Wajah itu begitu lemas. Tatapannya nampak sayu. Rambutnya yang
tadinya lurus malah bercabang ke kiri dan ke kanan. Langkahnya pun juga
terlihat pelan. Namun, begitu, ia tetap masih mau menyunggingkan senyum biarpun
di dalam otaknya ada sesuatu yang membuat dirinya pusing.
Malam memang sudah larut. Jam sudah menunjukkan hampir ke angka 12.
Meski berjalan lambat, tetapi terlihat penanda waktu itu semakin bergerak
pasti. Helmi yang sedari tadi datang mengendarai motor ke kantornya menjelang
pergantian hari itu duduk sebentar lalu mengambil sebatang rokok dari tasnya.
Menyalakannya dan mengembuskannya. Terasa ada semacam kelegaan di dirinya.
Helmi adalah seorang pekerja media. Wartawan di sebuah majalah
berita yang cukup terkenal. Di situ ia sudah bekerja selama hampir setahun.
Menjadi wartawan memang keinginan Helmi semenjak kuliah. Dan itu baru ada di
semester ke-4. Meskipun latar belakang kuliahnya adalah kuliah jurnalistik,
tetapi Helmi tidak berpikir, ketika itu, menjadi kuli tinta, sebuah profesi
yang dihormati sekaligus dicerca, serta mengandung banyak risiko. Ia malah
berpikir untuk kerja di periklanan sebagai konsultan atau manajer iklan atau
sebagai humas di kementerian. Namun semuanya berubah. Suatu hari seorang
seniornya yang sudah lulus datang ke kampusnya bertemu dengan dirinya di
kantin. Seniornya itu, Helmi lebih suka memanggilnya “kang Rusdi”, sudah
bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah berita. Kang Rusdi tampak
mempengaruhi Helmi agar ia mengikuti jejaknya. Awalnya, Helmi ogah dengan
alasan ini-itu. Tetapi, kang Rusdi terus meyakinkannya.
“Setiap pekerjaan memang ada risiko, bos,” kata kang Rusdi, “Kalau
nggak ada risiko bukan pekerjaan namanya,”
Memang risiko akan selalu ada dalam setiap pekerjaan yang digeluti.
Besar atau kecil. Tetapi itu adalah konsekuensi yang harus dijalankan. Apalagi
pekerjaan sebagai wartawan, terutama wartawan perang. Nyawa menjadi pertaruhan.
Cuma risiko itu ada karena ingin mendapatkan sebuah kebenaran alias fakta.
Bukan sesuatu yang fiktif. Kang Rusdi pun mempengaruhinya bahwa menjadi
wartawan berarti juga menjadi bagian perubahan dari bangsa. Ya untuk yang satu
ini nampak Helmi mengiyakan. Tetapi, ia mengajukan pertanyaan,
“Kalau memang perubahan mengapa sekarang banyak jurnalis yang
bekerja demi sebuah kepentingan orang-orang di tempatnya?”
Kang Rusdi paham maksud Helmi. Ia segera menjawab bahwa itu
tergantung dari media massanya. Kalau media massanya tidak independen dan
dikuasai sekelompok orang, ya beritanya terkesan berat sebelah. Tetapi kalau
independen, beritanya bisa cover both side.
Jawaban kang Rusdi yang seperti itu membuat Helmi akhirnya
memancangkan niat untuk menjadi wartawan. Apalagi di zaman reformasi sekarang,
wartawan profesi yang banyak digandrungi. Semenjak itulah, Helmi terus giat
dalam kuliahnya supaya bisa lulus tepat waktu. Dan itu pun terlaksana.
Selepas lulus, Helmi yang menganggur beberapa bulan, akhirnya
melamar ke sebuah majalah berita ternama. Sesuatu yang memang ia inginkan
daripada menjadi wartawan majalah gosip. Majalah berita pasti memberitakan
fakta, bukan majalah gosip yang semuanya fiktif. Ia memang diterima. Bukan main
senang hatinya. Impiannya terwujud. Menjadi bagian dari perubahan bangsa.
Awal-awal menjadi wartawan, ia cukup senang karena atasannya sering
menugaskan ia ke masalah politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Semua dijalani
Helmi dengan senang hati, meski cukup berisiko juga ketika meliput tentang
bentrokan massa preman dengan preman lainnya. Tetapi begitulah pekerjaan.
Seperti yang ia ingat dari ucapan kang Rusdi, semua pasti ada risiko.
Prestasinya pun menanjak. Atasannya cukup suka dengan kinerjanya
yang terlihat fleksibel, penuh semangat, dan sepertinya berhasil menerapkan
teori jurnalistik semasa kuliah. Kemampuan reportase, kepiawaian menembus narasumber
dijadikan oleh atasannya untuk terus mempertahankan Helmi yang nampaknya akan
menjadi aset bagi majalah tersebut. Tetapi, Helmi bersikap biasa saja walau ia
tahu dari atasannya yang lain. Ia sendiri tidak mau terpengaruh karena kalau
terpengaruh ia bisa terlena dan semangat kerjanya hilang.
Namun, atasannya yang lain ---Helmi memang punya banyak atasan----
meminta agar supaya ia diterjunkan ke dalam entertaintment untuk rubrik
artis di majalah tersebut. Ini supaya ia tidak terpaku pada bidang yang serius
saja. Sidang redaksi menyetujuinya. Jadilah Helmi ditugaskan untuk reportase
mengenai artis yang kebetulan sedang lekat dengan prestasi yang diraihnya
menjadi pemain terbaik di filmnya.
Helmi awalnya kurang suka. Tetapi mau bagaimana lagi masa ia harus
menolak. Menolak berarti mengkhianati kesepakatan ketika ia diwawancara bahwa
ia bisa bergerak di semua bidang untuk liputan. Dan ujung-ujungnya, ya
ujung-ujungnya, ia bisa tidak diperpanjang kontraknya atau malah diberhentikan.
Jadilah Helmi berangkat dengan bekal beberapa pertanyaan. Sebelum
berangkat, ia terlebih dahulu menggali sumber data tentang kehidupan artis dari
berbagai sumber yang bisa saja dijadikan pertanyaan. Setelah yakin,
berangkatlah ia ke lokasi.
Saat Helmi sudah sampai di lokasi, tepatnya di sebuah gedung, acara
penganugerahan kepada para para pekerja film dan iklan sedang dimulai. Helmi
tentu menunggu sampai selesainya acara. Begitu acara selesai, ketika si artis
keluar, dan ini bersama pasangannya, mulailah ia bergegas. Tentu bersama wartawan
lain yang kebanyakan adalah wartawan hiburan.
Saat si artis dan pasangannya berhasil dihadang, salah satu
wartawan, dan sepertinya wartawan gosip mulai menanyakannya,
“Aduh, serasinya kalian berdua. Makin awet aja. Apa nih
rahasianya?”
Disusul pertanyaan lain yang kurang lebih sama. Helmi yang
mendengarnya agak terkejut. Pertanyaan itu seperti bukan pertanyaan yang
penting. Pertanyaan cere dan tidak berbobot. Helmi kurang suka dengan
pertanyaan demikian. Tetapi, mau bagaimana lagi, mereka itu wartawan gosip jadi
harus menanyakan hal-hal yang sejujurnya bertentangan dengan kaidah jurnalisme.
Bahkan tak hanya dari pertanyaan, gestur mereka saja terlihat berbeda dengan
dirinya yang harus menanyakan pertanyaan serius. Atasannya minta untuk
menanyakan siapa yang menginspirasi dan mempengaruhi si artis sehubungan dengan
prestasinya.
Ketika tiba gilirannya, Helmi langsung bertanya,
“Maaf, mbak, boleh saya tahu siapa yang kira-kira menginspirasi
Anda sehingga bisa menang penghargaan ini?”
Si artis melongok. Ia merasa pertanyaan Helmi agak serius lalu
bingung terlihat di wajahnya. Si artis kemudian menoleh ke kekasihnya,
“Ya mungkin bisa tanya ke dia,”
Jawaban si artis terang saja membuat Helmi jadi bingung sebab
jawabannya terkesan tidak pasti dan main-main. Yang ditanya kok malah
melemparkan lagi ke orang di sebelahnya,
“Yang, kamu tahu nggak siapa yang menginspirasi aku?”
“Ibu kamu mungkin,” kata si kekasihnya lalu tertawa-tawa. Jelas
saja ini disambut wartawan lainnya yang langsung bertanya,
“Wah, inspirasinya seperti apa nih?”
Helmi malah tambah bingung dan bergumam, aduh, benar-benar nggak
berbobot nih jawabannya. Si artis beserta kekasihnya kemudian buru-buru
meninggalkan kejadian dan masuk ke mobil. Selepas itu, Helmi masih tambah
bingung. Ini apa yang mau ditulis, gumamnya lagi sambil terus berpikir lalu
bergegas kembali ke kantor.
Di kantor itulah, sembari mengembuskan asap rokok, salah seorang
kawannya yang kebetulan lewat di mejanya,
menyapanya dan mengajaknya bicara. Kepada kawannya itu ia ceritakan apa
yang tadi ia alami. Kawannya menjawab,
“Ya iyalah wartawan gosip, gaya bertanya mereka kan pasti nggak
penting. Secara lo di majalah berita yang kulturnya serius karena harus mencari
fakta,”
Lalu kawannya bertanya lagi,
“Kenapa sih harus dia bukan yang lain?”
“Yang minta dari atas,”
Tampak memang Helmi stres. Kawannya menyarankan agar ia, karena
besok akhir pekan, jalan-jalan untuk menghilangkan stres. Helmi mengiyakan.
Perasaan itu juga ia ungkapkan di jejaring sosial sehingga banyak yang kecengin
dirinya dan bilang, sialan lo semua!
Jam menunjukkan pukul satu malam. Usai berbincang dengan kawannya,
ia putuskan pulang. Di malam yang larut, sambil mengendarai sepeda motornya,
Helmi berusaha berpikir bagaimana cara menulis laporannya ini supaya bisa
menjadi empat paragraf. Dasar artis! Nggak menghargai pertanyaan gue! ujarnya
kesal lagi dalam hati. Aduh, mas, ia berkeluh kesah lagi, kenapa sih harus dia
yang diwawancarai. Nggak intelek begitu. Huh! Masa iya gue harus manipulasi
laporan.
Malam semakin larut. Semua rumah sudah mematikan lampu tanda para
penghuninya sudah terlelap dan sedang berkelana di alam mimpi. Tetapi, Helmi,
mau tidak mau, tetap pusing. Tugas pertama untuk rubrik artis dengan jawaban
yang main-main. Ampun!
0 komentar:
Posting Komentar