Tujuh tahun silam, saya mengambil kuliah di sebuah perguruan tinggi
terkenal di Indonesia. Nama perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia.
Lalu jurusan yang saya ambil adalah Sastra Belanda (sekarang Program Studi
Belanda). Kalau melihat dari nama belakangnya, jelas orang sudah tahu bahwa itu
adalah sebuah negara yang cukup lama mempunyai kaitan erat secara historis
dengan Indonesia. Ketika saya masuk ke jurusan itu, nyatanya bukan hanya
bahasanya saja yang saya pelajari, tetapi juga kebudayaan dan sastranya. Khusus
mengenai sastranya, Belanda memproklamasikan bahwa sastra mereka sama dengan
kondisi masyarakat mereka sekarang ini: majemuk dan pluralis. Hal itu
dikarenakan banyaknya para penulis dari luar “negeri kincir angin” tersebut,
yang kebanyakan para imigran. Istilah untuk mereka adalah
immigrantenliteratuur. Sebut saja Kader Abdollah, Lulu Wang, Abdelkader Benali,
dan Mustafa Stitou adalah contoh-contoh para penulis imigran yang berhasil
eksis di Belanda. Keberadaan mereka jelas membuat situasi yang berubah dalam
dunia sastra Belanda, terutama dalam hal penceritaan, bahasa, dan pembawaan
budaya dari negeri asal. Dari penceritaan, tentu saja berpusat pada sesuatu
yang berasal dari penulis itu sendiri mengenai keberadaannya di tempat baru.
Ini berkorelasi langsung dengan pembawaan budaya yang terkadang malah kontras
satu sama lain. Dalam bahasa, bahasa para penulis imigran itu lebih gampang
dimengerti, simpel, dan tidak bertele-tele. Berbeda dengan penulis asli Belanda
yang gemar berbahasa panjang dan membuat pembacanya mengerutkan dahi tanda tak
mengerti.
Nah, kalau Belanda begitu bangga mengatakan adanya unsur multikultularisme
dalam sastranya, bagaimana dengan negara bekas jajahannya, Indonesia?
***
Berbicara mengenai sastra Indonesia, sejujurnya pikiran saya tidak
bisa dilepaskan dari yang namanya Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, Robohnya
Surau Kami, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Yang demikian itu sering
dijadikan bacaan wajib bagi para siswa terutama saat pelajaran bahasa
Indonesia. Biasanya dalam pelajaran itu para siswa disuruh mengapresiasi karya-karya
itu yang kebanyakan dalam bentuk hafalan dan bukan menuliskan suatu kritik
mengenai karya-karya tersebut.
Itulah yang masih tertanam dalam pikiran saya dan itu akhirnya
berubah ketika saya di bangku kuliah. Bahwa sastra bukanlah hafalan seperti
halnya sejarah. Sastra adalah bagian dari kebudayaan yang harus diapresiasi
serta mempunyai nilai yang subjektif jika itu bersinggungan langsung dengan
penulisnya. Dan akan menjadi objektif jika ia kemudian dimasukkan dalam tataran
ilmiah.
Memang antara sastra dan sejarah, seringkali orang merasa rancu di
antara keduanya. Tidak juga bisa dihindari bahwa keduanya saling berhubungan.
Sebab pada awal kemunculan budaya tulis-menulis, mengisahkan sesuatu yang
bersejarah akan dilakukan dengan cara bersastra, seperti berpantun atau
berhikayat.
Keterkaitan antara sastra dan sejarah juga berhubungan dengan sifat
multikultural dalam sastra Indonesia itu sendiri. Multikultural dalam sastra
Indonesia itu sendiri muncul akibat kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk
dan pluralis karena terdiri dari banyak suku bangsa, agama, kepercayaan, etnis,
dan juga pulau-pulau. Multikultural dalam sastra Indonesia terbilang unik sebab
merupakan perpaduan budaya antara Timur dan Barat yang kemudian berasimiliasi membentuk
budaya Indonesia. Namun, jauh sebelum munculnya budaya-budaya dari luar seperti
dari India, Arab, Cina, juga Eropa, keadaan sastra Indonesia sendiri sudah
cukup multikultural. Hal ini karena tiap suku bangsa yang ada mempunyai ciri
khas karya sastra masing-masing. Seperti Sure Galigo dalam sastra Bugis dan kakawin dalam sastra Jawa. Lalu budaya-budaya dari luar itu, termasuk
yang membawa agama menjadi pelengkap dan memperkaya khazanah sastra Indonesia
itu sendiri.
Sifat multikultural sastra Indonesia ketika memasuki awal sastra
modern tidaklah nampak dan hanya samar-samar, sebab pada masa, yang dalam terma
sejarah sastra Indonesia disebut sebagai zaman pujangga baru, kebanyakan yang
ditampilkan hanyalah permasalahan rumah tangga semata yang sifatnya normatif
dan hitam putih. Coba simak dalam Sitti Nurbaya atau karya sejenis yang
kebanyakan diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit yang berfungsi sebagai
corong propaganda Pemerintah Hindia-Belanda ketika itu. Sifat multikultural itu
justru ada pada terbitan di luar Balai Pustaka. Sebut saja Loe Fen Koei, Bunga
Roos dari Tjikembang, atau Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo. Jika
dilihat kebanyakan justru dari etnis Cina atau pribumi, tetapi yang menentang
feodalisme.
Barulah pada masa setelah kemerdekaan, multikulturalisme semakin
nampak. Balai Pustaka sebagai corong pemerintah kolonial tidak bisa lagi
memaksakan kehendaknya untuk membuat karya sastra yang hitam-putih dan manis.
Multikulturalisme itu ditandai dengan runtuhnya dominasi penulis dari Sumatera
Barat lalu bermunculanlah penulis-penulis dari luar Sumatera Barat, yang pada
masa zaman pujangga baru tidak dianggap sama sekali. Sebut saja Pramoedya
Ananta Toer, Sitor Situmorang, Putu Wijaya, dan sebagainya.
Dari
mereka-merekalah multikuluralisme itu muncul melalui kegelisahan-kegelisahan
yang mereka hadapi yang berkenaan dengan cara pandang mereka terhadap
kebudayaan asal mereka sendiri. Hal itu lalu dituangkan dalam bahasa Indonesia,
yang sudah disepakati sebagai bahasa nasional, namun dalam bahasa itu tak lupa
mereka memasukkan istilah-istilah dari daerahnya yang nyatanya berpengaruh
besar dalam kosakata bahasa Indonesia.
Multikulturalisme dalam sastra Indonesia semakin menjadi-menjadi
ketika memasuki era reformasi yang berlangsung hingga sekarang. Atas nama
kebebasan berekspresi, multikultralisme itu kemudian dituangkan dalam bentuk
apresiasi terhadap kelamin, sehingga melahirkan sastra kelamin yang dipelopori
Jenar Maesa Ayu dan Ayu Utami. Juga dalam bentuk roman sejarah, mengingat pada
masa orde baru banyak yang dipalsukan, dengan cara penulisan yang tidak biasa
alias terkesan tidak formal dan meledak-ledak. Hal demikian berpengaruh besar
pada situasi sastra Indonesia sekarang ini, terutama pada situasi sosial, yang
masyarakatnya tak perlu takut lagi mengutarakan sesuatu. Keadaan demikian
ditambah dengan pesatnya teknologi sehingga memudahkan penyampaian informasi
mengenai karya sastra sekarang yang akhirnya dapat dibaca, diserap, dan
diapresiasi dalam waktu singkat. Apalagi
penerbitan buku tak lagi terpusat di Jakarta, melainkan juga di luar Jakarta,
seperti Yogyakarta dan Bandung.
Hanya saja maraknya paham multikultural dalam dunia sastra
Indonesia sekarang ini tidak diimbangi dengan semakin membaiknya kuantitas dan
kualitas budaya baca di Indonesia yang masih rendah. Paham multikultural dalam
sastra Indonesia itu sendiri sebenarnya hendak memberikan sesuatu yang
mencerahkan, terutama pada era reformasi ini, yang sarat akan kebebasan
informasi. Apalagi selepas reformasi banyak persinggungan negatif terjadi, baik
antaretnis, agama, dan golongan. Mengacu pada pendapat Taufik Ismail, bahwa itu
disebabkan oleh rendahnya budaya baca di Indonesia, sehingga orang Indonesia
sendiri buta akan sejarahnya. Padahal jika mau mengapresiasi, minimal dengan
membaca, konflik-konflik yang terjadi sejatinya bisa diminimalisasi, dan mereka
tahu bahwa mereka hidup di lingkungan yang multikultural.
***
Sekarang bisa diketahui bahwa sejatinya sastra Indonesia adalah
sastra multikultural. Multikulturalnya tercipta secara alamiah, bukan buatan.
Multikultural dalam sastra Indonesia itu sendiri terjadi melalui asimilasi dan
akulturasi yang sifatnya positif, tidak seperti di negara-negara lain, contohnya Belanda yang mungkin terjadi melalui persinggungan negatif, terutama melalui
konflik dengan lingkungan sekitar. Bahkan karena sifatnya itu, sastra Indonesia
bisa menjadi acuan sastra dunia. Sayang, apresiasi yang kurang, terutama di lingkungan
sekolah, bisa menjadi penyebab utamanya. Apalagi kalau masih menyuruh siswa
membaca lagi karya-karya sastra yang sudah tidak lagi relevan. Inilah yang
masih harus diperbaiki.
PENGEN DAPAT JUTAAN?
BalasHapusYUK LANSUNG AJA KE ZEUSOLA!
Hanya Dengan Deposit Pulsa, Gopay & OVO Sudah Bisa Bermain Dan Meraih Keuntungan Yang Besar Jutaan Rupiah Hingga Sepeda Motor !
Tunggu Apalagi Segera Daftar Dan Bermain Di Zeusbola!
Jangan Lewatkan Jackpot Anda!
INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
WHATSAPP :+62 822-7710-4607