Masa kanak-kanak itu masa yang indah, katanya. Ungkapan yang begitu
populer dan terdengar dalam kehidupan sehari-hari memang menjadi legitimasi
bahwa masa kanak-kanak adalah masa yang dipenuhi dengan kebahagiaan, canda
tawa, dan juga tanpa beban. Sebuah masa yang dipenuhi juga dengan
kepolosan-kepolosan dan rengekan-rengekan. Akan tetapi, bagaimana jika
masa-masa itu, yang katanya indah, malah sebaliknya? Menjadi sesuatu yang
sesungguhnya pahit jika diingat?
Itulah yang terungkap dalam Pengharapan karya seorang
penulis asal Belanda, Jona Oberski. Novel yang diterjemahkan dari judul aslinya
Kinderjaren ini sejujurnya merupakan cerita atau pengalaman sang penulis
ketika menghadapi masa kanak-kanak yang harus dilalui di dalam kamp
konsentrasi. Di dalam novel, sang penulis menamai dirinya dengan “aku”, seorang
anak berumur 8 tahun yang tinggal di Amsterdam, Ibu Kota Belanda. “Aku” adalah
anak dari pasangan Yahudi yang “aku” sebutkan dengan nama “ayahku” dan “ibuku”.
Dibagi dalam 5 bab dengan 21 tema, cerita dimulai dari
pemberitahuan “ibuku” kepada “aku” bahwa mereka akan meninggalkan mereka menuju
ke sebuah kamp yang dibilang merupakan jalan menuju ke Palestina. Padahal, kamp
itu sendiri merupakan kamp penyiksaan buatan Nazi Jerman. Sebuah kebohongan
yang diskenariokan agar komunitas Yahudi di Belanda mau dimobilisasi supaya
dimusnahkan. Dan, parahnya, yang memobilisasi itu adalah orang Yahudi itu
sendiri sebab ketakutan disiksa dengan pasukan SS, pasukan elite Nazi. Hal
demikian tergambar dalam pengantar buku ini oleh Lilie Suratminto, staf
pengajar di Program Studi Belanda FIB-UI.
Mengambil latar di Perang Dunia ke-2, memang menjadi masa-masa yang
kurang menyenangkan, bahkan tragis bagi hampir seluruh rakyat di Eropa,
terutama komunitas Yahudi. Perang yang dimulai pada 1939 hingga 1945 tentu
masih menyisakan trauma mendalam bagi mereka yang mengalaminya, terutama
anak-anak yang menyaksikan langsung kepedihan akibat perang, dan kemudian itu
terbawa meski perang itu telah usai. Di Pengharapan pun terlihat bagaimana
“aku” yang masih polos itu harus mengalami tindakan pasukan Jerman yang
mengusir mereka dari tempat tinggalnya pada suatu malam, ketika “aku” sedang
terlelap. Tindakan pasukan Jerman itu jelas mengagetkan dirinya, dan membuat “aku” menangis, dan membuat “ibuku” memarahi
si serdadu yang “aku” panggil itu “laki-laki hijau”. Hal itu yang terlihat pada
tema berjudul Muiderpoort. Si pasukan Jerman datang mengusir “aku”
beserta kedua orangtuanya untuk segera dimobilisasi ke sebuah kamp di Westerbork,
sebuah kamp transit yang terletak di timur Belanda, dan pernah menjadi kamp
persinggahan dari Anne Frank. Bahkan, kamp Anne Frank itu letaknya berdekatan
dengan kamp si “aku”.
Di kamp itulah, “aku” mulai mengalami kesulitan dan penderitaan. “Aku”
dan “ibuku” harus berpisah dengan “ayahku” yang ditaruh di bagian lain di kamp.
Mengalami dinginnya cuaca dan makanan ala kadarnya, sehingga “aku” bersama
penghuni kamp lain merasakan kelaparan. Lalu menghadapi para serdadu Jerman
yang mereka sebut Mof, sebuah umpatan orang Belanda terhadap Jerman,
yang selalu menenteng bedil, membunyikan senapan ketika ada kerumunan, dan
menatap “aku” dan anak-anak penghuni kamp dengan tatapan kejam dan tidak suka.
Bahkan, suatu hari pernah “aku” meledek Mof dengan gestur hidung
dinaikkan dan lidah dijulur. Salah seorang temannya memperingatkan bahwa
tindakan yang ia lakukan terlalu berani (hal.50).
Di kamp ini jugalah, “aku” harus merasakan kepedihan karena
ditinggal “ayahku” akibat sakit. “Aku” awalnya tidak sedih, namun saat melihat
jenazah ayahnya dimasukkan ke dalam rumah knekel (knekelhuis) dengan
keadaan telanjang, tanpa selimut, “aku” mengadu ke ibunya, yang justu mengelak,
lalu menangis.
Lalu dari Westerbork, “aku” dan “ibuku” dipindahkan ke
Bergen-Belsen, sebuah kamp konsentrasi lain yang berada di Negara Bagian Lower
Saxony, Jerman. Namun karena peperangan di Perang Dunia ke-2 yang semakin
mendekati babak akhir, para tawanan itu
yang dimasukkan ke dalam kereta itu tidak menentu nasibnya, sebab
jalur-jalur kereta yang berubah-ubah, dan kemudian berhenti di Troebitz. Di
sinilah para tawanan itu dibebaskan tentara-tentara Rusia. Namun di Troebitz
pula, “aku” harus mengalami kepedihan lagi sebab ditinggalkan oleh satu-satunya
orang yang sangat dekat dengan “aku”, “ibuku”. Kepergian “ibuku” itu membuat “aku”
menjadi histeris, lalu meracau-racau kepada Trude, tetangganya, yang ia anggap
berbohong karena mengatakan “semua jalan ke sana sudah tertutup”, sebuah
ungkapan yang menyatakan bahwa “ibuku” sudah meninggal, tetapi karena “aku”
masih polos, jadi ia mengerti secara harfiah saja. Jadilah “aku” yatim-piatu.
Pengharapan yang pertama
kali terbit pada 1978 di Belanda, dan sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa
termasuk Indonesia pada 2012 oleh Pionir Books, merupakan sebuah karya yang
diciptakan Oberski setelah mengikuti workshop kesusasteraan, yang
kemudian mendapatkan ide tentang pengalamannya di kamp konsentrasi. Sebuah
karya yang secara detail menggambarkan bagaimana pahitnya mempunyai masa
kanak-kanak yang harus dilalui di dalam sebuah kamp yang penuh tekanan dan
tidak bebas. Tentu saja hal demikian akan menjadi sebuah trauma masa kecil.
Secara psikologis, trauma demikian akan terus membekas, dan mengubah cara
pandang hidup seseorang sampai ia meninggal.
Pengharapan merupakan
karya Oberski paling terkenal dibandingkan dua karya lainnya, Ongenode Gast
(1995) dan De Eigenaar van Niemandsland (1997). Maka, wajar jika Roberto
Faenza pernah memfilmkannya dengan judul Look to The Sky. Mengenai
terjemahan, kualitas terjemahan buku ini cukup bagus, mudah dimengerti, serta
mendekati kosakata sehari-hari di Indonesia, seperti adanya kata “ngapain”
ketika “aku” sedang berusaha menyeberangi kapal dengan dipandu kapten kapal
tersebut. (Hal. 25). Selain itu, Laurens Sipahelut, sang penerjemah juga
memasukkan beberapa kata lain yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
seperti “menggelenyar” (hal.25) dan “menyompoh” (hal.26). Hal ini membuat
terjemahannya, selain berkualitas, juga memilik variasi kata.
Sepintas juga, kita bisa menyamakan karya ini dengan karya-karya
seputar kamp konsentrasi pada masa PD II seperti karya Anne Frank, Het Achterhuis
(The Diary of a Young Girl), meskipun di dalamnya tidaklah setragis dan
mencekam yang dialami Anne Frank. Tetapi, setidaknya, Pengharapan memberikan
semacam gambaran bahwa di daerah konflik pun akan melahirkan sebuah karya yang
berkualitas, dan dipenuhi dengan cerita mengharukan. Akhirul kalam, masa
kanak-kanak itu tak selalu indah.
0 komentar:
Posting Komentar