Piala Dunia 1974. Mata pecinta sepak bola dikejutkan oleh sebuah kesebelasan yang mengandalkan permainan cepat menyerang total. Sebuah kesebelasan yang bermaterikan nama-nama seperti Johan Cruyff, Ruud Krol, Arie Haan, Johan Neeskens, dan Kerkhof bersaudara. Kesebelasan yang semula tidak diperhitungkan itu tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan karena berhasil menggulung dua raksasa sepak bola Amerika Latin, Brasil dan Argentina. Penampilan yang impresit itu yang mengantarkan kesebelasan ini, kesebelasan Belanda, ke final kejuaraan dunia empat tahunan tersebut.
Meski di partai puncak kalah oleh tuan rumah Jerman dengan skor tipis 2-1 setelah terlebih dahulu unggul, Belanda berhasil menjadi tim yang memukau publik sepak bola dunia lewat permainan menyerang total yang disebut sebagai totalvoetbal. Sebuah sistem permainan yang memungkinkan para pemain, baik itu pemain belakang atau tengah bisa mencetak gol, dan tidak terpengaruh oleh pakem bahwa pemain depan yang harus mencetak gol. Sebuah sistem permainan yang lama-kelamaan menjadi ciri khas Belanda, kesebelasan yang selalu bercirikan kostum oranye.
Penampilan mengagumkan Belanda itu juga membuat kagum publik sepak bola di Indonesia. Karena penampilan yang seperti itu, tak salah jika banyak publik sepak bola menjadi pendukung kesebelasan Belanda. Tentu saja hal demikian sangat unik mengingat Belanda adalah negara yang amat lekat dalam sejarah Indonesia, terutama sejarah kolonialisme negara tersebut di Tanah Air.
Disadari atau tidak, tertariknya orang-orang Indonesia pada permainan kesebelasan Belanda ketika itu menjadi semacam jembatan penghubung pascakolonial antara kedua negara. Memang, di satu sisi Belanda adalah representasi negara Eropa yang menguasai Tanah Air dalam waktu yang lama, dan telah menancapkan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia pada zaman kolonial. Tentu yang paling diingat adalah perlakuan diskriminasi, rasialis, dan superioritas orang-orang kulit putih terhadap pribumi. Hal-hal demikian sangat dibenci oleh masyarakat di Tanah Air jikalau mereka mengingatnya dalam pelajaran sejarah atau cerita dari orangtua.
Akan tetapi, di sisi lain, Belanda juga dirindukan dan malah diagungkan. Sadar atau tidak, negara kecil di Eropa tersebut membawa begitu banyak hal-hal yang teramat baru dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pribumi seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, juga olahraga seperti sepak bola. Sepak bola di Indonesia memang dikenalkan oleh Belanda pada akhir 1920-an. Cara memainkannya yang gampang dan mudah, serta tidak membutuhkan banyak peralatan menjadikannya sebagai olahraga terpopuler, dan bisa dimainkan siapa saja. Hanya saja, dalam olahraga pun Belanda melakukan diskriminasi. Hanya membatasi pada pribumi-pribumi tertentu. Hal demikian menimbulkan perlawanan. Dan melalui sepak bolalah, bangsa ini melawan.
Pascakolonial di lapangan hijau antara kedua negara bukan hanya berkisar dukungan orang-orang di Tanah Air terhadap tim olahraganya, tetapi juga adanya representasi orang-orang kulit berwarna di tubuh kesebelasan Belanda. Orang-orang kulit berwarna itu berasal dari berbagai macam etnik dan imigran yang ada di Belanda. Ada yang dari Suriname, ada yang dari Hindia Barat, dan ada juga yang dari Hindia-Timur atau Indonesia. Dalam yang terakhir, kebanyakan diwakili oleh orang-orang Maluku. Giovanni van Bronckhorst, Patrick Kluivert, Danny Landzaat, dan Roy Makaay adalah contoh-contoh representasi Maluku yang menjadi jembatan pascakolonial kedua negara. Tentu saja, representasi seperti ini, pada awalnya tidak diterima masyarakat Belanda yang konservatif, yang masih memandang bahwa Indonesia adalah milik mereka yang berharga kemudian lepas, lalu melihat bahwa banyak awak dari bekas jajahannya menjadi bagian dari mereka. Apalagi para awak bekas jajahan itu ternyata mempunyai sesuatu yang berbeda daripada yang menjajah.
Namun semua itu menjadi terterima ketika anak-anak muda Belanda yang berpikiran lebih terbuka memandang bahwa hal demikian perlu jika dihubungkan dengan kesetaraan ras dan multikulturalisme. Hal demikian terjadi akibat pemikiran hippies yang begitu menggejala di seluruh dunia.
Pascakolonial kedua negara di lapangan hijau pun berlanjut ketika Belanda dengan senang hati menyuruh para insan sepak bolanya melatih kesebelasan Indonesia. Mulai dari Wiel Coerver hingga Wim Rijsbergen menjadi nama-nama yang pernah menukangi tim Garuda. Meski hanya segelintir prestasi yang ditorehkan. Belanda pun juga, melalui KNVB, dengan senang hati membantu Indonesia melalui training camp di negara itu pada 2006 yang dilakoni timnas U-23 demi menghadapi Asean Games, lalu dengan senang hati juga membantu Indonesia mencarikan pemain keturunan Indonesia yang bermain di Belanda supaya dinaturalisasi demi kepentingan prestasi instan. Tercatat nama Irfan Bachdim, Diego Michels, Raphael Maitimo, Tonny Cussel, hingga Jhonny van Beukering menjadi bagian dari tim Garuda. Melepaskan kebelandaan mereka lalu kembali kepada leluhur mereka sendiri yang telah dirindukan melalui cerita para orangtua. Sayang, sejauh ini belum ada prestasi yang bisa ditorehkan jika dibandingkan dengan diaspora Indonesia di Belanda yang menjadi bagian dari kesebelasan Belanda, namun telah mempunyai prestasi. Bahkan, salah satu representasi itu, Giovanni van Bronckhorst, dijadikan kapten tim sewaktu di Piala Dunia 2010. Bukankah itu semacam pengakuan terhadap para diaspora Indonesia?
Pascakolonial di lapangan hijau hanyalah salah satu bentuk hubungan kedua negara yang masih terikat jelas masa lalunya. Namun, sejauh yang terlihat, hubungan pascakolonial di lapangan hijau ini masih terbilang relatif baik jika dibandingkan dengan hubungan pascakolonial di bidang politik, sejarah, pendidikan, dan hukum. Terlihat sekali benturan-benturan beraromakan sentimen dan dendam masih terasa. Memang, dalam pascakolonial sesuatu yang ambivalen pasti akan selalu muncul. Tinggal bagaimana kita sendiri yang menyikapinya.
Meski di partai puncak kalah oleh tuan rumah Jerman dengan skor tipis 2-1 setelah terlebih dahulu unggul, Belanda berhasil menjadi tim yang memukau publik sepak bola dunia lewat permainan menyerang total yang disebut sebagai totalvoetbal. Sebuah sistem permainan yang memungkinkan para pemain, baik itu pemain belakang atau tengah bisa mencetak gol, dan tidak terpengaruh oleh pakem bahwa pemain depan yang harus mencetak gol. Sebuah sistem permainan yang lama-kelamaan menjadi ciri khas Belanda, kesebelasan yang selalu bercirikan kostum oranye.
Penampilan mengagumkan Belanda itu juga membuat kagum publik sepak bola di Indonesia. Karena penampilan yang seperti itu, tak salah jika banyak publik sepak bola menjadi pendukung kesebelasan Belanda. Tentu saja hal demikian sangat unik mengingat Belanda adalah negara yang amat lekat dalam sejarah Indonesia, terutama sejarah kolonialisme negara tersebut di Tanah Air.
Disadari atau tidak, tertariknya orang-orang Indonesia pada permainan kesebelasan Belanda ketika itu menjadi semacam jembatan penghubung pascakolonial antara kedua negara. Memang, di satu sisi Belanda adalah representasi negara Eropa yang menguasai Tanah Air dalam waktu yang lama, dan telah menancapkan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia pada zaman kolonial. Tentu yang paling diingat adalah perlakuan diskriminasi, rasialis, dan superioritas orang-orang kulit putih terhadap pribumi. Hal-hal demikian sangat dibenci oleh masyarakat di Tanah Air jikalau mereka mengingatnya dalam pelajaran sejarah atau cerita dari orangtua.
Akan tetapi, di sisi lain, Belanda juga dirindukan dan malah diagungkan. Sadar atau tidak, negara kecil di Eropa tersebut membawa begitu banyak hal-hal yang teramat baru dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pribumi seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, juga olahraga seperti sepak bola. Sepak bola di Indonesia memang dikenalkan oleh Belanda pada akhir 1920-an. Cara memainkannya yang gampang dan mudah, serta tidak membutuhkan banyak peralatan menjadikannya sebagai olahraga terpopuler, dan bisa dimainkan siapa saja. Hanya saja, dalam olahraga pun Belanda melakukan diskriminasi. Hanya membatasi pada pribumi-pribumi tertentu. Hal demikian menimbulkan perlawanan. Dan melalui sepak bolalah, bangsa ini melawan.
Pascakolonial di lapangan hijau antara kedua negara bukan hanya berkisar dukungan orang-orang di Tanah Air terhadap tim olahraganya, tetapi juga adanya representasi orang-orang kulit berwarna di tubuh kesebelasan Belanda. Orang-orang kulit berwarna itu berasal dari berbagai macam etnik dan imigran yang ada di Belanda. Ada yang dari Suriname, ada yang dari Hindia Barat, dan ada juga yang dari Hindia-Timur atau Indonesia. Dalam yang terakhir, kebanyakan diwakili oleh orang-orang Maluku. Giovanni van Bronckhorst, Patrick Kluivert, Danny Landzaat, dan Roy Makaay adalah contoh-contoh representasi Maluku yang menjadi jembatan pascakolonial kedua negara. Tentu saja, representasi seperti ini, pada awalnya tidak diterima masyarakat Belanda yang konservatif, yang masih memandang bahwa Indonesia adalah milik mereka yang berharga kemudian lepas, lalu melihat bahwa banyak awak dari bekas jajahannya menjadi bagian dari mereka. Apalagi para awak bekas jajahan itu ternyata mempunyai sesuatu yang berbeda daripada yang menjajah.
Namun semua itu menjadi terterima ketika anak-anak muda Belanda yang berpikiran lebih terbuka memandang bahwa hal demikian perlu jika dihubungkan dengan kesetaraan ras dan multikulturalisme. Hal demikian terjadi akibat pemikiran hippies yang begitu menggejala di seluruh dunia.
Pascakolonial kedua negara di lapangan hijau pun berlanjut ketika Belanda dengan senang hati menyuruh para insan sepak bolanya melatih kesebelasan Indonesia. Mulai dari Wiel Coerver hingga Wim Rijsbergen menjadi nama-nama yang pernah menukangi tim Garuda. Meski hanya segelintir prestasi yang ditorehkan. Belanda pun juga, melalui KNVB, dengan senang hati membantu Indonesia melalui training camp di negara itu pada 2006 yang dilakoni timnas U-23 demi menghadapi Asean Games, lalu dengan senang hati juga membantu Indonesia mencarikan pemain keturunan Indonesia yang bermain di Belanda supaya dinaturalisasi demi kepentingan prestasi instan. Tercatat nama Irfan Bachdim, Diego Michels, Raphael Maitimo, Tonny Cussel, hingga Jhonny van Beukering menjadi bagian dari tim Garuda. Melepaskan kebelandaan mereka lalu kembali kepada leluhur mereka sendiri yang telah dirindukan melalui cerita para orangtua. Sayang, sejauh ini belum ada prestasi yang bisa ditorehkan jika dibandingkan dengan diaspora Indonesia di Belanda yang menjadi bagian dari kesebelasan Belanda, namun telah mempunyai prestasi. Bahkan, salah satu representasi itu, Giovanni van Bronckhorst, dijadikan kapten tim sewaktu di Piala Dunia 2010. Bukankah itu semacam pengakuan terhadap para diaspora Indonesia?
Pascakolonial di lapangan hijau hanyalah salah satu bentuk hubungan kedua negara yang masih terikat jelas masa lalunya. Namun, sejauh yang terlihat, hubungan pascakolonial di lapangan hijau ini masih terbilang relatif baik jika dibandingkan dengan hubungan pascakolonial di bidang politik, sejarah, pendidikan, dan hukum. Terlihat sekali benturan-benturan beraromakan sentimen dan dendam masih terasa. Memang, dalam pascakolonial sesuatu yang ambivalen pasti akan selalu muncul. Tinggal bagaimana kita sendiri yang menyikapinya.
0 komentar:
Posting Komentar