Setiap manusia memiliki kebanggaan. Dan itu merupakan hal yang
pasti dan alami. Kebanggaan itu sendiri bisa berupa kebanggaan akan diri
sendiri, kebanggaan akan orang lain, atau kebanggaan akan sesuatu yang bisa
terwujud dalam benda mati. Dalam KBBI sendiri, kebanggaan itu berarti kebesaran
hati, perasaan bangga, kepuasan diri. Setiap manusia boleh memiliki rasa bangga
atas apa yang dipunyainya, namun hal tersebut janganlah sampai melebihi batas.
Hendaknya kebanggaan yang dipunyai memiliki sesuatu yang positif bagi yang
memilikinya, atau setidaknya mempengaruhi bagi mereka yang berhubungan
dengannya. Namun bagaimana jika kebanggaan itu sendiri bersifat negatif demi
pemuasan ambisi pribadi atas nama tradisi?
Itulah yang terlihat pada Piramid (terjemahan dari La
Pyramide), salah satu karya termasyhur dari Ismaїl Kadaré, sastrawan asal
Albania yang berulangkali memenangkan penghargaan sastra internasional, seperti
Prix Mondial Cino del Duca (1992), Man Booker International Prize (2005), dan
Primios Principe de Asturias (2009). Buku yang diterbitkan oleh si penulis
dalam pengasingannya di Prancis pada 1992 ini (di Indonesia pada 2011) berkisah
mengenai pembangunan piramida di Mesir Kuno. Setting tempatnya sendiri berkisar
pada masa 2600 SM, atau tepatnya pada masa berkuasanya Firaun Cheops (Khufu).
Sebagaimana lazimnya, pembangunan piramida di masa Mesir Kuno
adalah sebuah tradisi, terutama bagi setiap Firaun yang memerintah, yang
diharuskan mempunyai piramidanya sendiri. Pembangunan piramida di masa Mesir Kuno
bukan hanya ditujukan sebagai pemujaan dan ibadah kepada Ra, dewa tertinggi
dalam mitologi Mesir Kuno, tetapi juga sebagai tempat pemakaman, serta
kebanggaan. Karena tradisi, hal demikian tidak bisa tidak ditolak, terutama
yang ditunjukkan oleh Cheops, yang pada awal novel ini menyeletuk hendak
menghentikan tradisi pembangunan piramid untuk dirinya. Celetukan itu jelas
membuat beberapa pendeta, pejabat kerajaan, terutama Pendeta Tinggi Hemiunu
berurai air mata, seakan-akan tak percaya kalau seorang Firaun berupaya
menghentikan tradisi yang sudah sedemikian berjalan.
Maka, tak ada jalan lain selain membujuk Cheops dengan mengatakan
bahwa membangun piramid adalah sebuah keharusan dan sebuah tradisi yang tidak
boleh diputus. Ini pun ada hubungannya dengan pilar penyangga kekuasaan. Begitulah
yang diucapkan Hemiunu kepada Cheops pada sebuah pertemuan dengan nada
mengancam,
“Piramid adalah pilar penyangga kekuasaan. Jika ia terguncang,
segalanya rubuh berantakan” (hal.15)
“Jadi jangan berpikir, Firaunku, untuk mengubah tradisi...Paduka
bakal jatuh dan menyungkurkan kami bersamamu” (hal.15)
Firaun Cheops yang dibujuk seperti itu akhirnya secara sadar
berubah pikiran. Apalagi, oleh beberapa bawahannya dikatakan bahwa pembangunan
piramid itu juga untuk mengimbangi pembangunan kanal yang dilakukan bangsa
Sumeria, seteru Mesir Kuno di masa itu. Sekaligus sebagai sebuah kebanggaan
nasional bahwa Mesir mempunyai sesuatu yang layak dibanggakan.
Lalu pembangunan Piramid dilakukan dan memakan banyak korban jiwa
selama berbelas hingga berpuluh tahun. Piramid pun selesai tetapi tiga tahun
kemudian, sang Firaun meninggal dan kemudian dimakamkan di piramid yang
dibangunnya tersebut.
***
Dengan paparan bab yang bersifat kronikal dalam buku setebal 216
halaman ini (plus duan esai dari Magnus Linklater dan David Bellos), Kadaré
memaparkannya secara struktural. Dimulai dari masa rencana pembangunan piramid,
masa pembangunan, dan pasca pembangunan. Ketiga masa itu jika ditafsirkan
seperti membangun piramid itu sendiri yang memakan banyak korban jiwa, terutama
para anak lelaki yang harus direlakan oleh ibunya untuk mati demi menuruti
keinginan sang raja. Dalam hal ini Kadaré menuliskannya secara satir,
“Ibu sayang, izinkanku mengakhiri hidup dengan membangun makam”
(hal.60)
Yang kemudian pada beberapa halaman terpisah ditanggapi dengan
kalimat seperti ini,
“Kukorbankan anak laki-lakiku pada piramid dengan gembira” (hal.98)
Secara psikologis, ini sebenarnya merupakan sebuah sikap yang
sebenarnya sangat menolak, apalagi pengerahan para pekerja itu dilakukan dengan
cara paksa, dan di tempat kerja dicambuk habis-habisan. Namun, karena ini
adalah perintah sang Firaun, maka itu pun tidak bisa ditolak, yang kemudian
membuat si ibu dan anak menghibur diri.
Memang, pembangunan piramida itu dilakukan secara paksa. Hal yang
demikian membuat rakyat Mesir Kuno gempar seperti mengalami sebuah serangan
penyakit menular atau perang. Kadaré menggambarkannya kegemparan itu dengan
ungkapan berikut,
“....rasa cemas yang dirasakan manakala kemalangan yang sangat
ditakutkan, yang diharapkan takkan pernah terjadi oleh masyarakat, akhirnya
benar-benar mewujud di atas cakrawala,” (hal.17)
Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya pembangunan piramida tidak
diinginkan oleh masyarakat Mesir Kuno karena sifatnya yang memaksa. Mereka
bahkan menganggap itu sebuah kesialan yang tidak bisa dilewatkan dalam hidup
mereka. Kekhawatiran itu sendiri bukan hanya dirasakan oleh masyarakat, tetapi
juga para arsitek piramida, karena mereka yang bertanggungjawab langsung kepada
Firaun.
Namun kecemasan yang sebenarnya dalam novel ini justru terletak
pada diri sang Cheops. Sifatnya yang inkonsisten membuatnya kemudian tersadar
bahwa pembangunan piramid itu pada akhirnya akan memangsa dirinya sendiri. Ini
yang kemudian dipaparkan secara dalam oleh Kadaré dalam bab VI “Debu Raja-raja”.
Meminjam istilah terkenal dari Sigmund Freud, psikoanalisis, terlihat sekali
Kadaré berusaha mempermainkan emosi sang Cheops yang mulai membayangkan dirinya
mati dibalsem, terbungkus kain mumi, dan terkubur dalam sarkofagus di sebuah
tempat yang sepi, penuh debu, dan jauh dari kehidupan. Apalagi kalau bukan di
piramid yang tengah dibangunnya itu. Dan di bab akhir, ia semakin menyadari
bahwa piramid itu menginginkannya.
Jika menilik pada teori Freud, maka bisa dipastikan bahwa kejiwaan
Cheops memasuki tahap sadar dari tiga tahap yang diajukan Freud dalam
psikoanalisisnya, yaitu sadar (conscius), pra sadar (preconscious), dan tak
sadar (unconscious).
Mengapa Kadaré begitu nampak memusatkan perhatiannya pada Cheops?
Hal ini dikarenakan Cheops sendiri yang merupakan penggerak massa untuk
membangun piramid kebanggaannya dengan berdarah-darah. Tentulah menjadi hak
bagi Kadaré untuk memeriksakan kejiwaan tokoh sentralnya ini ketika menghadapi
serangkaian kejadian yang berhubungan dengan pembangunan piramida. Mulai dari
ketegangan menghadapi para arsitek yang menyiapkan maket pembangunan,
ketegangan menghadapi para pendeta dan penyihir, lalu ketegangan menghadapi
rakyat yang anti kepada dirinya hingga dirinya sendiri. Dan secara psikologis,
dapat disimpulkan bahwa Cheops perlahan-lahan mulai terkucil seperti yang ia
bayangkan ketika meninggal nanti.
Apa yang dipaparkan Kadaré mengenai Cheops sendiri sebenarnya
seperti sebuah ironi. Kebanyakan orang mengenal Cheops sebagai salah satu
Firaun yang berhasil membangun salah satu piramid terbesar dunia, Piramida
Giza. Piramida itu kemudian menjadi salah satu tujuh keajaiban dunia kuno versi
Herodotus. Tetapi, ia digambarkan sebagai diktator yang terlihat lemah dan tak
berdaya dan mudah berubah sikap.
Mengenai kediktatoran itu sendiri, sesungguhnya tidak bisa kita
lepaskan dari kehidupan nyata Kadaré yang secara langsung bersinggungan dengan
Enver Hoxha, diktator komunis
Albania yang membuat negeri itu menjadi komunis pasca Perang Dunia ke-2 dan
kemudian berakhir pasca runtuhnya Uni Soviet. Kehidupan yang diktatoris di
Albania membuat Kadaré menyingkirkan diri ke Prancis dan berkarya di sana. Dan Piramid
bisa dibilang sejenis dengan karya-karyanya, yang di antaranya sudah
diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Istana Mimpi (Serambi,
2012) dan Elegi untuk Kosovo (Jalasutra, 2004)
Hadirnya Piramid karya Ismail Kadaré ini seperti kata
penerbit yang memegang lisensi karyanya, Marjin Kiri, untuk mengisi kekosongan
bacaan sastra, terutama sastra dunia yang berkualitas di Indonesia di tengah
gempuran bacaan teenlit atau metropop. Apalagi karya ini bukanlah karya
sembarangan mengingat isinya yang menyentuh sisi humanis yang tengah tercerabut
oleh kesewenangan politis. Jika di Indonesia karya ini pantaslah
disandingkan dengan karya-karya dari Pramoedya Ananta Toer yang juga berbicara
mengenai perlawananan dan kesewenangan. Apalagi dalam penuturannya,
keduanya kerap menampilkan sisi psikologis para karakternya. Sedangkan di
tingkat dunia, karya-karya Kadaré kerap disejajarkan dengan Frans Kafka, Vaclav
Havel, dan George Orwell.
Dari segi kemasan, terutama dalam penerjemahan, sang penerjemah,
Dwi Pranoto nampaknya berhasil menghidupkan roh tulisan Kadaré melalui diksi
yang tepat sehingga menjadikan terjemahan itu nampak seperti aslinya. Bahkan ia
sendiri menciptakan kosakata seperti termulia, sedua. Meskipun di
sana-sini ia juga menyisipkan kosakata bahasa harian, seperti bego dan bloon.
Namun itu nampaknya tidak mengganggu keasyikan pembaca dalam menelusuri halaman
demi halaman dan malah seperti air yang mengalir. Tujuannya jelas, agar pembaca
bisa langsung mengerti dan memahami apa maksud yang akan disampaikan si
penulis.
Akhirul kalam, keberadaan Piramid seperti sebuah oasis yang
langka di padang pasir dan menjadi relevan dengan keadaan di Tanah Air yang
masih dipenuhi oleh kesewenangan dan ketidakdilan.