Bahasa merupakan unsur dalam kehidupan manusia yang bersifat dinamis alias sering berubah-ubah mengikuti keadaan zaman. Ini menunjukkan bahasa bukanlah sesuatu yang konstan dan eksak, meskipun mempunyai formulasi yang pakem dalam tata bahasa atau pelafalan yang tepat dalam tata bunyi. Kenyataannya, bila tidak mengikuti arus utama dalam berbahasa, seringkali muncul kata-kata baru, yang ternyata dapat memberikan khazanah baru dalam berbahasa serta menyumbang kosakata.
Keadaan, yang demikian, disebut dengan neologisme. Jika merujuk pada asal katanya, neologisme berasal dari dua kata, neos dan logos. Neos berarti baru sedangkan logos kata. Jika diartikan secara harfiah, kata ini ini ialah ihwal mengenai kata baru yang sengaja diluncurkan. Di dalam banyak bidang neologisme, seperti kedokteran dan psikologi neologisme diartikan sebagai sebuah keadaan pasien penderita sakit jiwa yang menciptakan kata-kata baru yang hanya dapat dimengerti oleh dirinya sendiri. Karena itu, kata-kata itu terdengar aneh dan tidak dapat dijangkau nalar. Contoh Vicky Prasetyo bisa menjadi kasus. Ia, yang kontroversial, ketika hendak menikahi Zaskia Gotik, secara, entah sengaja atau tidak, mengucap kata-kata seperti: statuitasi kemakmuran, kontroversi hati, dan labil ekonomi.
Di dalam linguistik, neologisme, menurut KBBI, ialah kata bentukan baru atau makna baru untuk kata lama yang dipakai dalam bahasa untuk memberi ciri pribadi atau demi pengembangan kosakata. Sebenarnya, jika dilihat secara umum, istilah neologisme dalam, baik dalam linguistik maupun psikologi-kedokteran hampir mirip: mencipta kata baru demi kepentingan pribadi atau bisa dimengerti dirinya sendiri. Namun, dalam ranah linguistik neologisme bisa berhubungan dengan sosiolinguistik bahasa dan penuturnya, yang berarti juga bisa berkaitan dengan budaya pribadi atau suatu tempat.
Kata neologisme pertama kali muncul dalam bahasa Prancis, yang menyerap dari bahasa Yunani Kuno pada 1734. Lantas kata itu kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi neologism pada 1772. Ketika di Indonesia menjadi neologisme. Munculnya kata itu dari Eropa menunjukkan bahwa benua itu merupakan pengguna pertama neologisme. Neologisme muncul pada abad ke-19 dan 20 ketika dunia, yang terpusat di Eropa dan Amerika, sedang giat-giatnya mengembangkan teknologi oleh karena Revolusi Industri yang berdampak cukup luas ke beberapa aspek, yaitu, ekonomi, sosial, dan politik. Gerrymandering tercatat merupakan bentuk neologisme pertama. Kata ini masuk dalam ranah politik dan tercipta pada 1812. Terciptanya kata ini berawal dari reaksi yang dilakukan Boston Gazzete atas penggambaran ulang distrik pemilihan kongresional Massachussets di bawah pemerintahan Gubernur Elbridge Gerry. Pembagian area yang dilakukannya semata-mata untuk pemanfaatan politis bagi partainya, Republik dan Demokrat. Neologisme ini bersifat negatif karena merupakan tindakan untuk memanipulasi wilayah pemilihan. Dari gerrymandering ini, terciptalah kata-kata yang menggabungkan nama dengan mandering seperti halnya istilah -nomics. Kebalikan dengan -mandering, -nomics, yang merupakan neologisme dalam ekonomi, bersifat positif.
Neologisme kemudian menyebar ke berbagai bidang seperti komunikasi, sastra, militer, sosial, teknologi, dan budaya populer. Dalam kehidupan sehari-hari jamak terdengar global village (kampung/desa global), cyberspace (ranah maya), radar, internet, laser, dan blog. Kata-kata tersebut merupakan neologisme global yang berasal dari empunya globalisasi, Amerika Serikat. Kata-kata ini, kebanyakan muncul pada pasca-Perang Dunia ke-2.
Neologisme secara umum dapat berbentuk kata tunggal atau majemuk/gabungan jika dilihat wujud fisiknya. Selain itu dapat pula berbentuk singkatan dan akronim.
Neologisme di Indonesia
Di Indonesia juga terdapat neologisme. Neologisme di sini tampaknya lahir untuk membendung globalisasi ala Amerika Serikat. Berawal dari keinginan Presiden Soekarno, yang menginginkan Indonesia menjadi negara berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), dimasukkanlah beberapa kata dari bahasa Sansekerta untuk membendung globalisasi itu, seperti pramugari, peragawati, dan dasawarsa. Sansekerta, dan juga bahasa Jawa dipilih dikarenakan kedua bahasa itu merupakan penyumbang kosakata terbanyak dalam bahasa Indonesia meskipun bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu-Riau. Hal ini berbeda dengan di Amerika dan Eropa, yang neologismenya, berakar pada bahasa Latin dan Yunani.
Uniknya, neologisme di Indonesia ialah bahasa asing dilawan dengan bahasa asing. Hal ini karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan banyak suku bangsa dan bahasa. Beberapa suku bangsa di Indonesia secara tidak langsung ikut menyumbang kosakata-kosakata mereka. Gambaran neologisme di Indonesia ialah penyerapan bahasa asing/daerah dengan tidak mengubah ejaan kata (lokakarya), mencampur bahasa daerah/asing (prasejarah), menyerap dengan menerjemahkan total (dalam jaringan), menyerap dengan menerjemahkan sebagian (cakram flopi), dan akronim/singkatan (alutsista, tupoksi). Uniknya lagi, salah satu kata berbau neologisme, swasembada, diciptakan oleh orang asing bernama Zorica Dubovska, seorang penutur bahasa Indonesia asal Republik Ceska. Kata swasembada, yang menurut KBBI, berarti mencukupi kebutuhan sendiri, tercipta dari kata svepomoc yang hendak diterjemahkan oleh Zorica.
Neologisme, mengingat merupakan kata baru di luar arus utama atau kelaziman, tidak sepenuhnya mudah diterjemahkan atau dipadankan ke dalam bahasa lokal. Hal ini dikarenakan sifatnya yang dinamis dan berasal dari budaya tempat kata itu berasal yang juga menyertakan kondisi masyarakatnya secara sosiolinguistik. Misal, kata-kata seperti wearable devices, electric/diesel multiple unit, bus rapid transit, mass rapid transit, smartphone, smartwatch merupakan sekian contoh. Beberapa kata sudah ada yang diterjemahkan dan dipadankan namun mubazir karena jarang digunakan akibat mentalisme masyarakat. Seperti kusala untuk award, tetikus untuk mouse, perangkat lunak untuk software, dan perangkat keras untuk hardware.
Hal ini dikarenakan kata-kata itu muncul dari negara, yang masyarakatnya, merupakan pelahir teknologi maju sehingga ketika dipadankan juga akan terasa tidak sedap di telinga. Di dalam masyarakat yang maju itu juga lahir hal-hal yang bersifat inovatif. Akibatnya, terjadi globalisasi dan imperialisme bahasa yang pada akhirnya memaksa masyarakat yang disasar harus menerima mentah-mentah. Contoh paling sederhana dari ini ialah pemakaian nama-nama umum di bahasa asalnya dan menjadi merek produk teknologi. Twitter, Facebook, Google, dan Skype. Beberapa negara, yang kuat bahasanya, seperti Prancis, Jerman harus menerima globalisasi merek ini walau bisa dipadankan. Apalagi Indonesia.
Keadaan, yang demikian, disebut dengan neologisme. Jika merujuk pada asal katanya, neologisme berasal dari dua kata, neos dan logos. Neos berarti baru sedangkan logos kata. Jika diartikan secara harfiah, kata ini ini ialah ihwal mengenai kata baru yang sengaja diluncurkan. Di dalam banyak bidang neologisme, seperti kedokteran dan psikologi neologisme diartikan sebagai sebuah keadaan pasien penderita sakit jiwa yang menciptakan kata-kata baru yang hanya dapat dimengerti oleh dirinya sendiri. Karena itu, kata-kata itu terdengar aneh dan tidak dapat dijangkau nalar. Contoh Vicky Prasetyo bisa menjadi kasus. Ia, yang kontroversial, ketika hendak menikahi Zaskia Gotik, secara, entah sengaja atau tidak, mengucap kata-kata seperti: statuitasi kemakmuran, kontroversi hati, dan labil ekonomi.
Di dalam linguistik, neologisme, menurut KBBI, ialah kata bentukan baru atau makna baru untuk kata lama yang dipakai dalam bahasa untuk memberi ciri pribadi atau demi pengembangan kosakata. Sebenarnya, jika dilihat secara umum, istilah neologisme dalam, baik dalam linguistik maupun psikologi-kedokteran hampir mirip: mencipta kata baru demi kepentingan pribadi atau bisa dimengerti dirinya sendiri. Namun, dalam ranah linguistik neologisme bisa berhubungan dengan sosiolinguistik bahasa dan penuturnya, yang berarti juga bisa berkaitan dengan budaya pribadi atau suatu tempat.
Kata neologisme pertama kali muncul dalam bahasa Prancis, yang menyerap dari bahasa Yunani Kuno pada 1734. Lantas kata itu kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi neologism pada 1772. Ketika di Indonesia menjadi neologisme. Munculnya kata itu dari Eropa menunjukkan bahwa benua itu merupakan pengguna pertama neologisme. Neologisme muncul pada abad ke-19 dan 20 ketika dunia, yang terpusat di Eropa dan Amerika, sedang giat-giatnya mengembangkan teknologi oleh karena Revolusi Industri yang berdampak cukup luas ke beberapa aspek, yaitu, ekonomi, sosial, dan politik. Gerrymandering tercatat merupakan bentuk neologisme pertama. Kata ini masuk dalam ranah politik dan tercipta pada 1812. Terciptanya kata ini berawal dari reaksi yang dilakukan Boston Gazzete atas penggambaran ulang distrik pemilihan kongresional Massachussets di bawah pemerintahan Gubernur Elbridge Gerry. Pembagian area yang dilakukannya semata-mata untuk pemanfaatan politis bagi partainya, Republik dan Demokrat. Neologisme ini bersifat negatif karena merupakan tindakan untuk memanipulasi wilayah pemilihan. Dari gerrymandering ini, terciptalah kata-kata yang menggabungkan nama dengan mandering seperti halnya istilah -nomics. Kebalikan dengan -mandering, -nomics, yang merupakan neologisme dalam ekonomi, bersifat positif.
Neologisme kemudian menyebar ke berbagai bidang seperti komunikasi, sastra, militer, sosial, teknologi, dan budaya populer. Dalam kehidupan sehari-hari jamak terdengar global village (kampung/desa global), cyberspace (ranah maya), radar, internet, laser, dan blog. Kata-kata tersebut merupakan neologisme global yang berasal dari empunya globalisasi, Amerika Serikat. Kata-kata ini, kebanyakan muncul pada pasca-Perang Dunia ke-2.
Neologisme secara umum dapat berbentuk kata tunggal atau majemuk/gabungan jika dilihat wujud fisiknya. Selain itu dapat pula berbentuk singkatan dan akronim.
Neologisme di Indonesia
Di Indonesia juga terdapat neologisme. Neologisme di sini tampaknya lahir untuk membendung globalisasi ala Amerika Serikat. Berawal dari keinginan Presiden Soekarno, yang menginginkan Indonesia menjadi negara berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), dimasukkanlah beberapa kata dari bahasa Sansekerta untuk membendung globalisasi itu, seperti pramugari, peragawati, dan dasawarsa. Sansekerta, dan juga bahasa Jawa dipilih dikarenakan kedua bahasa itu merupakan penyumbang kosakata terbanyak dalam bahasa Indonesia meskipun bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu-Riau. Hal ini berbeda dengan di Amerika dan Eropa, yang neologismenya, berakar pada bahasa Latin dan Yunani.
Uniknya, neologisme di Indonesia ialah bahasa asing dilawan dengan bahasa asing. Hal ini karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan banyak suku bangsa dan bahasa. Beberapa suku bangsa di Indonesia secara tidak langsung ikut menyumbang kosakata-kosakata mereka. Gambaran neologisme di Indonesia ialah penyerapan bahasa asing/daerah dengan tidak mengubah ejaan kata (lokakarya), mencampur bahasa daerah/asing (prasejarah), menyerap dengan menerjemahkan total (dalam jaringan), menyerap dengan menerjemahkan sebagian (cakram flopi), dan akronim/singkatan (alutsista, tupoksi). Uniknya lagi, salah satu kata berbau neologisme, swasembada, diciptakan oleh orang asing bernama Zorica Dubovska, seorang penutur bahasa Indonesia asal Republik Ceska. Kata swasembada, yang menurut KBBI, berarti mencukupi kebutuhan sendiri, tercipta dari kata svepomoc yang hendak diterjemahkan oleh Zorica.
Neologisme, mengingat merupakan kata baru di luar arus utama atau kelaziman, tidak sepenuhnya mudah diterjemahkan atau dipadankan ke dalam bahasa lokal. Hal ini dikarenakan sifatnya yang dinamis dan berasal dari budaya tempat kata itu berasal yang juga menyertakan kondisi masyarakatnya secara sosiolinguistik. Misal, kata-kata seperti wearable devices, electric/diesel multiple unit, bus rapid transit, mass rapid transit, smartphone, smartwatch merupakan sekian contoh. Beberapa kata sudah ada yang diterjemahkan dan dipadankan namun mubazir karena jarang digunakan akibat mentalisme masyarakat. Seperti kusala untuk award, tetikus untuk mouse, perangkat lunak untuk software, dan perangkat keras untuk hardware.
Hal ini dikarenakan kata-kata itu muncul dari negara, yang masyarakatnya, merupakan pelahir teknologi maju sehingga ketika dipadankan juga akan terasa tidak sedap di telinga. Di dalam masyarakat yang maju itu juga lahir hal-hal yang bersifat inovatif. Akibatnya, terjadi globalisasi dan imperialisme bahasa yang pada akhirnya memaksa masyarakat yang disasar harus menerima mentah-mentah. Contoh paling sederhana dari ini ialah pemakaian nama-nama umum di bahasa asalnya dan menjadi merek produk teknologi. Twitter, Facebook, Google, dan Skype. Beberapa negara, yang kuat bahasanya, seperti Prancis, Jerman harus menerima globalisasi merek ini walau bisa dipadankan. Apalagi Indonesia.