Aku ingin teriak. Tapi
apakah teriakanku ini didengar? Terutama oleh mereka yang berhubungan
dengan diriku? Peduli setan, yang jelas aku ingin teriak. Teriak pada
ketidaknyamananku. Dan kenyamanan itu ada di dekatku. Paling dekat.
Setiap hari ia bersamaku. Dalam tiap menit, detik, jam, hari, minggu,
bulan, bahkan tahun. Bisa dibilang aku mengenalnya. Ya, bisa
dibilang. Walau terkadang dalam beberapa hal aku malah tidak
mengenalnya.
Baiklah, ketidaknyamanan
ini sudah aku rasakan semenjak aku mengenalnya. Tetapi, secara
pastinya aku tidak tahu. Yang jelas ia sudah ada di dekatku dan
selalu bersamaku. Bersama melewati hari-hari yang kadang kelam.
Kadang terang. Atau malah kadang bukan kedua-duanya. Pada awalnya
sih, aku enak-enak saja dengannya. Berkenalan secara perlahan walau
mungkin ada penolakan. Entah itu bisa di aku sendiri atau dirinya.
Tak ada ingatan pasti
dariku mengenai dirinya. Tapi, sejak awal aku sudah mengenal bahwa ia
selalu memberontak. Tidak mau mendengarkan orang yang dekat dengannya
dan selalu memaksa diriku untuk melakukan apa yang ia mau. Terutama
terhadap hal-hal yang bertentangan, yang Tuhan telah ajarkan padanya.
Mengenai itu aku jadi sedikit teringat ketika ada sesosok cahaya
besar menyuruhku untuk masuk ke sebuah sosok yang sedang diciptakan
dalam sebuah rahim. Sosok cahaya itu berkata kepadaku,
“Kau masuklah ke
dalamnya,” perintah sosok cahaya itu kepadaku. Pada saat itu sosok
yang ada dalam rahim itu hampir mendekati jadi.
Namun ketika melihat ke
sosok itu dengan meneropongnya, aku merasakan sesuatu yang tidak
menyenangkan. Sesuatu yang sepertinya akan menjadi bumerang bagi
diriku.
“Maaf, bukan hamba
menolak,” kataku menolak karena sosok itu benar-benar akan menjadi
sosok yang menyiksa diriku, “Tetapi, hamba tidak mau,”
“Apa kau berani menolak
perintahKu, wahai ciptaanKu yang hina?” tanyanya dengan nada yang
menggelegar. Mendengar itu aku bergetar dan ketakutan, “Masuklah
dan turuti perintah Tuhanmu!”
Aku yang dalam keadaan
seperti itu, segera menuruti perintah sesosok cahaya yang rupanya
adalah sang penciptaku sendiri. Yang mempunyai segala kuasa atas
diriku. Yang mempunyai lebih dari yang kupunya yang mungkin hanya
seujung rambut. Dia yang benar-benar membuat semuanya tunduk. Begitu
juga iblis.
Lalu masuklah aku.
Mendiami sosok itu seperti air yang mengisi suatu ruang. Lalu
terciptalah suatu nafas yang amat sangat dibutuhkan, nafas kehidupan.
Suatu nafas yang amat sangat vital.
Jepretan kamera itu tiada
henti menerpa dirinya. Jepret sana. Jepret sini. Kilatan itu seakan
memantul mengenai kulit putih yang mulus itu. Dan itu bagaikan kulit
yang tercambuk keras dan berulangkali. Rasanya tentu sakit. Sakit
sekali. Aku tentu sudah tidak tahan jika keadaannya seperti itu.
Ingin minta itu dihentikan. Tetapi, si pemilik kulit malah
kelihatannya asyik. Senyum-senyum saja. Mengikuti arahan sang
fotografer di sebuah studio foto itu. Dengan berpakaian semi terbuka,
maka semakin menjadilah serbuan kilat itu. Menyilaukan. Membuatku
geram dan ingin berteriak.
Kenapa kamu mau kulitmu
menjadi santapan kilat itu? Dinodai satu per satu dengan titik-titik
cahaya yang lekas tak berbekas? Lalu berpakaian dengan memperlihatkan
kulit indahmu yang mulus itu? Bukankan seharusnya itu menjadi
privasimu, wahai si pemilik kulit, Rini?
Ya Rini. Engkaulah si
pemilik kulit itu. Orang yang selalu bersamaku. Yang satu langkah,
satu kata, dan satu hati. Tetapi, sebenarnya bertentangan. Dalam
beberapa hal kau selalu menolak mentah-mentah saranku. Padahal,
saranku baik. Saran itu adalah titipan dari Sang Pencipta kepadaku
sesaat sebelum aku memasuki dirinya.
“Aku cuma meminta
kepada dirimu agar kau mengarahkannya baik-baik,” ujar Sang
Pencipta kepadaku.
“Tetapi, ia akan
melawan, wahai Engkau yang menciptakan diriku,” kataku yang
sepertinya ragu bahwa aku akan bisa mengarahkan ia seperti yang
diminta, “Ia akan melawanku,”
“Itu sudah sifat
alami,” kata Sang Pencipta, “Dan sudah menjadi tugasmu lah untuk
bisa setidaknya memberinya saran atau peringatan agar ia tak
terjerembab. Kemudian masuk ke nerakaku,”
“Hamba mengerti dan
akan melaksanakan,” ujarku yang mau tidak mau harus menuruti karena
itu adalah perintah nan sakral.
Tetapi, apa daya dan
seperti yang sudah kuperkirakan, Rini melawanku. Selalu aku
menyarankannya untuk tampil dengan pakaian sopan dan tidak mengundang
nafsu berahi lelaki, terutama lelaki hidung belang.
“Kamu pikir dirimu
siapa? Ulama? Ustad? Atau Tuhan? Tuhan aja nggak repot sama diriku.
Kok kamu repot? Suka-suka aku dong!”
Ketika aku berikan
penjelasan mengapa, ia malah balas menghardikku,
“Tergantung orangnya
dong. Sekarang zamannya kebebasan berekspresi. Mau-mau diriku dong!
Lagian kamu siapa aku sih? Pergi sana!”
Itulah yang setiap hari
aku lakukan. Sebisa dan semampu mungkin mengarahkan Rini menjadi yang
baik-baik. Penolakan-penolakan dari dirinya kepadaku sudah seperti
menjadi santapan sehari-hari. Seharusnya, aku sudah bisa tahu di mana
celahnya. Tetapi, sayang hingga hari ini aku belum dapat
menemukannya. Apalagi dalam penolakan-penolakan itu, selalu saja
iblis menghalangiku. Ia selalu tertawa-tawa.
“Sudah tak ada gunanya
kamu tiap hari mengarahkan dia,” ujarnya sambil berenang di dalam
aliran darah dalam tubuh Rini, “Kamu bukan siapa-siapanya dia
lagipula,”
“Memang menurutmu aku
bukan siapa-siapanya,” kataku seraya membela diri, “Tapi, Sang
Pencipta sudah titipkan tugas padaku untuk terus mengarahkannya
supaya ia tidak menemanimu,”
Iblis tertawa-tawa
mendengar ucapanku.
“Basi!” ujarnya,
“Percuma. Lagipula dia lebih senang mendengar diriku daripada
kamu!”
Kembali ia tertawa.
Jujur, tertawaannya itu membuatku membencinya. Tawa yang mengandung
kesombongan dan kesombongan itulah yang menyebabkan ia harus hengkang
dari surga karena menolak sujud kepada Adam.
“Kamu sebaiknya diam
saja dan mengendap,” ujarnya lagi mengejekku, “Abaikan saja
perintahNya. Selesai kan?”
“Selesai kalau memang
tugasku sudah seharusnya selesai,” ujarku membalas, “Tapi, ini
belum,”
Iblis tertawa-tawa
kembali dan kemudian lenyap entah kemana.
Sejujurnya, aku ingin
bertanya ini derita atau cobaan? Kalau memang derita, ada baiknya aku
pasrah. Tetapi, kalau cobaan sebaiknya tidak. Namun antara
kedua-duanya bisa jadi sama dan akan tertukar maknanya. Tapi,
sudahlah aku tak mau bermain pada tataran linguistik itu sebab aku
tak begitu memahaminya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku saat ini
berada di antara keduanya.
Aku merasa sebenarnya
sudah lelah menghadapi Rini. Mungkin bukan hanya lelah tetapi juga
menangis. Menangis teramat sedih. Menyaksikan tingkah lakunya dalam
cahaya yang berburam. Membiarkan dirinya dinodai oleh lawan jenisnya
lalu berteriak kesakitan dan mendesah. Ia lakukan itu berulangkali
dan itu membuatku merasa harus lepas darinya. Bagiku, mungkin itu
yang terbaik. Tetapi, Sang Pencipta menegurku,
“Tetaplah di situ
sampai aku putuskan kau sudah tidak bersama dirinya lagi. Janganlah
seperti Yunus,”
Dan teguran itu, mau
tidak mau, harus aku patuhi. Lalu kisah tentang Yunus. Yah, aku tahu
kisah itu. Kisah seorang nabi yang diutus Tuhan kepada suatu kaum.
Dengan tujuan agar kaum itu mau taat dan menyembah kepadaNya. Namun
kaum itu rupanya ogah dan keras kepala, maka menantang Yunus. Yunus
yang kesal dan putus asa lalu meninggalkan kaumnya sebelum datang
perintah dariNya. Ia pun hendak menuju ke tempat lain dengan
menumpang kapal. Tiba-tiba badai pun datang, dan kapal yang
ditumpanginya pun oleng. Yunus pun tenggelam. Seekor ikan besar
menelannya hidup-hidup. Ia sendiri tidak mengerti kenapa sebelum
akhirnya si ikan menjawab bahwa ia disuruh Tuhan menelannya karena
perilaku Yunus yang meninggalkan kaumnya. Yunus pun menyadari
kesalahannya. Kemudian Tuhan memerintahkan si ikan besar itu merapat
di pantai dan mengeluarkan Yunus dan Yunus akhirnya kembali kepada
kaumnya untuk berdakwah.
Aku memang bukan Yunus.
Dan aku juga bukan seorang nabi. Tapi, sepertinya Ia memandangku agar
jangan berperilaku seperti manusia pilihannya. Kemudian menunggu
komandonya kapan aku harus pergi. Sungguh, bagiku itu terasa lama
karena itu takkan pasti dan mendadak. Apalagi bagi diriku yang sudah
tidak betah bersama Rini yang makin lama mengawang-awang di dalam
dunianya dan melupakan diriku.
Rini, wanita itu, yang
sepertinya adalah bumerang bagiku. Bukan hanya bagiku. Tetapi juga
orangtuanya dan saudara-saudaranya. Orangtuanya berulangkali
menasehati, tetapi ia acuh. Saudara-saudaranya ia remehkan. Bahkan ia
menantang keras dan kerap terganggu dengan lingkungan keluarganya
yang religius. Selalu ia beralibi ini-itu jika disuruh berperilaku
religius, yang sebenarnya baik buat dirinya dan ia hanya seperti itu
ketika pada saat tertentu saja. Sampai-sampai aku menegurnya
sekaligus menyindirnya. Tetapi, selalu ia melawan dengan mengatakan,
“Eh, memang kamu siapa?
Nggak ada yang sempurna manusia. Suka-suka aku dong!”
Manusia memang tidak ada
yang sempurna, tetapi ia pasti akan selalu berusaha mendekati apa
yang dinamakan kesempurnaan.
“Terus? Kamu mau maksa?
Udah deh sana pergi!”
Dan begitulah. Aku
terdiam tak bisa menjawab. Ia telah begitu keras denganku. Sulit
bagiku untuk bisa berkompromi dengannya.
Maka dari itu, aku ingin
teriak. Teriak kepadaNya. Mungkin cuma Dia yang bisa mendengar. Aku
ingin berteriak kenapa aku harus bersamanya. Bersama dengannya yang
sepertinya takkan mau diajak akur dan bekerja sama demi satu tujuan:
surga. Haruskah di sini terus. Terus-terusan menasehatinya.
Terus-terusan dilawan sampai aku merasa apa yang kulakukan percuma.
Iblis kulihat begitu berhasil mendekapnya dengan erat. Rini pun mau
saja tergoda. Semakin jauh dariku dan juga dariNya.
Oh, katakanlah Tuhanku,
aku sudah tidak betah dan ingin keluar darinya. Biarlah aku, rohMu
ini melayang untuk kembali kepadaMu daripada aku harus menderita. Oh,
katakanlah wahai Tuhanku. Izinkan aku tak bersamanya lagi. Selamanya.
PENGEN DAPAT JUTAAN?
BalasHapusYUK LANSUNG AJA KE ZEUSOLA!
Hanya Dengan Deposit Pulsa, Gopay & OVO Sudah Bisa Bermain Dan Meraih Keuntungan Yang Besar Jutaan Rupiah Hingga Sepeda Motor !
Tunggu Apalagi Segera Daftar Dan Bermain Di Zeusbola!
Jangan Lewatkan Jackpot Anda!
INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
WHATSAPP :+62 822-7710-4607