Setiap manusia mempunyai harapan. Tentunya harapan itu adalah
harapan yang baik dan juga berjalan sesuai dengan kenyataan. Jika itu semua
berjalan pada alurnya dan sesuai skenario, maka timbullah rasa senang juga
bahagia pada diri manusia yang berharap itu. Namun bagaimana kalau tidak?
Apalagi harapan itu berhubungan dengan suatu bahan makanan pokok.
Itulah yang terekam dalam Kaas karya Willem Elsschot. Perlu
diketahui, kaas sendiri adalah kosakata bahasa Belanda untuk keju. Dan
seperti judulnya yang kemudian diterjemahkan menjadi Keju dengan
menaruhnya di bawah judul asli, Kaas sendiri bercerita tentang keju.
Namun, bukan keju yang akan dipreteli sana-sini menjadi sajian kuliner, tetapi
tentang keju yang katanya bisa mengubah hidup seseorang hanya dengan
menjualnya.
Adalah Frans Laarmans, tokoh utama dalam novel ini, yang bekerja
sebagai kerani di sebuah perusahaan perkapalan bernama General Marine and
Shipbuilding Company. Laarsman yang dinarasikan dengan “aku” sudah tiga puluh
tahun bekerja di perusahaan yang berada di Antwerpen, sebuah kota di Belgia
tersebut. Akan tetapi, ia merasa kariernya di perusahaan itu akan mandek,
meskipun sudah lama di perusahaan tersebut. Ia merasa harus mulai dari nol lagi
ketika sudah merasa mencapai titik puncak.
Maka untuk menghindari hal tersebut, lewat seorang kakaknya yang berprofesi
sebagai dokter, si “aku” berkenalan dengan Van Schoonbeke, seorang pasien
kakaknya dari kalangan berada. Melalui Van Schoonbeke, si “aku” diajak
berbisnis keju, yang merupakan sebuah bisnis dengan prospek cerah karena hampir
setiap orang di wilayah Benelux akan memerlukannya. Laarmans pun mengiyakan
demi kariernya sebagai kerani yang ia rasa akan berakhir dan mulai membayangkan
kesuksesan menjadi pengusaha keju.
Namun karena tidak mempunyai dasar ilmu dagang dan bagaimana cara
berdagang, ia pun kebingungan memasarkan keju-kejunya tersebut. Alhasil, banyak
kejunya yang mangkrak di rumah alias tidak laku. Laarmans pun mulai putus asa dan menyadari
semuanya tidak muda. Ketika bos kejunya, Mijnheer Hornstra datang untuk melihat
hasil penjualannya, ia pun memilih menghindar dan akhirnya mengundurkan diri
kemudian memilih kembali lagi sebagai kerani.
***
Terlihat cerita yang ditulis Elsschot dalam novel pendeknya amat
sangat sederhana dan mudah dipahami orang. Yaitu tentang seorang pria yang
mencoba berbisnis keju, namun apa yang diharapkannya berbalik dalam
kenyataannya. Akan tetapi, dari situlah terlihat bahwa Kaas bukanlah
cerita biasa. Keju yang dalam cerita dijadikan sebagai pokok, memang merupakan
pokok dari semua makanan (sebagai bahan makanan tentunya), terutama mereka yang
berada di Eropa. Dalam cerita ini di Benelux (Belanda, Belgia, dan Luksemburg).
“Secara keseluruhan, kecuali baunya, keju adalah makanan terhormat,
bukan? Keju telah dibuat selama berabad-abad, dan salah satu sumber kekayaan
orang Belanda, saudara serumpun kita. Keju makanan semua orang; tua-muda,
besar-kecil” (hal. 47)
Keju sendiri merupakan koagulasi
dari susu yang dipisahkan dari zat-zat padat dalam susu. Kemudian koagulasi itu
dikeringkan, diproses, dan diawetkan dengan berbagai macam cara yang nantinya
akan menghasilkan beberapa varian produk keju, seperti yang kita kenal sekarang
ini, seperti keju Edam, Gouda, Cheddar, Parmesan, dan Chamembert.
Saking pentingnya, Fine, istri dari Frans Laarmans, malah
menyatakan bahwa menjual keju akan bisa mendatangkan untung besar. Hal itu ia
ungkapkan ketika “aku” mengatakan pada istrinya sepulang dari pertemuan dengan
teman-teman Van Schoonbeke tentang keinginannya berbisnis keju. Pada awalnya “aku”
menyatakan bahwa usahanya ini mungkin terasa ganjil, menjijikkan, dan menyatakan
itu aneh.
“Kini aku harus mengakui usaha itu menyangkut keju. Janggal
rasanya, namun menurutku ada sesuatu yang menjijikkan dan ganjil...,” (hal.37)
Lalu dilanjutkan,
“Produk yang aneh, bukan?” tanyaku.
Namun istriku justru tak beranggapan begitu.
“Selalu laku,” katanya, tepat seperti kata Van Schoonbeke.
Perkataan demikian, bisa jadi, jika dihubungkan dengan situasi
novel, yaitu 1933 atau lebih tepatnya lagi dekade 1930-an, adalah masa-masa
sulit akibat terjadinya Depresi Besar, yaitu sebuah peristiwa menurunnya tingkat
ekonomi. Peristiwa ini menyebabkan krisis ekonomi di seluruh dunia dan
mengakibatkan banyaknya pengangguran karena banyak perusahaan yang gulung
tikar. Pangkal utama penyebabnya adalah Perang Dunia pertama yang terjadi pada
periode 1914-1918. Jika dihubungkan dengan masa kini, peristiwa sama dengan
krisis perumahan yang terjadi pada 2008 hingga sekarang.
Depresi Besar tentu juga menyebabkan sulitnya mendapatkan bahan
makanan pokok. Dan keju termasuk di dalamnya. Memang dalam sejarah, keju sulit
didapatkan atau malah perusahaan yang mengelolanya bangkrut. Menjadi tepat
rasanya ketika Fine, yang mungkin tahu situasi ekonomi yang demikian mendukung
si “aku”.
Karena keju itu penting, tentu menjadi pedagangnya juga menjadi
penting. Lebih tepatnya mempunyai kedudukan yang penting, bahkan mulia. Inilah
yang didambakan si “aku”. Karena merasa kerani adalah pekerjaan rendahan, ia
pun berharap menjadi pedagang atau makelar keju bisa menaikkan derajat
sosialnya,
“Kerani jabatan rendah, jauh lebih rendah daripada buruh....,”
(hal.33)
Menurut KBBI, kerani didefinisikan sebagai pegawai yang mengurusi
adminisitrasi (misal mencatat, mengetik, dan mengirimkan surat). Padanan dari
kerani itu sendiri bisa juru tulis, kelerek, atau sekretaris.
Sebab sifatnya yang sederhana, yang dalam artian semua orang bisa
melakukannya, maka wajar si “aku” menganggapnya rendah. Apalagi ia juga
beranggapan bahwa kerani adalah pekerjaan yang tak memerlukan keahlian khusus,
“Namun, kerani pada umumnya hampir tak memiliki keahlian khusus...,”
(hal.33)
Di Eropa, seperti yang terungkap
pada setting novel yang berkisar pada dekade 1930-an ini, secara ekonomi
memang posisi kerani rendah dibandingkan dengan yang lain, terutama di
negara-negara Eropa Barat, yang masih memegang kuat stratifikasi sosial
berdasarkan kapitalisme, yaitu sebuah sistem yang menempatkan pengusaha atau
pemilik modal sebagai raja dan menghalalkan pencarian keuntungan sebesar-besarnya.
Sistem ekonomi ini sempat goyah ketika terjadi revolusi Bolshevik di Rusia pada
1917, yang menempatkan buruh sebagai penggerak dan pemilik, serta semua hasil
dibagi sama rata.
Mengenai buruh, si “aku” berpendapat,
“Kerani jabatan rendah, jauh lebih rendah dibanding buruh.
Perlawanan dan kebersamaan mereka mendatangkan hormat. Kabarnya, di Rusia
mereka bahkan menjadi tuan yang terhormat,” (hal.32)
Dikarenakan rendah dan semua orang bisa melakukan pekerjaan yang
dilakukan kerani, amatlah wajar jika si “aku” berharap banyak pada mimpinya
menjadi pedagang atau makelar keju. Harapan itu ia munculkan agar bisa nyambung
dengan teman-teman sejawat Van Schoonbeke, yang kebanyakan berprofesi sebagai
pengusaha, advokat, dan hakim. Kebanyakan dari mereka tentu sering bermain pada
ranah-ranah yang asing dan jarang disentuh atau diketahui oleh si “aku”
sehingga dalam setiap pertemuan atau pembicaraan, si “aku” sering bingung
sendiri, dan secara tak langsung sering dibantu Van Schoonbeke. Hal demikian
sering membuat si “aku” sering merasa tidak nyaman dan impian makelar keju
adalah tebusannya.
***
Kaas adalah salah satu karya dari Elsschot yang cukup terkenal di
samping Lijmen dan Het Been. Kedua nama terakhir diterbitkan pada dekade yang
sama sehingga agak nyambung, terutama pada penggunaan nama tokoh, yang
sama-sama menggunakan nama Frans Laarmans atau tentang cerita yang berkaitan
dengan dunia usaha dan perdagangan. Ini tentu tak lepas dari latar belakang
penulis bernama asli Alphonsus Josephus de Ridder itu yang memang mempunyai
pendidikan sekolah dagang di Antwerpen, kota kelahirannya. Hal yang demikian
juga membawanya bekerja sebagai koresponden dagang di Werf Gusto, yang ia
jadikan sebagai General Marine and Shipbuilding Company di Kaas. Lalu berlanjut
pada La Revue Continentale Illustrée, sebuah majalah yang berkutat pada
ekonomi, keuangan, industri, seni, dan ilmu pengetahuan. Majalah itu kemudian
ia jadikan sebagai setting tempat di Lijmen/Het Been.
Kaas hampir-hampir menjadi karya yang sempurna dari Elsschot,
meskipun di awal cerita ada bagian yang menceritakan perkenalan si “aku” dengan
Van Schoonbekke dimulai saat pemakaman ibu si “aku” melalui kakak si “aku.
Terkesan itu seperti sedikit dipaksakan hanya untuk menyatakan bahwa van
Schoonbekke adalah pasien kakak si “aku”. Yang menjadi pertanyaan lagi mengapa
Van Schoonbekke langsung mengajak si “aku” seolah-olah ia tahu permasalahan si “aku”?
Bukan kakak si “aku” atau saudara si “aku” yang lain?
Cerita yang naratif dengan alur yang berjalan sedang, memang pantas
menjadikan Kaas sebagai karya terbaik dari salah satu sastrawan terbaik
Flandria ini. Setiap permasalahan dikupas dengan sangat mendetail, terutama
permasalahan si “aku” ketika sebelum dan sesudah memasarkan keju. Dan “aku”
digambarkan sebagai karakter yang kuat di awal namun mengendur ketika semuanya
tengah berjalan, karena keju yang tak laku-laku.
Dengan cerita yang sederhana, wajar bila Kaas banyak diterjemahkan
ke beberapa negara, termasuk Indonesia, dua tahun yang lalu. (untuk
memperingati 40 tahun berdirinya Erasmus dan 60 tahun kematian sang penulis).
Dari sisi penerjemahan, nampak tidak ada masalah sama sekali mengingat sang
penerjemah, Jugiarie Sugiarto, mempunyai latar belakang akademis sebagai dosen
bahasa Belanda bidang sastra. Pilihan kata yang sederhana dan sedikit sastrawi
menjadikan terjemahan dalam bahasa Indonesia itu enak dibaca. Menyoal
penerjemahan, ini bukan yang pertama kali, sebab Idrus pada awal-awal
kemerdekaan sempat menerjemahkan karya yang sama.
Selain itu, Kaas sempat difilmkan dua kali, baik pada 1968 dan 1999
oleh Gerard Rekers dan Orlow Seunke dan kemudian dijadikan dalam bentuk novel
grafis pada 2008 oleh Dick Matena dengan judul yang sama.
Dan akhir kata, memanglah sulit sebenarnya meninggalkan zona aman
ketika hendak beralih ke zona yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar