Deretan sawah yang menghijau, dan di kejauhan terdapat gunung yang membiru lalu pepohonan di kanan-kiri jalan merupakan pemandangan yang terlihat cukup indah. Kicau burung-burung terasa semakin menambah hal tersebut. Kerbau-kerbau yang terlihat membajak sawah, juga para petani yang tengah bercocok tanam. Siapa yang tidak menyangka anugerah terindah ini dari-Nya!
"Sayang jika ini jatuh ke tangan Jepang," ujar seseorang mengomentari pemandangan tersebut dengan tatapan tidak rela. Ia lalu berbalik badan kemudian duduk melihat kondisi di depannya yang ternyata banyak orang. Mereka berbaju dan bercelana panjang hijau, memakai helm dan sepatu lars, serta memegang senapan. Di badan mereka terdapat kantung- kantung berisi amunisi.
Ia mendapati dirinya juga demikian kemudian membuka helmnya yang terdapat lambang singa. Orang-orang di depannya ini ada yang duduk diam, tertidur, dan bahkan menulis sebuah catatan harian. Ribuan pemandangan mereka lewati begitu saja tanpa henti seiring dengan laju truk yang mereka tumpangi. Wajah para serdadu itu beragam warna. Ada yang putih seperti dirinya, dan ada yang hitam serta bersawo matang.
"Memang sayang, Pieter. Tapi, kenyataannya sebentar lagi memang akan diambil Jepang," ujar salah seorang yang menyebut namanya, Pieter. Orang itu sama seperti dirinya, berkulit putih namun tampak ada gurat campuran di wajahnya, " Kalau kau ingin ini tidak jatuh ke para kate, mari kita bertempur demi Pangeran Oranye dan Sang Ratu," lanjut orang ini yang duduk tidak jauh darinya.
Pieter tidak menjawab orang yang bernama Hans tersebut. Ia seperti merasa lelah dan capek. Kemudian menatap kosong ke depan.Di depan Pieter terdapat serdadu berkulit sawo matang bernama Koentjoro yang kemudian berkata,
"Bagaimana bisa tidak jatuh kalau kita saja tidak punya semangat tempur yang bagus seperti mereka. Persenjataan apa adanya. Kau lihat Batavia sekarang mereka kuasai?"
Tampak Koentjoro, si prajurit sawo matang keturunan priyayi biasa dari Surakarta, agak kesal ketika komando militer Hindia-Belanda di Batavia membiarkan saja ibu kota menjadi kota terbuka bagi Jepang sehari sebelumnya, 5 Maret 1942.
Kala itu Koentjoro yang sedang asyik bermain sepak bola di waktu senggang bersama serdadu lainnya di tangsi mereka di Galur dekat Weltevreden mendadak menerima berita bahwa Tanjung Priok diserang dan dibom. Mereka lantas disuruh siaga menjaga kota namun tidak diinstruksikan melakukan perlawanan terhadap Jepang yang datang dengan sepeda.
Koentjoro kemudian bersama teman-temannya diperintahkan ke pinggiran Batavia tepatnya ke Buitenzorg untuk diangkut bersama dengan para serdadu dari kesatuan lain pada tengah malam menjelang pagi menuju Bandung.
"Kenapa kita tidak melawan saja mereka? Mereka bertubuh pendek, berkulit sama! Apa yang harus ditakutkan?"
"Ini sudah perintah dari Jenderal Schilling, broer. Jepang datang jumlah banyak dan kita memang tidak mampu melawan," ujar Hans menanggapi kekesalan Koentjoro, " Kita diperintahkan ke Bandung karena di situlah baru kita akan melawan habis-habisan. Jadi, ini biar tenaga kita tetap ada,"
Perkataan Hans itu tiba-tiba ditanggapi oleh serdadu lain. Ia berkulit sawo matang.
"Sebenarnya ini perang siapa? Perang kalian atau kami?" tanyanya yang kemudian membuat semuanya kaget.
"Siapa kau?" tanya Pieter, "Dari mana asalmu?"
"Didi" ujarnya singkat, "Saya dari Buteinzorg. Apa masalah ucapan saya tadi?"
"Maksudmu apa dengan kalian dan kami?" ujar Pieter yang penasaran dan seperti merasa ada perbedaan di ucapan tersebut.
"Ya, ini perang kaliankah, orang Belanda?" ujar Didi yang mulai dengan nada tinggi dan mata melotot, "Untuk apa kalian libatkan kami yang sudah rampas hak kami dan adu domba kami?"
Pieter yang kesabarannya habis mulai bertindak,
"Zeg, verdomme! Kuhajar kau!"
Namun buru-buru ia dicegah oleh Hans dan beberapa serdadu yang lain,
"Lalu buat apa kau bergabung dengan KNIL?" tanyanya lagi masih dengan nada emosi.
Didi yang ditanya seperti itu menjawab dengan mudah,
"Simpel. Demi perut karena tanah kami semua kalian rampas!"
"Brengsek!" Pieter yang masih terbalut emosi berusaha melayangkan tinjunya ke arah Didi. Namun, itu buru-buru kembali dicegah Hans.
"Sudah-sudah tidak ada gunanya kau berurusan dengan orang tidak terpelajar dan tidak tahu terima kasih ini!"
Tetapi Pieter malah tidak menghiraukan Hans. Ia masih saja mencecar Didi,
"Kau tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku kehilangan teman terbaikku di Palembang!"
"Ya, itu salahnya sendiri. Tidak ada urusannya denganku,"
"Sialan!"
Tiba-tiba saja truk berhenti. Seorang kapten turun dari mobil lalu ke bagian belakang berisi tentara-tentara tersebut.
Ia meminta mereka semua turun dan menanyakan perihal yang terjadi. Setelah dijelaskan barulah si kapten yang bernama Jaap ini meminta Didi pindah ke truk lain di belakang yang kebetulan diminta berhenti. Kapten Jaap berkata,
"Kau, Pribumi, bisanya menyusahkan saja!"
Tapi, Didi tidak menanggapi hal itu. Ia langsung menaiki truk yang ternyata banyak berisi serdadu sawo matang. Truk-truk yang berjumlah tiga buah itu memang diarahkan ke Bandung untuk memperkuat pertahanan terakhir Hindia-Belabda di kota tersebut.
Selepas pindahnya Didi, keadaan menjadi tenang kembali. Truk-truk itu tak terasa memasuki Sukabumi kemudian Cianjur, dan akhirnya Bandung. Di Bandung beberapa pasukan segera disiagakan untuk menjaga Bandung sementara yang lainnya bergerak ke arah Lembang dan Ciater untuk bertempur melawan Jepang yang berhasil merebut Kalijati. Tidak ada istirahat untuk mereka.
Keadaan Bandung cukup terlihat tenang walaupun situasi kelihatan menegang dan mencekam seiring dengan gerak cepat pasukan Jepang. Pasukan dari Batavia dan Buitenzorg yang kebetulan tidak mendapat tugas menjaga kota memanfaatkan kesempatan ini untuk berplesir atau pulang. Inilah yang dilakukan Joris yang memutuskan pulang ke rumahnya di dekat Pangkalan Udara Andir.
Ia ditemani Oey, serdadu keturunan Cina yang merupakan asli Tangerang, dan memilih bergabung dengan KNIL karena ingin berbeda dari keluarganya yang merupakan pedagang.
"Terima kasih telah mengajakku, kawan," kata Oey, "Seumur-umur baru kali ini aku bisa melihat Bandung. Sungguh indah dan sejuk,"
"Sama-sama, kawan," kata Joris tersenyum bangga, "Itulah mengapa kami menamakannya Parijs van Java,"
Namun apa yang dirasakan Oey tidak bisa dirasakan lagi oleh Mevrouw Anne dan Petra, anak perempuannya. Mereka adalah ibu dan adik perempuan Joris. Mereka seperti sudah ketakutan dan pasrah jika Jepang menang dan menguasai Bandung.
"Yang Ibu khawatirkan adalah Petra, Joris," kata Mevrouw Anne mengungkapkan kekhawatiran tersebut saat menyambut Joris dan Oey, "Ibu takut jika Jepang menguasai Bandung mereka lalu datang ke rumah kita dan mungkin akan memperkosa Petra. Kau tahu kan berita kekejaman mereka di Nanjing?"
"Ya, aku tahu, Ibu," kata Joris menanggapi, "Mereka sungguh-sungguh biadab! Karena doakan kami bisa melawan mereka!"
"Harus, Nak, harus. Kita sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Nak. Kau juga sudah tahu Abangmu, Ruud, tewas oleh Jerman karena ketahuan bersekongkol dengan Yahudi di Amsterdam, dan rumah saudara-saudara kita di sana sudah hancur oleh para laknat tersebut!"
"Iya, Bu,"
"Ibu selalu mendoakanmu,"
"Terima kasih doanya, Bu,"
"Bang Joris, kau harus bisa melawan Jepang," ujar Petra yang menunjukkan ketakutan seperti Mevrouw Anne, "Aku takut jika mereka ke sini dan memperkosaku seperti di Nanjing. Kemarin saja saat pangkalan di bom saja, aku dan Ibu sudah ketakutan dan pasrah,"
"Tenang, Dik, aku pasti akan bisa. Doakan saja!"
"Harus, Bang!"
Oey yang menyaksikan pembicaraan keluarga itu langsung terenyuh. Ia tak menyangka jika dalam kehidupannya akan harus berhadapan dengan orang-orang Jepang. Teringatlah dia akan berita-berita yang ia dapatkan dari saudara ayahnya yang berhasil lolos dari Shanghai yang hancur lebur oleh Jepang, dan sekarang tinggal di pedalaman Cina. Saudara ayahnya itu dengan mata kepala sendiri menyaksikan kekejaman Jepang yang gemar memenggal kepala tawanan yang tertangkap
Saudara ayahnya adalah salah satu tentara Nasionalis yang pura-pura mati dibawah tumpukan mayat yang lain, dan ia berhasil menghindari tusukan bayonet tentara Jepang setelah eksekusi melalui tembakan.
Karena itulah, ayahnya sangat menentang keras keinginan Oey tersebut. Ia ingat ayahnya memarahinya habis-habisan suatu malam,
"Lo orang nggak pernah mikir pake otak, hah? Apa-apaan Lo mau jadi tentara? Mau gengsi Lo ya? Lo nggak tahu apa paman Lo di Tiongkok hampir mati ditembak Jepang. Lo mau kaya dia? Nggak, gue kagak izinin!"
Namun, Oey tetap bersikeras ingin jadi tentara karena ia merasa ingin membaktikan diri pada Hindia-Belanda.
"Kita orang Cina. Kita nggak lama di sini. Nanti juga balik ke sana. Tanah leluhur lo!" Kembali ia teringat amarah ayahnya tersebut sampai akhirnya ia tidak pernah berbicara lagi dengan ayahnya bahkan sampai ia berangkat untuk ikut latihan pendidikan. Hanya ibu dan adik perempuannya yang melepasnya, dan memberikan ongkos.
Sebuah suara dari Joris tiba-tiba menyadarkannya.
"Kau melamun, Kawan?" Tanya Joris setelah itu.
"Eh, tidak. Saya cuma teringat keluarga saya di Tangerang," kata Oey.
"Kau kangen?" tanya Joris lagi, " Tenang, kalau kita berhasil mengalahkan Jepang, kau bisa kembali ke Tangerang,"
"O, iya, Oey silakan diminum lagi teh dan kue spekulasnya ya," kata Mevrouw Anne, "Kalian berdua malam ini menginaplah,"
***
Berkilometer jauh dari Andir dan Bandung, terjadilah pertempuran sengit di Ciater. Pasukan Belanda berupaya mengadang laju pasukan Jepang yang cukup cepat setelah berhasil merebut Kalijati. Pertempuran yang terjadi sejak 5 Maret itu bermedan bukit, perkebunan teh, dan pepohonan lebat yang menjadi benteng alami dari tembakan-tembakan yang berdesing menghantam aspal jalan raya.
Koentjoro yang merupakan salah satu anak buah Kapten Jaap segera menembakkan peluru dari tempatnya berlindung berupa semak-semak yang ditutupi pepohonan lebat. Ia tembakkan begitu peluru-peluru tentara Jepang berupaya menyadarinya.
Di samping Koentjoro terdapat serdadu lainnya, dan berkulit sawo matang, Soemangat, yang juga menembakkan peluru dari senapan.
"Mereka sepertinya tidak bisa habis-habis," ujar Soemangat, "Peluruku tinggal sedikit!"
"Iya," Koentjoro mengamini, "Terbuat dari apa orang-orang Jepang ini, hah?"
Ketika peluru berdesang-desing terdengar raungan dari pesawat Jepang yang kemudian mengebom posisi tentara Belanda hingga luluh lantak bukit dan persawahan di tepian jalan. Lalu setelah itu dari kejauhan terdengar suara serbu dalam bahasa Jepang. Melihat itu, Koentjoro dan Soemangat terkejut.
"Sebaiknya kita mundur saja! Mereka seperti gelombang pasang!" Kata Soemangat.
"Iya, betul," kata Koentjoro. Keduanya lalu mundur mencari perlindungan.
Dari salah satu tentara Jepang yang menyerbu itu terdapat Mitsuo. Ia adalah seorang kapten angkatan darat, dan sepertinya cukup semangat dalam penyerbuan di Ciater ini. Rupanya ia pernah tinggal lama di Hindia-Belanda tepatnya di Bandung, dan selama di Bandung setiap minggunya ia selalu ke Ciater hanya untuk mandi air panas seperti halnya di Jepang.
Ia merasa seperti pulang kampung.
"Kapten, sepertinya cukup senang untuk penyerbuan besok ke Ciater? tanya salah satu anak buahnya, Sersan Miyamoto saat keduanya berada di Kalijati.
"Ya, saya dulu pernah di sana. Di sana ada pemandian air panas. Kalau kita berhasil kuasai Ciater, kita bisa mandi air panas di situ. Rasanya seperti di Jepang,"
Di Bandung, Mitsuo berprofesi sebagai penjual barang-barang kebutuhan pokok. Namun ia juga sembari menjalani tugas sebagai mata-mata untuk memantau kondisi di Bandung. Sejak 1937 ia melakukannya, dan tidak ada yang menyadari hal tersebut.
"Semuanya serbu!" ujarnya pada pasukannya, "Tenno Heikai, banzai!"
Semua penyerbu benar-benar semangat dan patriotis menyerbu ke kubu Belanda yang terus menghalau menembaki mereka. Beberapa ada yang tumbang namun tetap mereka melaju seperti air bah lalu menembaki para tentara Belanda di depan dan menusuk dengan bayonet. Mitsuo yang mendapati lawannya adalah seoarang tentara Belanda berkulit putih, tanpa ampun segera menembaknya. Tentara itu pun tersungkur. Ia lalu melaju lagi mencari mangsa.
Di tempat lain terdapat Pieter berupaya menahan laju serangan Jepang dengan meminta bantuan artileri. Sayang, artileri itu macet. Ia pun menembakkan senapannya, dan tiba-tiba saja di hadapannya kini ada Mitsuo. Pieter pun terkejut apalagi saat orang Jepang itu bisa berbicara bahasa Belanda.
"Selamat sore, Tuan yang terhormat," kata Mitsuo memberi salam.
"Siapa kau?" tanya Pieter terkejut, "Kau bisa Holland spreken?"
"Tentu saja bisa karena saya pernah lama tinggal di sini,"
"Apa maumu?"
"Saya minta Tuan menyerah, dan kami akan perlakukan tuan secara baik-baik!"
"Tidak akan. Ini tanah kami!"
"Tanah tuan? Bukannya ini tanah milik pribumi yang telah diambil haknya?"
"Zeg, verdomme! Banyak omong kau!"
Pieter segera hendak menarik pelatuk senapannya. Namun, Mitsuo yang tahu akan hal itu segera mengambil samurainya, menghindar, dan kemudian menusukkan ke perut Pieter. Pieter pun terkejut. Ia melihat ke arah perutnya yang tertusuk samurai, dan mengeluarkan darah. Ia lalu menatap marah Mitsuo, dan perlahan tersungkur. Setelahnya, Mitsuo menarik senyum dan ia segera merampas senjatanya Pieter.
Pertempuran itu sendiri berakhir pada sore hari dengan kekalahan telak Belanda. Belanda memutuskan mundur ke Lembang. Sementara itu, mereka yang tidak sempat menyelamatkan diri akhirnya menjadi tawanan. Tapi bukannya dimasukkan ke penjara beberapa malah dieksekusi atau dipenggal.
Didi yang melihat itu dari kejauhan langsung bergidik ngeri apalagi saat para tawanan terutama yang berkulit putih dipenggal, dan kemudian dijadikan trofi kebanggaan. Ia segera lari melepas seragam KNIL-nya dan memutuskan untuk mengembara ke kampung halamannya di Tasikmalaya melalui hutan-hutan. Ia bersumpah tidak mau lagi jadi tentara dan lebih baik menjadi orang sipil saja
***
"Akhirnya, kita berhasil!" ujar Ian kepada Davies, saat mereka secara mendadak berhasil meninggalkan Pangkalan Udara Andir menuju Australia. Ian adalah salah satu pilot Angkatan Udara Inggris yang ditugaskan membantu pertahanan udara Hindia-Belanda. Davies juga, seorang Skotlandia yang sudah lama berpatner semenjak keduanya berada di Singapura, dan menjelang menyerahnya Singapura kepada Jepang keduanya segera melarikan diri ke Sumatera tepatnya ke Palembang.
Dari Palembang keduanya akhirnya melarikan diri ke Jawa dan 2 hari yang lalu mengebom posisi Jepang di Kalijati dan Ciater. Namun ketika tahu Belanda kalah di Ciater keduanya menjadi pesimistis,
"Kita sepertinya tidak akan memenangkan perang melawan Jepang, Kawan," kata Ian, "Belanda sudah keok sebentar lagi Bandung akan mereka masuki,"
"Iya betul," kata Davies menimpali, "Kita sudah tidak berdaya lagi. Tinggal menunggu waktu saja. Huff...aku hanya berharap tidak seperti teman-teman sebangsa kita di Malaya dan Singapura,"
"Iya, aku juga," kata Ian, "Dan orang-orang Jepang sungguh barbar! Melebihi Jerman!"
Mereka berdua lalu terdiam. Kemudian Ian berucap sesuatu,
"Kita sebaiknya tinggalkan saja koloni ini, dan pergi ke Australia,"
"Bagaimana caranya?"
"Tengah malam kita lancarkan aksi saat sepi,"
Dan, benarlah tengah malam kedua pilot tersebut melancarkan aksinya. Mereka terbangkan pesawat pengebom mereka. Tentu saja aksi itu membuat terkejut tentara Belanda yang berjaga di pangkalan. Tentara itu berteriak kembali, dan kemudian menembakkan senapan ke udara. Sayang, usahanya tidak berhasil. Ketika seisi pangkalan tahu, orang-orang Belanda hanya pasrah,
"Kita sekarang benar-benar sendirian," ujar salah seorang perwira penjaga pangkalan.
***
"Petra, Ibu minta kau tetap jaga dirimu baik-baik dan persiapkan kemungkinan terburuk saat Jepang masuk ke sini," ujar Mevrouw Anne meminta putrinya tersebut untuk siap dan waspada sembari melihat kepergian Joris dan Oey yang siap ke Medan tempur di Lembang.
"Sebenarnya ini sudah bisa ditebak, kita tetap akan kalah karena Jepang sudah terus-menerus bergerak ke sini,"
"Apa kita tidak pergi saja, Bu, ke Cilacap untuk ke Australia?" tanya Petra. "Para tetangga kita, Meneer Hansen dan keluarganya juga sudah ke sana. Begitu juga Meneer Kerkhoven,"
"Nee, Petra," kata Mevrouw Anne, "Kita tidak akan ke sana. Kita lebih baik di sini. Bandung adalah tempat lahir Ibu. Jadi, biar Ibu juga mati di sini,"
"Iya, Bu," ujar Petra menuruti Mevrouw Anne.
***
"Semuanya, hari ini kita akan berjibaku di Lembang melawan Jepang. Kalau Lembang jatuh, Bandung akan jatuh juga. Karena itu, saya minta demi Pangeran Oranye dan Sri Ratu kita bertempur habis-habisan demi tanah Hindia tercinta!" Begitulah Kolonel Vliegveld membakar semangat pasukannya meskipun hasil akhir sudah bisa diprediksi.
Para tentara yang hadir dan mendengar langsung mengiyakan semangat dan segera menaiki truk dari markas besar KNIL di Bandung untuk membantu pertahanan di Lembang. Udara Bandung cukup sejuk hari itu. Aktivitas masih seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda kepanikan bahwa dalam hitungan hari kota akan dikuasai Jepang. Tampak sepertinya cuek.
Sesampainya di Lembang, para serdadu segera ditempatkan di benteng pertahanan di Gunung Putri. Desingan peluru sudah terdengar karena Jepang terus merengsek maju. Koentjoro dan Soemangat yang sebelumnya mundur juga ke Lembang kini berada di paling depan menghalau serangan Jepang yang bagai air bah.
Lagi-lagi keduanya kewalahan, dan sebuah mortir tiba-tiba mendarat dekat mereka, meledak, dan tewaslah mereka seketika. Hans, si indo juga berusaha menghalau Jepang sekuat tenaga. Sayang, ia harus angkat tangan dan menjadi tawanan Jepang. Kapten Jaap sebagai pemimpin pasukan meminta pasukannya terus melepaskan tembakan. Dari atas benteng ia juga melepaskan tembakan sampai akhirnya pelurunya habis. Kapten Jaap segera mencari senjata dari anak buahnya yang sudah tewas, dan terus melancarkan serangan. Sayang saat seperti itu tiba-tiba ada sebuah granat mengarah padanya, meledak, dan ia pun tewas.
Joris dan Oey yang berada di garis pertahanan terakhir juga tidak mampu menghalau. Mereka berusaha lari. Sayang, keduanya tertangkap dan menjadi tawanan Jepang. Malam harinya Lembang berhasil dikuasai, dan kini Jepang mengarahkan perhatian ke Bandung.
***
8 Maret 1942 akhirnya Hindia-Belanda menyerah pada Jepang di Kalijati. Seketika itu pula Hindia-Belanda runtuh. Setelah penyerahan itu tentara KNIL yang ada diminta menyerah dan melepaskan senjata.
Bandung setelahnya mulai dimasuki tentara Jepang yang disambut meriah para penduduk pribumi. Tentara Jepang berupaya mencari orang-orang Eropa untuk ditawan. Saat memasuki rumah Joris, terjadi perlawanan dari Petra karena tentara Jepang berusaha memerkosanya. Mevrouw Anne berusaha menolong sayang ia pun malah ditembak.
Saat Petra melawan itu, datanglah seorang perwira Jepang berpangkat letnan kolonel yang segera mencegah dengan menampar para tentara tersebut. Ia lalu menyuruh mereka keluar. Kini tinggal Petra sendiri yang menangisi jenazah ibunya.