Suatu hari, di sebuah kelas pascasarjana komunikasi UMB, sebuah perbicangan terjadi. Perbincangan itu berkisar pada sebuah buku tentang komunikasi berjudul Teori Komunikasi: Theories of Human Communication yang ditulis oleh Stephen W. Littlejohn dan Karen A.Foss. Bukan bagaimana materi, cara mendapatkan, dan harga buku yang diperbincangkan, melainkan terjemahannya yang dinilai membingungkan. Banyak dari mahasiswa itu, yang kebanyakan memang teman-teman saya, mengeluhkan terjemahan bahasa Indonesia buku tersebut. Malah mereka beranggapan lebih baik dalam bahasa aslinya saja. Lalu salah seorang teman saya bilang kalau si penerjemah ini tidak mengerti sama sekali istilah-istilah komunikasi sehingga ia terkesan menerjemahkan secara harfiah saja tanpa melihat konteks. Bisa dibilang juga ia gagal karena hanya, katakanlah, jago dalam bahasa yang dikuasainya saja sehingga mengalami kesulitan dalam penerjemahan. Saat saya membacanya pun, jujur, saya juga mengalami kesulitan memahami.
Dari perbincangan itu, saya pun jadi teringat, bahwa pada masa yang lalu, ketika masih duduk di bangku kuliah S1 di UI, saya juga pernah melakukan hal yang sama: menerjemahkan teks-teks Belanda. Baik itu di sejarah, arkeologi, dan juga sastra Jawa ---perlu diingat di Sastra Jawa ada tokoh peneliti sastra tersebut dari Belanda bernama P.J. Zoetmulder, yang karya-karyanya kebanyakan dalam bahasa Belanda. Saya akui, saya juga mengalami hal yang sama: stagnan dan kesulitan pada beberapa kata yang kalau diterjemahkan menjadi sangat aneh kedengarannya apalagi saat dibaca. Boleh dibilang, dengan kata lain, tidak umum bagi kebanyakan orang. Kalau sudah begitu, biasanya saya rada pusing. Padahal, kalimat yang hendak diterjemahkan itu hanya beberapa baris kalimat. Tapi, penting. Akhirnya, untuk mengalami kesulitan itu, saya mengecek di kamus Belanda-Indonesia atau Belanda-Belanda sambil mencari lema dan entri katanya. Kalau ketemu, saya cukup bersyukur, lalu saya cocokkan dengan teks dan bisa mengambil kesimpulan bagaimana menerjemahkannya. Kalau tidak ketemu, ya mau tidak mau, diraba-raba saja.
Ketika masih di kuliah S1 itu juga, saya mendapatkan mata kuliah penerjemahan. Kalau di bahasa Belanda, namanya vertaling. Oke, awalnya saya memang menyukai mata kuliah ini. Tentang penerjemahan soalnya. Siapa yang tidak suka. Apalagi sudah sering menerjemahkan. Namun, lama kelamaan, saya malah pusing ketika mengikutinya. Banyak kesulitan yang saya alami. Lalu saya berkesimpulan: menerjemahkan itu tidak gampang.
Itu memang betul. Menerjemahkan itu, secara harfiah, memindahkan sebuah teks dari bahasa aslinya ke bahasa yang setiap kali kita tuturkan. Tujuannya, supaya kita mendapatkan gambaran dari sang penulis dengan mudah, terutama soal pemikirannya. Tetapi, ya seperti itu tadi, urusan pemindahan itu bukanlah hal gampang belaka. Apalagi jika berkaitan dengan budaya-budaya atau kebiasaan yang berlaku dan menjadi latar belakang si penulis. Tentu saja yang demikian harus disesuaikan atau diberi tanda kutip, juga catatan sehingga pembaca tidak kebingungan. Inilah yang kebanyakan tidak disadari ketika menerjemahkan.
Satu contoh saja, pada saat kelas kuliah penerjemahan, suatu ketika saya pernah mendapat artikel tentang Bo, anjingnya Barrack Obama. Artikel itu kelihatan simpel ketika dibaca namun saat diartikan menjadi ribet apalagi ketika hendak menerjemahkan ras anjingnya Obama ke bahasa Indonesia. Di artikel itu tertulis dalam bahasa Belanda yang saya artikan begini: Anjing air Portugis. Hm...kalau diterjemahkan secara harfiah seperti itu, tentu makna yang diinginkan meleset. Akhirnya, diambil kesepakatan untuk menuliskan nama latinnya saja, Canis Lupus subsp.familiaris. Lalu di kuliah itu, pernah saya menerjemahkan tentang ciri-ciri badan si anjing itu yang terjemahkan harfiah, dan malah terkesan ngaco. Dosen saya pun, yang memang ahli dalam penerjemahan, menaikkan kerut. Bingung. Dan bilang: ngasal!
Menerjemahkan itu memang tidak gampang. Sebab ketika menerjemahkan dibutuhkan juga pengalaman, bakat, dan pengetahuan umum. Ini kata Benny Hoedoro Hoed, si ahli semiotika terkenal, dan pernah jadi promotor mantan dosen saya. Ketiga unsur itu, menurut beliau, terdiri gabungan pengetahuan atau intelegensi (kognitif), rasa bahasa (emotif), dan keterampilan menggunakan bahasa (retoris). Ia juga menekankan bahwa penerjemah sebaiknya tidak harus menerjemahkan naskah segala bidang, dan harus menguasai kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Kalau tidak menguasai itu semua ya, bisa dibilang akan gagal seperti contoh kasus di atas.
Saya pernah membaca sebuah artikel bagaimana seorang penerjemah terkenal seperti Listiana Srisanti, yang menerjemahkan serial Harry Potter, karena pengalamannya bisa mengatasi kesulitan ketika berhadapan dengan kalimat seperti ini: Where the hell am I. Ia lalu terjemahkan itu dengan kalimat: Di mana gerangan saya. Jika dilihat sepintas kalimat itu sudah logis. Orang tahu dan mengerti apa itu gerangan. Bayangkan jika itu diartikan secara harfiah saja. Nah, silakan Anda bayangkan sendiri.
Namun dalam penerjemahan dibutuhkan juga seorang editor. Editor ini hendaknya juga harusnya mengerti dengan apa yang diterjemahkan. Boleh dibilang, dia harus dari latar belakang bahasa yang sama. Sebab, jika dari latar belakang yang sama akan terjadi kesinkronan antara penerjemah dengan editor. Tapi, kalau beda ya lain ceritanya. Saya punya pengalaman. Mantan dosen saya pernah menerjemahkan sebuah buku berjudul Melintasi Dua Jaman karangan Elien Utrecht. Buku itu mengenai kisah seorang wanita bernama Elien Utercht yang menjalani masa hidupnya di dua negara: Indonesia dan Belanda. Boleh saya bilang sih buku tentang pascakolonial. Cuma, ada teman saya yang kurang sreg dengan terjemahan dosen saya itu. Bilangnya: kacrut. Karena penasaran, ketika ada bimbingan akademis, saya tanyakan kenapa. Mantan dosen saya bilang itu karena editornya, Koesalah Soebagyo Toer ---adik dari almarhum Pramoedya Ananta Toer, berlatar belakang sastra dan bahasa Rusia. Dapat dikatakan, ia tidak mengerti terjemahan yang berasal dari bahasa Belanda. Akibatnya, terjadilah kekacauan. Mengapa editornya yang dipilih itu beliau? kata mantan dosen saya itu hak penerbit. Ya, kalau sudah begini, menurut Benny Hoedoro Hoed lagi, penerbit, terutama editornya sering memaksakan naskah itu dengan alasan: yang penting bahasa Indonesia sesuai kosakata, lalu naskah itu layak jual dan laku. Lupa dengan akurasi dan ketepatan.
Menerjemahkan itu, sebenarnya, menyenangkan. Dengan menerjemahkan kita bisa mengetahui budaya dan perilaku sosial yang berasal dari negara yang bersangkutan. Ini seperti kata pepatah: bahasa adalah teropong budaya. Menerjemahkan pun bisa menjadi jembatan penghubung antara dua pihak yang berlainan secara lisan dan tulisan. Cuma, ya itu tadi, seringkali hal seperti ini dianggap remeh. Hanya dengan bekal jago bahasa asing. Nah, akhirnya bisa ditebak kan...
Dari perbincangan itu, saya pun jadi teringat, bahwa pada masa yang lalu, ketika masih duduk di bangku kuliah S1 di UI, saya juga pernah melakukan hal yang sama: menerjemahkan teks-teks Belanda. Baik itu di sejarah, arkeologi, dan juga sastra Jawa ---perlu diingat di Sastra Jawa ada tokoh peneliti sastra tersebut dari Belanda bernama P.J. Zoetmulder, yang karya-karyanya kebanyakan dalam bahasa Belanda. Saya akui, saya juga mengalami hal yang sama: stagnan dan kesulitan pada beberapa kata yang kalau diterjemahkan menjadi sangat aneh kedengarannya apalagi saat dibaca. Boleh dibilang, dengan kata lain, tidak umum bagi kebanyakan orang. Kalau sudah begitu, biasanya saya rada pusing. Padahal, kalimat yang hendak diterjemahkan itu hanya beberapa baris kalimat. Tapi, penting. Akhirnya, untuk mengalami kesulitan itu, saya mengecek di kamus Belanda-Indonesia atau Belanda-Belanda sambil mencari lema dan entri katanya. Kalau ketemu, saya cukup bersyukur, lalu saya cocokkan dengan teks dan bisa mengambil kesimpulan bagaimana menerjemahkannya. Kalau tidak ketemu, ya mau tidak mau, diraba-raba saja.
Ketika masih di kuliah S1 itu juga, saya mendapatkan mata kuliah penerjemahan. Kalau di bahasa Belanda, namanya vertaling. Oke, awalnya saya memang menyukai mata kuliah ini. Tentang penerjemahan soalnya. Siapa yang tidak suka. Apalagi sudah sering menerjemahkan. Namun, lama kelamaan, saya malah pusing ketika mengikutinya. Banyak kesulitan yang saya alami. Lalu saya berkesimpulan: menerjemahkan itu tidak gampang.
Itu memang betul. Menerjemahkan itu, secara harfiah, memindahkan sebuah teks dari bahasa aslinya ke bahasa yang setiap kali kita tuturkan. Tujuannya, supaya kita mendapatkan gambaran dari sang penulis dengan mudah, terutama soal pemikirannya. Tetapi, ya seperti itu tadi, urusan pemindahan itu bukanlah hal gampang belaka. Apalagi jika berkaitan dengan budaya-budaya atau kebiasaan yang berlaku dan menjadi latar belakang si penulis. Tentu saja yang demikian harus disesuaikan atau diberi tanda kutip, juga catatan sehingga pembaca tidak kebingungan. Inilah yang kebanyakan tidak disadari ketika menerjemahkan.
Satu contoh saja, pada saat kelas kuliah penerjemahan, suatu ketika saya pernah mendapat artikel tentang Bo, anjingnya Barrack Obama. Artikel itu kelihatan simpel ketika dibaca namun saat diartikan menjadi ribet apalagi ketika hendak menerjemahkan ras anjingnya Obama ke bahasa Indonesia. Di artikel itu tertulis dalam bahasa Belanda yang saya artikan begini: Anjing air Portugis. Hm...kalau diterjemahkan secara harfiah seperti itu, tentu makna yang diinginkan meleset. Akhirnya, diambil kesepakatan untuk menuliskan nama latinnya saja, Canis Lupus subsp.familiaris. Lalu di kuliah itu, pernah saya menerjemahkan tentang ciri-ciri badan si anjing itu yang terjemahkan harfiah, dan malah terkesan ngaco. Dosen saya pun, yang memang ahli dalam penerjemahan, menaikkan kerut. Bingung. Dan bilang: ngasal!
Menerjemahkan itu memang tidak gampang. Sebab ketika menerjemahkan dibutuhkan juga pengalaman, bakat, dan pengetahuan umum. Ini kata Benny Hoedoro Hoed, si ahli semiotika terkenal, dan pernah jadi promotor mantan dosen saya. Ketiga unsur itu, menurut beliau, terdiri gabungan pengetahuan atau intelegensi (kognitif), rasa bahasa (emotif), dan keterampilan menggunakan bahasa (retoris). Ia juga menekankan bahwa penerjemah sebaiknya tidak harus menerjemahkan naskah segala bidang, dan harus menguasai kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Kalau tidak menguasai itu semua ya, bisa dibilang akan gagal seperti contoh kasus di atas.
Saya pernah membaca sebuah artikel bagaimana seorang penerjemah terkenal seperti Listiana Srisanti, yang menerjemahkan serial Harry Potter, karena pengalamannya bisa mengatasi kesulitan ketika berhadapan dengan kalimat seperti ini: Where the hell am I. Ia lalu terjemahkan itu dengan kalimat: Di mana gerangan saya. Jika dilihat sepintas kalimat itu sudah logis. Orang tahu dan mengerti apa itu gerangan. Bayangkan jika itu diartikan secara harfiah saja. Nah, silakan Anda bayangkan sendiri.
Namun dalam penerjemahan dibutuhkan juga seorang editor. Editor ini hendaknya juga harusnya mengerti dengan apa yang diterjemahkan. Boleh dibilang, dia harus dari latar belakang bahasa yang sama. Sebab, jika dari latar belakang yang sama akan terjadi kesinkronan antara penerjemah dengan editor. Tapi, kalau beda ya lain ceritanya. Saya punya pengalaman. Mantan dosen saya pernah menerjemahkan sebuah buku berjudul Melintasi Dua Jaman karangan Elien Utrecht. Buku itu mengenai kisah seorang wanita bernama Elien Utercht yang menjalani masa hidupnya di dua negara: Indonesia dan Belanda. Boleh saya bilang sih buku tentang pascakolonial. Cuma, ada teman saya yang kurang sreg dengan terjemahan dosen saya itu. Bilangnya: kacrut. Karena penasaran, ketika ada bimbingan akademis, saya tanyakan kenapa. Mantan dosen saya bilang itu karena editornya, Koesalah Soebagyo Toer ---adik dari almarhum Pramoedya Ananta Toer, berlatar belakang sastra dan bahasa Rusia. Dapat dikatakan, ia tidak mengerti terjemahan yang berasal dari bahasa Belanda. Akibatnya, terjadilah kekacauan. Mengapa editornya yang dipilih itu beliau? kata mantan dosen saya itu hak penerbit. Ya, kalau sudah begini, menurut Benny Hoedoro Hoed lagi, penerbit, terutama editornya sering memaksakan naskah itu dengan alasan: yang penting bahasa Indonesia sesuai kosakata, lalu naskah itu layak jual dan laku. Lupa dengan akurasi dan ketepatan.
Menerjemahkan itu, sebenarnya, menyenangkan. Dengan menerjemahkan kita bisa mengetahui budaya dan perilaku sosial yang berasal dari negara yang bersangkutan. Ini seperti kata pepatah: bahasa adalah teropong budaya. Menerjemahkan pun bisa menjadi jembatan penghubung antara dua pihak yang berlainan secara lisan dan tulisan. Cuma, ya itu tadi, seringkali hal seperti ini dianggap remeh. Hanya dengan bekal jago bahasa asing. Nah, akhirnya bisa ditebak kan...
0 komentar:
Posting Komentar