Pages

Rabu, 01 Oktober 2014

Tempo dan Bahasa Indonesia

Ada piring, ada sendok. Ada gula, ada semut lalu ada ban, ada mobil. Dua kata berpasangan yang saling melengkapi itu tampaknya tepat juga untuk menggambarkan judul di atas. Tempo dan Bahasa Indonesia, bisa dibilang merupakan dua unsur yang tidak bisa dipisahkan. Tempo di sini bukanlah sesuatu yang merujuk pada waktu, melainkan majalah berita mingguan berita yang terbit di Jakarta. Sedangkan bahasa Indonesia, tentu semua orang pasti mengatakan bahwa itu adalah bahasa yang sehari-hari dipakai dan dituturkan di Indonesia.
Antara Tempo dan bahasa Indonesia memang mempunyai hubungan historis yang saling melengkapi. Mengapa? Sebagai sebuah media massa yang terbit perdana pada 1971, Tempo merupakan majalah mingguan pertama di Indonesia. Majalah ini didirikan oleh sekelompok anak muda, antara lain Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, dan Harun Musawa. Mereka mendirikan sebuah majalah yang cara penyajiannnya belum pernah ada di Indonesia dengan cara mencontoh Time dan Newsweek (Amerika Serikat), Elsevier (Belanda), Der Spiegel (Jerman), dan L’Express (Prancis). Majalah berita yang diterbitkan itu bukan sekadar majalah yang memberitakan, melainkan juga menceritakan dengan cara sastrawi dan adegan per adegan seperti sebuah narasi. Hal ini yang kemudian melahirkan jurnalisme sastrawi atau literary journalism.
Cara seperti itu yang kemudian membuat Tempo berupaya menulis berita yang enak dibaca dan juga diperlukan karena berisi fakta-fakta sehingga lahirlah slogan “Enak Dibaca dan Perlu”. Semua penulisan A sampai Z, tentu saja ditulis dalam bahasa Indonesia. Bagi Tempo, bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang bukan sekadar pengantar, melainkan juga menunjukkan cara berpikir. Dengan kata lain, Tempo menganggap bahasa Indonesia merupakan bagian terpenting.
Karena itu, Tempo pun mulai menerjemahkan beberapa istilah dari bahasa Inggris dalam struktur redaksi sebuah majalah berita mingguan. Sebut saja editor in-chief yang diterjemahkan menjadi pemimpin redaksi, managing editor redaktur pelaksana, dan chief reporter koordinator reportase. Selain itu, terhadap bahasa yang merupakan percabangan bahasa Melayu itu, Tempo mempunyai redaktur bahasa untuk mengoreksi penulisan naskah. Boleh dibilang Tempo merupakan pelopor dalam pengadaan redaktur bahasa yang kemudian diikuti media-media massa lainnya. Ini semua dilakukan supaya orang dapat mengerti dan memahami berita yang disampaikan melalui tulisan.
Tempo juga pelahir kosakata-kosakata yang diambil dari bahasa daerah dan lantas dijadikan sebagai bagian kosakata baku bahasa Indonesia di kemudian hari. Sebut saja “santai”, “tumben”, “berkelindan”, “melejit”, dan “konon”. Bahkan Tempo juga yang menciptakan istilah dangdut untuk penyebutan genre musik melayu yang bercampur dengan unsur Arab dan India. Majalah ini secara tidak langsung ikut menyumbang perbendaharaan bahasa Indonesia. Selain itu, melalui Slamet Djabarudi, Tempo memelopori penggunaan kalimat bahasa Indonesia yang efektif, seperti kata “meski” yang tidak lagi memakai “namun” setelah itu, atau “jika” yang tanpa memakai lagi “maka”. Dan untuk merawat dan melestarikan bahasa Indonesia melalui kritik dan saran, sejak 2005 majalah ini melahirkan rubrik Bahasa, yang di dalamnya ditulis oleh internal atau eksternal Tempo.
Apa yang dilakukan Tempo merupakan tugas media massa sebagai penyebar bahasa Indonesia yang efektif kepada masyarakat selain pemerintah. Karena itu, Tempo merupakan salah satu bagian penting dalam sejarah bahasa Indonesia.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran