Layar itu menyala terang. Di dalamnya
menampilkan tulisan: Tarif: Rp.2000, Sisa Saldo: Rp 75.000. Seorang
petugas segera berkata pada dirinya:
“Ayo, pak, silakan,” ujar si
petugas ramah.
Ia lantas membalas keramahan si petugas
dengan senyuman sembari melewati gerbang elektronik atau e-gate.
Ketika keluar, sebuah raut puas terpancar sekaligus juga raut tidak
percaya dan takjub. Di depannya berjejer 5-6 gerbang elektronik
sebagai pintu keluar masuk bagi orang-orang yang hendak naik dan
turun dari kereta api. Gerbang-gerbang elektronik itu begitu ramai
dihilir-mudik dan tak pernah lelah menyalakan lampu penanda masuk dan
keluar ketika orang-orang itu, para penumpang kereta api, menempelkan
kartu elektronik di gerbang itu. Terlihat simpel dan praktis.
beritakereta.wordpress.com |
Ia yang memperhatikan langsung bergumam
dalam hatinya,
“Oh, ini sudah seperti di Eropa,”.
Matanya lalu mengarah kepada stasiun tempat ia sekarang berada.
Stasiun begitu modern. Berwarna abu-abu minimalis. Ada jasa keamanan
dan kebersihan. Tak nampak sekalipun pedagang kaki lima, kios, dan
gelandang-pengemis. Benar-benar steril.
“Ya, ini seperti di Eropa.
Menakjubkan,” gumamnya lagi.
Pikirannya lantas melayang ke salah
satu negara di Eropa, Jerman. Negara itu tempat ia dulu belajar dan
bekerja hingga akhirnya tinggal selama 20 tahun lebih. Selama di
Jerman itu, dirinya merasakan menjadi bagian dari kemajuan Jerman
dalam berbagai bidang. Apalagi transportasinya. Jamaknya negara maju,
sudah pasti transportasi yang diandalkan ialah transportasi publik,
bukan pribadi. Karena itu, banyak yang menjadikan transportasi publik
sebagai primadona. Bus, kereta api, trem sudah pasti diserbu.
Kemajuan itu juga terlihat dari
fasilitas yang ada. Ia yang sering ke kantor naik kereta api
benar-benar merasakan. Naik kereta pun menggunakan tiket elektronik.
Sesuatu yang jarang ia dapatkan. Stasiun yang modern dan bersih.
Benar-benar membuatnya takjub dan merasakan dirinya ada di sebuah
negara di dalam negeri dongeng. Ketika itu juga ia teringat tentang
Indonesia, terutama kereta api Indonesia. Benar-benar berbeda jauh
dengan apa yang dilihat sekarang. Apabila ia melihat kereta yang di
hadapannya sekarang dan bertulisan DB, perusahaan kereta api Jerman,
begitu bersih dan kinclong, berkebalikan jika ia membandingkan dengan
kereta api Indonesia yang nampak kumuh, kotor, banyak PKL dan gepeng
berkeliaran, serta mereka yang dinamakan atapers atau penumpang yang
berada di atap kereta. Belum lagi stasiun yang nampak padat karena
kios-kios. Stasiun pun sudah seperti pasar rakyat.
Ia jadi teringat suasana itu kala
setiap hari berangkat kuliah menggunakan kereta. Kereta menjadi
transportasi andalan untuk menuju kampusnya di Depok. Dalam tiap hari
itu ia mengalami kereta yang begitu padat penumpang namun juga PKL
dan gepeng. Para PKL tak henti-hentinya meneriakkan barang dagangan
kepada setiap penumpang meskipun dibeli atau tidak. Kemudian ada para
gepeng yang hendak mengais rezeki dengan cara meminta dan merengek.
Ada yang bermodalkan sapu, agama, dan lapar. Pernah ia dimintai
gepeng dengan cara merengek-rengek meminta uang untuk makan. Lantas
ia tolak dengan sopan tetapi si gepeng tetap merengek-rengek. Ia
kemudian diamkan si gepeng dan si si gepeng pun berlalu mencari
mangsa yang lain. Esok-esoknya si gepeng segan meminta kepada
dirinya.
Ia juga teringat kejadian pencopetan
dan penjambretan yang terjadi di depan mata kepala sendiri. Sudah
menjadi hal lumrah pencopetan dan penjambretan marak terjadi di
transportasi publik. Apalagi di kereta api. Ia ingat kereta api
selalu terbuka pintunya sebab sudah rusak kemudian panas karena
pendinginnya juga rusak. Keadaan yang demikian jelas memudahkan para
penumpang keluar dari kereta tanpa harus menunggu pintu buka-tutup
otomatis. Keadaan yang demikian juga memudahkan para penjambret dan
pencopet mudah melarikan diri. Itulah yang ia lihat ketika seorang
wanita dijambret kalung yang melingkar di leher. Wanita itu berteriak
histeris mengundang penumpang lain. Sayang, itu percuma. Salah satu
penumpang bilang kalau memakai perhiasan jangan berada di depan pintu
kereta sebaiknya berada jauh dari pintu dan juga jendela. Tetapi
sepertinya si penumpang ini memang tidak tahu tentang perihal
kehidupan di kereta api.
Melihat keadaan-keadaan seperti itu, ia
jadi berpikir lalu berkomentar kereta api Tanah Air tidak aman
dinaiki dan tidak pantas menjadi transportasi publik yang diandalkan
meski murah. Ia ingin kereta api Indonesia seperti di negara-negara
lain, terutama negara jiran Malaysia yang nampak maju dalam fasilitas
terutama tiket yang dipindai dengan komputer. Berbeda dengan kereta
api Indonesia yang masih mengandalkan karcis. Gara-gara karcis
pembohongan identitas bisa terjadi.
Usai lulus kuliah, ia lalu bekerja dan
kemudian mendapatkan tawaran beasiswa kuliah magister sembari bekerja
di Jerman. Perusahaannya merekomendasikan dirinya agar ke Jerman. Dan
di Jermanlah ia mengalami keterkejutan. Keterkejutan yang awalnya
sulit beradaptasi. Mulai dari cuaca, makanan, masyarakat, sampai
bahasa. Padahal, ia sebelumnya sudah belajar bahasa Jerman. Tetapi
memang beda teori dan praktek. Lama-kelamaan ia pun terbiasa dan
nyaman dengan segala kemajuan yang diperlihatkan Jerman. Segalanya
menjadi mudah dan efektif. Ia merasakan di stasiun kereta api. Tak
perlu lama-lama mengantre. Cukup tap pada mesin dan masuk. Begitu
juga ketika keluar. Ia merasa beruntung.
Namun di dalam kemajuan itu ia tetap
merindukan Tanah Air. Ia merasa Tanah Air sesungguhnya tempat yang
paling tepat di hati. Ketika libur datang, sesekali ia sempatkan diri
pulang. Menjamah kampung halaman di Jakarta dan berlibur ke berbagai
tempat di Indonesia. Ia merasakan Indonesia memang begitu indah.
Jerman yang maju itu tidak ada apa-apanya. Sayang, keindahan itu
sirna kala sifat orang-orangnya yang menyebalkan, terutama di
birokrasi. Indonesia memang indah tetapi orang-orangnya jauh dari
bersih dan beradab. Berbeda dengan di Eropa.
Selanjutnya, ia pada liburan
selanjutnya berkeliling Eropa. Di sini ia merasa kagum dan takjub.
Namun, tetap saja Indonesia tetaplah yang terindah. Rasa ingin
kembali dan menetap di Indonesia di hari tua ia canangkan. Ia lalu
menikah dengan gadis Indonesia yang juga bekerja di Jerman kemudian
mempunyai anak. Barulah ketika anak-anaknya sudah mahasiswa dan
dirasa mandiri, ia putuskan pulang kembali sebagai seorang pensiunan
yang hendak membuka usaha bengkel mobil berbekal uang pensiun yang
jumlahnya lumayan.
Dua puluh tahun lebih di Jerman,
membuatnya hanya tahu sedikit berita dari Indonesia. Apalagi untuk
transportasi. Ia masih berpikiran transportasi Indonesia, terutama
kereta api, pasti masih seperti dulu. Namun, semua berubah tatkala ia
mencoba kembali kereta api Indonesia. Ia terkejut dan terheran-heran
sampai-sampai berkata kepada salah seorang teman dekatnya. Temannya
hanya berkata,
“Ya udah belakangan ini kereta api
berubah. Nggak kaya dulu lagi. Sekarang bersih dan steril karena pake
AC...hehehe,”
“Jadi, kereta yang terbuka itu udah
nggak ada lagi?”
“Iya, udah dipensiunkan,”
Dua kereta melintas berlawanan di dua
jalur yang berbeda. Satu melintas di peron Bogor. Satu di peron
Jakarta. Pemandangan itu membuat ia terkesima.
“Seperti inilah seharusnya,”
gumamnya senang.
Ketika seperti itu, seseorang
menepuknya dari belakang.
“Rendi, jangan bengong. Setan masuk
lho,” ujarnya sambil tertawa.
Ia menoleh ke belakang. Tersenyumlah
ia. Teman dekatnya, Ardi.
“Udah lama nunggu?” tanya Ardi
“Ah, bentar aja gue,” jawab Rendi.
“Yuk dah kita naik kereta,”
“Oke,”
Keduanya lalu bergegas ke peron Bogor.
Ketika sampai peron, kereta jurusan Bogor sudah tiba. Keduanya masuk.
Rendi tetap tersenyum sambil bergumam,
“Ya, seharusnya seperti ini,”
0 komentar:
Posting Komentar