Paul terlihat berdiri sementara di depannya beberapa mobil nampak lalu-lalang. Taksi, bis Damri, mobil pribadi. Terkadang salah satu dari mereka berhenti lalu menurunkan atau menaikkan penumpang. Salah satu sopir taksi menghampirinya. Mencoba menawarkannya naik taksi dengan berbahasa Inggris, tetapi Paul menolaknya. Supir taksi itu berbahasa Inggris karena melihat raut Paul yang nampak seperti bule. Ia sadari pasti karena hal itu, tetapi ia menyadari juga ia tak sepenuhnya bule. Ia perhatikan kulit di tangannya yang tidak putih terang tetapi putih agak kecoklatan.
Paul memang tampak seperti turis bagi mereka yang melihatnya. Ada sebuah koper besar yang ia dorong sendiri semenjak turun dari pesawat KLM yang membawanya dari Schipol, Belanda. Dan kini ia memang berada di terminal kedatangan internasional di Bandara Soekarno-Hatta. Menunggu seseorang yang katanya tengah menjemputnya. Yang akan coba membantunya selama di Jakarta nanti.
Cuaca terik dan panas disertai angin kencang yang kering menyambutnya kala ia sampai di gerbang Indonesia ini. Sebuah negara yang ia kenal dari cerita-cerita sewaktu di Belanda. Ia sendiri memang berasal dari "negeri kincir angin" itu, tepatnya di Rotterdam. Ia sendiri tinggal di sebuah flat 7 tingkat yang bisa dibilang dekat dengan Stadion Feyenoord, kandang dari klub sepak bola terkenal di kota itu, Feyenoord. Dan Paul mengakui dirinya adalah pendukung klub tersebut, yang selalu berivalitas dengan Ajax Amsterdam di Eredivisie.
Mengenai Indonesia, Paul sudah sering mendengar cerita-cerita itu dari keluarga dan juga teman-temannya. Sebuah negara, yang kata mereka yang bercerita, adalah negeri yang indah, orang-orangnya ramah, penuh pohon kelapa, dan candi. Dan memang benar apa yang mereka katakan, Indonesia itu negara yang indah, tanah subur, berbeda dengan Belanda, yang hanya dipenuhi dengan kanal-kanal. Ia sendiri terpesona melihat itu dari televisi, juga dari pasar malam Indonesia yang saban tahun diadakan di Den Haag. Di sanalah dia berkenalan dengan seorang teman dari Indonesia. Namanya Rani. Seorang wanita Jawa yang terlihat manis dan eksotis. Paul benar-benar jatuh cinta kepadanya sejak pertemuan pertama. Rani adalah seorang mahasiswi Indonesia yang sedang belajar di Leiden. Ia belajar mengenai Kebudayaan Jawa di universitas terkenal di Belanda itu. Ketika mendengar itu, Paul cukup heran, dan bertanya,
"Mengapa kamu yang memang orang Jawa harus belajar kebudayaanmu sendiri di sini, di negeriku?"
"Pertanyaan tadi dijawab Rani dengan halus namun seperti mendendam,
"Itu karena negaramu membawa semua kebudayaan kami, bukan hanya Kebudayaan Jawa, ke sini, dan terkadang tidak mau mengembalikan dengan alasan ini-itu. Bahkan untuk mengembalikan harus memakai ongkos yang mahal. Ongkos itu sama mahalnya dengan angka untuk memberantas kemiskinan di negara kami. Sejujurnya, kalau semua kebudayaan kami ada di tanah kami sendiri, tak perlu aku capek-capek ke sini. Belajar sambil menghadapi cuaca dingin yang tidak bersahabat,"
Jujur, ketika mendengar itu, Paul baru tahu, lalu bertanya lagi mengapa. Rani pun menjelaskan dengan pelan. Ia bilang itu karena Belanda datang dan menjajah Indonesia selama ratusan tahun. Saat mendengar itu, Paul pun tersadar Indonesia adalah bekas jajahan Belanda. Sebuah jajahan yang dahulunya bernama Nederland-Indie atau Hindia Belanda. Sebuah jajahan terbesar untuk kerajaan sekecil Belanda yang kemudian merdeka pada 17 Agustus 1945, tetapi Belanda baru mengakui pada 27 Desember 1949. Mengenai ini, ia jadi teringat di sebuah pelajaran sejarah mengenai negerinya, gurunya mengatakan bahwa Indonesia merdeka karena pemberian Jepang. Gurunya itu cukup tua, dan terlihat kesal ketika menyebut nama "Indonesia". Tapi, pandangan itu berubah ketika guru tua itu diganti seorang guru muda yang menyatakan Indonesia merdeka karena perjuangan mereka sendiri. Bukan hadiah dari Jepang. Sebuah cara pandang politis yang sejujurnya benar-benar Paul ingin lupakan sebab ia adalah generasi muda yang menginginkan semua itu setara, dan Indonesia tak lebih hanyalah sebuah negara dunia ketiga yang menyimpan sejuta pesona.
Tetapi, mengenai kata "negaramu" dari Rani yang sempat ia pacari selama 2 tahun, ia jadi sangsi juga pada dirinya apakah Belanda ini benar-benar negaranya, sebab ia sadari bahwa ia sendiri merupakan keturunan Indonesia. Ya, Paul memang salah satu diasopra Indonesia di Belanda. Ia akui bahwa ia bernenek moyang di Maluku. Marganya Manuputty. Kakeknya mantan prajurit KNIL yang kemudian memacari seorang wanita Jawa bernama Minah ketika sedang tugas ketentaraan di Semarang. Lalu kakeknya yang bernama Reynold itu menikahi Minah setelah 3 tahun memadu kasih. Sayang, pernikahan itu tidak disetujui keluarga Minah yang tidak menginginkan Minah menikahi orang di luar suku Jawa. Keluarga Minah beranggapan bahwa Reynold itu antek Belanda, dan tidak pantas rasanya Minah menikah dengan seorang penjajah. Lagipula Reynold berlainan agama. Namun, karena cinta yang sudah sangat telanjur tumbuh di kedua hati mereka, maka halangan-halangan itu mereka singkirkan. Mereka berdua pun memutuskan kawin lari. Minah diam-diam lari dari orangtuanya lalu menemui Reynold untuk minta dinikahi. Meski awalnya Reynold menolak karena menganggap bahwa doa dan restu orangtua itu perlu, tetapi Minah memaksa. Reynold pun mengalah. Semenjak itu Minah tinggal bersama Reynold di barak lalu mereka mempunyai anak-anak yang berjumlah 4 sehingga kamarnya menjadi sesak. Anak-anak itu lalu menjadi anak kolong. Anak-anak itu yang kemudian dibawa pergi ke Belanda ketika terjadi peristiwa RMS pada dekade 50-an.
Ayah Paul sendiri merupakan anak ketiga dari kakeknya. Ayahnya itu yang saban hari ketika ia kecil menceritakan tentang Indonesia juga pengalaman ketika ke Belanda yang dipenuhi dengan kisah yang pilu dan haru akibat peristiwa politis di Indonesia.
"Waktu itu ayahmu masih kecil, Nak," kata ayahnya suatu hari bercerita, "Keadaan di kapal sungguh sesak. Saling berhimpitan. Ayahmu tidak mengerti mengapa, dan kenapa kami harus meninggalkan Maluku. Kami makan hanya seadanya. Ketika di Belanda ayahmu ini merasakan dingin lalu nenekmu itu membekap kami dengan kasih sayangnya sehingga kami merasakan kehangatan meski kehangatan itu tidak bisa mengalahkan dingin. Ayahmu hanya ingat bahwa kami sekeluarga dibawa ke sebuah kamp,"
Cerita ayahnya itu yang menggugah dirinya untuk ke Indonesia, tanah leluhur di timur jauh. Ia benar-benar penasaran seperti apakah negara itu jika dilihat dengan mata dan kepala sendiri. Yah, memang ayahnya mengatakan itu Indah, meskipun televisi di Belanda sering menayangkan Indonesia negara yang penuh dengan kekerasan, kemiskinan, dan korupsi. Tetapi, itu tidak menghilangkan kepenasaranannya sama sekali.
Bahkan, suatu hari Paul berseloroh kepada ayahnya,
"Ayah, aku ingin ke sana, dan kalau perlu menjadi warga negara di sana,"
Ayahnya yang mendengarnya agak heran,
"Maksudmu?"
"Ya, ayah aku ingin menjadi warga negara Indonesia. Aku ingin benar-benar dekat dengan tanah leluhur di sana,"
Ayahnya hanya tersenyum,
"Tentu saja boleh. Ayah tidak keberatan. Ayah malah berharap demikian. Di sana masih banyak keluargamu, terutama di Jakarta, Semarang, dan Ambon,"
Kemudian ayahnya berhenti berbicara, rautnya berubah.
"Tetapi, kalau kakekmu aku tidak tahu,"
"Kenapa memangnya, ayah?"
Reynold, ketika meninggalkan Indonesia pada dekade 50-an, bersumpah tidak akan pernah ke negara itu lagi, menginjakkan kaki, selama Maluku masih dijawanisasi. Reynold memang seorang perwira KNIL yang setia kepada Belanda, lalu ke Belanda dengan harapan Den Haag membantu kemerdekaan Maluku Selatan. Ia memang, bersama dengan perwira KNIL asal Maluku lainnya dan juga para advokat, tidak setuju adanya pengiriman tentara dari Jawa oleh Soekarno, usai pembubaran Negara Indonesia Timur. Kehadiran tentara dari Jawa itu cukup menganggu. Cukup ironis, meskipun ia beristrikan Minah.
Ketika mendengar bahwa cucunya hendak ke Indonesia lalu ada keinginan menjadi warga negara di sana, ia langsung mencak-mencak,
"
Godverdomme! Ngapain kamu ke sana? Di sana itu miskin tidak seperti di sini. Kotor, tidak beradab! Lihat saja negara sebesar itu pemerintahnya
nggak becus mengurus. Apa yang kamu harapkan dari sana, heh? Sungguh kamu akan merugi!"
"Tapi, opa, aku hanya ingin dekat dengan leluhurku saja, tidak lebih,"
"Soal leluhur sebaiknya lupakan. Simpan saja di dalam hati. Kita sudah menjadi warga negara Belanda. Yang agung, kaya, dan makmur,"
Paul hanya terdiam sementara neneknya mencoba menenangkan suaminya,
"Jangan marah-marah. Ingat, darah tinggimu,"
"Oh, maaf," ujar kakeknya kemudian menurun tensinya.
Neneknya lalu memberi isyarat agar Paul segera menyingkir dari hadapan kakeknya. Kemarahan kakeknya yang terjadi selepas ia lulus dari Havo, tetap tidak menyurutkan niatnya untuk ke sana. Membuktikan apa yang telah diucapkan dengan mata kepala sendiri. Sampai kakeknya meninggal karena darah tinggi, itu pun tidak berubah. Rasa kepenasaranan tetap menauginya.
Suatu malam, neneknya, Minah, bertanya padanya tentang keinginan itu,
"Kamu sudah pertimbangkan baik-baik?"
"Sudah kok, oma," jawab Paul yakin, "Aku sudah bertekat. Ayah dan ibu juga mengiyakan,"
"Oh, ya sudah," kata neneknya, "Oma cuma bilang hati-hat lah di sana. Ladang orang itu berbeda dengan ladang sendiri,"
"Iya, oma,"
Paul, yang selepas Havo, tidak bekerja dan kuliah, tetapi bermain sepak bola di Feyenoord junior pun, terus mematangkan niatnya. Ia ke sana juga ingin bermain sepak bola. Hal demikian ditertawakan teman-temannya,
"Apa kau yakin?" tanya salah seorang temannya, Kurt.
"Ya, aku yakin," jawab Paul yakin.
"Sadarlah, kawan, apa yang kau tahu dari sepak bola Indonesia? Aku saja hampir-hampir tidak tahu. Malah yang kutahu dari Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam. Ini sama saja kau bermain di negeri antah-berantah,"
"Kurt benar, kawan," ujar salah satu temannya lagi, Ruud, "Aku saja tidak tahu sama sekali. Sudahlah, berjuanglah bersama kita menembus tim senior. Nanti dari situ kita bisa bermain di lnggris, Jerman, Prancis, Spanyol, juga Italia,"
"Justru karena tidak tahu aku ingin tahu," kata Paul.
"Ah, ya aku baru ingat," kata Kurt tiba-tiba, "Sepak bola Indonesia itu katanya tidak profesional dan selalu rusuh. Liganya seperti liga divisi 4,"
Ia lalu tertawa-tawa,
"Kau kata siapa?"
"Temanku, salah seorang
traveler. Ia bilang stadion di sana seperti bangunan tua tak terurus apalagi lapangannya. Cuma ada satu stadion bagus di sana. Itu pun di Jakarta,"
"Lalu?"
"Ya, kuharap kau tidak ke sana, kawan. Buang-buang waktu,"
"Terima kasih. Tetapi, aku akan tetap ke sana. Aku ingin dekat juga dengan leluhurku,"
Dan hal-hal itulah yang terus mengiringi kepergian Paul dari Belanda ke Indonesia. Gambaran-gambaran negatif selalu tergiang di benaknya. Hanya sedikit gambaran positif. Tetapi, apalah arti itu semua jika tak dibuktikkan dengan mata kepala sendiri, hanya melalui mulut ke mulut? Bukankah Andi Tielman juga masih mengakui Indonesia tanah yang elok, subur, dan tumbuh banyak pohon kelapa ketika menyanyikan "Rayuan Pulau Kelapa"? Itu berarti masih ada secercah positif di balik negatif.
Ia ke Indonesia, terutama ke Jakarta, karena salah satu klub sepak bola di Ibu Kota Indonesia itu, Persija ingin melihatnya dalam
training, dan jika bagus ingin mengontraknya untuk menghadapi musim kompetisi Liga Indonesia mendatang. Tentulah ini sebuah kesempatan yang tak ingin ia sia-siakan. Menjadi warga negara Indonesia lewat sepak bola, lalu berharap bisa membela Timnas Indonesia suatu hari nanti. Meskipun, di depan masih terlihat kabut.
Seseorang tiba-tiba menyapanya. Perawakannya pendek, berkulit sawo matang, tapi mempunyai tampang Maluku seperti dirinya. Ia menyapa dalam bahasa Belanda,
"Paul? uit Nederland?"
Ia lantas menjawab,
"Ja, ik ben Paul,
Orang itu lalu memperkenalkan dirinya. Rendi namanya. Mengaku masih mempunyai darah dengan dirinya, dan sama-sama berfam Manuputty. Rendi akan mengantarkan dirinya ke rumahnya yang berada di Cawang untuk bertemu keluarga besarnya. Barulah setelah itu ia akan mengantar Paul ke Ragunan, tempat Persija berada. Sebuah petualangan di tanah leluhur dimulai.