Kereta api Indonesia memang tidak bisa lepas dari Belanda. Hal ini dikarenakan Belandalah yang memulai pembangunan jalur kereta api di Indonesia pada masa negara ini masih bernama Hindia-Belanda. Tepatnya pada 1864 ketika jalur Kemijen-Tanggung dibangun dan dibuka pada 1867. Selanjutnya dibangunlah jalur-jalur dan stasiun di Pulau Jawa lalu ke Sumatera dan sempat ke Sulawesi.
Tidak bisa lepasnya kereta api Indonesia dari Belanda juga terlihat dari warisan-warisan fisik Belanda berupa bangunan stasiun, rel, jembatan, dan kereta-kereta api yang sudah dimuseumkan atau dijadikan kereta pariwisata seperti di Ambarawa dan Sawahlunto. Beberapa warisan itu masih terlihat di beberapa stasiun di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Padang. Begitu juga jalur-jalur yang ada serta perangkat-perangkat perkeretaapian lainnya.
Selain warisan fisik, Belanda juga mewariskan dalam bidang bahasa. Terutama yang berhubungan dengan perkeretapian. Istilah-istilah kereta api Indonesia yang populer dan jamak terdengar di telinga kebanyakan berasal dari Belanda. Sebut saja peron yang berasal dari kata perron, stasiun (station), karcis (kaartjes), kondektur (condecteur), masinis (machinist), sepur (spoor), wesel (wissel), dipo (deponeren), emplasemen (emplacement), dan langsir (lanceren). Beberapa kata itu masih hidup meskipun Belanda sudah lama pergi dari Indonesia. Namun ada satu kata dari Belanda yang sebenarnya tidak populer tetapi populer di orang-orang yang tinggal di pelosok dan dekat dengan kereta api. Kata itu ialah pak sep yang artinya kepala stasiun. Kata sep berasal dari chef.
Itulah warisan-warisan Belanda untuk perkeretaapian Indonesia. Meskipun sekarang Belanda sepertinya jauh sekali dari kereta api Indonesia karena kebanyakan armada kereta api Indonesia memakai buatan Jepang dan Amerika Serikat, atau buatan dalam negeri yang diproduksi INKA, warisan-warisan itu tetap hidup. Namun itu semua tergantung dari yang mewariskan. Hanya satu yang tidak diwarisi Belanda: pemeliharaan dan perawatan warisan-warisan itu.
Tidak bisa lepasnya kereta api Indonesia dari Belanda juga terlihat dari warisan-warisan fisik Belanda berupa bangunan stasiun, rel, jembatan, dan kereta-kereta api yang sudah dimuseumkan atau dijadikan kereta pariwisata seperti di Ambarawa dan Sawahlunto. Beberapa warisan itu masih terlihat di beberapa stasiun di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Padang. Begitu juga jalur-jalur yang ada serta perangkat-perangkat perkeretaapian lainnya.
Selain warisan fisik, Belanda juga mewariskan dalam bidang bahasa. Terutama yang berhubungan dengan perkeretapian. Istilah-istilah kereta api Indonesia yang populer dan jamak terdengar di telinga kebanyakan berasal dari Belanda. Sebut saja peron yang berasal dari kata perron, stasiun (station), karcis (kaartjes), kondektur (condecteur), masinis (machinist), sepur (spoor), wesel (wissel), dipo (deponeren), emplasemen (emplacement), dan langsir (lanceren). Beberapa kata itu masih hidup meskipun Belanda sudah lama pergi dari Indonesia. Namun ada satu kata dari Belanda yang sebenarnya tidak populer tetapi populer di orang-orang yang tinggal di pelosok dan dekat dengan kereta api. Kata itu ialah pak sep yang artinya kepala stasiun. Kata sep berasal dari chef.
Itulah warisan-warisan Belanda untuk perkeretaapian Indonesia. Meskipun sekarang Belanda sepertinya jauh sekali dari kereta api Indonesia karena kebanyakan armada kereta api Indonesia memakai buatan Jepang dan Amerika Serikat, atau buatan dalam negeri yang diproduksi INKA, warisan-warisan itu tetap hidup. Namun itu semua tergantung dari yang mewariskan. Hanya satu yang tidak diwarisi Belanda: pemeliharaan dan perawatan warisan-warisan itu.
0 komentar:
Posting Komentar