Belanda dan Jerman. Dua negera di Eropa bertetangga. Sama-sama dialiri Sungai Rhine. Sama-sama fisiknya bertubuh tinggi, dan sama-sama juga mempunyai bendera horizontal setrip tiga warna. Meskipun tiga setrip warna itu berbeda sangat.
Negara yang satu tentu sudah akrab sekali di telinga khalayak di Tanah Air. Soalnya, dia pernah beraksi selama (katanya) 350 tahun di Nusantara. Menciptakan sebuah mitos modern tentang negara kecil di Eropa yang bisa menaklukkan bangsa besar seperti Indonesia. Saking lamanya di sini, beberapa unsur dari negeri "kincir angin" merasuk ke dalam setiap kehidupan masyarakat di penjuru Tanah Air, baik dalam hukum, politik, ekonomi, dan juga kebahasaan. Bahkan, yang paling santer terdengar, birokrasi dan perundang-undangan Indonesia itu peninggalan kolonial Belanda yang sebenarnya sudah usang dan harus diganti karena terlalu berbelit-belit dan diskriminatif. Sudah berkuasa juga memeras lewat beberapa proyek seperti kerja rodinya Daendels demi pembuatan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg. Yang demikian pun menimbulkan kebencian dan juga prasangka. Bukan dari orang Indonesianya sendiri, tetapi juga dari Belandanya, terutama golongan tua. Maka, tak mengherankan jika hubungan poskolonial kedua negara agak sedikit mengalami gangguan, meskipun di bidang sepak bola semua berjalan lancar sebab 7 Juni nanti, untuk pertama kalinya, timnas Belanda hendak datang kemari.
Lalu bagaimana dengan Jerman? jujur, negara yang satu ini kurang akrab di telinga masyarakat di Tanah Air. Kalaupun akrab, paling cuma beberapa hal yang bisa disampaikan; teknologi, Habibie, dan tentu sepak bola. Selebihnya tidak ada.
Ada satu hal yang menarik bagi saya jikalau membicarakan kedua negara. Dahulu sewaktu saya duduk di bangku SMP, saya membaca buku geografi mengenai kedua negara yang katanya punya bahasa yang hampir mirip. Hm...miripnya seperti apa. Apalagi saya juga beluim bisa membayangkan bahasa Belanda seperti apa. Bahasa Jerman juga seperti apa. Namun perlahan, mungkin karena suka membaca buku, saya temukan persamaan itu. Kata van lalu kata von. Van itu dari Belanda. Nah, von dari Jerman. Kemudian kata lodewijk dan ludwig. Lodewijk Belanda. Ludwig Jerman.
Persamaan itu yang membuat saya tertarik untuk mempelajari dua bahasa itu. Pertama-tama saya belajar dulu bahasa Belanda di UI selama 5 tahun. Sewaktu mempelajari bahasa Belanda, jujur saya terkejut dengan pengucapannya, terutama ketika g diucapkan seperti kho, u dibaca panjang, atau ui dibaca mengatup antara o dan i. Hal yang demikian membuat saya harus mengucapkan nama-nama pemain Belanda seperti dalam aslinya. Maklum, selama ini rada keinggris-inggris-an. Kemudian saya belajar bahasa Jerman. Saya belajarnya dari teman-teman jurusan Jerman. Memang mirip dan beberapa kata saya mengerti artinya. Apalagi tata bahasanya sama. Cuma beberapa pengucapan berbeda. Seperti g dibaca g tetapi bergetar, z dibaca c. eu dibaca oi. Yang demikian menjadi bekal buat saya untuk mengambil mata kuliah bahasa Jerman di akhir-akhir kuliah. Pada akhirnya saya tidak terkejut bahkan dosennya mengira saya pernah belajar bahasa Jerman. Iya, memang, tetapi dari mahasiswanya, bukan dari Goethe Haus.
Mengapa Belanda dan Jerman bisa sama? jawaban paling gampang, karena mereka satu rumpun bersama-sama dengan Inggris, Swedia, Friesland, Denmark, dan Norwegia. Rumpunnya disebut sebagai rumpun Gemanik. Namun jawaban yang lebih jelas sebab keduanya berada dalam satu wilayah, dan wilayah itu dialiri Sungai Rhine. Dalam sejarah bahasa disebutkan, Belanda disebut sebagai bahasa Jerman rendah karena dituturkan di hilir yang wilayahnya rendah. Sedangkan Jerman bahasa Jerman tinggi karena dituturkan di wilayah hulu. Perbedaan geografis yang demikian tidak menyebabkan perbedaan yang begitu mendasar atau mencolok. Apalagi tata bahasa keduanya sama. Bahkan dalam bentuk kata kerja ketika saja dua-duanya memakai partisip g. Namun dalam beberapa kasus, Belanda lebih sederhana daripada Jerman yang bisa mempunyai 4 kasus, bahkan lebih. Hal ini yang membuat bahasa Belanda lebih muda daripada Jerman.
Namun persamaan yang mendasar, dan cuma beda kata dan bentuk ucapan tetap bisa dimengerti masyarakat kedua negara juga yang mempelajari kedua bahasa itu. Itulah mengapa dalam sejarah banyak orang Jerman mau bergabung dengan VOC dengan menjadi salah satu tentara multinasionalnya. Franz-Wilhelm Junghunh, si ahli kina itu pun juga berkebangsaan Jerman sebelum ia memutuskan menjadi orang Belanda. Lalu sekarang banyak pemain sepak bola Belanda yang bermain di Jerman. Sebut saja Arjen Robben, Rafael van der Vaart, dan Ryan Babel. Meskipun persamaan itu tidak selamanya harmonis dalam sejarah keduanya karena pada Perang Dunia ke-2 Jerman menduduki Belanda, dan membunuh banyak Yahudi Belanda di kamp konsentrasi. Peristiwa demikian masih terbawa-bawa pasca Perang Dunia ke-2 kala kedua tim nasional bertarung sehingga menciptakan rivalitas abadi, baik di dalam dan luar lapangan. Namun, belakangan, rivalitas itu sendiri sudahlah berkurang dan hanya ada di dalam lapangan.
alison-chang.com |
Negara yang satu tentu sudah akrab sekali di telinga khalayak di Tanah Air. Soalnya, dia pernah beraksi selama (katanya) 350 tahun di Nusantara. Menciptakan sebuah mitos modern tentang negara kecil di Eropa yang bisa menaklukkan bangsa besar seperti Indonesia. Saking lamanya di sini, beberapa unsur dari negeri "kincir angin" merasuk ke dalam setiap kehidupan masyarakat di penjuru Tanah Air, baik dalam hukum, politik, ekonomi, dan juga kebahasaan. Bahkan, yang paling santer terdengar, birokrasi dan perundang-undangan Indonesia itu peninggalan kolonial Belanda yang sebenarnya sudah usang dan harus diganti karena terlalu berbelit-belit dan diskriminatif. Sudah berkuasa juga memeras lewat beberapa proyek seperti kerja rodinya Daendels demi pembuatan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg. Yang demikian pun menimbulkan kebencian dan juga prasangka. Bukan dari orang Indonesianya sendiri, tetapi juga dari Belandanya, terutama golongan tua. Maka, tak mengherankan jika hubungan poskolonial kedua negara agak sedikit mengalami gangguan, meskipun di bidang sepak bola semua berjalan lancar sebab 7 Juni nanti, untuk pertama kalinya, timnas Belanda hendak datang kemari.
Lalu bagaimana dengan Jerman? jujur, negara yang satu ini kurang akrab di telinga masyarakat di Tanah Air. Kalaupun akrab, paling cuma beberapa hal yang bisa disampaikan; teknologi, Habibie, dan tentu sepak bola. Selebihnya tidak ada.
Ada satu hal yang menarik bagi saya jikalau membicarakan kedua negara. Dahulu sewaktu saya duduk di bangku SMP, saya membaca buku geografi mengenai kedua negara yang katanya punya bahasa yang hampir mirip. Hm...miripnya seperti apa. Apalagi saya juga beluim bisa membayangkan bahasa Belanda seperti apa. Bahasa Jerman juga seperti apa. Namun perlahan, mungkin karena suka membaca buku, saya temukan persamaan itu. Kata van lalu kata von. Van itu dari Belanda. Nah, von dari Jerman. Kemudian kata lodewijk dan ludwig. Lodewijk Belanda. Ludwig Jerman.
Persamaan itu yang membuat saya tertarik untuk mempelajari dua bahasa itu. Pertama-tama saya belajar dulu bahasa Belanda di UI selama 5 tahun. Sewaktu mempelajari bahasa Belanda, jujur saya terkejut dengan pengucapannya, terutama ketika g diucapkan seperti kho, u dibaca panjang, atau ui dibaca mengatup antara o dan i. Hal yang demikian membuat saya harus mengucapkan nama-nama pemain Belanda seperti dalam aslinya. Maklum, selama ini rada keinggris-inggris-an. Kemudian saya belajar bahasa Jerman. Saya belajarnya dari teman-teman jurusan Jerman. Memang mirip dan beberapa kata saya mengerti artinya. Apalagi tata bahasanya sama. Cuma beberapa pengucapan berbeda. Seperti g dibaca g tetapi bergetar, z dibaca c. eu dibaca oi. Yang demikian menjadi bekal buat saya untuk mengambil mata kuliah bahasa Jerman di akhir-akhir kuliah. Pada akhirnya saya tidak terkejut bahkan dosennya mengira saya pernah belajar bahasa Jerman. Iya, memang, tetapi dari mahasiswanya, bukan dari Goethe Haus.
Mengapa Belanda dan Jerman bisa sama? jawaban paling gampang, karena mereka satu rumpun bersama-sama dengan Inggris, Swedia, Friesland, Denmark, dan Norwegia. Rumpunnya disebut sebagai rumpun Gemanik. Namun jawaban yang lebih jelas sebab keduanya berada dalam satu wilayah, dan wilayah itu dialiri Sungai Rhine. Dalam sejarah bahasa disebutkan, Belanda disebut sebagai bahasa Jerman rendah karena dituturkan di hilir yang wilayahnya rendah. Sedangkan Jerman bahasa Jerman tinggi karena dituturkan di wilayah hulu. Perbedaan geografis yang demikian tidak menyebabkan perbedaan yang begitu mendasar atau mencolok. Apalagi tata bahasa keduanya sama. Bahkan dalam bentuk kata kerja ketika saja dua-duanya memakai partisip g. Namun dalam beberapa kasus, Belanda lebih sederhana daripada Jerman yang bisa mempunyai 4 kasus, bahkan lebih. Hal ini yang membuat bahasa Belanda lebih muda daripada Jerman.
Namun persamaan yang mendasar, dan cuma beda kata dan bentuk ucapan tetap bisa dimengerti masyarakat kedua negara juga yang mempelajari kedua bahasa itu. Itulah mengapa dalam sejarah banyak orang Jerman mau bergabung dengan VOC dengan menjadi salah satu tentara multinasionalnya. Franz-Wilhelm Junghunh, si ahli kina itu pun juga berkebangsaan Jerman sebelum ia memutuskan menjadi orang Belanda. Lalu sekarang banyak pemain sepak bola Belanda yang bermain di Jerman. Sebut saja Arjen Robben, Rafael van der Vaart, dan Ryan Babel. Meskipun persamaan itu tidak selamanya harmonis dalam sejarah keduanya karena pada Perang Dunia ke-2 Jerman menduduki Belanda, dan membunuh banyak Yahudi Belanda di kamp konsentrasi. Peristiwa demikian masih terbawa-bawa pasca Perang Dunia ke-2 kala kedua tim nasional bertarung sehingga menciptakan rivalitas abadi, baik di dalam dan luar lapangan. Namun, belakangan, rivalitas itu sendiri sudahlah berkurang dan hanya ada di dalam lapangan.
trima kasih artikelnya,sangat membantu
BalasHapusJadi orang Jerman tidak suka orang Indonesia lah
BalasHapus