Afrika. Benua hitam. Safari. Kehidupan alam liar. Perang Saudara. Kelaparan. Aids. Juga ebola. Itulah yang akan sering kita ucap jika menyebut kata 'Afrika'. Selain itu, sepakbola, George Weah, dan Nelson Mandela menyertai. Tetapi Afrika tak sekadar harus populer dengan kosakata-kosakata di atas jika para ilmuwan telah menyatakan bahwa Afrika merupakan benua tempat manusia modern berawal. Selain itu, benua yang bentuknya hampir bulat itu adalah rumah dari 3.000 bahasa, menurut UNESCO. Ya, di Afrikalah kehidupan multibahasa terjadi. Di benua ini banyak penduduknya bisa berbicara lebih dari satu atau dua bahasa. Sama halnya di Indonesia atau Filipina.
Namun kehidupan multibahasa di Afrika cukuplah unik. Berbeda dengan negara-negara di Asia atau Eropa (Indonesia, Filipina, Swiss, dan Belgia) yang sifat multibahasanya dinaungi dalam sebuah bahasa persatuan atau disejajarkan tidak dengan bahasa asli, Afrika sebaliknya. Hampir semua negara di Afrika, kecuali Ethiopia, menandakan kemultibahasaannya dengan cara menjadikan bahasa-bahasa yang berasal dari luar Afrika disejajarkan dengan bahasa-bahasa asli di benua itu sebagai bahasa resmi atau bahasa nasional. Salah satu contoh adalah Tanzania. Negara di Afrika Timur yang terkenal dengan Gunung Kilimanjaro-nya itu menjadikan bahasa Inggris dan Swahili sebagai bahasa resmi. Meskipun dalam kenyataannya, hanya Swahili yang benar-benar dijadikan sebagai lingua franca. Selain kedua bahasa itu terdapat bahasa Gujarat yang dituturkan oleh orang-orang keturunan India di negara itu dan 120 bahasa asli lainnya. Ada juga negara di Afrika yang benar-benar menjadikan bahasa dari luar sebagai bahasa resmi, yaitu Kamerun. Negara yang terkenal ikon pesepak bola Roger Milla itu menjadikan Inggris dan Prancis sebagai bahasa resmi. Alhasil, orang-orang di negara itu bisa fasih berbicara dalam dua bahasa. Selain itu, ada negara yang bahasa resminya bahasa Arab, namun dalam prakteknya juga menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pemerintahan dan pendidikan. Negara itu adalah Aljazair. Negara di Afrika Utara ini termasuk sebagai negara penutur bahasa Prancis terbanyak setelah Prancis. Latar belakang sejarah yang cukup dalam dengan Prancis menjadikan Aljazair menjadi faktor utamanya. Aljazair kemudian membuat gebrakan dengan menjadikan bahasa Berber, yang merupakan bahasa asli Aljazair, sebagai bahasa nasional dan bersanding dengan bahasa-bahasa dari luar negara itu.
Mengapa hal di atas bisa terjadi?
Hal itu bisa dijejakkan kembali ke masa-masa ketika Afrika dalam masa ekspansi dan kolonialisme. Dimulai dari ekspansi yang dilakukan bangsa Arab dari Asia Barat pada abad ke-7. Ekspansi yang berkenaan dengan penyebaran Islam dan pengusiran Romawi itu lantas menumbuhkan bahasa Arab sebagai bahasa yang kemudian dituturkan bagi orang-orang Islam di Afrika, termasuk di antaranya orang-orang Berber yang kemudian memeluk Islam. Bahasa Arab yang kemudian menjadi semacam lingua franca, terutama di Afrika Utara dan bertahan beberapa abad menjadi tak sendirian ketika para kolonialis dari Eropa bermunculan menyebarkan bahasa-bahasanya. Jadilah bahasa Inggris, Prancis, Portugis, Spanyol, bahkan Jerman bermunculan di Afrika. Salah satu bahasa di Eropa, Belanda, menelurkan variannya, Afrikaans, yang dituturkan di Afrika Selatan. Bahasa ini dalam pandangan populer lekat dengan politik apartheid yang pernah ada di negara itu.
Jauh sebelum munculnya bahasa-bahasa dari luar itu, Afrika mempunyai bahasa asli seperti Swahili, Yoruba, Hausa, Fulani, Amhar, dan Igbo yang dituturkan oleh 10 juta orang di Afrika. Sayangnya, bahasa-bahasa asli itu tak mendapat tempat atau tergusur dengan bahasa-bahasa asing yang malah tampak mantap di Afrika. Apalagi Uni Afrika, organisasi regional di benua hitam malah lebih memilih bahasa-bahasa Eropa dan Arab sebagai bahasa resmi dengan alasan efisiensi.Keadaan yang demikian malah mengancam bahasa-bahasa asli di Afrika sehingga pada 2006 Uni Afrika menetapkan Tahun Bahasa Afrika sebagai momentum pelestarian.
Kuatnya pemakaian bahasa-bahasa asing di Afrika sebagai bahasa resmi ditengarai juga berhubungan dengan kuatnya hubungan antara Afrika dan Eropa serta Asia Barat. Hal itu ditandai dengan sering dipakainya orang-orang Afrika sebagai tentara bayaran Eropa atau Arab. Beberapa orang Afrika pun menganggap negara-negara Eropa yang pernah menjajah mereka sebagai tempat yang baik untuk berimigrasi sehingga untuk memudahkan bahasa-bahasa bekas kolonialis mereka tetap dipakai. Bahkan, salah satu mantan kolonialis Afrika, Prancis, masih mempunyai hubungan yang teramat baik dengan negara-negara Afrika bekas koloninya. Terbukti ketika Prancis mengirimkan misinya ke salah satu negara Afrika, Mali, mendapat sambutan hangat dari pemerintah negara itu. Hal yang demikian masih melanggengkan bahasa-bahasa asing begitu kuat di Afrika. Hal tentu berbeda dengan di Asia yang menyebabkan bahasa-bahasa Eropa tidak begitu mengena dan eksis.
Namun kehidupan multibahasa di Afrika cukuplah unik. Berbeda dengan negara-negara di Asia atau Eropa (Indonesia, Filipina, Swiss, dan Belgia) yang sifat multibahasanya dinaungi dalam sebuah bahasa persatuan atau disejajarkan tidak dengan bahasa asli, Afrika sebaliknya. Hampir semua negara di Afrika, kecuali Ethiopia, menandakan kemultibahasaannya dengan cara menjadikan bahasa-bahasa yang berasal dari luar Afrika disejajarkan dengan bahasa-bahasa asli di benua itu sebagai bahasa resmi atau bahasa nasional. Salah satu contoh adalah Tanzania. Negara di Afrika Timur yang terkenal dengan Gunung Kilimanjaro-nya itu menjadikan bahasa Inggris dan Swahili sebagai bahasa resmi. Meskipun dalam kenyataannya, hanya Swahili yang benar-benar dijadikan sebagai lingua franca. Selain kedua bahasa itu terdapat bahasa Gujarat yang dituturkan oleh orang-orang keturunan India di negara itu dan 120 bahasa asli lainnya. Ada juga negara di Afrika yang benar-benar menjadikan bahasa dari luar sebagai bahasa resmi, yaitu Kamerun. Negara yang terkenal ikon pesepak bola Roger Milla itu menjadikan Inggris dan Prancis sebagai bahasa resmi. Alhasil, orang-orang di negara itu bisa fasih berbicara dalam dua bahasa. Selain itu, ada negara yang bahasa resminya bahasa Arab, namun dalam prakteknya juga menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pemerintahan dan pendidikan. Negara itu adalah Aljazair. Negara di Afrika Utara ini termasuk sebagai negara penutur bahasa Prancis terbanyak setelah Prancis. Latar belakang sejarah yang cukup dalam dengan Prancis menjadikan Aljazair menjadi faktor utamanya. Aljazair kemudian membuat gebrakan dengan menjadikan bahasa Berber, yang merupakan bahasa asli Aljazair, sebagai bahasa nasional dan bersanding dengan bahasa-bahasa dari luar negara itu.
Mengapa hal di atas bisa terjadi?
Hal itu bisa dijejakkan kembali ke masa-masa ketika Afrika dalam masa ekspansi dan kolonialisme. Dimulai dari ekspansi yang dilakukan bangsa Arab dari Asia Barat pada abad ke-7. Ekspansi yang berkenaan dengan penyebaran Islam dan pengusiran Romawi itu lantas menumbuhkan bahasa Arab sebagai bahasa yang kemudian dituturkan bagi orang-orang Islam di Afrika, termasuk di antaranya orang-orang Berber yang kemudian memeluk Islam. Bahasa Arab yang kemudian menjadi semacam lingua franca, terutama di Afrika Utara dan bertahan beberapa abad menjadi tak sendirian ketika para kolonialis dari Eropa bermunculan menyebarkan bahasa-bahasanya. Jadilah bahasa Inggris, Prancis, Portugis, Spanyol, bahkan Jerman bermunculan di Afrika. Salah satu bahasa di Eropa, Belanda, menelurkan variannya, Afrikaans, yang dituturkan di Afrika Selatan. Bahasa ini dalam pandangan populer lekat dengan politik apartheid yang pernah ada di negara itu.
Jauh sebelum munculnya bahasa-bahasa dari luar itu, Afrika mempunyai bahasa asli seperti Swahili, Yoruba, Hausa, Fulani, Amhar, dan Igbo yang dituturkan oleh 10 juta orang di Afrika. Sayangnya, bahasa-bahasa asli itu tak mendapat tempat atau tergusur dengan bahasa-bahasa asing yang malah tampak mantap di Afrika. Apalagi Uni Afrika, organisasi regional di benua hitam malah lebih memilih bahasa-bahasa Eropa dan Arab sebagai bahasa resmi dengan alasan efisiensi.Keadaan yang demikian malah mengancam bahasa-bahasa asli di Afrika sehingga pada 2006 Uni Afrika menetapkan Tahun Bahasa Afrika sebagai momentum pelestarian.
Kuatnya pemakaian bahasa-bahasa asing di Afrika sebagai bahasa resmi ditengarai juga berhubungan dengan kuatnya hubungan antara Afrika dan Eropa serta Asia Barat. Hal itu ditandai dengan sering dipakainya orang-orang Afrika sebagai tentara bayaran Eropa atau Arab. Beberapa orang Afrika pun menganggap negara-negara Eropa yang pernah menjajah mereka sebagai tempat yang baik untuk berimigrasi sehingga untuk memudahkan bahasa-bahasa bekas kolonialis mereka tetap dipakai. Bahkan, salah satu mantan kolonialis Afrika, Prancis, masih mempunyai hubungan yang teramat baik dengan negara-negara Afrika bekas koloninya. Terbukti ketika Prancis mengirimkan misinya ke salah satu negara Afrika, Mali, mendapat sambutan hangat dari pemerintah negara itu. Hal yang demikian masih melanggengkan bahasa-bahasa asing begitu kuat di Afrika. Hal tentu berbeda dengan di Asia yang menyebabkan bahasa-bahasa Eropa tidak begitu mengena dan eksis.
0 komentar:
Posting Komentar