Mendengar kata “pasar malam” dalam pikiran kita akan langsung
terasosiasi dengan sebuah tempat yang cukup ramai dengan banyak orang dan
atraksi permainan, serta berlangsung di malam hari. Dan di tempat itulah
suasana senang begitu mendominasi. Karena ramainya suasana demikian kerap
dianalogikan dengan pasar. Di tempat itu orang beramai-ramai datang dan juga
beramai-ramai pulang. Tetapi, bagaimana dengan kelahiran dan kematian? Apakah
seperti orang yang datang dan pergi dari pasar malam?
Hal yang demikian retoris itu coba digambarkan oleh Pramoedya
Ananta Toer, sastrawan ternama Indonesia, dalam salah satu karyanya yang
berjudul Bukan Pasarmalam. Tentulah dari judulnya saja yang filosofis
membuat yang melihatnya akan penasaran dan heran mengapa judulnya demikian.
Dalam novel yang diterbitkan pada 1951, Pram ---biasa ia dipanggil--- menceritakan
tentang seorang mantan pejuang dalam masa-masa revolusi yang harus kembali ke
kampung asalnya, Blora dikarenakan ayahnya sakit keras. Bersama istrinya, ia
kembali kampung yang telah menjadi tempat ia dibesarkan dan juga ia tinggalkan
selama beberapa tahun karena berkutat dengan perang pada masa-masa revolusi. Dalam
perjalanannya menuju Blora, setiap kali melewati suatu tempat, ia akan ingat
masa-masa revolusi dahulu yang penuh keringat dan darah memperjuangkan
Indonesia yang baru seumur jagung merdeka.
Sesampainya di Blora, usai bertemu dan berkumpul bersama adik-adiknya,
ia menjenguk ayahnya yang sakit di rumah sakit lalu terkejut melihat ayahnya
yang sudah tak berdaya terbaring di atas ranjang, dan sedang berupaya menunggu
maut datang. Berhari-hari selanjutnya, “aku”, si tokoh utama berurusan dengan
sang ayah yang sakit. Ia juga berurusan dengan adik-adiknya. Istrinya serta
tetangganya. Semuanya adalah keluh kesah dan cerita mengenai sang ayah. Namun
ia coba bersabar apalagi ketika sang istri menyuruhnya pulang karena kelamaan
di Blora akan membuat keuangan mereka menjadi tipis. Sampai akhirnya, sang ayah
yang ditemui dan ditungguinya itu pun meninggal.
***
Jika melihat pada ceritanya yang naratif dengan gaya penceritaan “aku”,
Bukan Pasarmalam sejujurnya menceritakan tentang seorang manusia yang
sedang berupaya menunggu ajalnya datang. Namun melalui sebuah penderitaan yang
dinamakan sakit. Tokoh “ayah” dalam cerita itu digambarkan tidak berdaya,
padahal ini berkebalikan dengan masa mudanya yang dikenal gagah dan mau
berjuang untuk republik.
“O---seakan-akan mereka tidak tahu bahwa ayah sedang memperjuangkan
republik” (hal.61).
Pada masa-masa itu tokoh “ayah” dikenal gigih berjuang untuk
republik, namun melalui garis pendidikan dengan menjadi guru. Karena baginya,
guru adalah lembaga bangsa dari sebuah negara. Sebab melalui gurulah cita-cita
sebuah bangsa akan tercapai apalagi bagi suatu bangsa yang baru seumur jagung
dan hendak menemukan jati dirinya. Cara pandangan yang demikian sejalan dengan
cara pandang humanisme dan behavorisme.
Namun apa yang sudah diperjuangkan tokoh “ayah” nyatanya menjadi
sia-sia ketika setelah masa revolusi ia dikecewakan oleh keadaan yang bersifat
politis. Teman-teman seperjuangannya yang ia bela habis-habisan malah melupakan
apa arti dari perjuangan itu sendiri. Beberapa di antara mereka malah sibuk
memperebutkan gedung dan kursi, dan melupakan penderitaan rakyat.
“...Dan bukan tanggung-tanggung lagi ayah tuan membela kepentingan
mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama-sama
berebutan gedung dan kursi,” (hal.102)
Kekecewaan yang demikian membuat tokoh “ayah” jatuh sakit lalu
perlahan-lahan menderita sakit serta membagi cerita pedihnya itu kepada tokoh “aku”
yang merupakan anak tertua sampai kemudian meninggal.
Di dalam novel ini, seperti pengantar dari penerbitnya, Lentera
Dipantara, Pram berusaha menampilkan aura mistik dan religius tentang seseorang
yang berusaha menunggu ajalnya datang melalui sakit. Memang dalam novel ini,
hampir semua tokoh sebelum tokoh “ayah” meninggal karena sakit. Itu ada penceritaan
dari tokoh “adik keempat” kepada “aku” mengenai ibu, kakek dan nenek mereka
yang meninggal. Namun hal yang demikian bersifat alami dan secara religius
kematian itu pasti akan menghinggapi manusia. Entah itu kapan. Manusia itu
sendiri tidak tahu. Caranya melalui apa. Manusianya juga tidak tahu. Sebab itu
hanya Tuhan yang tahu.
Dalam penggambaran akan siklus hidup manusia itu, Pram memakai
penggambaran simbolis. Ia umpamakan hidup manusia itu seperti sebuah gundukan.
Gundukan itu, melalui “aku”, ditemui kala “aku” berada di Stasiun Gambir
bersama dengan istrinya naik kereta ke Blora,
“Bukankah hidup manusia itu dicangkul, diendapkan, dan diseret juga
seperti gundukan tanah merah itu?” (hal.12)
Pada kenyataannya, memang demikian. Pencangkulan menggambarkan
bahwa manusia itu lahir. Pengendapan menggambarkan bahwa manusia itu ada. Dan
penyeretan menggambarkan bahwa manusia itu mati.
Siklus hidup manusia yang demikian itu tentu saja tidak bisa
dialami secara serempak, dan harus sendiri-sendiri. Maka, tak salah jika maksud
dari judul Bukan Pasarmalam itu adalah bahwa kelahiran dan kematian
tidak bisa seperti datang dan pergi ke dan dari pasar malam beramai-ramai.
Dalam novel yang bersetting awal 50-an ini, nampak Pram juga
menekankan arti pentingnya sebuah surat. Surat, selain telegram, pada masa-masa
tersebut begitu penting dalam menyampaikan berita, terutama berita sakit. Apalagi
di masa-masa yang semua orang belum mempunyai telepon sama sekali. Surat dalam
karya sastra biasanya ada bagi penulis untuk mengembangkan alur cerita atau menggambarkan
pribadi sang tokoh. Ini berdasarkan pendapat dari Maman Mahayana mengenai
pentingnya surat sebagai salah satu alat komunikasi dalam karya sastra.
Pada novel yang telah diterjemahkan dan diterbitkan ke beberapa
bahasa ini, bagaimana sebuah surat dari tokoh “ayah” pada “aku” mengenai
keadaannya pada awal-awal cerita. Di awal-awal cerita itu surat sang “ayah”
tidak menggambarkan bahwa ia sakit. Tetapi surat dari sang “paman”-lah yang
menggambarkan bahwa sang “ayah” sakit”. Dari sebuah korespondensi demikianlah
cerita bermula. Dari sebuah surat juga “aku” menyadari kesalahannya karena
telah menulis sebuah surat yang menyebabkan ayahnya sakit. Surat itu sendiri
berisikan kekesalan “aku” pada “ayah” karena telah menelatarkan adik
perempuannya sehingga menjadi sakit.
Pada intinya, dalam novel ini, Pram meminta secara eksplisit bahwa
manusia mau bagaimanapun, sekuat apa pun, pasti menghadapi kematian. Dan dalam
menuju dan setelah kematiannya itu, manusia akan melakukannya sendiri. Ketika
si manusia yang meninggal itu ditinggal ia pun akan merasa dengan cemas
menunggu. Itulah yang tergambar dalam sisi psikologis “aku” ketika membayangkan
makam-makam keluarga yang berisikan kakek, nenek, ibu, dan adik yang terkecil serta
sang ayah. Ia membayangkan bahwa pada suatu hari akan di tempat tersebut.
Terbaring kaku.
“Dan dalam berjalan pulang terbayang dalam kepalaku kuburan ibu,
adik, nenek, ayah, dan kakek. Dan barangkali juga kelak di sampingnya mayatku
sendiri dikuburkan orang” (hal.100).
Sejujurnya, tema yang digarap Pram dalam novel ini bersifat umum,
dan ada dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Pram bisa menggambarkannya melalui
pergulatan permasalahan itu dengan melirik sisi psikologis setiap tokohnya.
Tokoh “aku” yang menjadi sentral penceritaan digambakan Pram begitu kuat harus
merasa menanggung penderitaan yang diderita ayahnya. Beban psikologis itu
nampak kala ia melihat ayahnya terbaring atau saat memikirkan kesalahannya yang
dulu pada ayahnya. Beban psikologis yang sama juga dirasakan sang “ayah”.
Apalagi setelah tahu dirinya dikecewakan keadaan. Yang menarik, dari novel ini
terlihat latar belakang Pram di masa mudanya sebagai tentara dan guru, dan
kemudian terbawa dalam cerita. Sehingga kita pun bisa menebak bahwa “aku” dan “ayah”
itu adalah Pram sendiri.