Jarum jam berputar ke angka satu. Putarannya nampak lambat namun
sangat berarti bagi Wuri. Dinaungi ruangan yang cukup ber-AC, ia duduk di dekat
sebuah ruangan yang bertulisan dr. Arya Pamungkas, salah seorang dokter di
sebuah rumah sakit terkenal di Yogyakarta. Wuri berada di situ bukan karena
hendak berobat, melainkan ingin menemui sang dokter untuk keperluan wawancara.
Maklum, ia sendiri seorang wartawan sebuah majalah, dan sedang mendapat tugas
dari atasannya untuk mewawancarai dokter ini perihal penyakit stroke yang bisa
menyerang kaum muda.
Ia sendiri baru sekitar lima belas menit di ruangan dekat ruangan
si dokter yang diincarnya itu. Baru juga lima belas menit yang lalu sampai di
Yogyakarta usai penerbangan dari Jakarta pada pukul setengah 12. Sebuah
penerbangan yang harus dilakoni dengan keburu-buruan sebab terjebak macet di
tol menuju bandara. Sesuatu yang membuatnya menarik nafas dalam-dalam karena
akan tertinggal pesawat.
Di sebelahnya ada sebuah tas yang memuat semua kelengkapannya untuk
wawancara. Perekam, kamera, kartu pers, dan juga notes. Tepat setelah jarum jam
perlahan meninggalkan angka satu, seorang perempuan berjilbab menyapanya dari
balik ruangan. Perempuan itu mempersilakannya masuk sebab sang dokter siap
untuk diwawancara. Wuri mengatakan dalam hatinya itu pasti asisten dokter. Ia
segera bergegas.
Di dalam ruangan itu yang terlihat lebih besar, dan ada dua meja.
Satu berdekatan dengan pintu masuk, satu lagi berada jauh dan membelakangi
jendela besar yang tertutupi horizontal blind. Di meja tampak seorang dokter
yang Wuri pastikan itu dokter Arya. Ketika diantar masuk itu, tepat di mejanya,
ia menatap dokter itu, dan terkejut.
***
Wuri berlari secepat mungkin. Kedua kakinya ia arahkan langsung ke
gerbang penerbangan domestik begitu turun dari taksi yang mengantarnya ke
Bandara Soekarno-Hatta. Sudah mau jam setengah 12. Itu artinya pesawat akan
terbang ke Yogyakarta sesuai dengan jadwal. Ia terpaksa seperti itu akibat
macet di tol bandara dikarenakan kecelakaan sedan yang mengakibatkan antrean
panjang. Ketika terjadi macet itu, Wuri nampak ketar-ketir. Bagaimana tidak,
macet ini pasti akan membuatnya telat sampai di bandara. Ia sendiri juga sudah
berjanji kepada si narasumber, seorang dokter di Yogyakarta, dokter Arya untuk wawancara
pada pukul satu. Itu yang Wuri lakukan dua hari sebelumnya sesaat setelah
mendapatkan tugas dari atasannya. Ketika macet, sambil berharap dalam hati
macet terurai, ia mengirim pesan pendek ke narasumbernya,
“Maaf, Pak Dokter, ini saya lagi terjebak macet. Mungkin saya
telat,”
Beberapa menit setelahnya muncul pesan pendek balasan,
“Iya, tidak apa-apa,”
Aduh, gawat ini kalau sampai ketinggalan pesawat, ujar Wuri dalam
hati sambil terus berlari mengejar, bisa-bisa poin gue negatif.
Ia terus berlari mencari tempat pesawat ke arah Yogyakarta berada.
Rupanya pesawat belum berangkat. Katanya ditunda sekian menit. Menunggu
pengisian avtur secara optimal. Wuri lega dan bersyukur dalam hati. Ia segera
masuk lalu duduk berdasarkan nomor yang tertera di tiket. Ketika hendak duduk,
di deretannya telah banyak penumpang berbagai rupa. Wuri berucap permisi
sebagai basa-basi untuk duduk.
Ia mendapat duduk agak mendekat dengan jendela.
Di samping kiri dan kanannya, ada ibu tua dan seorang anak muda yang mungkin
seumuran dirinya. Dan di samping ibu-ibu itu ada seorang bapak berjas hitam
rapih. Wajahnya kotak dengan beberapa kerutan di bawah kelopak mata. Di bawah
hidungnya ada kumis yang nampak tebal. Potongan rambutnya pendek rapi. Wuri
tidak menangkap kesan istimewa pada bapak itu. Ia tadi hanya tersenyum berucap
permisi ketika hendak duduk.
Sepanjang perjalanan di udara, tak ada sama sekali percakapan yang
timbul antara Wuri dan penumpang lainnya. Hening. Yang ada cuma percakapan di
tempat duduk lain dan suara pramugari melalui pengeras suara. Perjalanan udara
itu sendiri berdurasi sejam. Segera setelah itu buru-buru Wuri mencari taksi,
dan langsung mengatakan alamat ke si sopir taksi yang mengantarkannya.
Rupa-rupanya rumah sakit yang ia tuju berada di luar kota Yogyakarta. Tepatnya
di Sleman. Perjalanan dari bandara kurang lebih memakan waktu lima belas menit.
Itu pun kalau tidak terkena macet. Wuri berharap semoga ia sampai di tujuan.
Harapannya terkabul. Ia pun sampai. Setelah membayar uang ke si sopir taksi, ia
segera masuk dan langsung menuju bagian informasi untuk memberitahukan
kedatangan diri beserta identitasnya.
***
Lho, bukankah ini bapak yang tadi? Tanya Wuri dalam hati mengenai
dokter yang akan ia wawancarai. Wajahnya nampak mengandung raut keterkejutan juga
keheranan seakan-akan seperti pernah bertemu orang yang akan diwawancarainya.
Ia lihat lagi wajah dokter itu. Ini benar-benar bapak yang tadi, gumamnya lagi
dengan penuh keyakinan.
“Maaf, mbak ada apa?” tanya si dokter seakan-akan ia bisa menangkap
pesan wajah dari Wuri. Si dokter ini juga menyadari bahwa Wuri tadi adalah
orang yang ia temui di pesawat. Tetapi, ia berusaha bersikap biasa saja
seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Eh, bapak yang tadi di pesawat kan?” tanya Wuri seolah-olah tanya
itu untuk mewakili keheranan dan keterkejutannya.
“Betul,” kata dokter Arya, “Saya yang tadi di pesawat. Kenapa
memangnya?”
“Eh, tidak apa-apa, pak,” kata Wuri masih terjaring dalam keheranan
dan keterkejutannya, “Cuma saya tidak mengira aja bapak narasumber saya,”
“Ah, wajarlah itu,” kata dokter Arya sembari berbasa-basi, “Kan
hanya kebetulan. Ada banyak kebetulan di dunia ini,”
“Iya, pak,”
“Ya sudah, bisa kan dimulai wawancaranya. Soalnya sebentar lagi
saya harus mengecek pasien,”
“Bisa pak,”
Mulailah Wuri mewawancarai dokter Arya. Beberapa daftar pertanyaan
yang telah ia siapkan ia lempar satu per satu. Tampak Dokter Arya menjawab
dengan santai dan jelas, serta mendetail. Wuri merekam jawaban itu dengan
perekam yang telah ia siapkan. Wawancara itu sendiri berjalan hampir 20 menit.
Ketika selesai,
“Kamu sudah berapa lama menjadi wartawan?” tanya dokter Arya
setelah itu.
“Baru aja, pak,” jawab Wuri sembari membereskan alat-alatnya, “Baru
sebulan ini,”
“Tapi, kok cara bertanyamu seperti wartawan berpengalaman ya?”
tanya dokter Arya heran, “Lulusan jurnalistik?”
“Bukan, pak, saya cuma lulusan hukum,” jawab Wuri seadanya.
“Hukum?” Dokter Arya kembali heran, “Lho kok malah wawancara
kesehatan? Memangnya nyambung?”
“Kalo udah jadi wartawan nggak mandang latar belakang pendidikan
lagi, pak,” kata Wuri menjelaskan,
“Kalo atasan kita suruhnya meliput kesehatan
ya harus dikerjakan. Nggak boleh menolak,”
“Oke-oke, saya mengerti,”
Setelah wawancara itu, Wuri memohon pamit. Ia kemudian keluar dari
ruangan. Raut lega tergambar jelas di wajahnya. Narasumber telah diwawancarai,
dan tinggal menulis serta menyortir laporan ke atasannya.
Huff...hampir aja poin gue negatif, ujarnya dalam hati sembari
melangkahkan kaki ke luar dan melihat langit di Yogyakarta yang masih siang dan
terasa terik namun terasa menyejukkan hati.
Handphone yang sedari tadi di dalam kantongnya ia ambil lalu ia
nyalakan. Facebook pun ia sasar, dan ia tulis status di dalamnya,
“Abis wawancara. Ternyata narasumbernya orang yang satu pesawat.
Hahaha,”
Status itu kemudian mendapatkan banyak respons dari teman-temannya,
“Wah, kok bisa?”
“Wah, asyik dong satu pesawat dengan narasumber. Eh, ganteng
nggak?”
“Pasti ini kebetulan?”
Wuri menjawab respons itu satu per satu. Setelah itu, ia langkahkan
kaki kembali. Sebuah taksi ia setop. Sore ini ia harus kembali ke Jakarta.
Padahal, dalam hati kecilnya, ia ingin sekali berjalan-jalan di Yogyakarta. Menikmati
kota itu. Namun mau bagaimana lagi. Tugas selanjutnya menanti.
0 komentar:
Posting Komentar