Benda itu terlihat mungil. Bentuknya kotak tetapi di tiap sisi
permukaannya agak melengkung dan tidak lurus. Di atas bentuknya itu tertera
layar sebesar 5 inci. Layar itu hampir memenuhi semua bidang kotak tersebut.
Warnanya yang hitam membuatnya tampak elegan apalagi layarnya yang terlihat
mengilap. Pas untuk ngaca.
Hm, benda ini memang praktis, gumam Wina ketika memperhatikan benda
yang berupa telepon genggam cerdas alias smartphone ini di mejanya
sekarang. Telepon genggam itu ia peroleh dari redakturnya, yang beberapa menit
sebelumnya memanggil dirinya masuk ke ruangan, lalu memperlihatkan dan
menyerahkan pada dirinya.
“Kamu tolong tulis ini ya,” kata redakturnya dengan senyum manis
yang terkesan dibuat-buat. Wina memang sudah tahu kalau ia dipanggil pasti
disuruh menulis tentang sebuah produk, tetapi pasti produk yang spesial.
“Produk dari mana ini, pak?” tanya Wina yang bertanya sedikit
curiga dan pura-pura tidak tahu. Padahal ia tahu. Sebuah produk dari “negeri
tirai bambu” Cina. Ia tahu itu dari namanya.
“Dari Cina, Wina,” kata redakturnya santai.
Wina yang tahu redakturnya itu mensahkan pertanyaan itu segera
bertanya dalam hatinya, Hah, apa istimewanya? Luarnya aja bagus, dalamnya
nggak.
“Kenapa ini yang harus saya tulis, pak?” tanya Wina penasaran, “Kan
bapak tahu sendiri produk-produk begini mana ada yang berkualitas,”
“Iya, saya tahu,” jawab redakturnya datar, “Tapi, mereka bayaran
cukup besar ke kita kalau ini ditulis. Sudah kamu sekarang jangan banyak nanya.
Tulis saja. Kalau perlu manipulasi. Ingat! Kita semua mau makan apa kalau nggak
ada yang ditulis?”
Wina terdiam mendengar ucapan redakturnya itu yang terkesan
pragmatis. Ia lalu undur diri, dan segera menuju mejanya. Di mejanya itu, Wina
mulai mengamati telepon genggam itu luar-dalam. Pertama ia coba masukkan
telepon genggam itu ke dalam saku celananya. Oke, masuk dan muat. Lalu ia
nyalakan layar. Sip! Terang sekali. Kemudian ia mulai mengoperasikan kamera di
dalam telepon genggam tersebut. Hm..terang sih cuma sedikit kabur. Seterusnya
ia mulai menyelami apa yang ada dari telepon genggam itu. Aplikasinya, open
sourcenya, hingga tetek-bengek yang lain. Hasilnya, mengecewakan! Apalagi
soal baterai. Cuma tahan beberapa jam terus drop lagi.
Yah, yang beginian mau ditulis? Nggak qualified
banget! Gumamnya kesal. Jujur, Wina ogah menulis tentang telepon genggam yang
ia anggap bagus luar, jeblok di dalam. Memang murah harganya. Paslah untuk
kalangan low-end. Tetapi harga murah, kemampuan juga murah.
Ah, dasar redaktur pragmatis!” ujarnya kesal kembali kepada
redakturnya yang menugaskan dirinya menulis tentang telepon genggam itu. Wina
berpikir sejenak setelah itu. Ini bagaimana menulisnya, gumamnya lagi. Bingung,
ia coba membuat moccacino lalu meneguknya supaya dapat inspirasi. Di mejanya
komputer beserta tutsnya sudah siap dijamah untuk mewadahi apa yang ia
pikirkan. Tak hanya itu beberapa foto dan catatan-catatan juga tertata rapi di
mejanya. Siap menemani dirinya. Di seberang meja tampak temannya yang juga
sedang sibuk menulis sebuah produk. Ia intip sebentar. Oalah, sebuah produk
dari Korea. Oh, senangnya, gumamnya ingin menulis produk itu.
Usai meneguk moccacino sebentar, ia mulai menulis. Perlahan hingga
membentuk sebuah kalimat. Ya itulah yang setiap hari dikerjakan Wina. Menulis,
melaporkan sebuah produk elektronik, terutama telepon genggam dari segala macam
merek untuk kemudian dimasukkan ke dalam majalah tempat ia bekerja. Ia memang
wartawan sebuah majalah gadget ternama di ibu kota. Pemberitaan majalah
ini sering menjadi referensi utama para pecinta dan pemburu gadget. Meski
sekarang banyak bermunculan majalah sejenis, tetap majalahnya yang menjadi
buruan utama.
Sudah hampir dua tahun Wina di majalah ini. Sebuah pekerjaan yang
ia lakoni semenjak lulus kuliah. Keinginan menjadi wartawan, terutama wartawan
majalah gadget, tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mengingat latar belakang
pendidikannya berasal dari perguruan tinggi keguruan yang sudah pasti menjadi
guru, konsultan, atau praktisi pendidikan. Namun karena menyukai gadget dan
gemar mengutak-atik, ia putuskan melamar di sebuah majalah yang sekarang jadi
tempatnya bekerja saat majalah itu membuka lowongan di surat kabar. Wina sama
sekali tidak berpikir apa-apa saat melamar. Ia merasa buta dengan dunia
jurnalistik. Dan benar ia buta ketika lamarannya diterima. Perlahan ia mulai
diajari gaya menulis jurnalistik, terutama tulisan untuk menulis sebuah produk.
Sifatnya deskriptif. Sebab tidak biasa dan memang jarang menulis, pada awalnya
ia kagok, terutama untuk kosakata. Namun, lama-kelamaan, ia pun lancar
menggambarkan produk itu dalam tulisannya. Sesuatu yang membuat ia
dipertahankan oleh atasannya.
Awalnya juga Wina tidak menyadari bahwa menulis di media massa itu
berarti harus mengikuti ketentuan yang berlaku. Ia harus menulis berdasarkan
keinginan si pemilik modal atau perusahaan yang biasanya disuarakan melalui
pimpinan redaksi. Atau malah melalui keinginan pengiklan. Hal demikian memang
agak berlawanan dengan keinginannya ketika dahulu, sewaktu melamar, ingin
memberitakan kepada masyarakat produk-produk yang bermutu melalui
tulisan-tulisannya. Memang teorinya seperti itu. Tetapi prakteknya berbeda.
Namun, mau bagaimana lagi, ia tidak bisa melawan sebab ia hanyalah seorang
wartawan serta penulis yang harus mau menulis apa saja. Kalau sudah begini
independensi menjadi tak berarti.
“Ini kan bukan majalah berita, Win,” ujar temannya, Sapta, saat
mereka berdua, pada suatu hari, tengah berada di sebuah kafe kecil dekat
kantor, “Ini kan majalah life style. Mencari sesuatu yang ringan bukan
serius,”
“Ya gue tau,” Wina membalas, “Tetapi kan kita wartawan. Tau kan
kerja wartawan itu apa? Memberitakan, melaporkan sesuai fakta bukan fiktif.
Nggak peduli medianya apa,”
“Gue rasa lo lebih baik televisi atau majalah berita aja,” kata
Sapta menyimpulkan, “Independensi lo dijaga,”
“Ah, gue nggak ada niat ke sana,”
Biasanya, kalau sudah begini, ia akan bergumam dalam pikirannya,
ih, coba gue yang jadi pemilik modal di sini. Handphone ecek-ecek nggak
gue kasih tempat. Tetapi, ia juga sadar rasanya itu sulit karena toh pemilik
modal hanya memikirkan keuntungan semata supaya bisnis medianya tetap berjalan,
dan bisa menggaji para karyawannya. Mana ada pemilik modal yang tidak praktis.
Kalaupun ada pasti sedikit jumlahnya.
Jam menunjukkan pukul 12 siang, Wina bergegas ke luar kantor menuju
ke sebuah rumah makan di dekat kantornya bersama dengan teman-temannya.
Mulailah mereka saling berbincang tentang apa yang tadi dikerjakan.
“Enak nih yang dapat penugasan menulis handphone Korea,”
ujar Wina kepada salah satu temannya, Hendri. Hendri segera membalasnya,
“Enak apa?” kata Hendri menjawab berlawanan, “Ribet tau! Bagus sih
bagus tapi gue jadi bingung nulisnya kaya gimana. Nah lo?”
“Hm...handphone Cina,”
Lantas semua pada tertawa.
“Nggak lucu deh,” kata Wina kesal.
“Kok bisa, Win?” tanya Rani.
“Tau tuh Pak Zul,” kata Wina masih kesal, “Nggak jelas,”
“Emang Pak Zul nggak jelas,” kata Rindra, “Baru tau lo,”
Semua pada tertawa kembali. Wina yang melihatnya kembali risi.
“Hm...semuanya bisa ganti topik nggak?”
Mereka yang mendengarnya langsung bereaksi,
“Iya, Bu Wina,”
Mereka lalu berjalan ke arah rumah makan yang dituju. Wina, yang
rupanya sudah menyelesaikan tulisannya dalam waktu sejam untuk dua halaman,
disms oleh redakturnya,
“Wina, saya sudah lihat tulisanmu. Sudah saya baca. Tulisanmu bagus,
dan cukup mewakili pihak pengembang. Rupanya bisa juga kamu manipulasi,”
Wina hanya tertawa dalam hati setelah melihat sms itu. Ya iyalah
bagus orang nggak boleh ditulis yang jeleknya. Tak berapa lama kemudian
sampailah ia di rumah makan yang dituju, dan ketika itu,
Ah, udahlah yang penting gue udah nulis. Kelar! Mau ntar
dibilang bagus atau nggak itu belakangan deh.
0 komentar:
Posting Komentar