Judul: Doa untuk Anak Cucu: Kumpulan Puisi Rendra yang Belum Pernah Dipublikasikan
Penulis: W.S Rendra
Penerbit: Bentang, 2013
Jumlah halaman: 94+ foto-foto
Amarah dan duka
menjadi jeladri dendam
bola-bola api tak terkendali
yang membentur diri sendiri
dan memperlemah perlawanan.
Sebab seharusnya perlawanan
membuahkan perbaikan,
bukan sekedar penghancuran
Itulah penggalan bait dari puisi berjudul Inilah Saatnya yang tertera di sampul belakang sebuah buku yang berjudul: Doa Untuk Anak Cucu: Kumpulan Puisi Rendra yang Belum Pernah Dipublikasikan. Jika melihat judulnya sepintas, jelas kita akan mengatakan bahwa ini adalah buku karya dari W.S Rendra, salah satu penyair ternama di Tanah Air yang sudah empat tahun berpulang ke rahmatullah. Ya, inilah karya pertama Rendra semenjak wafatnya, yang sejak April 2013 telah dikumpulkan dan diterbitkan oleh Penerbit Bentang. Dikatakan belum pernah dipublikasikan, sebab semenjak ia terakhir menerbitkan Mencari Bapa dan Perjalanan Bu Aminah pada 1997, inilah kumpulan puisi yang bisa dibaca dan dinikmati masyarakat dari si "burung merak". Sebuah kumpulan puisi yang nyatanya lahir mengikuti pergerakan zaman pasca-reformasi. Ada sebuah pergolakan batin kala harus mengomentari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Simak ungkapannya dalam puisi berjudul Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia:
O, zaman edan!
O, Malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
Penggalan bait dari puisi yang ia tulis pada 17 Mei 1998, beberapa hari pasca-kerusuhan dahsyat itu menggambarkan kegelisahan batin "si burung merak" atas apa yang terjadi di Indonesia di tahun 1998, yang dianggap sebagai tahun chaos dan penuh ketidakpastian. Tahun yang melalui kata "o,zaman edan! o, malam kelam pikiran insan!" bisa dianggap juga sebagai tahun orang-orang menjadi gelap mata dan membabi buta.
Selain peristiwa 1998, Rendra juga mengungkapkan perasaannya dan berkomentar tentang peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004 silam. Dengan lirih dan penuh tanya dalam Di Mana Kamu, De'na? ia berkata:
De'na hatiku menjerit pilu
Di mana kamu? Bagaimana kamu?~
Yang tak bisa kutolak dalam bayangan,
meski mataku terbuka atau terpejam,
adalah gambaran banyak orang berlarian,
Dikejar gelombang 23 meter tingginya.
Dan lalu gempa yang menenggelamkan
gedung-gedung tinggi,
membelah jalan raya,
menjadi jurang menganga.
Ribuan manusia menjadi sampah
dalam badai.
Akan halnya dalam Sagu Ambon tentang konflik yang terjadi Maluku, Rendra berusaha mengungkapkan sisi humanisnya sambil menawarkan solusi berdamai:
Ombak beralun, o, mamae.
Pohon-pohon pala di bukit sakit.
Burung-burung nuri menjerit.
Daripada membakar masjid
Daripada membakar gereja
Lebih baik kita bakar sagu saja.
Selain berusaha bersuara atas peristiwa-peristiwa sosial pasca-reformasi yang terjadi, sebagai manusia, Rendra sadar bahwa ia ciptaan-Nya juga. Dengan beberapa lirik religius dan sufistik, ia berusaha mengungkapkannya di beberapa puisinya, termasuk di Gumamku, ya Allah:
Serambut atau berlaksa hasta
entah apa bedanya dalam penasaran pengertian
Musafir-musafir yang senantiasa mengembara.
Umat manusia tak ada yang juara
Api rindu pada-Mu menyala di pundak yang sepi.
Kerinduan dan pengabdian itu jualah yang tercermin dalam Tuhan, Aku Cinta Pada-Mu, puisi terakhirnya yang dibuat pada 31 Juli 2009:
Aku ingin kembali ke jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah
Tuhan, aku cinta pada-Mu
Selain puisi-puisi yang berkisar pada peristiwa pasca-reformasi, di dalam kumpulan puisi ini juga terdapat puisi-puisi yang dibuat untuk menentang Orde Baru seperti Kesaksian Tentang Mastodon-Mastodon dan Hak Oposisi yang nyatanya baru bisa dinikmati sekarang setelah dibuat pada 1970-an silam. Puisi-puisi yang ada dalam buku kumpulan puisi ini bisa dibilang masih terdapat gaya-gaya Rendra yang khas dalam bersyair, lirik yang panjang, metafora sederhana, repetisi yang berupa seruan, puisi yang bersifat bercerita atau naratif sehingga memungkinkan almarhum, ketika masih hidup, bisa mengekspresikannya secara teatris.
Munculnya buku kumpulan puisi ini setidaknya bisa menghapus dahaga dan kerinduan banyak pihak akan puisi-puisi Rendra yang selalu dinamis, menghentak, dan membuat penguasa tersindir dan malu.
Penulis: W.S Rendra
Penerbit: Bentang, 2013
Jumlah halaman: 94+ foto-foto
Amarah dan duka
menjadi jeladri dendam
bola-bola api tak terkendali
yang membentur diri sendiri
dan memperlemah perlawanan.
Sebab seharusnya perlawanan
membuahkan perbaikan,
bukan sekedar penghancuran
Itulah penggalan bait dari puisi berjudul Inilah Saatnya yang tertera di sampul belakang sebuah buku yang berjudul: Doa Untuk Anak Cucu: Kumpulan Puisi Rendra yang Belum Pernah Dipublikasikan. Jika melihat judulnya sepintas, jelas kita akan mengatakan bahwa ini adalah buku karya dari W.S Rendra, salah satu penyair ternama di Tanah Air yang sudah empat tahun berpulang ke rahmatullah. Ya, inilah karya pertama Rendra semenjak wafatnya, yang sejak April 2013 telah dikumpulkan dan diterbitkan oleh Penerbit Bentang. Dikatakan belum pernah dipublikasikan, sebab semenjak ia terakhir menerbitkan Mencari Bapa dan Perjalanan Bu Aminah pada 1997, inilah kumpulan puisi yang bisa dibaca dan dinikmati masyarakat dari si "burung merak". Sebuah kumpulan puisi yang nyatanya lahir mengikuti pergerakan zaman pasca-reformasi. Ada sebuah pergolakan batin kala harus mengomentari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Simak ungkapannya dalam puisi berjudul Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia:
O, zaman edan!
O, Malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
Penggalan bait dari puisi yang ia tulis pada 17 Mei 1998, beberapa hari pasca-kerusuhan dahsyat itu menggambarkan kegelisahan batin "si burung merak" atas apa yang terjadi di Indonesia di tahun 1998, yang dianggap sebagai tahun chaos dan penuh ketidakpastian. Tahun yang melalui kata "o,zaman edan! o, malam kelam pikiran insan!" bisa dianggap juga sebagai tahun orang-orang menjadi gelap mata dan membabi buta.
Selain peristiwa 1998, Rendra juga mengungkapkan perasaannya dan berkomentar tentang peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004 silam. Dengan lirih dan penuh tanya dalam Di Mana Kamu, De'na? ia berkata:
De'na hatiku menjerit pilu
Di mana kamu? Bagaimana kamu?~
Yang tak bisa kutolak dalam bayangan,
meski mataku terbuka atau terpejam,
adalah gambaran banyak orang berlarian,
Dikejar gelombang 23 meter tingginya.
Dan lalu gempa yang menenggelamkan
gedung-gedung tinggi,
membelah jalan raya,
menjadi jurang menganga.
Ribuan manusia menjadi sampah
dalam badai.
Akan halnya dalam Sagu Ambon tentang konflik yang terjadi Maluku, Rendra berusaha mengungkapkan sisi humanisnya sambil menawarkan solusi berdamai:
Ombak beralun, o, mamae.
Pohon-pohon pala di bukit sakit.
Burung-burung nuri menjerit.
Daripada membakar masjid
Daripada membakar gereja
Lebih baik kita bakar sagu saja.
Selain berusaha bersuara atas peristiwa-peristiwa sosial pasca-reformasi yang terjadi, sebagai manusia, Rendra sadar bahwa ia ciptaan-Nya juga. Dengan beberapa lirik religius dan sufistik, ia berusaha mengungkapkannya di beberapa puisinya, termasuk di Gumamku, ya Allah:
Serambut atau berlaksa hasta
entah apa bedanya dalam penasaran pengertian
Musafir-musafir yang senantiasa mengembara.
Umat manusia tak ada yang juara
Api rindu pada-Mu menyala di pundak yang sepi.
Kerinduan dan pengabdian itu jualah yang tercermin dalam Tuhan, Aku Cinta Pada-Mu, puisi terakhirnya yang dibuat pada 31 Juli 2009:
Aku ingin kembali ke jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah
Tuhan, aku cinta pada-Mu
Selain puisi-puisi yang berkisar pada peristiwa pasca-reformasi, di dalam kumpulan puisi ini juga terdapat puisi-puisi yang dibuat untuk menentang Orde Baru seperti Kesaksian Tentang Mastodon-Mastodon dan Hak Oposisi yang nyatanya baru bisa dinikmati sekarang setelah dibuat pada 1970-an silam. Puisi-puisi yang ada dalam buku kumpulan puisi ini bisa dibilang masih terdapat gaya-gaya Rendra yang khas dalam bersyair, lirik yang panjang, metafora sederhana, repetisi yang berupa seruan, puisi yang bersifat bercerita atau naratif sehingga memungkinkan almarhum, ketika masih hidup, bisa mengekspresikannya secara teatris.
Munculnya buku kumpulan puisi ini setidaknya bisa menghapus dahaga dan kerinduan banyak pihak akan puisi-puisi Rendra yang selalu dinamis, menghentak, dan membuat penguasa tersindir dan malu.