Judul: Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture
Penulis: Paul Heru Wibowo
Penerbit: LP3ES, 2012
Tebal Halaman: 541 halaman+indeks
Superhero. Jika menyebut kata itu, sudah pasti pikiran kita akan langsung mengarah kepada persona yang mempunyai kekuatan super, berotot seperti binaraga, berparas tampan atau cantik, mengenakan baju ketat spandex, serta bertopeng. Dan dari kekuatan super itu yang bisa berupa kekuatan untuk terbang, memanjat gedung-gedung bertingkat, dan mempunyai senjata super, selalu kita akan mengaitkan itu dengan imaji dan fantasi anak-anak yang bisa dibilang tidak rasional. Bahasa kasarnya, omong kosong.
Namun apa yang ditunjukkan oleh Paul Heru Wibowo dalam buku ini mencoba menyadarkan kita bahwa superhero bukanlah fantasi, imaji anak-anak yang penuh keomongkosongan. Tetapi, superhero merupakan potret sebuah kemanusiaan dalam lingkungan suatu masyarakat. Si penulis menyebutkan kemunculan superhero sejujurnya dikarenakan kebutuhan mendesak masyarakat kapitalis atas perubahan sosial yang ada di sekitarnya. Perubahan itu terutama berkaitan dengan rasa aman. Dalam sejarah kemunculan superhero di Amerika pada awal abad ke-20 memang dikarenakan tingkat kejahatan yang meningkat. Kejahatan yang meningkat tersebut bukan hanya dilakukan oleh penjahat kelas kecil tetapi kelas atas seperti mafia dan gangster. Kejahatan demikian cukup meresahkan bahkan polisi sendiri tidak bisa sepenuhnya memberantas kejahatan tersebut. Keadaan seperti itu yang memunculkan harapan pada masyarakat bahwa mereka ingin rasa aman meski rasa aman itu rasa-rasanya bisa mustahil. Maka, muncullah kemudian superhero-superhero awal Superman dan Batman yang dilahirkan oleh salah satu penerbit komik kelas dunia, DC Comics.
Kehadiran para superhero itu yang tujuan sebenarnya membantu memberantas kejahatan dengan nilai teladan yang dipunyainya, tanpa disadari tidak lepas dari unsur-unsur kekerasan yang otomatis akan mengimitasi para pembacanya, termasuk anak-anak dan remaja. Keadaan demikian membuat maraknya delikuensi moral akibat perilaku dalam komik-komik superhero. Hal demikian membuat pelarangan dan pembakaran komik besar-besaran pasca Perang Dunia ke-2 seperti yang diusulkan oleh ahli pendidikan, Wertham.
Superhero sendiri adalah produk kapitalis yang kemudian menjadi budaya populer. Dia sendiri bentuk modern dari mitos yang telah lama ada dalam masyarakat, yaitu mitos manusia super, seperti Hercules atau Prometheus dalam Mitologi Yunani. Maka, tak salah jika unsur maskulinitas, berupa paras tampan dan badan berotot menjadi nampak dominan dalam sejarah kemunculan superhero. Hal demikian kemudian dikritik oleh gerakan feminisme yang menginginkan munculnya superheroine atau superhero perempuan untuk mengimbangi dominasi laki-laki. Maka, muncullah Wonder Woman. Meski dalam sejarah kemunculan superheroine, peran mereka nyatanya belum sepenuhnya mandiri, dan masih membutuhkan bantuan laki-laki.
Di dalam buku ini, sang penulis juga menuliskan persaingan antara DC Comics dan Marvel yang dikenal sebagai leviathan komik superhero internasional. Persaingan yang terus berlangsung hingga sekarang. DC Comics sebagai penerbit komik superhero pertama sebelum Perang Dunia ke-2 selalu menampilkan superhero yang kelihatannya tidak lekat dengan kehidupan manusia. Kekuatan super yang diperolehnya bukanlah karena keahlian yang dilatih terus-menerus tetapi merupakan turunan. Hal itulah yang tergambar dari Superman, superhero asal Planet Krypton. Sebaliknya, Marvel, yang baru muncul pasca Perang Dunia ke-2, mencoba membuat superhero yang mempunyai kekuatan bukan karena keturunan atau karena berasal dari planet lain, tetapi suatu eksperimen teknologi yang berakibat kecelakaan. Dan Fantastic Four atau X-Men menjadi contoh dari perusahaan komik milik Stan Lee tersebut. Namun ciri tersebut menghilang seiring kedua perusahaan komik itu berusaha membuat superhero yang bukan lagi menjadi ciri khasnya.
Ketenaran para superhero yang dimiliki DC Comics dan Marvel juga terngiang ke Indonesia yang kemudian juga membuat superhero lokal. Sri Asih menjadi superhero pertama Indonesia. Tokoh yang diciptakan oleh RA Kosasih pada dekade 1950-an itu merupakan gabungan dari Superman, Wonder Woman, dan The Flash. Perawakannya yang memakai selendang dan kemben menjadi ciri khas superhero asli Indonesia. Setelah Sri Asih pada dekade 70-an muncullah superhero-superhero lokal seperti Gundala, Godam, Aquanus, Herbintang, Laba-Laba Merah, dan Maza. Kemunculan superhero ini nampak modern karena berusaha mengikuti pakem DC dan Marvel seperti Godam, Gundala, dan Laba-Laba Merah yang nampak terimitasi oleh The Flash, Superman, dan Spiderman. Namun, harus diakui, meski modern, kehadiran superhero nampak belum bisa dari kondisi kultural masyarakat Indonesia. Para superhero itu nyatanya masih dihadirkan dalam percampuran antara klenik dan ilmu dan teknologi. Salah satu contoh saja adalah Godam yang mendapat kekuatannya melalui cincin sakti yang kemudian melawan musuh abadinya, Dr. Setan, dukun sekaligus ilmuwan. Gambaran itu sejujurnya tidak jauh beda dengan jagoan-jagoan Indonesia yang juga dianggap hero dan superhero pra-industrial seperti Si Buta Dari Goa Hantu, Wiro Sableng, dan juga Si Pitung yang mendapat kekuatannya dari jimat, bertapa, atau pertemuan dengan sesuatu yang gaib. Ini tentu beda dengan superhero Amerika yang lekat dengan ilmu dan teknologi.
Dalam buku ini, penulisnya juga menyatakan bahwa superhero adalah gambaran psikologis manusia itu sendiri ketika menghadapi lingkungannya. Satu contoh saja, Batman.Superhero yang identik dengan kelelawar ini dan alter ego dari Bruce Wayne adalah tipe penyendiri dan selalu curiga terhadap orang lain. Hal demikian tentu berpengaruh pada aksi Batman yang selalu individualis, misterius, dan terkadang tidak mempercayai rekannya sendiri, Robin.
Selain sebagai bagian dari industri budaya populer, film, superhero juga sering dimasukkan sebagai unsur penarik dalam iklan. Tujuannya tentu menarik para konsumen. Dalam buku ini bagaimana salah satu produk iklan ternama, Lux, memajang para model wanita seperti Dian Sastrowardoyo dan Mariana Renata menjadi ikon wanita super atau superheroine dengan tag beauty gives you superpowers. Hal ini supaya para wanita yang memakai produk sabun tersebut diharapkan seperti para model itu yang tak hanya cantik tetapi juga berperilaku superheroine.
Buku ini juga membahas tentang superhero dari "negeri sakura" Jepang yang terkenal dengan super sentai, kyodai hero, kamen rider, dan metal heroes. Sama seperti AS, superhero dari Jepang juga lekat dengan ilmu dan teknologi namun dengan tampilan kostum warna-warni yang begitu enak dipandang mata. Maka, tak salah kalau produk dari Jepang itu juga sama populernya dengan produk superhero dari AS.
Di balik kemunculannya, superhero tak hanya pemuas hiburan semata, tetapi dia juga mengusung nilai-nilai tertentu, mulai dari ideologi hingga kritik sosial dalam masyarakat itu sendiri. Meski superhero itu bentuk modern dari mitos-mitos kuno, namun bukan berarti mereka dewa yang abadi alias tidak bisa mati. Para superhero itu juga manusia yang suatu saat menua dan harus mati. Itu terlilhat dari kematian Superman pada 1992 saat melawan Doomsday.
Melalui bahasa yang sederhana, dengan menampilkan teks-teks superhero yang lekat dalam kehidupan sehari-hari, buku ini setidaknya menjadi satu-satunya kajian mengenai superhero di Indonesia. Ini dikarenakan superhero belum menjadi kajian yang serius seperti di AS atau Jepang. Superhero hanyalah sebuah pelengkap yang lebih dilihat unsur khayalinya daripada unsur industri dan humanis yang dipunyainya. Maka, tak salah jika superhero di Indonesia selalu mengalami kembang-kempis. Semoga saja dengan kehadiran buku ini bisa menjadi perintis kajian superhero selanjutnya, dan juga sebagai kebangkitan superhero lokal.
Penulis: Paul Heru Wibowo
Penerbit: LP3ES, 2012
Tebal Halaman: 541 halaman+indeks
Superhero. Jika menyebut kata itu, sudah pasti pikiran kita akan langsung mengarah kepada persona yang mempunyai kekuatan super, berotot seperti binaraga, berparas tampan atau cantik, mengenakan baju ketat spandex, serta bertopeng. Dan dari kekuatan super itu yang bisa berupa kekuatan untuk terbang, memanjat gedung-gedung bertingkat, dan mempunyai senjata super, selalu kita akan mengaitkan itu dengan imaji dan fantasi anak-anak yang bisa dibilang tidak rasional. Bahasa kasarnya, omong kosong.
Namun apa yang ditunjukkan oleh Paul Heru Wibowo dalam buku ini mencoba menyadarkan kita bahwa superhero bukanlah fantasi, imaji anak-anak yang penuh keomongkosongan. Tetapi, superhero merupakan potret sebuah kemanusiaan dalam lingkungan suatu masyarakat. Si penulis menyebutkan kemunculan superhero sejujurnya dikarenakan kebutuhan mendesak masyarakat kapitalis atas perubahan sosial yang ada di sekitarnya. Perubahan itu terutama berkaitan dengan rasa aman. Dalam sejarah kemunculan superhero di Amerika pada awal abad ke-20 memang dikarenakan tingkat kejahatan yang meningkat. Kejahatan yang meningkat tersebut bukan hanya dilakukan oleh penjahat kelas kecil tetapi kelas atas seperti mafia dan gangster. Kejahatan demikian cukup meresahkan bahkan polisi sendiri tidak bisa sepenuhnya memberantas kejahatan tersebut. Keadaan seperti itu yang memunculkan harapan pada masyarakat bahwa mereka ingin rasa aman meski rasa aman itu rasa-rasanya bisa mustahil. Maka, muncullah kemudian superhero-superhero awal Superman dan Batman yang dilahirkan oleh salah satu penerbit komik kelas dunia, DC Comics.
Kehadiran para superhero itu yang tujuan sebenarnya membantu memberantas kejahatan dengan nilai teladan yang dipunyainya, tanpa disadari tidak lepas dari unsur-unsur kekerasan yang otomatis akan mengimitasi para pembacanya, termasuk anak-anak dan remaja. Keadaan demikian membuat maraknya delikuensi moral akibat perilaku dalam komik-komik superhero. Hal demikian membuat pelarangan dan pembakaran komik besar-besaran pasca Perang Dunia ke-2 seperti yang diusulkan oleh ahli pendidikan, Wertham.
Superhero sendiri adalah produk kapitalis yang kemudian menjadi budaya populer. Dia sendiri bentuk modern dari mitos yang telah lama ada dalam masyarakat, yaitu mitos manusia super, seperti Hercules atau Prometheus dalam Mitologi Yunani. Maka, tak salah jika unsur maskulinitas, berupa paras tampan dan badan berotot menjadi nampak dominan dalam sejarah kemunculan superhero. Hal demikian kemudian dikritik oleh gerakan feminisme yang menginginkan munculnya superheroine atau superhero perempuan untuk mengimbangi dominasi laki-laki. Maka, muncullah Wonder Woman. Meski dalam sejarah kemunculan superheroine, peran mereka nyatanya belum sepenuhnya mandiri, dan masih membutuhkan bantuan laki-laki.
Di dalam buku ini, sang penulis juga menuliskan persaingan antara DC Comics dan Marvel yang dikenal sebagai leviathan komik superhero internasional. Persaingan yang terus berlangsung hingga sekarang. DC Comics sebagai penerbit komik superhero pertama sebelum Perang Dunia ke-2 selalu menampilkan superhero yang kelihatannya tidak lekat dengan kehidupan manusia. Kekuatan super yang diperolehnya bukanlah karena keahlian yang dilatih terus-menerus tetapi merupakan turunan. Hal itulah yang tergambar dari Superman, superhero asal Planet Krypton. Sebaliknya, Marvel, yang baru muncul pasca Perang Dunia ke-2, mencoba membuat superhero yang mempunyai kekuatan bukan karena keturunan atau karena berasal dari planet lain, tetapi suatu eksperimen teknologi yang berakibat kecelakaan. Dan Fantastic Four atau X-Men menjadi contoh dari perusahaan komik milik Stan Lee tersebut. Namun ciri tersebut menghilang seiring kedua perusahaan komik itu berusaha membuat superhero yang bukan lagi menjadi ciri khasnya.
Ketenaran para superhero yang dimiliki DC Comics dan Marvel juga terngiang ke Indonesia yang kemudian juga membuat superhero lokal. Sri Asih menjadi superhero pertama Indonesia. Tokoh yang diciptakan oleh RA Kosasih pada dekade 1950-an itu merupakan gabungan dari Superman, Wonder Woman, dan The Flash. Perawakannya yang memakai selendang dan kemben menjadi ciri khas superhero asli Indonesia. Setelah Sri Asih pada dekade 70-an muncullah superhero-superhero lokal seperti Gundala, Godam, Aquanus, Herbintang, Laba-Laba Merah, dan Maza. Kemunculan superhero ini nampak modern karena berusaha mengikuti pakem DC dan Marvel seperti Godam, Gundala, dan Laba-Laba Merah yang nampak terimitasi oleh The Flash, Superman, dan Spiderman. Namun, harus diakui, meski modern, kehadiran superhero nampak belum bisa dari kondisi kultural masyarakat Indonesia. Para superhero itu nyatanya masih dihadirkan dalam percampuran antara klenik dan ilmu dan teknologi. Salah satu contoh saja adalah Godam yang mendapat kekuatannya melalui cincin sakti yang kemudian melawan musuh abadinya, Dr. Setan, dukun sekaligus ilmuwan. Gambaran itu sejujurnya tidak jauh beda dengan jagoan-jagoan Indonesia yang juga dianggap hero dan superhero pra-industrial seperti Si Buta Dari Goa Hantu, Wiro Sableng, dan juga Si Pitung yang mendapat kekuatannya dari jimat, bertapa, atau pertemuan dengan sesuatu yang gaib. Ini tentu beda dengan superhero Amerika yang lekat dengan ilmu dan teknologi.
Dalam buku ini, penulisnya juga menyatakan bahwa superhero adalah gambaran psikologis manusia itu sendiri ketika menghadapi lingkungannya. Satu contoh saja, Batman.Superhero yang identik dengan kelelawar ini dan alter ego dari Bruce Wayne adalah tipe penyendiri dan selalu curiga terhadap orang lain. Hal demikian tentu berpengaruh pada aksi Batman yang selalu individualis, misterius, dan terkadang tidak mempercayai rekannya sendiri, Robin.
Selain sebagai bagian dari industri budaya populer, film, superhero juga sering dimasukkan sebagai unsur penarik dalam iklan. Tujuannya tentu menarik para konsumen. Dalam buku ini bagaimana salah satu produk iklan ternama, Lux, memajang para model wanita seperti Dian Sastrowardoyo dan Mariana Renata menjadi ikon wanita super atau superheroine dengan tag beauty gives you superpowers. Hal ini supaya para wanita yang memakai produk sabun tersebut diharapkan seperti para model itu yang tak hanya cantik tetapi juga berperilaku superheroine.
Buku ini juga membahas tentang superhero dari "negeri sakura" Jepang yang terkenal dengan super sentai, kyodai hero, kamen rider, dan metal heroes. Sama seperti AS, superhero dari Jepang juga lekat dengan ilmu dan teknologi namun dengan tampilan kostum warna-warni yang begitu enak dipandang mata. Maka, tak salah kalau produk dari Jepang itu juga sama populernya dengan produk superhero dari AS.
Di balik kemunculannya, superhero tak hanya pemuas hiburan semata, tetapi dia juga mengusung nilai-nilai tertentu, mulai dari ideologi hingga kritik sosial dalam masyarakat itu sendiri. Meski superhero itu bentuk modern dari mitos-mitos kuno, namun bukan berarti mereka dewa yang abadi alias tidak bisa mati. Para superhero itu juga manusia yang suatu saat menua dan harus mati. Itu terlilhat dari kematian Superman pada 1992 saat melawan Doomsday.
Melalui bahasa yang sederhana, dengan menampilkan teks-teks superhero yang lekat dalam kehidupan sehari-hari, buku ini setidaknya menjadi satu-satunya kajian mengenai superhero di Indonesia. Ini dikarenakan superhero belum menjadi kajian yang serius seperti di AS atau Jepang. Superhero hanyalah sebuah pelengkap yang lebih dilihat unsur khayalinya daripada unsur industri dan humanis yang dipunyainya. Maka, tak salah jika superhero di Indonesia selalu mengalami kembang-kempis. Semoga saja dengan kehadiran buku ini bisa menjadi perintis kajian superhero selanjutnya, dan juga sebagai kebangkitan superhero lokal.
mas buku ini masih ada?
BalasHapus