Galau. Ya galau. Itu yang kini sedang kurasakan. Lima huruf saja.
Tak lebih. Seperti cinta, nafsu, dan benci. Jika digabungkan maka bisa menjadi
sebuah kalimat: Aku galau karena cinta. Aku benci tetapi nafsu padanya. Atau
dibalik: Aku benci tapi aku cinta padanya. Atau: aku nafsu karena aku galau
padanya. Ah, apalah itu yang jelas aku memang sedang galau. Terduduk bingung.
Menerawang ke langit-langit. Begitu banyak bayangan tersaji. Indah tetapi juga
mencemaskan.
Well, aku galau karena suatu hal. Ini galau yang tidak biasa. Tak
biasanya karena ini terus menggaguku. Ya, seperti hantu saja. Suka menganggu.
Atau teroris. Suka meneror. Aku sejujurnya tidak masalah selama galauku ini
positif. Misalkan galau mencari inspirasi, terutama inspirasi untuk berkarya.
Berkarya dalam bentuk apa saja. Misal menulis, menggambar, memotret, atau
bermusik. Lagipula bagi mereka yang suka berseni atau katakanlah seniman, galau
itu anugerah.
Tapi, sepertinya galauku ini kebalikannya. Benar-benar
menggangguku. Meresahkanku. Sampai-sampai aku tidak bisa tertidur. Aku
benar-benar ingin lepas dari galau ini. Kau mungkin akan menebak kalau aku
galau karena wanita. Alah! Salah besar. Benar-benar salah besar. Memang sudah
menjadi pandangan atau pendapat umum lelaki galau karena wanita atau wanita
galau karena laki-laki. Biasanya sih karena cinta. Ya ya. Itu sudah menjadi
sesuatu yang umum sampai-sampai tak harus diumumkan kan?
Atau galau karena pekerjaan? Ah, tidak juga. Soal pekerjaan aku
lancar-lancar saja. Malah aku sudah dalam puncak tertinggi dalam karierku.
Orang-orang sekitarku memberikanku semacam apresiasi atas pencapaianku. Aku
malah diberi cuti seminggu lebih untuk liburan ke sebuah pulau surga di
Pasifik. Ya tentunya bersama wanita sahabatku yang tetap aku hormati sebagai
sahabat. Tidak lebih.
Lalu? Alamak! Susah juga ya aku galau karena apa. Susah
menggambarkannya. Karena cuma terancang di otak. Sudah terkonsep. Tetapi susah
dilepas. Istilahnya seperti api yang hendak dinyalakan di kompor gas, tetapi
tidak jadi.
Hm...daripada bicara tentang galau ada baiknya aku menonton
televisi saja. Biar galauku hilang. Mungkin tidak benar-benar hilang. Remote
kuambil lalu salah satu tombolnya kupijit. Blets! Layar televisi yang hitam di
depanku sekejap berubah menjadi berwarna. Di layar televisi tersaji sebuah
tayangan dari sebuah saluran olahraga. Sepak bola rupanya. Olahraga nomor satu
di dunia.
Tapi, yang tersaji itu bukan pertandingan, melainkan sebuah berita.
Beritanya tentang seorang pesepak bola terkenal sejagad. Si pesepak bola itu
berwajah rupawan bak pangeran ganteng di negeri dongeng. Juga dia punya
kemampuan dalam mengolah si kulit bundar sehingga kaum hawa yang melihatnya
bakal semakin terpukau-pukau atau terkelepar-kelepar seperti ikan yang baru
dipancing dari air. Ya, nama si pesepak bola itu adalah Bernardo. Ia bermain di
sebuah klub bernama Mirandas. Klubnya itu klub terkenal lho. Prestasinya sudah
seabrek sampai lemari penuh karena sesak oleh trofi. Sudah begitu banyak pemain
terkenal pernah mangkal di situ. Dan Bernardo adalah salah satunya.
Berita mengenai Bernardo yang kali ini kulihat di televisi bukan
mengenai kehebatan atau ambisinya meraih trofi lagi bersama Mirandas demi
menjungkalkan Valerna, seteru abadi mereka. Tapi ini mengenai kerisauan
hatinya. Ya, si Bernardo sedang risau dan risaunya itu ia tunjukkan secara
terang-terangan di depan televisi.
Waktu itu, ketika pertandingan melawan Burcas, Bernardo mencetak
gol. Tiga malah sehingga ia dapat gelar hattrick di pertandingan tersebut.
Gol-gol yang mampu memantapkan posisi Mirandas di puncak klasemen La Sombrero.
Tentu saja itu membuat para pendukung Mirandas dan itu sudah seharusnya.
Tetapi, tidak bagi Bernardo. Usai mencetak gol, ia malah berekspresi
biasa-biasa saja. Bahkan sedih. Tiada raut gembira sebagaimana yang ditunjukkan
sehabis mencetak gol.
Akibatnya, banyak yang bertanya-tanya ketika sejumlah kuli foto
berhasil mengabadikan ekspresinya. Foto-fotonya tertampil di halaman utama
berita olahraga. Beritanya banyak diekspos media televisi dan radio. Dari nasional
hingga internasional. Semua pun berspekulasi. Ada yang bilang ia kecewa dengan
Mirandas mengenai kebijakan klub, khususnya soal gaji. Ada yang bilang ia tidak
betah di Mirandas dan tidak ada gairah membela klub itu. Lalu ada yang bilang
ia marah karena teman karibnya yang dulu pernah sama-sama bersaing untuk
memperebutkan gelar pemain terbaik dunia diabaikan klub. Dan ada yang bilang ia
tengah kesal dengan orang di klub seteru yang berhasil meraih gelar pemain
terbaik dunia. Semua spekulasi itu menyebar bagaikan virus di dalam komputer.
Mencengkram pikiran tiap orang lalu mempengaruhinya secara pelan-pelan.
Karena sifatnya spekulasi, jujur aku kurang atau malah tidak
percaya sama sekali. Itu kan bisa-bisanya mereka yang berspekulasi, terutama para
kuli tinta yang doyan, mungkin bukan doyan lagi, tetapi harus mengejar berita
agar tiras naik setiap hari. Juga para penggosip dunia hiburan, mengingat
Bernardo juga sering eksis di dunia gemerlap tersebut. Juga para komentator
sepak bola yang terkadang sok tahu.
Kalau aku ditanyakan oleh salah satu temanku, yang juga kuli tinta
mengenai ini, aku menjawab,
“Waduh, mana ku tahu. Kalau aku tahu malah sok tahu jadinya,”
Begitulah kalau teman-temanku selalu bertanya padaku akan selalu
kujawab demikian. Meski mereka bilang,
“Kan kau sering menonton bola pasti tahu kan?”
Apakah itu harus jadi sandaran buat aku tahu? Sama sekali tidak dan
bagiku tidak ada hubungannya sama sekali.
“Masih juga galau, nak?” tanya ibuku tiba-tiba menyapa diriku. Ia
datang dari arah belakang, tepatnya dari arah dapur. Kedua tangannya tampak
membawa sepiring pasta.
“Makan dulu ini biar hilang galaunya,” ujarnya lagi sambil menaruh
sepiring pasta itu di depanku. Pasta yang kelihatan lezat dan menggoda,
terutama bagi mereka yang sedang diterjang kelaparan. Tetapi, sepertinya
kebalikan buatku.
“Aku nggak lapar, ma,” kataku menolak.
“Nggak lapar karena galau?” tanya ibuku lalu duduk di sampingku dan
menatap diriku, “Kamu ini sudah begitu saja galaunya luar biasa. Kenapa nggak
cerita aja sih sama mereka biar mereka tahu persoalannya?”
“Apakah penting mereka harus tahu?” tanyaku sambil melihat tayangan
olahraga di depanku.
“Penting, Nak,” kata ibuku, “Lihat saja keadaan kamu kaya gini.
Kamu diam-diam. Nggak mau bicara. Akhirnya mereka penasaran dan buat berita
miring,”
“Ya biar saja,” kataku acuh, “Salah mereka kenapa harus buat berita
demikian. Aku lebih baik diam. Kalau aku ceritakan mereka juga tidak akan
mengerti,”
“Aduh, kamu ini coba deh berpikir dewasa,” kata ibuku, “Kamu itu bukan
anak kecil lagi yang mama suruh bilang apa yang kamu alami sebenarnya. Sadar
deh, kamu itu udah jadi pesohor publik. Kalau ada apa-apa ceritakan. Jangan
buat mereka, terutama penggemar kamu kecewa,”
Aku hanya terdiam. Tak menjawab. Berpikir apakah ucapan ibuku itu ada
benarnya atau tidak. Masalahnya, aku memang merasa lebih baik diam. Aku tak mau
mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau mereka tahu bisa kacau.
“Apa mama sendiri yang harus beritahu, Bernardo?” tanya ibuku yang
membuatku terkejut.
“Maksud mama?” tanyaku. Aku lalu terdiam. Hening.
Ibuku hanya tersenyum sambil memainkan pasta.
SLOT MANIA BERUPA RP 11 MILYAR!
BalasHapusPromo Akan Berakhir Di 31 Mei.
Segera Mainkan Dan Dapatkan Hadiah Anda!
Hanya Di Zeusbola
Deposit Murah!
CS Online 24 Jam
INFO SELANJUTNYA SEGERA HUBUNGI KAMI DI :
WHATSAPP :+62 822-7710-4607