Selalu saja itu terjadi. Berulang-ulang kali meski masa sudah lewat
dan terbenam. Sebuah pengulangan yang manusia pun, sadar atau tidak akan selalu
mengalaminya. Sebuah pengulangan yang memang telah Tuhan ciptakan supaya
manusia itu bisa mempelajarinya walau dalam kenyatannya tidak, dan bahkan tidak
sama sekali. Sebuah pengulangan yang selalu didengung-dengungkan oleh mereka
yang memanfaatkan pengulangan sebagai suatu hal yang menonjol ketika
memunculkan dirinya di dalam masyarakat. Sebuah pengulangan yang akan terus
beranak-pinak.
Awalnya, aku tidak menyukai hal ini. Bagiku pengulangan atau
repetisi adalah sebuah hal yang memboroskan hal. Memboroskan tempat dan juga
rasa. Sesuatu yang bagiku buang-buang waktu karena toh apa yang telah diulang
adalah semua yang sudah berlalu. Berlalu karena telah terjadi pada masa yang
telah lama. Pada masa yang mungkin aku sendiri tidak ada atau ada. Masa yang
seharusnya dilupakan karena di depan akan muncul sebuah masa lagi.
Aku berusaha menghindari setiap repetisi itu. Ketika menulis sebuah
kalimat, aku hilangkan yang berbau repetisi. Ketika menggambar, aku berusaha
untuk tidak menggambar seperti orang kebanyakan, menggambar orang atau
pemandangan, dan ketika memotret, aku berusaha untuk tidak memotret yang
seperti kebanyakan orang lakukan. Aku berusaha menciptakan sesuatu yang
berbeda. Sesuatu tanpa repetisi. Sesuatu yang menurutku akan istimewa.
Tetapi, setiap kali kucoba melakukan hal itu, selalu aku tak bisa.
Terbentur pada kenyataan bahwa repetisi itu perlu. Dan menjadi penegas, tanpa
repetisi kehidupan tidak akan ada.
“Matahari ada di siang hari. Bulan ada di malam hari. Bukannya itu
sebuah repetisi, kawan?” tanya Aldi, temanku, “Dan bumi berputar berulang-ulang
bukannya itu sebuah repetisi. Jadi, kehidupan mana ada kalau tanpa repetisi?”
“Bukannya itu takdir?” tanyaku seakan-akan aku menolak anggapan
dari kenyataan bahwa itu adalah sesuatu yang harus diulang-ulang.
“Itu memang takdir,” katanya lagi, “Tetapi, takdir itu selalu
datang berulang-ulang dan itu adalah repetisi. Bagaimana kau sendiri bisa
menghindari repetisi kalau nyatanya ia ada di sekitar kita?”
Aku lalu berpikir. Sepertinya ada benarnya juga apa yang dikatakan
Aldi. Tentang matahari yang bersinar di siang hari dan bulan di malam hari dan
keduanya berpindah tempat dan waktu dan terus dilakukan berulang-ulang. Namun
aku merasa belum puas dengan jawaban Aldi. Apa harus demikian sebuah repetisi
sehingga ia menjadi penting?
Aku tanyakan lagi pada temanku yang lain. Namanya Andini. Mungkin
ia bisa membantuku setidaknya mengenai repetisi yang ingin selalu aku hindari.
“Maaf, Galih,” kata Andini menatapku dengan serius, “Kamu tidak
akan bisa menghindari repetisi sebab repetisi itu seperti sebuah takdir kuasa
dari Sang Pencipta. IA sengaja ciptakan repetisi karena IA tahu pasti manusia
ciptaannya akan selalu melakukan hal yang berulang-ulang sampai dunia ini
kiamat,”
“Sebegitukah sampai kamu mengatakan bahwa repetisi adalah sesuatu
yang menurutku absolut?” tanyaku mencoba menyanggah apa yang ia utarakan.
“Aku tidak mengatakannya absolut, Galih,” kata Andini mencoba
membela dirinya, “Yang bilang itu kan kamu. Aku hanya mengatakan bahwa repetisi
itu aku ibaratkan sebagai takdir dan padahal dalam takdir saja ada takdir yang
pasti dan tidak pasti,”
“Itu berarti repetisi itu tidak absolut kan?” tanyaku lagi seperti
meminta kepastian.
“Ini bukan masalah absolut atau tidak absolut, Galih,” kata Andini
berusaha mencari kata penengah, “Tetapi, bagaimana dirimu sendiri memahami apa
itu repetisi,”
Baiklah, itu yang kudapatkan dari Andini, yang mengatakan bahwa
repetisi itu seperti takdir. Sesuatu yang datang dari Tuhan dan sudah menjadi
sesuatu yang azali. Sesuatu yang harus manusia menjalankannya. Hanya saja aku
masih belum puas dengan jawaban itu karena Andini tidak memberikan secara pasti
jawaban yang gamblang bagaimana aku menghindari repetisi.
Kembali kutanyakan hal itu pada temanku yang kuanggap lebih pintar
dan semoga saja ia bisa memberikan jawaban. Jawaban yang benar-benar kubutuhkan
dari sebuah tanya yang terus menggelayuti diriku: bagaimana caranya aku
menghindari repetisi? Aku seperti menganggap repetisi itu adalah gangguan,
hantu, atau juga ganjalan ketika aku melakukan sesuatu.
Sebut saja nama temanku itu Iskandar Zulkarnaen. Namanya
mengingatkanku pada sosok raja dari Makedonia yang telah menguasai dunia dari
Yunani hingga Persia ketika ia masih berumur 30 tahun. Keberhasilan yang
kemudian diangkat dalam sejarah kehidupan manusia. Sebuah catatan atas prestasi
yang agung.
“Bagaimana pun caranya, kau tetap tidak akan bisa,” kata Iskandar
kepadakun saat aku menemuinya di sebuah perpustakaan pribadinya, yang berada di
dalam rumahnya. Perpustakaan yang berisikan banyak buku. Sejarah, filsafat,
agama, dan sastra mendominasi. Aku agak kagum dengan dirinya. Tetapi, ia selalu
ingin biasa-biasa saja dan tanpa harus ada sanjungan karena baginya sanjungan,
terutama yang berlebihan, bisa melemahkan dan melenakan orang itu sendiri
hingga jatuh ke titik yang terendah.
“Repetisi adalah sebuah garis takdir yang Tuhan telah ciptakan dan
garis takdir itu mau tidak mau harus dijalankan. Kalau kau berusaha
menghindarinya itu sama saja kau mengingkari nikmatNya sehingga dirimu lupa
karena tidak mempelajari adanya repetisi,”
Aku terdiam mendengar ucapannya yang seperti setengah berkhutbah
ala para penceramah di tempat-tempat ibadah. Aku ingin menyanggah tetapi aku
bingung dan tidak tahu menyanggah dengan cara seperti apa.
“Logikanya adalah seperti seseorang yang menolak sesuatu yang ia
tidak suka. Akan tetapi sesuatu yang tidak ia suka itu akan muncul kembali, dan
karena mendesak, mau tidak mau ia harus menerimanya,”
“Itu berarti repetisi memaksa?” tanyaku yang akhirnya keluar
sanggahan sebuah tanya yang menurutku pantas untuk ditanyakan.
“Bukan memaksa,” kata Iskandar kemudian tertawa kecil, “Coba deh
kau benahi pikiranmu sekarang dan coba interpretasikan baik-baik setiap
ungkapan yang datang. Aku selalu memperhatikan kalau kau selalu cepat
menanggapi tetapi dengan misinterpretasi. Aku rasa itu kelemahanmu,”
Aku terdiam dan mulai menyadari kelemahanku. Apa yang dikatakannya
memang benar. Bahwa selama ini aku selalu seperti ini. Salah interpretasi dari
setiap apa yang kusanggah.
“Sekali lagi bukan maksudku memaksa,” kata Iskandar kembali, “Hanya
itu adalah sesuatu yang pasti kau akan temui. Contohnya, kematian. Setiap
manusia di dunia ini pasti akan menemui kematian kan? Dan kematian itu ada
setelah adanya kehidupan. Jadi, ada yang hidup dan ada yang mati. Selalu
berulang dan berulang tanpa kita sadari bahwa itu adalah repetisi,”
“Jadi intinya aku benar-benar tidak bisa menghindari repetisi?”
tanyaku pada sebuah kesimpulan akan jawaban yang ingin aku dapatkan.
“Tidak bisa, Galih,” kata Iskandar, “Kau pasti akan selalu
melakukan sesuatu yang bersifat repetisi. Pernah mendengar ungkapan “Sejarah
selalu berulang”?”
Aku jawab singkat,
“Iya,”
“Tahu kan makna dari ungkapan itu?” tanya Iskandar lagi sambil
berusaha memancing diriku.
“Tahu,” jawabku.
“Coba renungkan,” ujarnya.
Aku lalu merenung mengenai ungkapan itu. Ungkapan yang berasal dari
bahasa Perancis “L’histoire se repete”. Ungkapan yang ingin mengungkapkan bahwa
segala sesuatunya pasti berulang entah dari zaman apa pun berasal. Ungkapan
yang mengungkapkan bahwa manusia seharusnya belajar dengan apa yang terjadi di
masa lalu dan sekarang untuk masa ke depannya. Tapi, dalam perjalanannya selalu
manusia melupakannya.
“Itu intinya, Galih,” kata Iskandar, “Bahwa segala sesuatu, baik
atau buruk, pasti akan berulang dan berulang dan sekali lagi manusia harus
terus diingatkan untuk belajar dan ungkapan untuk belajar selalu bergaung dari
masa yang sudah silam,”
“Dan namamu Iskandar Zulkarnaen itu berarti juga sebuah
pengulangan?” tanyaku kembali padanya akan nama yang sepertinya orang-orang
menyukainya.
“Betul,” katanya tersenyum, “Karena nama Iskandar Zulkarnaen
bukanlah nama sembarangan. Orangtuaku pun telah memilihnya dengan penuh
pertimbangan dengan harapan agar aku bisa menjadi Iskandar Zulkarnaen,”
“Menaklukkan dunia?”
“Iya, tetapi dengan buku, sebab buku itu adalah jendela dunia dan
itu adalah pernyataan yang selalu diulang-ulang,”
“Iya, aku mengerti,”
“Kalau kau mengerti baguslah. Berarti kau sudah paham seharusnya
bahwa dalam kehidupan selalu ada yang namanya repetisi dan itu tidak bisa
dihindari,”
Begitulah. Pembicaraan dengan Iskandar Zulkarnaen akhirnya
membuatku paham bahwa hidupku, hidupnya, dan hidup semua orang akan penuh
dengan repetisi. Repetisi yang kadang terlihat dan terlihat. Disadari dan tidak
disadari. Dirasa dan tidak dirasa. Disukai dan tidak disukai. Disanjung dan juga
dicacimaki. Sebab, repetisi, bagaimanapun seperti sebuah jalur lurus yang
bersamaan dengan takdir. Seperti teman yang selalu setia menemani.
Dan repetisi itu membuat diriku menjadi menyukainya. Apalagi dalam
menuliskan sebuah kalimat. Ada rasa keindahan yang terpancar di dalamnya
jikalau itu bisa terangkai dengan apik dan padu seperti sebuah rel kereta api
yang memanjang lurus sehingga menjadi sesuatu yang nikmat bagi para pereguk
kata ketika melihatnya. Kutegaskan, bahwa aku menyukai repetisi dan repetisi
itu indah.
PENGEN DAPAT JUTAAN?
BalasHapusYUK LANSUNG AJA KE ZEUSOLA!
Hanya Dengan Deposit Pulsa, Gopay & OVO Sudah Bisa Bermain Dan Meraih Keuntungan Yang Besar Jutaan Rupiah Hingga Sepeda Motor !
Tunggu Apalagi Segera Daftar Dan Bermain Di Zeusbola!
Jangan Lewatkan Jackpot Anda!
INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
WHATSAPP :+62 822-7710-4607