Nama buku: Rampokan Jawa dan Selebes
Penulis: Peter van Dongen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2014
Jumlah halaman: 161
Hindia-Belanda dalam komik, apalagi digambar dengan gaya ala Tintin? Itulah yang terdapat dalam Rampokan Jawa dan Selebes, sebuah komik karya komikus Belanda, Peter Van Dongen. Bisa dibilang, untuk pertama kalinya, Hindia-Belanda, atau nama Indonesia di masa kolonial, digambarkan dengan gaya ala Tintin yang terlihat sederhana namun kuat dan mendetail. Melihatnya pun seperti melihat di foto-foto atau video-video klasik hitam-putih.
Komik ini sejatinya bercerita mengenai kisah kerinduan seorang prajurit Belanda bernama Johan Knevel, yang lahir dan menghabiskan masa remajanya di Hindia-Belanda, tepatnya di Makassar. Kerinduan akan masa-masa di Hindia yang indah dengan menjadi seorang sinyo dan diasuh oleh seorang babu bernama Ninih menjadi alasan utama ia kembali ke Hindia-Belanda pasca-Perang Dunia ke-2. Pada saat ia kembali, Hindia-Belanda, yang ia rindukan telah merdeka sepenuhnya dan menjadi Indonesia. Sesuatu yang Knevel tolak. Hal itu terlihat ketika ia menolak penggunaan nama "Jakarta" dan tetap menggunakan nama "Batavia" (halaman 21). Perlu diketahui, Jakarta merupakan nama ibu kota Indonesia yang digunakan ketika Jepang datang. Sedangkan Batavia merupakan nama ibu kota di masa kolonial. Keduanya jelas mengandung makna yang cukup berbeda. Pada Jakarta akan tersemat ungkapan nasionalis, kemerdekaan, bebas dari penjajah. Apalagi Jakarta juga disematkan dalam Proklamasi Kemerdekaan. Lain halnya dengan Batavia yang berbau kolonial dan perlambang eksistensi kolonial. Hal yang demikian mengindikasikan Knevel sesungguhnya sama dengan kebanyakan orang-orang Belanda, terutama mereka yang lahir dan dibesarkan di koloni, menginginkan Hindia-Belanda kembali dalam pangkuan Belanda setelah 3,5 tahun diambil Jepang. Jepang, dalam pandangan orang-orang Belanda, terutama yang masih pro-kolonial, dianggap sebagai pemecah belah antara Belanda dan koloninya dengan slogan "Asia untuk orang Asia". Kedatangan Jepang juga dianggap sebagai tempat tumbuh suburnya nasionalisme yang dianggap virus oleh pihak kolonial. Hal inilah yang terlihat pada prolog awal komik mengenai kedatangan kembali Belanda ke koloninya untuk mencoba kembali menancapkan kekuasaan 350 tahun yang telah berhasil dicapai.
Latar belakang komik pada Oktober 1946 atau setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Pada tahun ini di Indonesia telah terjadi banyak peristiwa, terutama peristiwa pertempuran antara pasukan sekutu dan pasukan Republik. Yang paling terkenal adalah Peristiwa Bandung Lautan Api. Kehadiran pasukan sekutu yang dipimpin Inggris memang ditugaskan untuk menjaga keamanan di Asia Tenggara pasca-Perang Dunia ke-2. Kehadiran mereka tak pelak memancing keributan dengan pihak Republik karena dianggap membonceng dan mendukung Belanda kembali ke Indonesia. Hal yang demikian sering berakibat bentrok dan pertempuran. Salah satu yang paling fenomenal adalah Pertempuran Surabaya November 1945. Latar belakang yang demikian membuat komik memperlihatkan sebuah adegan di dalam sebuah truk dan di Batavia (Jakarta) dijaga pasukan sekutu asal Inggris namun beridentitas India. Pasukan itu dikenali dengan memakai penutup kepala Sikh. Gambaran itu memang sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa banyak pasukan Inggris asal India yang ditempatkan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kehadiran mereka juga menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat kala itu tentang keberpihakan India.
Namun yang paling sesuai juga dengan gambaran sejarah dalam komik ini adalah ungkapan Knevel kepada Fritz yang mengatakan jika Inggris memiliki orang India sebagai pasukan, Belanda pun juga memiliki orang Ambon sebagai pasukan (halaman 19). Dalam sejarahnya, Belanda memang mempunyai pasukan asal Ambon yang ditempatkan dalam kesatuan Marsose dan KNIL. Pasukan asal Ambon ini digunakan Belanda untuk membantu Belanda menaklukkan Aceh dalam Perang Aceh, dan ternyata berhasil. Selanjutnya, orang-orang Ambon itu ditempatkan di dalam kesatuan elite militer Belanda dan mendapatkan status yang hampir sama dengan orang-orang Belanda. Status yang demikian membuat mereka seperti menjadi orang Belanda sehingga ketika Jepang datang mereka ikut ditangkap dan dimasukkan ke dalam kamp internir. Ketika terjadi peristiwa proklamasi, orang-orang Ambon ini menjadi sasaran kaum nasionalis Indonesia yang menganggap mereka sebagai Belanda, dan akhirnya dibunuh. Hal yang demikan membuat beberapa orang Ambon dendam kepada kaum nasionalis Indonesia sehingga ketika memperkuat kembali pasukan Belanda, mereka tidak menyia-nyiakan, lantas bertindak galak terhadap kaum nasionalis Indonesia. Di dalam komik ini, keterlibatan pasukan Ambon dalam kesatuan militer Belanda terlihat di Selebes, yaitu ketika cerita berpindah ke Makassar dan memperlihatkan para pasukan Ambon yang sedang menggerebek sebuah desa di dekat Makassar yang dianggap sarang pemberontak. Di bagian lainnya, mereka diperlihatkan sedang berpatroli.
Dalam usahanya bertemu kembali dengan masa-masa indahnya, ternyata banyak halangan yang ditemui Knevel. Dimulai dari dirinya yang tidak sengaja membunuh rekannya, Erik Verhagen, seorang komunis yang bersimpati kepada kemerdekaan Indonesia di kapal Tegelberg yang hendak menuju ke Hindia hingga ia harus menyamar sebagai Erik dalam perjalanan selanjutnya, dituduh sebagai pengkhianat karena desersi oleh rekan-rekannya di militer Belanda, percintaannya dengan seorang Cina-Manado bernama Lisa Mangar yang kemudian Lisa hamil tetapi ia tidak mengakui, dan yang tidak disangka-sangka ia mempunyai adik dari hubungan almarhum ayahnya dengan Ninih. Hal yang membuat ia terkejut. Memang, di akhir cerita Knevel berhasil menemui walau sebentar. Namun, itu disusul dengan kematiannya yang tenggelam di dalam air dekat perkampungan air di dekat Makassar. Kematian yang mirip dengan kematian Erik Verhagen: tenggelam.
Rampokan Jawa dan Selebes ini merupakan terjemahan dari Rampokan Java en Rampokan Celebes, yang diterbitkan pada 2014 oleh Gramedia Pustaka Utama dalam bentuk 1 buku. Sebelumnya, pada 2005, oleh penerbit yang sama, buku-buku ini diterbitkan secara terpisah. Melihat dari judulnya, memang terkesan unik dan jarang sebab tak semua orang Indonesia, meskipun komik ini berlatar belakang Hindia-Belanda, tahu tentang rampokan, sebuah tradisi memburu harimau beramai-ramai di Jawa pada masa hendak memasuki akhir bulan Puasa, yang berlangsung dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Selain itu, rampokan adalah penyitaan benda secara paksa. Kata rampokan dipilih sebagai komikus sebagai judul sebab sesuai dengan cerita. Dalam cerita, Knevel diasoiasikan sebagai harimau. Harimau dalam rampokan harus dibunuh sebab ia lambang kesialan. Pun dalam cerita, Knevel harus disingkirkan karena ia seperti duri dalam daging bagi orang-orang Belanda akibat tindakannya yang desersi dan memakai identitas Erik Verhagen, yang memang diburu Belanda. Ungkapan dari Chris Jonker, seorang kapten atasan Knevel menegaskan hal itu ketika ia tidak jadi menolong Knevel yang hendak tenggelam tetapi malah menembaknya. Jonker dengan tegas menganggapnya sebagai pengkhianat (halaman 152).
Alur komik, yang naratif dan hitam putih, disertai dengan pemandangan mendetail mengenai Hindia-Belanda yang indah, pemandangan yang membuat orang-orang Belanda tidak rela melepas begitu saja ke pribumi, menjadi nilai tambah ketika membaca komik ini. Kita seolah-olah diajak bernostalgia mengenai Tempo Doeloe. Alur komik pun seperti terlihat dalam film karena memakai adegan analogi yang bersamaan. Belum lagi pewarnaan warna krem dan putih untuk membedakan internal dan eksternal persona. Dari segi penerjemahan, bahasa yang diterjemahkan begitu lentur dan mudah dipahami oleh pembaca komik. Meskipun komik ini berlatar belakang politik dan sejarah, penuturan kata-kata oleh tokohnya terlihat sederhana dengan visual yang mendukung. Yang unik dalam penerjemahan ini adalah pemasukan kata "gemblung". Itu terjadi pada frame para tentara Belanda yang sedang melihat wanita-wanita pribumi mandi di sungai (halaman 31). Bagi para tentara itu, hal itu seperti sesuatu yang menakjubkan. Penggunaan kata "gemblung" malah membuat komik seperti menjadi hidup dan nyata.
Peter Van Dongen, sang komikus, butuh waktu 3 tahun untuk meriset. Riset ia kumpulkan dari foto-foto dan cerita ibunya, yang memang keturunan Indonesia. Tentu itu bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat sudah banyak tempat yang berubah dan berbeda di foto. Akan tetapi, riset itu tidak menjadi sia-sia. Komik lulusan Grafische School Amsterdam penggemar Herge ---pengarang Tintin-- ini (Rampokan Jawa) berbuah penghargaan berupa Desain Buku Terbaik pada 1999, setahun setelah diterbitkan. Pada 2004, ia menerbitkan Rampokan Selebes, yang pada 2005 di Indonesian penjualannya mencapai 3.000 eksempelar. Selain ke bahasa Indonesia, komik ini juga sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman dan Prancis.
Membaca komik ini seperti juga belajar sejarah secara tidak langsung dan informal. Mengetahui hal-hal di balik yang bersifat textbook alias jarang diceritakan sekaligus memasukkan unsur-unsur Mooi Indie yang coba diselipkan. Meskipun, karena yang menulis orang Belanda dan berdarah Indo, kesan subjektif dan cerita yang lebih berkisar ke orang-orang Belanda, menjadikan komik ini lebih melihat Indonesia dari sudut pandang Belanda, dan mewakili kerinduan orang-orang tua di Belanda akan Indonesia (Hindia-Belanda).
Penulis: Peter van Dongen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2014
Jumlah halaman: 161
Hindia-Belanda dalam komik, apalagi digambar dengan gaya ala Tintin? Itulah yang terdapat dalam Rampokan Jawa dan Selebes, sebuah komik karya komikus Belanda, Peter Van Dongen. Bisa dibilang, untuk pertama kalinya, Hindia-Belanda, atau nama Indonesia di masa kolonial, digambarkan dengan gaya ala Tintin yang terlihat sederhana namun kuat dan mendetail. Melihatnya pun seperti melihat di foto-foto atau video-video klasik hitam-putih.
thejakartapost.com |
Komik ini sejatinya bercerita mengenai kisah kerinduan seorang prajurit Belanda bernama Johan Knevel, yang lahir dan menghabiskan masa remajanya di Hindia-Belanda, tepatnya di Makassar. Kerinduan akan masa-masa di Hindia yang indah dengan menjadi seorang sinyo dan diasuh oleh seorang babu bernama Ninih menjadi alasan utama ia kembali ke Hindia-Belanda pasca-Perang Dunia ke-2. Pada saat ia kembali, Hindia-Belanda, yang ia rindukan telah merdeka sepenuhnya dan menjadi Indonesia. Sesuatu yang Knevel tolak. Hal itu terlihat ketika ia menolak penggunaan nama "Jakarta" dan tetap menggunakan nama "Batavia" (halaman 21). Perlu diketahui, Jakarta merupakan nama ibu kota Indonesia yang digunakan ketika Jepang datang. Sedangkan Batavia merupakan nama ibu kota di masa kolonial. Keduanya jelas mengandung makna yang cukup berbeda. Pada Jakarta akan tersemat ungkapan nasionalis, kemerdekaan, bebas dari penjajah. Apalagi Jakarta juga disematkan dalam Proklamasi Kemerdekaan. Lain halnya dengan Batavia yang berbau kolonial dan perlambang eksistensi kolonial. Hal yang demikian mengindikasikan Knevel sesungguhnya sama dengan kebanyakan orang-orang Belanda, terutama mereka yang lahir dan dibesarkan di koloni, menginginkan Hindia-Belanda kembali dalam pangkuan Belanda setelah 3,5 tahun diambil Jepang. Jepang, dalam pandangan orang-orang Belanda, terutama yang masih pro-kolonial, dianggap sebagai pemecah belah antara Belanda dan koloninya dengan slogan "Asia untuk orang Asia". Kedatangan Jepang juga dianggap sebagai tempat tumbuh suburnya nasionalisme yang dianggap virus oleh pihak kolonial. Hal inilah yang terlihat pada prolog awal komik mengenai kedatangan kembali Belanda ke koloninya untuk mencoba kembali menancapkan kekuasaan 350 tahun yang telah berhasil dicapai.
Latar belakang komik pada Oktober 1946 atau setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Pada tahun ini di Indonesia telah terjadi banyak peristiwa, terutama peristiwa pertempuran antara pasukan sekutu dan pasukan Republik. Yang paling terkenal adalah Peristiwa Bandung Lautan Api. Kehadiran pasukan sekutu yang dipimpin Inggris memang ditugaskan untuk menjaga keamanan di Asia Tenggara pasca-Perang Dunia ke-2. Kehadiran mereka tak pelak memancing keributan dengan pihak Republik karena dianggap membonceng dan mendukung Belanda kembali ke Indonesia. Hal yang demikian sering berakibat bentrok dan pertempuran. Salah satu yang paling fenomenal adalah Pertempuran Surabaya November 1945. Latar belakang yang demikian membuat komik memperlihatkan sebuah adegan di dalam sebuah truk dan di Batavia (Jakarta) dijaga pasukan sekutu asal Inggris namun beridentitas India. Pasukan itu dikenali dengan memakai penutup kepala Sikh. Gambaran itu memang sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa banyak pasukan Inggris asal India yang ditempatkan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kehadiran mereka juga menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat kala itu tentang keberpihakan India.
Namun yang paling sesuai juga dengan gambaran sejarah dalam komik ini adalah ungkapan Knevel kepada Fritz yang mengatakan jika Inggris memiliki orang India sebagai pasukan, Belanda pun juga memiliki orang Ambon sebagai pasukan (halaman 19). Dalam sejarahnya, Belanda memang mempunyai pasukan asal Ambon yang ditempatkan dalam kesatuan Marsose dan KNIL. Pasukan asal Ambon ini digunakan Belanda untuk membantu Belanda menaklukkan Aceh dalam Perang Aceh, dan ternyata berhasil. Selanjutnya, orang-orang Ambon itu ditempatkan di dalam kesatuan elite militer Belanda dan mendapatkan status yang hampir sama dengan orang-orang Belanda. Status yang demikian membuat mereka seperti menjadi orang Belanda sehingga ketika Jepang datang mereka ikut ditangkap dan dimasukkan ke dalam kamp internir. Ketika terjadi peristiwa proklamasi, orang-orang Ambon ini menjadi sasaran kaum nasionalis Indonesia yang menganggap mereka sebagai Belanda, dan akhirnya dibunuh. Hal yang demikan membuat beberapa orang Ambon dendam kepada kaum nasionalis Indonesia sehingga ketika memperkuat kembali pasukan Belanda, mereka tidak menyia-nyiakan, lantas bertindak galak terhadap kaum nasionalis Indonesia. Di dalam komik ini, keterlibatan pasukan Ambon dalam kesatuan militer Belanda terlihat di Selebes, yaitu ketika cerita berpindah ke Makassar dan memperlihatkan para pasukan Ambon yang sedang menggerebek sebuah desa di dekat Makassar yang dianggap sarang pemberontak. Di bagian lainnya, mereka diperlihatkan sedang berpatroli.
Dalam usahanya bertemu kembali dengan masa-masa indahnya, ternyata banyak halangan yang ditemui Knevel. Dimulai dari dirinya yang tidak sengaja membunuh rekannya, Erik Verhagen, seorang komunis yang bersimpati kepada kemerdekaan Indonesia di kapal Tegelberg yang hendak menuju ke Hindia hingga ia harus menyamar sebagai Erik dalam perjalanan selanjutnya, dituduh sebagai pengkhianat karena desersi oleh rekan-rekannya di militer Belanda, percintaannya dengan seorang Cina-Manado bernama Lisa Mangar yang kemudian Lisa hamil tetapi ia tidak mengakui, dan yang tidak disangka-sangka ia mempunyai adik dari hubungan almarhum ayahnya dengan Ninih. Hal yang membuat ia terkejut. Memang, di akhir cerita Knevel berhasil menemui walau sebentar. Namun, itu disusul dengan kematiannya yang tenggelam di dalam air dekat perkampungan air di dekat Makassar. Kematian yang mirip dengan kematian Erik Verhagen: tenggelam.
Rampokan Jawa dan Selebes ini merupakan terjemahan dari Rampokan Java en Rampokan Celebes, yang diterbitkan pada 2014 oleh Gramedia Pustaka Utama dalam bentuk 1 buku. Sebelumnya, pada 2005, oleh penerbit yang sama, buku-buku ini diterbitkan secara terpisah. Melihat dari judulnya, memang terkesan unik dan jarang sebab tak semua orang Indonesia, meskipun komik ini berlatar belakang Hindia-Belanda, tahu tentang rampokan, sebuah tradisi memburu harimau beramai-ramai di Jawa pada masa hendak memasuki akhir bulan Puasa, yang berlangsung dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Selain itu, rampokan adalah penyitaan benda secara paksa. Kata rampokan dipilih sebagai komikus sebagai judul sebab sesuai dengan cerita. Dalam cerita, Knevel diasoiasikan sebagai harimau. Harimau dalam rampokan harus dibunuh sebab ia lambang kesialan. Pun dalam cerita, Knevel harus disingkirkan karena ia seperti duri dalam daging bagi orang-orang Belanda akibat tindakannya yang desersi dan memakai identitas Erik Verhagen, yang memang diburu Belanda. Ungkapan dari Chris Jonker, seorang kapten atasan Knevel menegaskan hal itu ketika ia tidak jadi menolong Knevel yang hendak tenggelam tetapi malah menembaknya. Jonker dengan tegas menganggapnya sebagai pengkhianat (halaman 152).
Alur komik, yang naratif dan hitam putih, disertai dengan pemandangan mendetail mengenai Hindia-Belanda yang indah, pemandangan yang membuat orang-orang Belanda tidak rela melepas begitu saja ke pribumi, menjadi nilai tambah ketika membaca komik ini. Kita seolah-olah diajak bernostalgia mengenai Tempo Doeloe. Alur komik pun seperti terlihat dalam film karena memakai adegan analogi yang bersamaan. Belum lagi pewarnaan warna krem dan putih untuk membedakan internal dan eksternal persona. Dari segi penerjemahan, bahasa yang diterjemahkan begitu lentur dan mudah dipahami oleh pembaca komik. Meskipun komik ini berlatar belakang politik dan sejarah, penuturan kata-kata oleh tokohnya terlihat sederhana dengan visual yang mendukung. Yang unik dalam penerjemahan ini adalah pemasukan kata "gemblung". Itu terjadi pada frame para tentara Belanda yang sedang melihat wanita-wanita pribumi mandi di sungai (halaman 31). Bagi para tentara itu, hal itu seperti sesuatu yang menakjubkan. Penggunaan kata "gemblung" malah membuat komik seperti menjadi hidup dan nyata.
Peter Van Dongen, sang komikus, butuh waktu 3 tahun untuk meriset. Riset ia kumpulkan dari foto-foto dan cerita ibunya, yang memang keturunan Indonesia. Tentu itu bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat sudah banyak tempat yang berubah dan berbeda di foto. Akan tetapi, riset itu tidak menjadi sia-sia. Komik lulusan Grafische School Amsterdam penggemar Herge ---pengarang Tintin-- ini (Rampokan Jawa) berbuah penghargaan berupa Desain Buku Terbaik pada 1999, setahun setelah diterbitkan. Pada 2004, ia menerbitkan Rampokan Selebes, yang pada 2005 di Indonesian penjualannya mencapai 3.000 eksempelar. Selain ke bahasa Indonesia, komik ini juga sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman dan Prancis.
Membaca komik ini seperti juga belajar sejarah secara tidak langsung dan informal. Mengetahui hal-hal di balik yang bersifat textbook alias jarang diceritakan sekaligus memasukkan unsur-unsur Mooi Indie yang coba diselipkan. Meskipun, karena yang menulis orang Belanda dan berdarah Indo, kesan subjektif dan cerita yang lebih berkisar ke orang-orang Belanda, menjadikan komik ini lebih melihat Indonesia dari sudut pandang Belanda, dan mewakili kerinduan orang-orang tua di Belanda akan Indonesia (Hindia-Belanda).
0 komentar:
Posting Komentar