Langit terlihat cerah. Membiru. Meski matahari yang tengah
menggantung padanya bersinar agak tidak sekencang seperti siang tadi, namun
terangnya dirasa masih cukup untuk menyentuh sampai ke tiap titik kehidupan di
bawah yang nampak berdenyut kembali usai bersiesta berjamaah demi menikmati
indahnya istirahat siang.
Mobil terlihat satu-dua melintas. Juga sepeda dan sepeda motor. Di
trotoar orang-orang dengan nyamannya berjalan kaki tanpa perlu takut akan
kendaraan-kendaraan tersebut. Sesekali juga melintas mobil truk pengangkut
tentara dan juga mobil patroli keamanan. Ini seperti memperlihatkan sebuah
keadaan yang cukup darurat. Tetapi itulah yang tergambar di Bragaweg, Bandung
pada Agustus 1947. Pada pertengahan bulan tahun itu masih terjadi serangan
besar-besaran yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, yang masih mereka
sebut Hindia-Belanda. Bagi orang Belanda, serangan ini disebut sebagai aksi
polisionil dengan nama Operasi Produk, sedangkan bagi Indonesia ini adalah
sebuah agresi militer yang bertujuan memunculkan kembali kedudukan Belanda di
Indonesia dan mengancam kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan dua tahun
sebelumnya.
Dan di tengah hiruk-pikuk dan ketegangan itu, di Bragaweg yang
bercampur antara orang-orang Belanda dan pribumi, dan terlihat acuh tak acuh,
terdapatlah dua orang yang tengah berjalan kaki menuju ke sebuah restoran
penganan kecil bernama Het Snoephuis. Dua orang itu, Tarman dan Dirk, adalah
dua orang beda kebangsaan. Yang satu Indonesia dan satu Belanda. Mereka sepakat
ke Het Snoephuis untuk menikmati penganan kecil manis nan nikmat setelah
kemarin malam mengadakan janji sekaligus membicarakan sesuatu.
Setelah masuk dan memesan masing-masing menu, kedua-duanya duduk.
Di dalam restoran itu mereka merasakan kehangatan karena di luar udara sore
Bandung begitu dingin.
“Bagaimana keadaan bangsamu, Tarman?” tanya Dirk memulai
pembicaraan sambil mengeluarkan dua batang rokok dengan satu batang ditawarkan
kepada Tarman dan Tarman menerimanya. Dua-duanya lalu menyalakan korek dan
mulai mengisap. Tarman lalu menjawab dengan tenang setelah mengembus.
“Bangsaku baik-baik saja, Dirk,”
Mendengar itu, Dirk yang tadinya mengisap dan mengembus langsung
menanggapi dengan tatapan aneh,
“Baik-baik bagaimana?” tanya Dirk heran, “Lihat! Sudah digempur
habis-habisan begitu,”
“Tapi, itu kan bukan berarti kami habis,” kata Tarman, “Begrijp
jij?[1]”
Dirk tertawa-tawa. Ketika mereka sedang berbicara datanglah pesanan
mereka. Satu moorkoppen, satu bokkepootjes, satu tompoesjes, dan satu frambos.
Tampak empat hidangan itu begitu istimewa dan menggoda meski hanya penganan
kecil. Kedua-duanya segera mengambil dan menikmati penganan-penganan yang telah
diantar oleh seorang pelayan yang disebut dengan jongos.
“Kau lihat bangsamu lagi, Tarman,” kata Dirk sambil menunjuk ke
mata ke arah jongos yang baru saja mengantar pesanan mereka, “Apa itu pantas
untuk menjadi sebuah bangsa?”
“Kenapa kau melihat suatu bangsa dari pekerjaannya, Dirk?” tanya
Tarman sedikit tersinggung, “Pikiranmu benar-benar kolonial, jongen[2],”
“Wajar kalau pikiranku pikiran kolonial,” kata Dirk membela diri,
“Sebab aku dilahirkan di masa kolonial dan kau juga dan wajar kalau bangsa kami
hendak berdiri lagi di sini,”
“Tindakan bangsamu itu sudah mencederai hak asasi manusia di PBB,
jongen,”
“O,ya? PBB saja belum mengakui bangsamu,”
“Memang belum. Tapi, negara yang senasib-seperjuangan kami telah
mengakui kami. Ya kami tahu Eropa itu kan biangnya penjajah jadi sulit
mengakui,”
Mendengar kata itu, Dirk agak tersinggung. Ia potong bokkepootjesnya
dengan keras hingga piring berdenting. Beberapa orang melihat karenanya namun
mereka kembali seperti sedia kala. Melihat itu, Tarman hanya tersenyum. Ia tahu
Jan amat emosian sejak mereka berkenalan ketika sekolah di Technische
Hogeschool[3]
di Bandung.
“Santai lah, kawan,” kata Tarman, “Tapi itu memang fakta,”
“Zeg verdomme,”[4]
kata Dirk marah, “Kami ini bukan penjajah tetapi pemberi harapan terutama untuk
kalian, pribumi, yang sangat terbelakang,”
“Kalau kami terbelakang kenapa kami punya kebudayaan yang luhur?”
tanya Tarman kembali sambil menikmati moorkoppennya.
“Wat bedoel je?[5]”
tanya Dirk sambil meneguk frambos merahnya.
“Coba kau ke Leiden dan tanya para indolog di sana,”
Dirk tertawa-tawa mendengar kata itu,
“Kebudayaan kalian? Itu kan kami yang menemukan bukan kalian. Jadi,
kalian tetap terbelakang,”
“Hm...dasar kolot. Itu memang kalian yang menemukan tetapi itu
hanyalah sebuah kebetulan dan sebenarnya bisa saja kami yang menemukannya?”
“Lalu kenapa kalian tidak melakukannya?”
“Karena peraturan dari bangsamu yang melarangnya. Lihat saja
bangsamu saja melarang kami maju. Tapi, kami bersyukur karena dengan penemuan
kebudayaan kami yang luhur makin membuktikkan bahwa kami adalah bangsa yang
berperadaban maju dan sejajar dengan bangsa lainnya,”
“Wat een flauwekul!”[6]
ujar Dirk geram, “Bukankah bangsa kami sudah memberikan kesempatan kepada
kalian lewat idenya Deventer dan kalian hanya maju di masa lalu!”
“Idenya Deventer hanya sebatas pada beberapa golongan saja. Ya aku
bersyukur karena aku dari golongan bangsawan bisa mendapatkan tetapi yang bukan
itu bagaimana? Itu tandanya kalian takut dan masih takut kalau kami maju. Masa
lalu bagiku bukan masalah karena dari masa lalu kami belajar bahwa kami bisa,”
“Benar-benar susah menghadapi orang sepertimu, Tarman,” kata Dirk
yang nampak meminum kembali frambosnya lalu mengisap rokok.
“Susah apanya? Memangnya matematika?” tanya Tarman terkekeh, “Aku
hanya ingin menunjukkan bahwa bangsaku punya harga diri. Itu saja,”
“Harga diri sebagai bangsa terjajah, kan?”
“Bukan. Harga diri sebagai bangsa yang merdeka,”
“Ingat, Tarman, bangsamu belum merdeka karena kami masih menganggap
kalian adalah bagian dari kami,”
“Ya, itu menurut kalian,”
Keduanya lalu terdiam sambil memandang pemandangan di luar tokoh
yang nampak mulai ramai sementara beberapa ratusan kilometer jauhnya di
belakang gunung tengah terjadi pertempuran fisik.
“Apa kita ini tidak bisa hidup berdampingan, Tarman?” tanya Dirk
memecah keheningan.
“Oh, boleh saja asal tidak saling menganggu,” jawab Tarman lugas.
“Nah, kalau begitu mengapa bangsamu dan bangsaku tidak bergabung
saja membentuk sebuah uni?”
“Maaf, kawan, aku rasa itu bukan cara yang tepat. Yang kami
inginkan adalah merdeka, bevrijden, merdeka secara total,”
“Itu artinya kalian akan mengusir kami?”
“Tentu. Tapi, bangsamu boleh ke sini lagi hanya sebagai diplomat
atau turis,”
“Ah, tidak bisa. Aku inginnya tetap di sini dan kalian tetap bagian
dari kami,”
“Kalau kau ingin tetap di sini sebaiknya ganti kewarganegaraann
saja dan maaf tentang itu kalian bagian dari kami hanyalah sejarah sebentar
lagi,”
“Kenapa sih bangsamu ingin sekali merdeka dan lepas dari kami?”
“Ya dan kenapa bangsamu juga getol ingin terus menjajah kami?”
“Sebaiknya tidak perlu dijawab kalau begitu,”
“Baiklah,”
Keduanya lalu memakan kembali hidangan mereka hingga akhirnya
habis.
“Apa mungkin ini kita terakhir kalinya bertemu, kawan?” tanya Dirk
kemudian.
“Ya mungkin,” jawab Tarman.
“Bagaimana kalau kita suatu saat kembali bertemu tetapi di
pertempuran. Apa yang kau lakukan?”
“Aku akan bersikap profesional, kawan. Jikalau itu musuhku ya harus
kubunuh kecuali dia menyerah kalah dan minta ampun,”
“Jadi, kau akan tetap membunuhku meski kita ini berteman?”
“Ya, dengan catatan engkau telah berbuat keji,”
Dirk tertawa-tawa.
“Apa bisa?”
“Ya nanti kita lihat,”
Di luar tokoh senja telah berganti dengan malam tanpa terasa.
Lampu-lampu mulai bersinar sehingga menjadikan Bragaweg tampak bercahaya.
“Ada baiknya kita sudahi dulu pertemuan kita ini,” kata Dirk.
“Tentu,” kata Tarman, “Semoga tadi menyenangkan debatnya,”
“Ya, memang menyenangkan,”
Mereka berdua segera bangkit dari tempat duduk masing-masing lalu
mengarah ke kasir untuk membayar. Setelah itu di luar,
“Aku hanya berharap sebaiknya kau ke Belanda saja dan menjadi warga
negara kami,” kata Dirk.
“Terima kasih,” kata Tarman, “Tapi di sinilah tanah tumpah darahku,
kawan. Menjadi warga negara kalian itu hanyalah sebuah pengkhianatan kecil
tetapi besar dampaknya,”
“Terlalu patrotis dirimu,”
“Wajar. Karena aku sedang membela bangsaku yang tengah berjuang
mempertahankan kemerdekaannya,”
“Baiklah, kalau itu maumu. Sampai jumpa di lain waktu. Tot ziens,”[7]
“Tot ziens,”
Mereka berdua lalu berpisah. Berbeda alur. Namun keduanya tetap
menerobos keramaian Bragaweg yang begitu mempesona ditambah dengan dinginnya
udara malam di Bandung. Dan dua tahun kemudian, dalam sebuah pertempuran di
hutan dekat Yogyakarta, seorang prajurit melaporkan kepada atasannya mengenai
tertembaknya seorang prajurit Belanda yang terpisah dari rombongannya.
Sayangnya, ia sudah tewas. Si atasan segera menyuruh si prajurit mengubur namun
hatinya berkata kepadanya untuk ikut dalam penguburan itu. Ketika sampai di
lokasi, dilihatnya siapa prajurit Belanda yang tertembak itu. Terkejutlah ia.
Tarman mengenalnya. Itu adalah Dirk. Berkatalah Tarman dalam hatinya,
Ternyata benar apa yang kau ucapkan dulu. Tetapi kenapa harus
seperti ini. Sungguh aku tak menyangka,
Ia lalu berkata kepada para anak buahnya,
“Kuburkan ia dengan layak,”
“Baik, Pak!” kata para anak buahnya menuruti perintah.
Para anak buahnya segera menguburkan si prajurit itu dengan layak
dan kemudian ditandai dengan sebuah batu besar untuk nisannya. Selepas itu,
Tarman menyuruh anak buahnya meninggalkannya. Ia lalu berbicara kepada makam,
“Aku harap kau tenang di sana, kawan. Tiada dendam pada diriku,”
Tarman kemudian bangkit dan meninggalkan makam.
0 komentar:
Posting Komentar