Aku telah menunggumu begitu lama.
Selama waktu yang kurasakan berjalan meski tidak setanding dengan
datangnya komuter dari arah Angkasapuri yang terasa begitu cepat.
Juga tidak setanding dengan cepatnya pintu komuter yang terbuka ke
depan. Memuntahkan manusia di dalamnya lalu menelan lagi manusia yang
berada di luar. Dalam tiap muntahan itu aku berharap kamu muncul lalu
menyapaku. Tapi, ternyata tidak. Yang kudapat hanyalah teguran
seorang Tamil yang merasa aku mengganggu dirinya karena berdiri di
depan pintu kereta atau seorang petugas komuter yang menegurku dengan
melayu medok.
skycrappercity.com |
Baiklah, aku memang salah. Semua karena
hanya ingin menunggumu. Kamu datang padaku lalu kita berbicara
seperti saat-saat dulu kita bertemu di Batu Caves. Di suasana yang
terik membakar kulit itu, pertemuan itu menurutku bukanlah seperti
sebuah skenario dalam kisah-kisah layar perak. Tetapi, pertemuan itu,
ya aku mengatakannya pertemuan, meski kamu bilang sebaliknya. Kamu
meminta tolong kepadaku untuk memotret dirimu dengan teman-temanmu di
belakang patung Lord Murugan yang megah dan nampak terus-menerus
berkilau dihajar terik matahari yang tidak bertoleransi.
Kupotret dirimu yang nampak begitu
sopan berpakaian tanpa sekalipun memperlihatkan kulitmu. Kamu memang
tidak berjilbab tetapi aku merasa senang dengan penampilanmu. Senyum
yang merekah meski harus menentang panas ketika ku hendak memotretmu
telah kurekam otomatis dalam memoriku. Dan senyum itu terus menempel
pada hasil foto yang kemudian kuperlihatkan padamu dan juga
teman-temanmu.
Kamu bilang hasilnya bagus walau aku
tidak yakin dengan ucapanmu yang bagiku sekadar menghibur. Mungkin
dirimu tak ingin menolak hasilku. Kamu merasa tak enak jadi kamu
iyakan saja hasil itu. Baiklah, aku terima. Aku sendiri tak masalah.
Setelah memotret kamu berlalu dengan
teman-temanmu. Meninggalkan jejak harum dan kesan yang membuatku
bertanya-tanya. Membayangkanmu dan mencari-cari dirimu. Dan kamu pun
hilang ditelan panas dan angin. Dari Batu Caves aku berusaha mencari
tentang dirimu. Membayangkan kamu seutuhnya. Wajah, senyum, dan
perilaku sopan. Aku berusaha mereka-reka asal dirimu. Tentu kamu dari
Indonesia juga. Sama seperti diriku. Hanya saja aku merasa kamu dari
Pulau Sumatera. Aku mengatakan begitu karena aku merasa aksen
Sumatera-mu begitu kental. Awalnya aku mengira kamu dari Malaysia.
Tetapi, setelah kupikir-kupikir tidak.
Bayanganmu yang terus menari-nari
membuatku tidak bisa tenang. Aku yang seharusnya menikmati perjalanan
pulang dari Batu Caves ke KL Sentral seperti gelisah. Heh, pertanda
apakah ini? Apakah aku suka padamu? Jatuh cinta padamu? Pada
pandangan pertama? Tidak, tidak, aku tidak suka padamu, tidak jatuh
cinta padamu. Apalagi pada pandangan pertama. Cukup! Aku sering
seperti itu dan semua hanyalah sesaat. Tetapi kamu....
Komuter melaju cepat. Bergerak seirama
dengan lintasan rel. Datang dan berhenti di tiap stasiun. Dan begitu
sepi. Sesepi mereka yang malas menyahut iklan-iklan propaganda Najib,
sang perdana menteri keturunan Bugis. Propaganda yang bagiku tidak
penting. Propaganda yang hanya bersifat sepihak dan searah. Cuaca
terik yang terlihat dari jendela aku harap membakar saja propaganda
itu. Menganggu bagiku.
Pada teman yang aku tinggal di
kontrakannya di Kuala Lumpur aku bercerita. Ia mengatakan aku telah
suka dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Tetapi aku menolak
anggapan itu. Temanku hanya tertawa lalu berkata kalau aku menolak,
berarti aku mengakui rasa yang ada dalam diriku. Ah, sudahlah aku tak
mau membicarakan itu lagi.
Beberapa hari kemudian, aku coba ke KL
Sentral. Menunggu dirimu di depan gate tiket. Di antara lautan
keramaian manusia-manusia yang sibuk lalu-lalang mencari tunggangan
bepergian atau yang sibuk mencari makan di beberapa restoran.
Beberapa polisi berpakaian hitam berdiri menunggu, mengawasi sembari
mencari momen-momen mencurigakan yang harus ditindak.
Dan itu aku. Seorang polisi
menghampiriku dan bertanya dengan nada melayu medok kepadaku mengapa
aku berdiri di depan gate tiket. Aku bilang dengan jawaban hati-hati.
Hati-hati bukan karena takut menyinggung tetapi hati-hati memilih
kata yang tidak dimengerti. Padahal, kami sama-sama serumpun tetapi
secara kebangsaan kami berbeda. Aku menjawab dengan mengatakan aku
hendak menunggu seseorang. Ia bertanya apa orang itu punya hubungan
kekeluargaan denganku. Aku bilang tidak. Aku berkata ia orang yang
spesial bagiku. Si polisi hanya mengangguk mengerti namun menyuruhku
menunggu agak jauh dari gate. Kalau bisa di depan sebuah gerai hape.
Aku bertanya kenapa harus di depan gerai hape. Ia menjawab dengan
tertawa mungkin aku akan membutuhkan hape baru atau isi pulsa jika
ternyata habis pulsa atau rusak hapeku. Ya, logis juga jawabannya
meski sepertinya terlalu dipaksa. Aku merasa hapeku tidak apa-apa.
Apalagi pulsaku. Masih banyak. Dan aku masih pakai nomor Indonesia,
bukan Malaysia. Tetapi, aku turuti saja keinginannya. Jadilah aku
menunggu di depan gerai hape.
Dan dari gerai hapelah aku menunggu
lalu menyaksikan lautan manusia keluar gate. Lantas aku berharap ada
dirimu. Aku coba mengingat-ngingat saat aku bertemu denganmu. Ingatan
yang tidak sepenuhnya terekat tetapi terpecah-pecah seperti puzzle.
Tetapi, tetap aku coba mengingat dirimu. Banyak kepala yang
kuperhatikan. Dan aku seperti intel di kejauhan. Namun, mana dirimu?
Aku sama sekali tidak melihat. Banyak kepala membuat konsentrasiku
pecah. Aku tak bisa mengingat. Dan kamu pun hilang. Aku kecewa.
Sungguh kecewa. Aku pulang dengan tangan hampa. Berjalan keluar KL
Sentral. Berjalan di pinggiran jalan yang sepi. Membiarkan kepala dan
tubuh dihujani terik matahari.
Lalu aku menyadari kini diriku telah
berada di Indonesia. Aku pulang ke Tanah Air yang sepertinya akrab
bagiku meski menyebalkan. Rumput tetangga lebih segar dan
menjanjikan. Sayang, aku merasa tidak nyaman. Berdiri di peron
Stasiun Gondangdia, bayanganmu terus-menerus berkibar dan melambai
kepadaku. Kamu seperti mengajakku kembali ke Malaysia. Seperti
mengajakku harus berpantun Melayu: Abang nak pulang demi cik adik.
Ah, cik adik. Cik abang. Kata-kata itu, itu aku dapatkan dari
film-film P.Ramlee yang sungguh terkenal di seantero Malaysia.
Baiklah, hatiku berkata, abang nak pulang demi cik adik, yang
sepertinya tidak mau sakit, abang nak pulang meski dengan rakit, lalu
bertemulah kita sikit-sikit. Tetapi kamu bukan orang Malaysia. Kamu
Indonesia. Seharusnya aku bisa menemuimu di sini. Tetapi....kamu
tidak ada malah.
Baiklah, baiklah demi kamu aku kembali
lagi ke Malaysia. Datang lagi ke KL Sentral dan kali ini mencoba ke
Batu Caves. Harapan supaya bisa bertemu kamu lagi. Tetapi, dalam
hatiku terasa emoh. Aku tak sekalipun ingin menaiki komuter yang
melintas. Aku tak mau lagi ke Batu Caves. Aku hanya ingin kamu datang
di depanku dari dalam komuter. Dan...aku ternyata berhasil melihat
dirimu kembali. Masih berpakaian sopan, berambut panjang, dan
bersenyum berseri kepada teman-temanmu. Aku merasa senang. Bisa
bertemu dirimu lagi. Ternyata aku masih ingat. Tetapi kenapa aku
malah menjadi kaku untuk sekadar menyapamu. Aku mematung. Aku
mengeras. Kamu lewat begitu saja di depanku tanpa menyadari orang
yang kemarin memotretmu. Kecewa.
0 komentar:
Posting Komentar