Dia berteriak sangat kencang menembus tembok sampai yang di luar rumah pun harus merelakan kupingnya terbuka lebar. Teriakannya itu pun mengalahkan sound horeg sehingga sangat menganggu dan menyiksa bagi yang mau tidak mau harus mendengarnya. Beberapa orang yang melewati rumah tempat asal teriakan itu sering memasang muka sewot, jutek, cemberut, dan dengan gestur menutup telinga. Sebuah polusi suara yang sering tercipta. Tidak mengenal detik, menit, jam. Setiap hari selalu ada teriakan.
Bagi yang sudah terbiasa, akan menganggap itu adalah nada musikal paling indah sepanjang masa yang pernah didengar. Kekuatannya yang lebih dari 125 desibel itu sudah menjadi makanan sehari-hari dan sebuah nutrisi penting bagi telinga. Tak mengherankan, jika telinga terus-menerus bergoyang. Tak pernah ada lagi atau juga tidak terpikir rasa sakit yang ditimbulkan karena semuanya begitu hampa.
Akan tetapi, kalau yang sebaliknya. Ya akan mencak-mencak, marah tak keruan, mengutuk dengan sumpah serapah sampai membawa nama Tuhan dan kebun binatang,
"Demi Tuhan, tenggorokan kamu saya kutuk jadi hancur biar kamu nggak bisa teriak, anjing!"
Nah, seperti itulah kalau ada yang mengutuk seolah-olah ia punya daya magis untuk melakukannya dengan membawa nama Sang Pencipta. Sayang, itu juga tidak ada gunanya. Karena ia akan terus berteriak dan berteriak. Jadi, kalau yang sudah maklum dan mafhum, cukup terima saja, dan jika lewat pakai headset bulu tebal biar teriakan tidak menjamah telinga.
Siapakah yang berteriak itu?
Orang-orang yang sangat-sangat tahu akan menyebut nama Agus. Seorang lelaki berumur 40-an yang lahir di bulan Agustus tepat saat 17-an. Seharusnya ia menjadi orang yang istimewa karena lahir tepat saat perayaan ulang tahun negara. Jarang-jarang ada orang yang seperti itu. Namun entah, sesuatu yang istimewa itu seketika luntur dengan teriakan mega tersebut.
Agus yang terus berteriak dari ranjang tidurnya disebut oleh orang-orang yang mengenalnya seperti kerasukan melihat sesuatu. Ia teriak dengan nada ketakutan, mata melotot lalu tubuh gemetar dan berkeringat dingin. Ia selalu menarik selimutnya untuk menutupi dirinya saat berteriak. Tentu bagi yang melihatnya akan merasa janggal dengan kelakuan ini.
Entah apa sesuatu yang dilihat itu? Agus cuma bilang itu seperti bayangan yang sangat besar. Ia sendiri juga tidak berkata dengan jelas karena teriakannya selalu mendominasi. Ya, mungkin, karena itu, keluarganya di awal-awal sering memanggil orang pintar dan ustad, dengan harapan Agus bisa normal. Tidak teriak-teriak lagi.
Oleh orang pintar ia dikomat-kamit, disemburkan air lalu pernah juga dibuat sebuah upacara besar dengan mempersembahkan sesajen diiringi dengan tarian dan kidung-kidung pengusir jiwa-jiwa halus yang membuat si orang pintar malah kerasukan dan memukul serta menendang dirinya sendiri, para asistennya, dan orang-orang di sekitar. Orang-orang pintar ini cukup kewalahan menghadapi teriakan Agus itu. Sebab, teriakan Agus itu seperti hendak menyasar ke sesuatu putih namun besar. Akan tetapi, siapa sesuatu itu? Ternyata, sangat samar. Mereka menyerah, dan kapok karena belum pernah menghadapi kekuatan besar seperti ini bagaikan tembok besar dan tinggi.
Karena orang-orang pintar tak punya daya, lalu didatangkanlah ustad-ustad yang terlihat simpel karena cukup dengan membaca ayat-ayat suci dan Agus diminumkan air. Akan tetapi, kondisinya sama saja. Para ustad ini ternyata tidak sanggup melawan teriakan Agus yang terus mengarah ke sosok seperti yang dilihat orang-orang pintar. Ada sesosok besar bayangan putih, berkulit putih, bermata biru, berhidung mancur, dan berambut pirang. Sosok itu bahkan mengeluarkan sebuah nada ancaman,
"Kowe, inlander, sebaiknya jangan ikut campur!"
Begitulah yang sering didengar para ustad yang menangani teriakan si Agus. Sosok itu seperti punya kuasa atas si Agus sehingga Agus harus terus berteriak. Para ustad ini pun mundur daripada harus menerima konsekuensi cukup berat karena sosok putih besar itu bisa mendatangkan bala tentara untuk menyerang mereka di waktu malam, dan mereka kebal terhadap lantunan ayat suci.
Sebab dari orang pintar dan ustad tak mampu mengatasi, orang tua Agus akhirnya membawanya ke dokter. Sebenarnya, orang tuanya cukup segan membawa ke dokter karena lebih percaya pada orang pintar dan ustad daripada dokter yang bagi mereka terkesan seperti pejabat dan menjaga jarak. Apalagi salah satu kerabat Agus ada yang trauma dengan dokter karena kata-katanya dianggap mengancam. Karena itulah, awalnya salah satu kerabat itu cukup berat hati membawa Agus ke dokter. Tapi, demi Agus sembuh dan normal, mau tidak mau harus dilakukan.
Apakah hasilnya malah baik?
Sayangnya, tidak. Dokter malah memvonis Agus terkena gangguan jiwa sehingga harus dibawa ke psikiater dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Terang saja mereka menolak dengan marah-marah.
"Dok, jangan sembarangan dong ke anak saya" kata ayah Agus dengan nada penuh emosi ke dokter, "Anak saya kok dibilang sakit jiwa? Dia kan cuma teriak, Dok?"
Si dokter yang diserbu dengan ungkapan emosi itu, cuma berkata,
"Saya berdasarkan apa yang saya lihat dan analisis," kata dokter sembari melihat hasil analisisnya, "Kalau berdasarkan analisis ya, anak Anda memang sedang ada gangguan jiwa"
"Ah, nggak benar nih!" ujar si ayah Agus masih tak percaya. Ibu si Agus yang tadi di sampingnya berusaha menenangkannya.
Si dokter yang melihat si ayah Agus emosian lalu berkata pelan untuk menenangkan,
"Jangan emosian, Pak," Ia lalu melihat kondisi Agus yang masih berteriak kencang di ruangannya hingga menembus tembok, dan membuat orang-orang di luar tembok terus berjoget telinganya.
"Saya sebenarnya ada solusinya," kata si dokter kemudian memberikan semacam harapan. Mendengar itu, ayah dan ibu Agus langsung membesar matanya.
"Apa solusinya, Dok?" tanya ayah Agus tidak sabaran, "Bukan rumah sakit jiwa, kan?"
"Bukan" si dokter lalu tersenyum. Ia tampak mempermainkan emosi orang tua Agus yang harap-harap cemas menunggu.
"Cukup mudah sebenarnya," kata dokter dengan nada pelan lalu mulai memberikan sebuah solusi yang harus dilakukan oleh orang tua Agus. Ia berkata pelan namun menekan,
"Bawa dia kembali ke rumah putih besar itu karena dia teriak sehabis dari rumah putih besar itu. Pertemukan dia dengan sosok putih besar yang sering ia lihat,"
***
Aku jujur tidak mengerti mengapa aku harus selalu berteriak kencang setiap hari tanpa kenal lelah. Ini jujur bukan mauku. Aku orangnya tidak suka berteriak-teriak karena itu bisa mengganggu ketenangan dan merusak kesehatan bagiku dan orang lain. Tapi ternyata diriku menyuruh aku teriak karena ia yang selalu mengikutiku ke manapun aku melangkah. Dan, itu adalah bayangan. Bayangan yang cukup besar. Mengalahkan bayanganku sendiri bahkan dia malah diinjak-injak oleh bayangan itu. Membuat aku berteriak. Aku tidak suka pantulan diriku diperlakukan seperti itu. Bayanganku itu sedari kecil selalu bersamaku bahkan saat ke kamar mandi. Dia tahu segala macam perilakuku. Jadi, wajar, aku bersahabat dengan bayanganku. Karena ketika dia diinjak-injak hati mana yang tidak pedih.
Aku ingin melawan bayangan besar itu. Tapi, ternyata tidak bisa. Dia selalu membayangiku. Membuatku tidak nyaman dan tersiksa. Kamu tahu kan rasanya? Ibarat mau mengerjakan apa pun tidak bisa leluasa dan tidak bisa merasakan kenikmatan. Aku benar-benar tidak menyangka akan mengalami hal seperti ini. Hal yang menurutku aneh, dan tidak masuk akal.
Jika malam tiba, bayangan itu akan berubah menjadi sosok putih besar dan tinggi, dengan muka putih, hidung mancung, mata biru, dan rambut pirang lalu tersenyum jahat dengan gigi-gigi tajam yang berderet layaknya drakula yang bersiap mengisap darahku. Aku tentu saja ketakutan dan berteriak kencang. Jika sudah begitu, ia senang bukan kepalang. Aku dianggap seperti mainan.
Aku sebenarnya ingin bilang sosok itu dengan lengkap tetapi mulut ini selalu teriak tidak memberikan kesempatan untuk bicara. Aku merasa mulutku ditutup dan disumpal. Aku tidak ingat persis darimana semua ini berasal tapi sepertinya dari rumah besar putih seperti yang dikatakan dokter. Rumah itu rumah temanku. Namanya Adrian. Ia punya perawakan tinggi putih seperti orang-orang blasteran. Ya, dia sendiri punya darah Belanda dari keluarga bapaknya. Disebut ia adalah keturunan seorang tuan tanah Belanda bernama Van Polen, yang jika dirunut ternyata seorang tuan tanah yang kejam karena gemar menindas rakyat jelata melalui pajak dan menyerbu orang-orang yang menentangnya di malam hari terutama dari kaum santri. Semua itu tentu saja di zaman Belanda.
"Berarti kejam ya juga leluhur lo," kataku ketika di rumah Adrian. Aku pandang rumah besar gedongan itu dengan terkesima seperti halnya anak udik yang baru kali pertama main ke kota.
"Kok lo mau ya punya leluhur kejam?" tanyaku lagi dengan terkekeh tanpa disadari. Adrian yang aku tanya begitu tampak menunjukkan raut yang tidak suka juga tersinggung.
"Itu bukan mau gue! Gue kan cuma keturunan dia. Lagian itu kan udah masa lalu. Leluhur gue udah balik ke Belanda. Mati di sana. Di sini cuma ada gue dan keluarga gue. Gue lagian blasteran. Lo taulah warna kulit gue cuma jadi cemoohan kalo dia masih ada,"
Aku yang mendengar reaksinya yang cukup emosional lantas meminta maaf,
"Sori, Bro. Gue nggak bermaksud nyinggung lo," kataku dengan rasa tidak enak.
Dia lalu menatapku tajam. Setajam pisau yang baru diasah.
"Bro, Lo mau tau nggak rasanya dihantui leluhur gue? Anggap aja dia belum mati, dia terus ngikutin lo, ngebayangin lo, dan makan lo!"
"Apaan sih, lo? Kok kaya cerita horor aja!" ujarku tidak percaya dengan perkataannya yang malah menakuti-nakuti.
"Beneran," kata Adrian kembali menatap tajam dan berkata dengan nada yang horor, "Dia akan mengikuti lo, ngebayangin lo mulu!"
Tiba-tiba dari belakang Adrian aku melihat sesosok besar berbadan tinggi, memakai baju putih mandor, mengenakan topi bundar, bermata biru, hidung mancung, dan tersenyum jahat sembari mengisap pipa. Sosok itu sama persis dengan sosok dalam foto besar dan panjang yang dipajang di tengah ruangan. Ia digambarkan seperti seorang patriot dengan memegang pedang di tangan kanan yang disilangkan di dada. Tangan kirinya mengepal. Kaki kanannya ditopang di atas bangku dan kirinya tegak. Aku yang melihat itu lantas lari tunggang-langgang keluar dari rumah. Tak peduli lagi apa yang kuinjak.
Dalam kondisi aku sering diikuti dan dihantui bayangan itu, aku sering melihat dalam mimpiku ada seorang wanita tinggi kulit putih dengan muka blasteran memakai kebaya. Aku merasa mengenal wanita ini apalagi saat bertutur kata,
"Kamu nggak perlu takut, Agus," kata wanita itu dengan pelan dan lembut, "Itu cuma bayangan kok. Kamu harus lawan dia ya! Jangan sampai kamu kalah. Ini kan tanah kamu. Bukan tanah dia. Tante aja udah ikhlas, dan sudah jadi bagian di sini, kan? Jadi, lawan ya!" Selalu ia memberi motivasi agar aku kuat menghadapi cobaan dan tekanan dari bayangan itu. Akan tetapi, aku heran dan bertanya-tanya soal kata 'tante' yang digunakan. Apa berarti ia mengenalku?
***
"Agus, maafin gue ya!" ujar Adrian dengan terenyuh kepada Agus saat keduanya bertemu di sebuah rumah putih besar, bangunan muasal Agus sering berteriak kencang. Orang tua Agus, atas saran dokter, memutuskan membawa ke rumah putih besar itu sebagai sebuah solusi untuk menyembuhkan.
"Gara-gara gue lo teriak," Ia lalu memeluk Agus dengan hangat. Agus yang diberikan ucapan maaf dan dipeluk tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang plong dalam dirinya. Ia tidak ingin teriak lagi, dan bayangan yang menghantuinya hilang tanpa bekas. Ketika ia menyadari ada Adrian yang memeluknya, ia merasa heran.
"Bro, kenapa, bro?" tanya Agus setelahnya. Ia lalu melihat sekelilingnya yang kini ada di dalam sebuah rumah putih besar. Di situ ada ayah dan ibunya, Adrian, dan Tante Marianne. Sosok ini Agus seperti melihatnya dalam mimpi. Mukanya begitu mirip. Tapi, ia juga merasakan kesamaran.
"Sudah, baikannya?" tanya Tante Marianne dengan senyum kepada mereka berdua. Ia lalu menatap ayah dan ibu Agus, dan berkata:
"Tolong maafkan anak saya yang sudah membuat anak bapak dan ibu ketakutan. Sekali lagi, saya minta maaf!" Ia menghaturkan tangan dengan gestur maaf ke mereka yang disambut dengan dengan terbuka. Tante Marianne lalu menatap Agus kembali,
"Agus, Adrian jadi merasa bersalah karena menakuti kamu banget. Dia nggak ada maksud sebenarnya seperti itu. Dia tersinggung karena kamu dianggap mengejek leluhurnya. Tapi, setelah itu, Adrian katanya juga selalu dihantui bayangan orang kecil dengan bambu runcing dan keris hingga tidak bisa tidur dalam beberapa hari. Tante cuma bilang kalau itu setimpal"
Agus yang mendengar itu langsung mengarah ke Adrian. Dengan rasa tidak percaya, ia bertanya:
"Benar, bro?"
Adrian cuma mengangguk.
"Maafin gue juga ya, bro!"
Mereka kembali berpelukan dengan haru. Kini semua menjadi lega, dan keadaan seperti sediakala. Sejak itu, kejadian itu perlahan dilupakan selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar