Ada piring, ada sendok. Ada gula, ada semut lalu ada ban, ada
mobil. Dua kata berpasangan yang saling melengkapi itu tampaknya tepat juga
untuk menggambarkan judul di atas. Tempo dan Bahasa Indonesia, bisa
dibilang merupakan dua unsur yang tidak bisa dipisahkan. Tempo di sini bukanlah
sesuatu yang merujuk pada waktu, melainkan majalah berita mingguan berita yang
terbit di Jakarta. Sedangkan bahasa Indonesia, tentu semua orang pasti
mengatakan bahwa itu adalah bahasa yang sehari-hari dipakai dan dituturkan di
Indonesia.
Antara Tempo dan bahasa Indonesia memang mempunyai hubungan
historis yang saling melengkapi. Mengapa? Sebagai sebuah media massa yang
terbit perdana pada 1971, Tempo merupakan majalah mingguan pertama di
Indonesia. Majalah ini didirikan oleh sekelompok anak muda, antara lain
Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, dan Harun Musawa. Mereka mendirikan sebuah
majalah yang cara penyajiannnya belum pernah ada di Indonesia dengan cara
mencontoh Time dan Newsweek (Amerika Serikat), Elsevier
(Belanda), Der Spiegel (Jerman), dan L’Express (Prancis). Majalah
berita yang diterbitkan itu bukan sekadar majalah yang memberitakan, melainkan
juga menceritakan dengan cara sastrawi dan adegan per adegan seperti sebuah
narasi. Hal ini yang kemudian melahirkan jurnalisme sastrawi atau literary journalism.
Cara seperti itu yang kemudian membuat Tempo berupaya
menulis berita yang enak dibaca dan juga diperlukan karena berisi fakta-fakta
sehingga lahirlah slogan “Enak Dibaca dan Perlu”. Semua penulisan A sampai Z,
tentu saja ditulis dalam bahasa Indonesia. Bagi Tempo, bahasa Indonesia
merupakan bahasa nasional yang bukan sekadar pengantar, melainkan juga
menunjukkan cara berpikir. Dengan kata lain, Tempo menganggap bahasa
Indonesia merupakan bagian terpenting.
Karena itu, Tempo pun mulai menerjemahkan beberapa istilah
dari bahasa Inggris dalam struktur redaksi sebuah majalah berita mingguan.
Sebut saja editor in-chief yang diterjemahkan menjadi pemimpin redaksi, managing
editor redaktur pelaksana, dan chief reporter koordinator reportase.
Selain itu, terhadap bahasa yang merupakan percabangan bahasa Melayu itu, Tempo
mempunyai redaktur bahasa untuk mengoreksi penulisan naskah. Boleh dibilang
Tempo merupakan pelopor dalam pengadaan redaktur bahasa yang kemudian
diikuti media-media massa lainnya. Ini semua dilakukan supaya orang dapat
mengerti dan memahami berita yang disampaikan melalui tulisan.
Tempo juga pelahir
kosakata-kosakata yang diambil dari bahasa daerah dan lantas dijadikan sebagai
bagian kosakata baku bahasa Indonesia di kemudian hari. Sebut saja “santai”,
“tumben”, “berkelindan”, “melejit”, dan “konon”. Bahkan Tempo juga yang
menciptakan istilah dangdut untuk penyebutan genre musik melayu yang bercampur
dengan unsur Arab dan India. Majalah ini secara tidak langsung ikut menyumbang
perbendaharaan bahasa Indonesia. Selain itu, melalui Slamet Djabarudi, Tempo
memelopori penggunaan kalimat bahasa Indonesia yang efektif, seperti kata
“meski” yang tidak lagi memakai “namun” setelah itu, atau “jika” yang tanpa
memakai lagi “maka”. Dan untuk merawat dan melestarikan bahasa Indonesia
melalui kritik dan saran, sejak 2005 majalah ini melahirkan rubrik Bahasa, yang
di dalamnya ditulis oleh internal atau eksternal Tempo.
Apa yang dilakukan Tempo merupakan tugas media massa sebagai
penyebar bahasa Indonesia yang efektif kepada masyarakat selain pemerintah.
Karena itu, Tempo merupakan salah satu bagian penting dalam sejarah
bahasa Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar