Pages

Kamis, 27 September 2012

Kekecewaan yang Berbuah Sakit


Mendengar kata “pasar malam” dalam pikiran kita akan langsung terasosiasi dengan sebuah tempat yang cukup ramai dengan banyak orang dan atraksi permainan, serta berlangsung di malam hari. Dan di tempat itulah suasana senang begitu mendominasi. Karena ramainya suasana demikian kerap dianalogikan dengan pasar. Di tempat itu orang beramai-ramai datang dan juga beramai-ramai pulang. Tetapi, bagaimana dengan kelahiran dan kematian? Apakah seperti orang yang datang dan pergi dari pasar malam?

Hal yang demikian retoris itu coba digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer, sastrawan ternama Indonesia, dalam salah satu karyanya yang berjudul Bukan Pasarmalam. Tentulah dari judulnya saja yang filosofis membuat yang melihatnya akan penasaran dan heran mengapa judulnya demikian. Dalam novel yang diterbitkan pada 1951, Pram ---biasa ia dipanggil--- menceritakan tentang seorang mantan pejuang dalam masa-masa revolusi yang harus kembali ke kampung asalnya, Blora dikarenakan ayahnya sakit keras. Bersama istrinya, ia kembali kampung yang telah menjadi tempat ia dibesarkan dan juga ia tinggalkan selama beberapa tahun karena berkutat dengan perang pada masa-masa revolusi. Dalam perjalanannya menuju Blora, setiap kali melewati suatu tempat, ia akan ingat masa-masa revolusi dahulu yang penuh keringat dan darah memperjuangkan Indonesia yang baru seumur jagung merdeka.

Sesampainya di Blora, usai bertemu dan berkumpul bersama adik-adiknya, ia menjenguk ayahnya yang sakit di rumah sakit lalu terkejut melihat ayahnya yang sudah tak berdaya terbaring di atas ranjang, dan sedang berupaya menunggu maut datang. Berhari-hari selanjutnya, “aku”, si tokoh utama berurusan dengan sang ayah yang sakit. Ia juga berurusan dengan adik-adiknya. Istrinya serta tetangganya. Semuanya adalah keluh kesah dan cerita mengenai sang ayah. Namun ia coba bersabar apalagi ketika sang istri menyuruhnya pulang karena kelamaan di Blora akan membuat keuangan mereka menjadi tipis. Sampai akhirnya, sang ayah yang ditemui dan ditungguinya itu pun meninggal.
***
Jika melihat pada ceritanya yang naratif dengan gaya penceritaan “aku”, Bukan Pasarmalam sejujurnya menceritakan tentang seorang manusia yang sedang berupaya menunggu ajalnya datang. Namun melalui sebuah penderitaan yang dinamakan sakit. Tokoh “ayah” dalam cerita itu digambarkan tidak berdaya, padahal ini berkebalikan dengan masa mudanya yang dikenal gagah dan mau berjuang untuk republik.

“O---seakan-akan mereka tidak tahu bahwa ayah sedang memperjuangkan republik” (hal.61).

Pada masa-masa itu tokoh “ayah” dikenal gigih berjuang untuk republik, namun melalui garis pendidikan dengan menjadi guru. Karena baginya, guru adalah lembaga bangsa dari sebuah negara. Sebab melalui gurulah cita-cita sebuah bangsa akan tercapai apalagi bagi suatu bangsa yang baru seumur jagung dan hendak menemukan jati dirinya. Cara pandangan yang demikian sejalan dengan cara pandang humanisme dan behavorisme.

Namun apa yang sudah diperjuangkan tokoh “ayah” nyatanya menjadi sia-sia ketika setelah masa revolusi ia dikecewakan oleh keadaan yang bersifat politis. Teman-teman seperjuangannya yang ia bela habis-habisan malah melupakan apa arti dari perjuangan itu sendiri. Beberapa di antara mereka malah sibuk memperebutkan gedung dan kursi, dan melupakan penderitaan rakyat.

“...Dan bukan tanggung-tanggung lagi ayah tuan membela kepentingan mereka itu. Tapi, kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama-sama berebutan gedung dan kursi,” (hal.102)

Kekecewaan yang demikian membuat tokoh “ayah” jatuh sakit lalu perlahan-lahan menderita sakit serta membagi cerita pedihnya itu kepada tokoh “aku” yang merupakan anak tertua sampai kemudian meninggal.
Di dalam novel ini, seperti pengantar dari penerbitnya, Lentera Dipantara, Pram berusaha menampilkan aura mistik dan religius tentang seseorang yang berusaha menunggu ajalnya datang melalui sakit. Memang dalam novel ini, hampir semua tokoh sebelum tokoh “ayah” meninggal karena sakit. Itu ada penceritaan dari tokoh “adik keempat” kepada “aku” mengenai ibu, kakek dan nenek mereka yang meninggal. Namun hal yang demikian bersifat alami dan secara religius kematian itu pasti akan menghinggapi manusia. Entah itu kapan. Manusia itu sendiri tidak tahu. Caranya melalui apa. Manusianya juga tidak tahu. Sebab itu hanya Tuhan yang tahu.

Dalam penggambaran akan siklus hidup manusia itu, Pram memakai penggambaran simbolis. Ia umpamakan hidup manusia itu seperti sebuah gundukan. Gundukan itu, melalui “aku”, ditemui kala “aku” berada di Stasiun Gambir bersama dengan istrinya naik kereta ke Blora,

“Bukankah hidup manusia itu dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan tanah merah itu?” (hal.12)

Pada kenyataannya, memang demikian. Pencangkulan menggambarkan bahwa manusia itu lahir. Pengendapan menggambarkan bahwa manusia itu ada. Dan penyeretan menggambarkan bahwa manusia itu mati.

Siklus hidup manusia yang demikian itu tentu saja tidak bisa dialami secara serempak, dan harus sendiri-sendiri. Maka, tak salah jika maksud dari judul Bukan Pasarmalam itu adalah bahwa kelahiran dan kematian tidak bisa seperti datang dan pergi ke dan dari pasar malam beramai-ramai.

Dalam novel yang bersetting awal 50-an ini, nampak Pram juga menekankan arti pentingnya sebuah surat. Surat, selain telegram, pada masa-masa tersebut begitu penting dalam menyampaikan berita, terutama berita sakit. Apalagi di masa-masa yang semua orang belum mempunyai telepon sama sekali. Surat dalam karya sastra biasanya ada bagi penulis untuk mengembangkan alur cerita atau menggambarkan pribadi sang tokoh. Ini berdasarkan pendapat dari Maman Mahayana mengenai pentingnya surat sebagai salah satu alat komunikasi dalam karya sastra.

Pada novel yang telah diterjemahkan dan diterbitkan ke beberapa bahasa ini, bagaimana sebuah surat dari tokoh “ayah” pada “aku” mengenai keadaannya pada awal-awal cerita. Di awal-awal cerita itu surat sang “ayah” tidak menggambarkan bahwa ia sakit. Tetapi surat dari sang “paman”-lah yang menggambarkan bahwa sang “ayah” sakit”. Dari sebuah korespondensi demikianlah cerita bermula. Dari sebuah surat juga “aku” menyadari kesalahannya karena telah menulis sebuah surat yang menyebabkan ayahnya sakit. Surat itu sendiri berisikan kekesalan “aku” pada “ayah” karena telah menelatarkan adik perempuannya sehingga menjadi sakit.

Pada intinya, dalam novel ini, Pram meminta secara eksplisit bahwa manusia mau bagaimanapun, sekuat apa pun, pasti menghadapi kematian. Dan dalam menuju dan setelah kematiannya itu, manusia akan melakukannya sendiri. Ketika si manusia yang meninggal itu ditinggal ia pun akan merasa dengan cemas menunggu. Itulah yang tergambar dalam sisi psikologis “aku” ketika membayangkan makam-makam keluarga yang berisikan kakek, nenek, ibu, dan adik yang terkecil serta sang ayah. Ia membayangkan bahwa pada suatu hari akan di tempat tersebut. Terbaring kaku.

“Dan dalam berjalan pulang terbayang dalam kepalaku kuburan ibu, adik, nenek, ayah, dan kakek. Dan barangkali juga kelak di sampingnya mayatku sendiri dikuburkan orang” (hal.100).

Sejujurnya, tema yang digarap Pram dalam novel ini bersifat umum, dan ada dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Pram bisa menggambarkannya melalui pergulatan permasalahan itu dengan melirik sisi psikologis setiap tokohnya. Tokoh “aku” yang menjadi sentral penceritaan digambakan Pram begitu kuat harus merasa menanggung penderitaan yang diderita ayahnya. Beban psikologis itu nampak kala ia melihat ayahnya terbaring atau saat memikirkan kesalahannya yang dulu pada ayahnya. Beban psikologis yang sama juga dirasakan sang “ayah”. Apalagi setelah tahu dirinya dikecewakan keadaan. Yang menarik, dari novel ini terlihat latar belakang Pram di masa mudanya sebagai tentara dan guru, dan kemudian terbawa dalam cerita. Sehingga kita pun bisa menebak bahwa “aku” dan “ayah” itu adalah Pram sendiri.



Rabu, 26 September 2012

Berenang

Dia berenang di siang bolong
Menyelam ke dalam birunya laut
Ah, sungguh menyegarkan

Selasa, 11 September 2012

Tablet

Pagi belum terang benar, meski matahari sudah terbit di sebelah timur, dan jam belum juga menunjukkan pukul setengah 7, namun suasana kelas, tepatnya di sebuah sekolah menengah pertama, sudah menjadi ramai. Ramai bukan karena guru mereka, Pak Budiman, datang lebih awal, tetapi karena Adit membawa sesuatu yang membuat teman-temannya penasaran dan terpesona seakan-akan belum pernah melihat yang demikian.
tabletpcterbaik.com


Tablet. Itulah benda yang dibawa Adit di dalam tasnya lalu ia keluarkan ketika sampai di kelas. Ia bermaksud memamerkan benda berbentuk lempengan tersebut kepada teman-temannya.
“Teman-teman liat dong, gue bawa benda baru nih,” ujarnya kepada mereka semua yang berada di kelas, terutama yang sedang melaksanakan piket bergilir.

Langsung saja, teman-temannya itu menanggapi, terutama si Burhan,

“Benda apa tuh, Dit?”

“Tablet,” jawab Adit bangga.

Burhan yang mendengar kata “tablet” langsung menuju ke meja Adit. Ia sepertinya penasaran. Sedangkan Ani malah bertanya,

“Tablet obat, Dit? Ah, itu mah bukan barang baru,”

“Sembarangan lo!” ujar Adit tak terima, “Ini tablet komputer,”

“Ah, masa sih?” tanya Ani penasaran karena mendengar kata “tablet” dan “komputer”. Ia lalu berpikir tablet, yang menurutnya adalah obat digabungkan dengan komputer, yang menurutnya benda kotak datar yang ditaruh di atas meja dan mempunyai keyboard. Wah, bakal seperti apa ya jadinya? tanyanya dalam hati.
Karena penasaran ia segera ke meja Adit bersama-sama dengan yang lainnya. Dan di meja itulah Adit memamerkan benda yang dinamakan tablet tersebut. Sebuah benda berbentuk seperti lempengan persegi panjang berwarna putih, dan terlihat polos karena tidak sama sekali ada ornamen apa pun, kecuali tombol di tengah di bawah layar.

“Apaan nih, Dit?” tanya salah satu temannya, Indra, “Polos banget. Nggak kaya Blackberry gue,”

“Ini namanya tablet,” kata Adit sambil memperkenalkan benda barunya, “Ya iyalah nggak kaya Blackberry lo. Tapi nih lebih canggih,”

“Masa sih?” tanya Indra lagi.

“Ya lo liat aja,” kata Adit lalu memencet tombol di tabletnya dan menyala. Semua yang melihat terpukau karena tampilan layar yang begitu menggoda. Di dalam layar itu terdapat beberapa gambar kecil berbentuk kotak. Adit lalu menyentuh salah satu gambar yang bergambar ikon Facebook, dan terbukalah ikon itu. Facebook pun tertampil. Teman-temannya pada terpukau.

“Ih, canggih ya,” ujar Ani, “Disentuh langsung keluar gambarnya. Pinjam dong, Dit,”

“Ogah,” ujar Adit langsung bereaksi dengan melindungi tabletnya, “Beli dong makanya,”

“Mang berapa sih harganya?” tanya Ani.

“Delapan jutaan,” ujar Adit bangga.

“Ih, mahal ya,” kata Ani berkomentar, “Bokap-nyokap gue bisa nggak ngasih gue uang jajan setahun kalo minta beliin,”

“Ya, iyalah,” kata Adit lalu berkata meremehkan, “Lo semua pasti nggak akan bisa beli kan? Cuma gue yang bisa. Gue gitu lo,” Ia lalu tertawa-tawa. Membuat semua yang ada di mejanya merasa risih. Namun tidak bagi Burhan, yang sepertinya mengharapkan sekali bisa meminjam tablet si Adit. Sayang, ada syaratnya,

“Beliin gue makanan dan minuman di kantin,”

Burhan heran,

“Kok?”

“Mau nggak pinjam tablet gue?” 

“Iya, mau,” 

Burhan menurut saja, padahal dalam hatinya tidaklah demikian. Tetapi, demi tablet ia mau tidak mau harus melakukannya.

Ketika Pak Budiman, semua murid duduk manis di tempat duduknya masing-masing lalu memberikan salam. Adit lantas menaruh tabletnya di dalam kolong mejanya sembari diam-diam memainkannya. Sebab jika ketahuan bisa langsung diambil Pak Budiman.

Ketika istirahat tiba, Adit segera mengeluarkan tabletnya lagi, begitu Pak Budiman ke ruang guru. Diikuti Burhan ia segera ke halaman sekolah membawa tabletnya dan memamerkan benda elektronik tersebut. Ia membuka Facebook, Twitter, memotret, kemudian menggambar melalui jemarinya.

“Dit, kapan gue bisa pinjam tabletnya?” tanya Burhan merengek.

“Beliin gue makanan dulu,” kata Adit.

“Kan tadi udah gue beliin,”

“Ya beliin lagi,”

“Duitnya?”

“Pake duit lo,”

Burhan terdiam,

“Mau nggak?”

“Iya, mau,”

Dan begitulah Burhan dengan terpaksa menuruti Adit demi tablet. Setiap hari Burhan melakukan yang demikian, namun tablet tak kunjung dipinjam. Yang ada uang jajan malah menipis gara-gara Adit selalu menyuruhnya membeli makanan. Lama-kelamaan Burhan jadi malas dan akhirnya ogah sambil berujar dalam hati,

“Yang penting gue masih punya hape ini. Nggak canggih amat sih tapi bisa internetan,”

Dan setiap hari juga Adit berasyik-asyikan dengan tabletnya. Sampai lupa waktu, dan tidak sadar ketika ketika pada suatu hari tabletnya hilang. Adit langsung menuduh Burhan. Tetapi Burhan mengelak.

“Jangan bohong lo sama gue,” ujar Adit memaksa, “Mana tablet gue?”

“Bukan gue, Dit,” kata Burhan membela diri, “Lo jangan asal nuduh, dong!”

Ketika mereka seperti itu lewatlah Pak Budiman, dan langsung melerai,

“Kalian berdua apa-apaan ini? Hentikan! Kalau mau berantem di penjara aja jangan di sekolah!”

“Habis pak Adit nuduh saya curi tabletnya,” kata Burhan menyahut.

“Tablet?” tanya Pak Budiman heran, “Siapa yang membawa tablet?”

“Itu, pak Adit,” ujar Burhan menunjuk Adit dan hanya diam tidak bisa berbuat apa-apa.

Pak Budiman langsung melirik pada Adit dan bertanya,

“Benar kamu membawa tablet, Adit?”

“Iya, pak,” jawab Adit dengan terpaksa.

“Kamu tahu kan ini sekolah,” kata Pak Budiman, “Bukan taman bermain,”

“Iya, pak,”

Maka, Adit pun diceramahi oleh Pak Budiman. Adit pun mengiyakan saja walau dalam hati ia memberontak,
“Kecuali handphone, bapak melarang kamu ke sekolah membawa laptop dan tablet. Di sekolah kan ada komputer. Kamu jangan suka memamerkan apa yang kamu punya. Akhirnya, hilang kan,”

“Iya, pak,”

“Sekarang kita harus cari siapa yang mengambil tablet kamu kalau memang bukan Burhan yang mengambil,” kata Pak Budiman lagi. Lalu diajaknya kedua muridnya tersebut. Sebelumnya, Pak Budiman berkata,

“Kalau memang bukan Burhan yang mengambil tablet kamu, kamu harus minta maaf dan juga mentraktir Burhan,”

“Maksud bapak?” tanya Adit terkejut.

“Ya kamu harus minta maaf dan mentraktir Burhan,” ujar Pak Budiman mengulangi, “Begitu juga sebaliknya. Paham?”

“Iya, paham, pak,”

Lalu ketiganya mencari tablet di tiap sudut sekolah dengan bantuan Pak Maman, kepala kebersihan sekolah. Sayang, tablet tak ketemu. Adit pun murung dan tetap menuduh Burhan. Burhan tak terima. Mereka hendak berantem lagi. Tapi, keburu dilerai Pak Budiman.

“Sudah-sudah. Kalian ini pantasnya jadi anggota dewan saja. Berantem terus!”

Usai melerai keduanya, Pak Budiman meminta keduanya berjalan berpisah. Mereka pun menuruti. Adit tampak masih kesal dan menuduh bahwa Burhan yang mengambil tabletnya. Ketika di sampai di rumah dengan perasaan murung, Adit dipanggil ibunya. Ia sendiri tidak bertanya-tanya dalam hati kenapa dipanggil, tetapi ketika ibunya memegang sesuatu di tangannya, ia terkejut.

“Kok tabletnya sama mama?” tanya Adit yang terkejut bercampur girang.

“Mama juga tidak tahu,” kata ibunya kemudian memberikan tablet itu pada Adit, “Tadi ada cewek datang ke sini ngasih ini ke mama,”

“Cewek?” Adit heran.

“Iya, cewek,” ujar ibunya menegaskan, “Dia bilang sih teman kamu. Tapi, mama nggak tau namanya soalnya lupa nanya,”

“Kok nggak nanya sih, ma?”

“Kan mama lagi repot,”

“Dia bilang apa, Ma?”

“Cuma bilang: Bu, ini tablet punya Adit,”

Adit pun terdiam.

“Kamu kenapa?”

“Nggak apa-apa kok, ma,”

Adit lalu meninggalkan ibunya yang tengah berada di ruang tengah dan menonton televisi menuju ke kamarnya sambil memegang tabletnya. Di kamarnya ia segera merebahkan diri lalu memandang tabletnya, dan bertanya-tanya,

“Siapa sih yang nyuri tablet gue? Masa iya cewek? Kalo mang cewek siapa? Ani, Rima, Endah, atau Nui?”
Lalu ia menyalakan tabletnya,

“Ah, nggak mungkin deh,”

Sebuah jejaring sosial dibuka,

“Yang penting tablet gue balik,”

Begitulah. Ia lalu kembali bercengkrama dengan tabletnya. Rasa senang terpancar di wajahnya. Dan lupa akan sesuatu.




Senin, 10 September 2012

Galau


Galau. Ya galau. Itu yang kini sedang kurasakan. Lima huruf saja. Tak lebih. Seperti cinta, nafsu, dan benci. Jika digabungkan maka bisa menjadi sebuah kalimat: Aku galau karena cinta. Aku benci tetapi nafsu padanya. Atau dibalik: Aku benci tapi aku cinta padanya. Atau: aku nafsu karena aku galau padanya. Ah, apalah itu yang jelas aku memang sedang galau. Terduduk bingung. Menerawang ke langit-langit. Begitu banyak bayangan tersaji. Indah tetapi juga mencemaskan.

Well, aku galau karena suatu hal. Ini galau yang tidak biasa. Tak biasanya karena ini terus menggaguku. Ya, seperti hantu saja. Suka menganggu. Atau teroris. Suka meneror. Aku sejujurnya tidak masalah selama galauku ini positif. Misalkan galau mencari inspirasi, terutama inspirasi untuk berkarya. Berkarya dalam bentuk apa saja. Misal menulis, menggambar, memotret, atau bermusik. Lagipula bagi mereka yang suka berseni atau katakanlah seniman, galau itu anugerah.

Tapi, sepertinya galauku ini kebalikannya. Benar-benar menggangguku. Meresahkanku. Sampai-sampai aku tidak bisa tertidur. Aku benar-benar ingin lepas dari galau ini. Kau mungkin akan menebak kalau aku galau karena wanita. Alah! Salah besar. Benar-benar salah besar. Memang sudah menjadi pandangan atau pendapat umum lelaki galau karena wanita atau wanita galau karena laki-laki. Biasanya sih karena cinta. Ya ya. Itu sudah menjadi sesuatu yang umum sampai-sampai tak harus diumumkan kan?

Atau galau karena pekerjaan? Ah, tidak juga. Soal pekerjaan aku lancar-lancar saja. Malah aku sudah dalam puncak tertinggi dalam karierku. Orang-orang sekitarku memberikanku semacam apresiasi atas pencapaianku. Aku malah diberi cuti seminggu lebih untuk liburan ke sebuah pulau surga di Pasifik. Ya tentunya bersama wanita sahabatku yang tetap aku hormati sebagai sahabat. Tidak lebih.

Lalu? Alamak! Susah juga ya aku galau karena apa. Susah menggambarkannya. Karena cuma terancang di otak. Sudah terkonsep. Tetapi susah dilepas. Istilahnya seperti api yang hendak dinyalakan di kompor gas, tetapi tidak jadi.

Hm...daripada bicara tentang galau ada baiknya aku menonton televisi saja. Biar galauku hilang. Mungkin tidak benar-benar hilang. Remote kuambil lalu salah satu tombolnya kupijit. Blets! Layar televisi yang hitam di depanku sekejap berubah menjadi berwarna. Di layar televisi tersaji sebuah tayangan dari sebuah saluran olahraga. Sepak bola rupanya. Olahraga nomor satu di dunia.

Tapi, yang tersaji itu bukan pertandingan, melainkan sebuah berita. Beritanya tentang seorang pesepak bola terkenal sejagad. Si pesepak bola itu berwajah rupawan bak pangeran ganteng di negeri dongeng. Juga dia punya kemampuan dalam mengolah si kulit bundar sehingga kaum hawa yang melihatnya bakal semakin terpukau-pukau atau terkelepar-kelepar seperti ikan yang baru dipancing dari air. Ya, nama si pesepak bola itu adalah Bernardo. Ia bermain di sebuah klub bernama Mirandas. Klubnya itu klub terkenal lho. Prestasinya sudah seabrek sampai lemari penuh karena sesak oleh trofi. Sudah begitu banyak pemain terkenal pernah mangkal di situ. Dan Bernardo adalah salah satunya.

Berita mengenai Bernardo yang kali ini kulihat di televisi bukan mengenai kehebatan atau ambisinya meraih trofi lagi bersama Mirandas demi menjungkalkan Valerna, seteru abadi mereka. Tapi ini mengenai kerisauan hatinya. Ya, si Bernardo sedang risau dan risaunya itu ia tunjukkan secara terang-terangan di depan televisi.
Waktu itu, ketika pertandingan melawan Burcas, Bernardo mencetak gol. Tiga malah sehingga ia dapat gelar hattrick di pertandingan tersebut. Gol-gol yang mampu memantapkan posisi Mirandas di puncak klasemen La Sombrero. Tentu saja itu membuat para pendukung Mirandas dan itu sudah seharusnya. Tetapi, tidak bagi Bernardo. Usai mencetak gol, ia malah berekspresi biasa-biasa saja. Bahkan sedih. Tiada raut gembira sebagaimana yang ditunjukkan sehabis mencetak gol.

Akibatnya, banyak yang bertanya-tanya ketika sejumlah kuli foto berhasil mengabadikan ekspresinya. Foto-fotonya tertampil di halaman utama berita olahraga. Beritanya banyak diekspos media televisi dan radio. Dari nasional hingga internasional. Semua pun berspekulasi. Ada yang bilang ia kecewa dengan Mirandas mengenai kebijakan klub, khususnya soal gaji. Ada yang bilang ia tidak betah di Mirandas dan tidak ada gairah membela klub itu. Lalu ada yang bilang ia marah karena teman karibnya yang dulu pernah sama-sama bersaing untuk memperebutkan gelar pemain terbaik dunia diabaikan klub. Dan ada yang bilang ia tengah kesal dengan orang di klub seteru yang berhasil meraih gelar pemain terbaik dunia. Semua spekulasi itu menyebar bagaikan virus di dalam komputer. Mencengkram pikiran tiap orang lalu mempengaruhinya secara pelan-pelan.

Karena sifatnya spekulasi, jujur aku kurang atau malah tidak percaya sama sekali. Itu kan bisa-bisanya mereka yang berspekulasi, terutama para kuli tinta yang doyan, mungkin bukan doyan lagi, tetapi harus mengejar berita agar tiras naik setiap hari. Juga para penggosip dunia hiburan, mengingat Bernardo juga sering eksis di dunia gemerlap tersebut. Juga para komentator sepak bola yang terkadang sok tahu.
Kalau aku ditanyakan oleh salah satu temanku, yang juga kuli tinta mengenai ini, aku menjawab,

“Waduh, mana ku tahu. Kalau aku tahu malah sok tahu jadinya,”

Begitulah kalau teman-temanku selalu bertanya padaku akan selalu kujawab demikian. Meski mereka bilang,

“Kan kau sering menonton bola pasti tahu kan?”

Apakah itu harus jadi sandaran buat aku tahu? Sama sekali tidak dan bagiku tidak ada hubungannya sama sekali.

“Masih juga galau, nak?” tanya ibuku tiba-tiba menyapa diriku. Ia datang dari arah belakang, tepatnya dari arah dapur. Kedua tangannya tampak membawa sepiring pasta.

“Makan dulu ini biar hilang galaunya,” ujarnya lagi sambil menaruh sepiring pasta itu di depanku. Pasta yang kelihatan lezat dan menggoda, terutama bagi mereka yang sedang diterjang kelaparan. Tetapi, sepertinya kebalikan buatku.

“Aku nggak lapar, ma,” kataku menolak.

“Nggak lapar karena galau?” tanya ibuku lalu duduk di sampingku dan menatap diriku, “Kamu ini sudah begitu saja galaunya luar biasa. Kenapa nggak cerita aja sih sama mereka biar mereka tahu persoalannya?”

“Apakah penting mereka harus tahu?” tanyaku sambil melihat tayangan olahraga di depanku.

“Penting, Nak,” kata ibuku, “Lihat saja keadaan kamu kaya gini. Kamu diam-diam. Nggak mau bicara. Akhirnya mereka penasaran dan buat berita miring,”

“Ya biar saja,” kataku acuh, “Salah mereka kenapa harus buat berita demikian. Aku lebih baik diam. Kalau aku ceritakan mereka juga tidak akan mengerti,”

“Aduh, kamu ini coba deh berpikir dewasa,” kata ibuku, “Kamu itu bukan anak kecil lagi yang mama suruh bilang apa yang kamu alami sebenarnya. Sadar deh, kamu itu udah jadi pesohor publik. Kalau ada apa-apa ceritakan. Jangan buat mereka, terutama penggemar kamu kecewa,”

Aku hanya terdiam. Tak menjawab. Berpikir apakah ucapan ibuku itu ada benarnya atau tidak. Masalahnya, aku memang merasa lebih baik diam. Aku tak mau mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau mereka tahu bisa kacau.

“Apa mama sendiri yang harus beritahu, Bernardo?” tanya ibuku yang membuatku terkejut.

“Maksud mama?” tanyaku. Aku lalu terdiam. Hening.

Ibuku hanya tersenyum sambil memainkan pasta.

Jumat, 07 September 2012

Pergi Menuju Nirwana (Belum Selesai)

hebbywood.blogspot.com
Malam itu terbanglah dia
Menembus kepekatannya
Sayang pagi tak menemuinya
Pil itu keburu mengajaknya ke Nirwana
Meninggalkan segudang tanya
Ketidakadilan itu tak selesailah

Kamis, 06 September 2012

Korelasi

Di ruang samar yang terburamkan kata
tertiup akan keinginan
ketika lima huruf itu dimainkan
lalu bertemu pada lima huruf yang lain
campur aduk
kadang malah tak keruan
bertanya-tanya
inikah korelasi

Selasa, 04 September 2012

Arrivederci*

Herinner jij je die blauwe zee
Zeemeeuwen vlogen toen overal heen
Versierdde zonsondergang

Hier staan we met z'n tweeen
Proberen te onthouden
Het moment waarop we voor het eerst
Elkaar ontmoet hebben

Ik hou je handen teder vast
Alsof ik het niet wil losmaken
Als het tijd is om afscheid te nemen
Kan ik helemaal niet laten gaan
Echt niet

Wat zou ik later moeten doen
Je zal ver weggaan

Maar ik merk
Dat ik je met hart en ziel moet laten gaan
En best zeggen: Arrivederci

spazio.libero.it














Terjemahannya:

Ingatkah engkau akan samudera yang membiru
sekawanan camar terbang dilatari surya yang hendak tenggelam

Di titik inilah kita berdua terpancang
mencoba menelusuri ingatan pada suatu ketika
kita bertatap mata

Tanganmu kupegang begitu erat
seolah ku tak mau kehilangan
meski ini waktu untuk bercerai mata
aku sungguh sama sekali tidak bisa
sungguh tidak bisa

Dan apa yang harus kuperbuat
Karena kini kau kan pergi jauh

Namun ku sadar
Aku harus melepasmu dengan sepenuh hati
lalu berkata: Arrivederci


*Puisi ini adalah puisi yang pernah saya bacakan lima tahun silam sewaktu perpisahan dosen tamu dari Belgia bernama Petra. Arti dari judul puisi adalah selamat tinggal dalam bahasa Italia. Saya berterima kasih sekali kepada mereka yang sudah membantu, terutama Fajar Kurniawan yang telah menerjemahkan puisi ini ke bahasa Belanda dan Swara Andhika Emil yang telah mengiringi pembacaan puisi saya dengan gitarnya. Dan ini saya persembahkan kembali untuk sekedar mengingat.


Senin, 03 September 2012

Ketika Keju Bukanlah Harapan


Setiap manusia mempunyai harapan. Tentunya harapan itu adalah harapan yang baik dan juga berjalan sesuai dengan kenyataan. Jika itu semua berjalan pada alurnya dan sesuai skenario, maka timbullah rasa senang juga bahagia pada diri manusia yang berharap itu. Namun bagaimana kalau tidak? Apalagi harapan itu berhubungan dengan suatu bahan makanan pokok.

Itulah yang terekam dalam Kaas karya Willem Elsschot. Perlu diketahui, kaas sendiri adalah kosakata bahasa Belanda untuk keju. Dan seperti judulnya yang kemudian diterjemahkan menjadi Keju dengan menaruhnya di bawah judul asli, Kaas sendiri bercerita tentang keju. Namun, bukan keju yang akan dipreteli sana-sini menjadi sajian kuliner, tetapi tentang keju yang katanya bisa mengubah hidup seseorang hanya dengan menjualnya.

Adalah Frans Laarmans, tokoh utama dalam novel ini, yang bekerja sebagai kerani di sebuah perusahaan perkapalan bernama General Marine and Shipbuilding Company. Laarsman yang dinarasikan dengan “aku” sudah tiga puluh tahun bekerja di perusahaan yang berada di Antwerpen, sebuah kota di Belgia tersebut. Akan tetapi, ia merasa kariernya di perusahaan itu akan mandek, meskipun sudah lama di perusahaan tersebut. Ia merasa harus mulai dari nol lagi ketika sudah merasa mencapai titik puncak.

Maka untuk menghindari hal tersebut, lewat seorang kakaknya yang berprofesi sebagai dokter, si “aku” berkenalan dengan Van Schoonbeke, seorang pasien kakaknya dari kalangan berada. Melalui Van Schoonbeke, si “aku” diajak berbisnis keju, yang merupakan sebuah bisnis dengan prospek cerah karena hampir setiap orang di wilayah Benelux akan memerlukannya. Laarmans pun mengiyakan demi kariernya sebagai kerani yang ia rasa akan berakhir dan mulai membayangkan kesuksesan menjadi pengusaha keju.

Namun karena tidak mempunyai dasar ilmu dagang dan bagaimana cara berdagang, ia pun kebingungan memasarkan keju-kejunya tersebut. Alhasil, banyak kejunya yang mangkrak di rumah alias tidak laku.  Laarmans pun mulai putus asa dan menyadari semuanya tidak muda. Ketika bos kejunya, Mijnheer Hornstra datang untuk melihat hasil penjualannya, ia pun memilih menghindar dan akhirnya mengundurkan diri kemudian memilih kembali lagi sebagai kerani.
***
Terlihat cerita yang ditulis Elsschot dalam novel pendeknya amat sangat sederhana dan mudah dipahami orang. Yaitu tentang seorang pria yang mencoba berbisnis keju, namun apa yang diharapkannya berbalik dalam kenyataannya. Akan tetapi, dari situlah terlihat bahwa Kaas bukanlah cerita biasa. Keju yang dalam cerita dijadikan sebagai pokok, memang merupakan pokok dari semua makanan (sebagai bahan makanan tentunya), terutama mereka yang berada di Eropa. Dalam cerita ini di Benelux (Belanda, Belgia, dan Luksemburg).

“Secara keseluruhan, kecuali baunya, keju adalah makanan terhormat, bukan? Keju telah dibuat selama berabad-abad, dan salah satu sumber kekayaan orang Belanda, saudara serumpun kita. Keju makanan semua orang; tua-muda, besar-kecil” (hal. 47)

 Keju sendiri merupakan koagulasi dari susu yang dipisahkan dari zat-zat padat dalam susu. Kemudian koagulasi itu dikeringkan, diproses, dan diawetkan dengan berbagai macam cara yang nantinya akan menghasilkan beberapa varian produk keju, seperti yang kita kenal sekarang ini, seperti keju Edam, Gouda, Cheddar, Parmesan, dan Chamembert.

Saking pentingnya, Fine, istri dari Frans Laarmans, malah menyatakan bahwa menjual keju akan bisa mendatangkan untung besar. Hal itu ia ungkapkan ketika “aku” mengatakan pada istrinya sepulang dari pertemuan dengan teman-teman Van Schoonbeke tentang keinginannya berbisnis keju. Pada awalnya “aku” menyatakan bahwa usahanya ini mungkin terasa ganjil, menjijikkan, dan menyatakan itu aneh.

“Kini aku harus mengakui usaha itu menyangkut keju. Janggal rasanya, namun menurutku ada sesuatu yang menjijikkan dan ganjil...,” (hal.37)

Lalu dilanjutkan,

“Produk yang aneh, bukan?” tanyaku.

Namun istriku justru tak beranggapan begitu.
“Selalu laku,” katanya, tepat seperti kata Van Schoonbeke.

Perkataan demikian, bisa jadi, jika dihubungkan dengan situasi novel, yaitu 1933 atau lebih tepatnya lagi dekade 1930-an, adalah masa-masa sulit akibat terjadinya Depresi Besar, yaitu sebuah peristiwa menurunnya tingkat ekonomi. Peristiwa ini menyebabkan krisis ekonomi di seluruh dunia dan mengakibatkan banyaknya pengangguran karena banyak perusahaan yang gulung tikar. Pangkal utama penyebabnya adalah Perang Dunia pertama yang terjadi pada periode 1914-1918. Jika dihubungkan dengan masa kini, peristiwa sama dengan krisis perumahan yang terjadi pada 2008 hingga sekarang.

Depresi Besar tentu juga menyebabkan sulitnya mendapatkan bahan makanan pokok. Dan keju termasuk di dalamnya. Memang dalam sejarah, keju sulit didapatkan atau malah perusahaan yang mengelolanya bangkrut. Menjadi tepat rasanya ketika Fine, yang mungkin tahu situasi ekonomi yang demikian mendukung si “aku”.

Karena keju itu penting, tentu menjadi pedagangnya juga menjadi penting. Lebih tepatnya mempunyai kedudukan yang penting, bahkan mulia. Inilah yang didambakan si “aku”. Karena merasa kerani adalah pekerjaan rendahan, ia pun berharap menjadi pedagang atau makelar keju bisa menaikkan derajat sosialnya,
“Kerani jabatan rendah, jauh lebih rendah daripada buruh....,” (hal.33)

Menurut KBBI, kerani didefinisikan sebagai pegawai yang mengurusi adminisitrasi (misal mencatat, mengetik, dan mengirimkan surat). Padanan dari kerani itu sendiri bisa juru tulis, kelerek, atau sekretaris.
Sebab sifatnya yang sederhana, yang dalam artian semua orang bisa melakukannya, maka wajar si “aku” menganggapnya rendah. Apalagi ia juga beranggapan bahwa kerani adalah pekerjaan yang tak memerlukan keahlian khusus,

“Namun, kerani pada umumnya hampir tak memiliki keahlian khusus...,” (hal.33)

Di Eropa, seperti yang terungkap  pada setting novel yang berkisar pada dekade 1930-an ini, secara ekonomi memang posisi kerani rendah dibandingkan dengan yang lain, terutama di negara-negara Eropa Barat, yang masih memegang kuat stratifikasi sosial berdasarkan kapitalisme, yaitu sebuah sistem yang menempatkan pengusaha atau pemilik modal sebagai raja dan menghalalkan pencarian keuntungan sebesar-besarnya. Sistem ekonomi ini sempat goyah ketika terjadi revolusi Bolshevik di Rusia pada 1917, yang menempatkan buruh sebagai penggerak dan pemilik, serta semua hasil dibagi sama rata.

Mengenai buruh, si “aku” berpendapat,

“Kerani jabatan rendah, jauh lebih rendah dibanding buruh. Perlawanan dan kebersamaan mereka mendatangkan hormat. Kabarnya, di Rusia mereka bahkan menjadi tuan yang terhormat,” (hal.32)
Dikarenakan rendah dan semua orang bisa melakukan pekerjaan yang dilakukan kerani, amatlah wajar jika si “aku” berharap banyak pada mimpinya menjadi pedagang atau makelar keju. Harapan itu ia munculkan agar bisa nyambung dengan teman-teman sejawat Van Schoonbeke, yang kebanyakan berprofesi sebagai pengusaha, advokat, dan hakim. Kebanyakan dari mereka tentu sering bermain pada ranah-ranah yang asing dan jarang disentuh atau diketahui oleh si “aku” sehingga dalam setiap pertemuan atau pembicaraan, si “aku” sering bingung sendiri, dan secara tak langsung sering dibantu Van Schoonbeke. Hal demikian sering membuat si “aku” sering merasa tidak nyaman dan impian makelar keju adalah tebusannya.
***
Kaas adalah salah satu karya dari Elsschot yang cukup terkenal di samping Lijmen dan Het Been. Kedua nama terakhir diterbitkan pada dekade yang sama sehingga agak nyambung, terutama pada penggunaan nama tokoh, yang sama-sama menggunakan nama Frans Laarmans atau tentang cerita yang berkaitan dengan dunia usaha dan perdagangan. Ini tentu tak lepas dari latar belakang penulis bernama asli Alphonsus Josephus de Ridder itu yang memang mempunyai pendidikan sekolah dagang di Antwerpen, kota kelahirannya. Hal yang demikian juga membawanya bekerja sebagai koresponden dagang di Werf Gusto, yang ia jadikan sebagai General Marine and Shipbuilding Company di Kaas. Lalu berlanjut pada La Revue Continentale Illustrée, sebuah majalah yang berkutat pada ekonomi, keuangan, industri, seni, dan ilmu pengetahuan. Majalah itu kemudian ia jadikan sebagai setting tempat di Lijmen/Het Been.

Kaas hampir-hampir menjadi karya yang sempurna dari Elsschot, meskipun di awal cerita ada bagian yang menceritakan perkenalan si “aku” dengan Van Schoonbekke dimulai saat pemakaman ibu si “aku” melalui kakak si “aku. Terkesan itu seperti sedikit dipaksakan hanya untuk menyatakan bahwa van Schoonbekke adalah pasien kakak si “aku”. Yang menjadi pertanyaan lagi mengapa Van Schoonbekke langsung mengajak si “aku” seolah-olah ia tahu permasalahan si “aku”? Bukan kakak si “aku” atau saudara si “aku” yang lain?

Cerita yang naratif dengan alur yang berjalan sedang, memang pantas menjadikan Kaas sebagai karya terbaik dari salah satu sastrawan terbaik Flandria ini. Setiap permasalahan dikupas dengan sangat mendetail, terutama permasalahan si “aku” ketika sebelum dan sesudah memasarkan keju. Dan “aku” digambarkan sebagai karakter yang kuat di awal namun mengendur ketika semuanya tengah berjalan, karena keju yang tak laku-laku.

Dengan cerita yang sederhana, wajar bila Kaas banyak diterjemahkan ke beberapa negara, termasuk Indonesia, dua tahun yang lalu. (untuk memperingati 40 tahun berdirinya Erasmus dan 60 tahun kematian sang penulis). Dari sisi penerjemahan, nampak tidak ada masalah sama sekali mengingat sang penerjemah, Jugiarie Sugiarto, mempunyai latar belakang akademis sebagai dosen bahasa Belanda bidang sastra. Pilihan kata yang sederhana dan sedikit sastrawi menjadikan terjemahan dalam bahasa Indonesia itu enak dibaca. Menyoal penerjemahan, ini bukan yang pertama kali, sebab Idrus pada awal-awal kemerdekaan sempat menerjemahkan karya yang sama.

Selain itu, Kaas sempat difilmkan dua kali, baik pada 1968 dan 1999 oleh Gerard Rekers dan Orlow Seunke dan kemudian dijadikan dalam bentuk novel grafis pada 2008 oleh Dick Matena dengan judul yang sama.
Dan akhir kata, memanglah sulit sebenarnya meninggalkan zona aman ketika hendak beralih ke zona yang lain.






 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran