercium. Kubelai halus
rambutnya. Kulihat wajahnya. Oh, Widya, kamu memang begitu manis. Dan....
0 komentar:
Posting Komentar