Pages

Sabtu, 19 Oktober 2013

Selepas Senja di Stasiun Gondangdia

Pada senja yang terukir
Mencoba memberi salam perpisahan
Guratan merah pada langit itu nampak jelas
Ketika malam sudah merayap perlahan

Ini selepas senja
Menerawang mata pada rimba-rimba beton yang angkuh
Mencoba menikmati diri pada pancaran sinar
Membentuk rentetan cahaya yang tak begitu padu

Kita terduduk menghibur diri
Ular besi tak juga singgah
Angin berdesir pelan
Suara-suara dari mulut menjadi percuma

Rabu, 16 Oktober 2013

Promosi Kumcer Penunggu Puncak Ancala

Penulis: Indra Maulana, Sulung Hanum, Ageng Wuri, Acen Trisusanto, Dea Sihotang
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 216 hlm
Penerbit: Bukuné
ISBN: 602-220-113-6

Price:
Sales price: Rp38000
Sales price without tax: Rp38000


Anda penggemar cerita horor? Suka petualangan berbau horor dengan latar belakang gunung dan pendakiannya. Buku kumpulan cerpen berjudul Penunggu Puncak Ancala ini bisa menjadi buku yang tepat untuk Anda. Buku ini ditulis oleh 5 orang, Indra Maulana, Sulung Hanum, Ageng Wuri, Acen Trisutanto, dan  Dea Sitohang. Salah satu penulisnya, Ageng Wuri, pernah bekerja menjadi wartawan di sebuah majalah mingguan nasional, Gatra.
Nah, berikut sinopsis dari buku kumpulan cerpen ini atau kumcer:


Aku dan teman-teman penasaran akan keberadaan komplek makam Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas. Sesampainya di sana, perasaanku jadi tidak enak. Ingin rasanya segera kembali ke tenda. Aku merasa… ada yang mengawasi.
Sesosok anak perempuan terlihat mengintip rombongan dari balik pohon. Siapa itu? Kulitnya hitam, bajunya lusuh, dan…. Ah, aku dibuatnya gemetaran, tapi kami saling berjanji untuk tetap diam jika menemukan keganjilan.
Perlahan, anak perempuan itu keluar dari persembunyiannya. Sepertinya tidak ada yang sadar bahwa kami tidak lagi bersepuluh, melainkan sebelas. Karena dia kini mengikuti kami di barisan paling belakang.
Dan…, selama berjalan… lehernya yang hampir putus juga ikut bergoyang….
***
Alam tidak hanya menyuguhkan keindahan, tapi juga menyimpan banyak misteri. Dan ini adalah kisah kami, para pencinta alam yang ingin mengalahkan rasa takut.
Dalam perjalanan mendaki gunung, menelusuri gua, menapaki hutan, kami bersentuhan dengan “mereka”—penghuni alam lain yang membuat nyali ciut. Namun, bagi para petualang, ketakutan harus dihadapi. Sebab, ke mana pun kami pergi, mereka akan selalu mengikuti….
Bagi yang berminat, bisa langsung membelinya di Gramedia atau toko-toko buku terdekat.

Minggu, 13 Oktober 2013

Sinosfer: Sama Belum Tentu Kompak

Tadi malam, suasana hati cukup senang sekali. Kenapa? Indonesia berhasil menang atas Korea Selatan 3-2. Kemenangan ini menempatkan Indonesia menjadi juara grup G dari 3 kali bertanding dan lolos ke Piala Asia U-19 di Myanmar tahun depan. Kemenangan yang cukup membanggakan. Bagaimana tidak? Lawan yang berhasil dikalahkan itu Korea Selatan, salah satu raksasa sepak bola Asia dan juara 12 kali Asia U-19. Jarang-jarang timnas, di level apa pun, bisa menang atas tim "negeri ginseng" itu. Apalagi kemenangan itu dilengkapi dengan permainan yang tidak mengenal kata inferior complex. Salut!

wikipedia.org


Nah, terkait kemenangan itu, saya pun memosting status di Facebook. Saya bilang bahwa Indonesia sudah mengalahkan dua negara sinosfer. Pertama Vietnam. Kedua Korea Selatan. Nah, kemudian saya harap kemenangan ini berlanjut ke timnas senior yang akan menghadapi negara sinosfer lainnya, Cina. Syaratnya sih satu, jangan inferior complex. Nah, berbicara tentang sinosfer, pasti ada yang bertanya-tanya apa itu sinosfer. Saya sendiri setelah memosting itu jadi tertarik menuliskannya di blog ini.

Kata 'sinosfer' saya dapatkan pertama kali ketika hendak menuliskan Vietnam di blog ini, salah satu negara ASEAN yang ternyata lebih kuat pengaruh Cina-nya. Sepintas memang jika melihat Vietnam, tampilan luar budaya Vietnam mengarah ke Cina atau kecina-cinaan. Dan setelah ditelusuri, rupanya "negeri Paman Ho" ini memang pernah, dalam sejarahnya, dikuasai Cina, selama beberapa abad. Dimulai dari masa Dinastin Han. Ketika lepas dari Cina pada 938, Vietnam tetap meneruskan pengaruh Cina itu pada tulisan, ritual, dan pakaiannya.

Lalu bagaimana dengan sinosfer dan pengertiannya? Sinosfer sendiri berasal dari bahasa Inggris, Sinosphere. Kata ini saya Indonesiakan supaya bisa mudah diucapkan dan disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia tentang serapan asing. Sinosfer yang berasal dari sinosphere itu sebenarnya merupakan penggabungan dua kata, sino dan atmosphere. Sino berarti Cina, sedangkan atmospehere suasana/ lingkungan. Harfiahnya berarti, suasana cina. Nah, maksud dari sinosfer sendiri adalah suatu tempat atau lingkungan yang secara kultural mayoritasnya adalah orang-orang Cina atau dalam pengertian lain, tempat yang dahulunya secara historis dan kultural pernah di bawah kekuasaan Cina.

Sinosfer sendiri mempunyai nama lain yang dikenal sebagai sinic world atau dunia Cina. Nama ini juga erat kaitannya dengan Asia Timur sebagai wilayah dari Sinosfer. Kebanyakan negara di Asia Timur merupakan negara Sinosfer. Hal ini karena pengaruh budaya Cina amat lekat dan kuat di negara-negara tersebut. Negara-negara itu, antara lain Cina, Hongkong, Makao atau Cina Raya, Taiwan, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, dan Vietnam. Pengaruh budaya itu terlihat dari tulisan, prinsip konfusianisme, buddhisme, pakaian, makanan, serta struktur sosial dan politik. Hal itu sesuai dengan pendapat Nishijma Sadao, ahli sinosfer dari Universitas Tokyo.


confusedlowai.com
Bagaimana sinosfer bisa terjadi dan berkembang? Hal ini tentu ada hubungannya dengan penyebaran agama Buddha dari Cina ke beberapa negara tetangganya yang kemudian dilanjutkan dengan invasi dan pendudukan. Korea dan Vietnam menjadi wilayah yang mempunyai sinosfer atau budaya Cina karena invasi dan pendudukan dinasti-dinasti Cina di kedua wilayah itu. Sedangkan Jepang, karena penyebaran Buddha yang dikonversi dengan shinto, serta banyaknya orang Jepang yang belajar tentang kesusasteraan di Cina. Dari sinilah, hal yang paling dapat diketahui  dengan mata telanjang, lahirlah tulisan-tulisan bahasa setempat namun ditulis dengan aksara Cina. Di Jepang muncul Kanji, Korea muncul Hanja dan Hangeul, Taiwan Zhuyin, dan Vietnam Han Nom. Dari kelimanya, hanya Vietnam yang tidak memakai lagi aksara itu semenjak dikuasainya negara di Indocina itu oleh Prancis sampai Perang Dunia ke-2. Gantinya, Vietnam memakai aksara Latin.

Dari segi ekonomi, hampir semua negara sinosfer merupakan negara-negara maju, kecuali Vietnam dan Korea Utara. Beberapa malah disebut sebagai macan asia. Sebut saja Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan satu negara di Selat Malaka, Singapura. Singapura bisa dianggap sebagai sinosfer mengingat mayoritas penduduk negeri kecil di antara Malaysia dan Indonesia ini beretnis Cina. Akan tetapi, sinosfer bukan secara geografis. Sebab itu tadi, Sinosfer utamanya berpusat di Asia Timur. Belakangan, Cina, sebagai pusat sinosfer, juga tengah menggeliat sebagai kekuatan ekonomi baru. Mereka semua tengah berusaha mengganti posisi Jepang, sebagai negara sinosfer yang lebih dahulu mapan pasca Perang Dunia ke-2.

Sayangnya, kemapanan ekonomi, kesamaan budaya, dan filosofi, tidak serta-merta membuat negara-negara sinosfer rukun, baik dalam politik dan kedaulatan. Sejarah beberapa negara sinosfer menunjukkan bahwa mereka sering berkonflik satu sama lain. Jepang, misalnya, sering berkonflik dengan Cina, terutama perang memperebutkan Kepulauan Ryukyu, perang saat terjadinya Perang Dunia ke-2 dengan menyerang dan menduduki Cina, dan terakhir memperebutkan Kepulauan Senkaku. Jepang malah nampak ketakutan melihat kekuatan Cina belakangan ini, terutama militernya hingga kemudian berupaya menghapus konstitusi yang tidak lagi mengharuskan armada militer Jepang tidak sebagai unsur bela diri demi menghadapi Cina. Tak hanya dengan Cina, Jepang juga terkadang berkonflik dengan Korea, jika dikaitkan dengan pendudukan "negeri matahari terbit" itu dari 1910 hingga 1945. Apalagi kunjungan para pejabat Jepang ke kuil Yasukuni menjelang peringatan Perang Dunia ke-2 yang selalu disambut protes besar-besaran di Korea dan Cina. Korea yang terbelah dua pun juga tersurut konflik. Pecahnya Perang Korea pada 1950 menjadi titik awal konflik antara utara dan selatan, akibat beda ideologi, sampai sekarang. Lalu Cina juga berkonflik dengan Taiwan soal status Taiwan dari Cina yang dianggap sebagai provinsi yang membangkang. Konflik ini terjadi akibat perang saudara yang berlangsung di Cina pasca-terusirnya Jepang dari Cina. Dan dengan Vietnam, Cina pun berkonflik mengenai Kepulauan Spratly. Kedua negara pun pasca Perang Dunia ke-2 pernah bertempur di perbatasan.

Nah, itulah sinosfer. Kondisi/suasana budaya yang memang berasal dan dipengaruhi oleh Cina. Kesamaan itu terkadang membuat kita sulit membedakan pada tampang, mana yang Cina, mana yang Jepang, mana yang Korea. Hanya ketika mendengar bahasanya dan melihat tulisannya, kita baru tahu. Meskipun sama, tak selamanya beberapa negara itu kompak jika berbenturan dengan kepentingan nasionalnya. Ya seperti Indonesia dan Malaysia saja.





Senin, 07 Oktober 2013

Sriwijaya

Sriwijaya. Nama itu sudah terdengar akrab di telinga saya, dan mungkin juga telinga sebagian orang di negeri ini. Yang saya tahu Sriwijaya adalah sebuah nama kerajaan di masa lalu ketika republik belum benar-benar ada. Sebuah kerajaan yang terletak di Palembang, Sumatera Selatan, begitu menurut keyakinan para ahli. Sebuah kerajaan yang menganut Buddha sebagai agama kerajaan. Dan sebuah kerajaan yang begitu termahsyur hingga Asia, bahkan ke Timur Tengah (Umayyah) sekalipun, yang mempunyai kekuasaan dari Semenanjung Melayu sampai Kalimantan. Wilayah-wilayah kekuasaan itu dijadikan pijakan pembentukan sebuah negara yang sekarang bernama Indonesia, selain Majapahit.

melayuonline.com


Warisan Sriwijaya dari masa lalu begitu banyak. Bahkan sampai ke India (Tentu kita ingat biara dan prasasti Nalanda). Nama Sriiwaya pun dijadikan sebuah gaya arsitektur bangunan candi, yang umumnya terbuat dari bata merah, serta patung yang terbuat dari emas. Begitulah jika kita menyebut candi-candi peninggalan Sriwijaya dari Biaro Bahal di Sumatera sampai Batujaya di Jawa. Di Thailand dan Malaysia juga menggunakan gaya ini. Apalagi seni patung yang bertahtakan emas mengingat Sumatera sebagai pusat Sriwijaya merupakan surga emas atau swarnadwipa. Dan menurut catatan para pedagang Arab, para petinggi Kerajaan Sriwijaya gemar membuang emas beberapa ton ke laut tiap harinya. Candi Borobudur yang termahsyur dan Angkor Wat di Kamboja juga identik dengan Sriwijaya. Politik kekerabatan dan perdagangan masa lalu menjadi penyebab adanya tali simpul persaudaraan antara Sumatera (Sriwijaya)-Jawa (Syailendra), dan Khmer (Kamboja). Bahkan antara Sriwijaya dan Syailendra beraliansi sehingga membentuk kekuatan besar di Nusantara dan Asia Tenggara. Khmer pun menjadi wilayah dari keduanya. Salah satu rajanya, Jayawarman II pun pernah tinggal di Jawa dan terpengaruh gaya Jawa Tengah ketika membangun kompleks Angkor. Di Sriwijaya pun, salah satu raja dari dinasti Syailendra, Balaputradewa menjadi raja di Sriwijaya, dan membawa gaya Jawa Tengah dalam banyak bidang.

Sriwijaya, sebuah nama yang sepertinya begitu sakral. Begitu suci. Sebuah kebanggaan yang tersemat, terutama bila dihubungkan dengan Provinsi Sumatera Selatan. Di sinilah nama Sriwijaya berkibar. Bukan hanya sebagai bentuk kerajaan di masa lalu juga. Melainkan sebagai nama untuk instansi-instansi lain. Sebut saja Universitas Sriwijaya atau Unsri, sebuah universitas negeri di Palembang, Sriwijaya Air, sebuah maskapai penerbangan nasional, Sriwijaya FC, sebuah klub sepak bola termahsyur di Palembang dan juga Indonesia, nama sebuah BUMN, Pupuk Sriwijaya, nama sebuah hotel, Hotel Sriwijaya,  nama sebuah instansi militer, Kodam Sriwijaya, nama sebuah koran lokal Sumatera Selatan, Sriwijaya Post, nama stasiun televisi tempatan, Sriwijaya TV,  nama sebuah lagu dan tarian, Gending Sriwijaya, yang kemudian dijadikan judul film, dan nama sebuah kompleks olahraga, Gelora Sriwijaya. Bahkan juga menjadi nama jalan, Jalan Sriwijaya. Nama jalan ini tak hanya di Palembang, tetapi juga di kota-kota besar di Jawa.

Dan bila melihat kenyataan di atas, nampak nama Sriwijaya begitu banyak tersemat daripada nama Majapahit, yang digadang sebagai kerajaan terbesar di Jawa dan Asia Tenggara. Apalagi dalam sebuah penelitian arkeologis, salah satu peninggalan Sriwijaya, kompleks Candi Muaro Jambi di tepian Sungai Batanghari merupakan kompleks candi terbesar di Indonesia. Melebihi Borobudur. Kebanggaan itu benar-benar masih terasa meskipun Sriwijaya sudahlah berakhir sejak beribu abad lalu. Seolah-olah Sriwijaya hidup kembali. Dan dari seorang Coedes-lah Sriwijaya benar-benar nama kerajaan bukan raja seperti yang ditimpakan Kern.



Rabu, 02 Oktober 2013

Tonle Sap, Warisan Keanekaragaman Hayati Kamboja

Jika di Indonesia mempunyai danau terbesar, Danau Toba, dan sudah cukup termashyur hingga ke seluruh jagad, Kamboja pun juga mempunyainya. Nama danau itu Tonle Sap. Danau ini terletak di Siem Reap, kota terbesar kedua di Kamboja setelah Phnomh Penh, ibu kota negara tersebut. Jaraknya dari kota sekira 19 kilometer, tepatnya berada di sebelah selatan. Tonle Sap merupakan danau terluas di Asia Tenggara. Jika kita mengarahkan mata ke peta Kamboja akan terlihat jelas sebuah cekungan besar.


Tonle Sap dalam bahasa Khmer berarti sungai besar air tawar. Penamaan itu merujuk pada keadaan danau yang merupakan campuran air sungai dan danau. Tak seperti danau-danau lainnya di muka bumi, Tonle Sap merupakan danau yang cukup unik. Pada musim penghujan panjang danau bisa mencapai 12.000 kilometer persegi dengan kedalaman air 12 meter. Sedangkan pada musim kemarau hanya mencapai 250 kilometer persegi dan kedalaman airnya hanya sedalam 1.50 meter. Jadi, dengan keadaan yang demikian ketika Anda berkunjung ke danau pada musim penghujan, Anda dapat menyaksikan keadaan air danau yang nampak menggenangi beberapa area. Seolah-olah pemandangan yang demikian memberikan kesan pada Anda sedang terjadi banjir.

 

Aliran danau berasal dari Sungai Tonle Sap yang mengarah pada Sungai Mekong, sungai terbesar di Asia Tenggara. Tonle Sap bukanlah sekedar danau. Ia merupakan rumah bagi beberapa masyarakat yang tinggal dan menggantungkan kehidupan di atas danau. Ada 1.115 keluarga yang tinggal di atas danau tersebut. Masyarakat ini melakukan kegiatan sehari-harinya di atas danau. Mulai dari mencari nafkah seperti memancing, menjaring dan membuat keramba ikan hingga mengolah lalu menjualnya ke daratan melalui perahu atau menjual di daerah apung tersebut. Rumah-rumah di atas danau itu dibuat terapung dan bisa dipindahkan sewaktu-waktu, terutama jika terjadi bencana alam. Keadaan terapung ini bisa kita samakan dengan di Banjarmasin yang mempunyai pasar apung.

Di Tonle Sap selain rumah terapung kita juga bisa menemukan penangkaran buaya siam. Namun buaya siam bukanlah spesies asli danau. Buaya ini hanya hidup di Sungai Mekong. Begitulah yang dikatakan kepada saya oleh seorang tukang perahu bermotor yang memandu kami dan menceritakan tentang Tonle Sap. Spesies asli danau ini adalah patin raksasa mekong dan merupakan spesies legendaris. Dikatakan legendaris sebab spesies ini merupakan spesies yang amat langka dan dilindungi. Dagingnya yang enak dan bernilai ratusan dolar menjadi penyebabnya hingga populasinya pun berkurang. Bahkan di danau ini pernah ditangkap ikan patin yang beratnya hampir mencapai 674 ponds. Berat itu melebihi berat normal yang dimiliki satwa air tersebut, yang berkisar antara 250-500 ponds dengan panjang antara 8 hingga 10 kaki.


Selain patin raksasa hidup juga beragam spesies lainnya. Kebanyakan dari spesies itu adalah burung-burung seperti pelikan dan elang. Perlu diketahui di Tonle Sap hidup 200 jenis burung dan ikan. Kebanyakan burung yang hidup merupakan jenis dari bangau. Apabila di suatu tempat masih terdapat bangau, itu berarti tempat tersebut masih bagus ekologinya. Bangau dalam sistem ekologi merupakan rantai penyeimbang makanan. Keadaan demikian masih terlihat di Tonle Sap. Tidak nampak sampah atau limbah. Danau itu masih terlihat bersih dan murni. Di beberapa bagian danau dibangun generator listrik untuk menyuplai listrik dari air danau tersebut. Tonle Sap bisa dibilang merupakan warisan berharga Kamboja sebab dari danau inilah situs sejarah Angkor terhidupi. Dan di sanalah keseimbangan lingkungan masih terjaga. Wajar jika pada 1997 UNESCO menetapkannya sebagai titik penting keanekaragaman hayati.


Selasa, 01 Oktober 2013

Antara Jakarta dan Kuala Lumpur

Ini seperti membandingkan bumi dan langit atau sebaliknya. Kedua kota merupakan ibu kota negara masing-masing. Yang satu ibu kota Indonesia. Satunya lagi Malaysia. Kedua-duanya pun boleh dibilang sama-sama kota terbesar dan bahkan superbesar, baik di negara masing-masing dan di Asia Tenggara. Bersanding dengan beberapa kota besar dunia seperti New York, Tokyo, London, dan Paris. Jakarta pun mendapat predikat sebagai ibu kota paling sibuk dan terbesar di Asia Tenggara dengan menggandeng Jabodetabeknya. Menjadikan kota seluas 740.3 kilometer persegi menempati urutan kedua di asia setelah Tokyo dan menempati peringkat ke-17 dunia dari 200 kota yang ada mengalahkan Bangkok, Kuala Lumpur, dan Beijing.

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/02/1360575572933526818.jpg
lifestyle.kompasiana.com

Akan tetapi "kebesaran" yang dimiliki Jakarta itu pada kenyatannya tidak sebanding dengan isi yang di dalamnya. Istilahnya, kuantiatif lebih mentereng daripada kualitatif. Beberapa masalah sering dan berulang kali mendera kota yang dahulunya merupakan kota kanal yang dibangun Belanda pada abad ke-17. Macet, banjir, polusi udara, permukiman padat penduduk, kemiskinan, kurangnya rasa aman seolah-olah tidak pernah lepas dari kota yang diinginkan Soekarno harus menjadi mercusuar di bumi selatan. Kenyataan-kenyataan yang demikian seringkali membuat beberapa penghuninya sering mengalami stres. Masalah pembangunan yang sering tidak menyertakan tata ruang yang sesuai membuat Jakarta nampak seperti sebuah kota yang diperuntukkan bagi rimba-rimba beton. Taman pun jarang. Kalaupun ada hanya beberapa yang bagus. Transportasi publik seringkali tidak berjalan begitu baik. Adanya TransJakarta yang diharapkan meminimalisasi kemacetan malah sebaliknya seiring dengan bertambahnya pengguna kendaraan bermotor. Kereta api listrik yang menjadi sarana para penglaju sering bermasalah dengan sinyal dan penumpang. Angkot-angkot yang jumlahnya ratusan sering menjadi tidak efektif dengan berhenti di jalan. Akibatnya, mudah ditebak macet. Belum lagi Sungai Ciliwung yang tiap hari semakin menghanyutkan sampah. Wacana pemindahan ibu kota serta alternatif transportasi seperti monorel acap terdengar. Sayang, wacana tinggal wacana jika bercampur dengan kepentingan politis.

Permasalahan yang membuat beberapa penghuninya seringkali menjadi masa bodoh lalu berlari ke luar Jakarta ketika akhir pekan tiba. Sayangnya, bukan ketenangan tetapi malah kepenatan yang didapat kala ke luar Jakarta.

www.mydestination.com


Bagaimana dengan Kuala Lumpur?
Ibu Kota Malaysia ini tampak santai dan adem-ayem saja seperti orang yang tidak sedang menghadapi banyak masalah. Dan itu memang betul. Kota seluas 243.65 kilometer persegi nampak sedang mengalami kejayaannya sebagai sebuah kota yang diharapkan para penduduknya. Bersih, rapi, tenang, bebas polusi, banyak ruang hijau, dan teratur. KL, demikian dipanggil bisa dibilang merupakan sebuah kota yang ramah bagi penghuni dan para penglaju di sekitarnya. Hal itu bisa terlihat ketika Anda menjejakkan kaki di Lapangan Terbang Antarabangsa Kuala Lumpur (KLIA)  yang terletak di Sepang, yang justru jauh dari Kuala Lumpur. Pola letak ini sebenarnya sama dengan letak Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang terletak di Cengkareng, yang berada di luar Jakarta. Namun, di sinilah pintarnya Malaysia. Bandara itu ditaruh di perkebunan kelapa sawit yang jelas-jelas tidak bermasalah ketika di atasnya dibangun bandara karena bukan daerah resapan air. Berbeda dengan Soekarno-Hatta yang dibangun di atas resapan air dan seringkali mengalami banjir pada jalur menuju bandara. Dan macet

Dari KLIA banyak tersedia bisa menuju KL seperti aerobas. Jalan dari bandara ke KL cukup lancar. Berbeda dengan di Jakarta. Ketika tiba KL, tepatnya di KL Sentral, sebuah pemandangan akan keteraturan nampak disuguhkan. Di situlah semua moda transportasi berkumpul. Baik itu taksi, kereta komuter, monorel, kereta bandara, dan bis. Semua terintegrasi dengan baik. Tidak ada angkot seperti mikrolet sama sekali. Yang ada bus setingkat TransJakarta. Bisa dipastikan macet tidak ada. Transportasi seperti komuter berjalan dengan optimal. Bisa dibilang tepat waktu sesuai yang dijadwalkan. Jarang mengalami gangguan sinyal.

Kota yang dibangun di pertemuan Sungai Klang dan Sungai Gombak oleh seorang kapitan Cina pada abad ke-19 itu, sama seperti Jakarta, juga mengalami macet. Namun, pada 1999, untuk mengurangi kemacetan, dibuatlah kota pendamping bernama Putrajaya. Beberapa instansi pun pindah ke kota baru hingga semua tak harus terpusat di KL. Kemudian untuk meningkatkan akses dan produktivitas warganya, dibuatlah monorel dan kereta bandara sehingga segala kemudahan akses pun tersedia di KL. Nampak apa-apa yang diwacanakan menjadi nyata karena tidak bercampur kepentingan politis di dalamnya. Semua untuk kepentingan umum.

Ya, Kuala Lumpur memang sedang di atas langit. Sedangkan Jakarta di bumi. Kuala Lumpur nampak sedang menikmati kemodernannya yang manusiawi. Melewati masa-masa yang menyulitkan. Jakarta pun sebaliknya. Masih berkutat dengan banyak masalah klasik alias itu-itu saja. Meski sekarang Jakarta dalam genggaman Jokowi, masih banyak lika-liku yang harus dihadapi dan dituntaskan. Pembangunan monorel dan subway seperti menemukan titik terang meski prosesnya berbelit-belit. Kanal Banjir Barat dan Timur sedang terus dioptimalisasi meski banjir terus menghantui. KL pun juga mengalami banjir tetapi kota ini nampak sigap dalam menghadapi bencana itu.

Pada dasarnya, ada baiknya, Jakarta belajar dari Kuala Lumpur. Tidak ada salahnya. Belajar bisa dari siapa saja, termasuk dari musuh sendiri. Karena Kuala Lumpur juga belajar dari Jakarta hingga akhirnya bisa melampaui. Kita pun berharap Jakarta seperti KL dan kalau perlu melampaui KL. Yang diperlukan sekarang ialah sikap pemangku kebijakan dalam mengatur tata ruang kota. Buat apa modern tetapi tidak menyejukkan penghuninya tetapi justru menakutkan penghuninya. Dan dari ibu kota lah, cermin sebuah negara terpampang.





Senin, 30 September 2013

Angkor Wat: Yang Tersisa dari Kejayaan Khmer



Langit masih terlalu gelap untuk dilihat dan dipandang. Gelapnya langit juga berpengaruh pada keadaan di bawahnya. Padahal, ini sudah jam 5 pagi. Suasana seperti malam masih terasa. Begitulah yang saya rasakan ketika saya keluar hotel. Angin berhembus pelan. Rasa dingin menyelimuti. Tapi, itu bukanlah halangan ketika saya, adik saya, dan teman saya meniatkan pergi ke Angkor Wat pada pagi yang masih gelap itu. Mendengar kata 'Angkor Wat' semua akan langsung menyahut Kamboja, negara tempat candi itu berada. Saya memang sedang berada di Kamboja, tepatnya di Siem Reap, kota yang dianggap tepat menuju Angkor Wat, warisan budaya Kamboja yang sudah begitu mendunia dan menjadi warisan dunia versi UNESCO sejak 1992.



Begitu saya, adik saya, dan teman saya masuk ke taksi yang kami pesan, keadaan yang sangat gelap itu masih terasa sampai kami di Angkor Wat. Dengan membayar 20 dolar Amerika per orang untuk satu hari kunjungan, kami dipotret satu per satu untuk dimasukkan ke dalam tiket masuk. Perlu diketahui, Angkor Wat adalah candi yang teramat besar dan luas sehingga satu hari berkeliling pun tidak akan cukup. Karena itu, tiket masuknya juga bervariasi. Ada yang dua hari, ada yang satu minggu. Bervariasi tiket, bervariasi juga harganya. Yang dua hari mencapai 40 dolar AS, sedangkan yang satu minggu bisa mencapai 60 dolar AS. Cara berkelilingnya pun tidak melulu jalan kaki. Bisa juga dengan sepeda, taksi, tuk-tuk---sejenis bajaj, atau helikopter. Itulah yang saya baca ketika hendak mengunjungi salah satu warisan dunia ini. Kebetulan kami memilih taksi untuk berkeliling. Taksi ini yang juga sehari sebelumnya mengantar kami dari bandara Siem Reap. Sopirnya, Bora, seorang Khmer, dengan raut wajah sedikit sipit, bagi saya seorang yang ramah dan bersahabat. Kemampuan berbahasa Inggrisnya yang lancar dan mudah dipahami membuat kami bisa dengan mudahnya berkomunikasi.  Boralah yang menawarkan diri berkeliling Angkor Wat seharian dengan harga 40 dolar AS. Cukup mahal memang bagi seukuran kami yang datang dengan uang pas-pasan. Alhasil, kami pun patungan. Tak apalah mahal yang penting kami dapat transportasi buat mengantar. Lagipula, di Siem Reap, ketika membaca buku panduan ke Kamboja, bahwa hotel-hotel di sana terhubung satu sama lain dengan moda transportasinya. Dan itu benar.

Usai membayar tiket masuk dan mendapat kartu sebagai validasi, kami langsung menuju ke Angkor Wat. Bora memberhentikan kami lalu menunjuk ke tempat orang-orang yang sedang berjalan dengan senter. Kami segera ikuti petunjuk dari dia dan mengikuti orang-orang bersenter itu berjalan. Usai dicek kembali oleh barisan petugas yang menyambut turis, masuklah kami ke candi Hindu terbesar di Asia Tenggara itu. Meski gelap, tetapi siluet menara candi terlihat. Rasa tak percaya membuncah sekaligus bercampur rasa bangga. Angkor Wat yang saya biasa lihat di televisi dan hanya tahu dari Tomb Raider tiba-tiba saja saya jejakkan.

Kompleks Candi Terbesar di Asia Tenggara dan Identitas Nasional
Angkor Wat adalah sebuah candi, tetapi juga kompleks bangunan keagamaan yang pada awalnya Hindu lalu berganti menjadi Buddha. Candi Angkor Wat yang merupakan bagian dari kompleks Taman Arkeologi Angkor merupakan candi yang dibangun oleh raja Suryawarman II pada awal abad ke-12 Masehi. Angkor Wat, yang dalam bahasa Khmer berarti kota besar, juga merupakan identitas nasional Kamboja. Hal itu yang diperlihatkan di dalam bendera negara tersebut.

Ketika menjejak kaki di Angkor Wat, saya jadi teringat bahwa hampir semua struktur bangunan di Angkor Wat terpengaruh oleh Jawa. Apa pasal? Salah satu raja dari Kemaharajaan Khmer, kemaharajaan yang membangun Angkor dan seisinya, Jayawarman II, dalam sejarah pernah tinggal beberapa lama di Jawa. Ketika itu Jawa sedang diperintah oleh Dinasti Syailendra, dinasti yang mahsyur dengan pembangunan Borobudur, candi Buddha terbesar di Asia Tenggara. Keberadaan sang raja di Jawa juga tidak terlepas dari kebijakan politik Jawa yang menjadikan Khmer sebagai bagian dari Jawa. Hal yang demikian membuat sang raja ketika kembali ke Kamboja, membangun beberapa candi dengan terpengaruh ala Jawa. Kemiripan struktur dan relief antara beberapa candi di Taman Arkeologi Angkor dan Borobudur itu pun pernah diteliti dalam sebuah seminar.



Ketika saya melihat candi itu dari kejauhan, sekedar melihat matahari terbit, yang nyatanya tidak muncul karena mendung, saya melihat beberapa menara menjulang dari candi itu. Di depan candi terbentang sebuah danau teratai. Persis seperti yang saya lihat di televisi. Kemudian ketika masuk ke candi dengan menaiki tangga kayu buatan untuk melapisi tangga asli yang curam, candi itu terlihat sedang direstorasi pada bagian depannya. Tampak di situ ada beberapa biksu berdoa. Layaknya candi-candi, sudah pasti ada relief. Begitu juga di Angkor Wat yang terpampang relief yang berkisah mengenai Mahabhrata dan Ramayana. Tentu dengan ala Kamboja. Angkor Wat memang candi yang besar dan luas. Berbeda dengan Borobudur, candi ini bersifat tertutup dengan adanya lorong panjang beratap yang membentuk sebuah rumah panjang. Bisa dipastikan, di Angkor Wat, kita pun bisa mengelakkan diri dari cuaca panas atau hujan lalu duduk-duduk di pelatarannya.

Yang membuat kami terheran-heran kenapa tangga di candi itu begitu suram. Berbeda dengan Borobudur atau candi-candi lainnya di Indonesia. Apalagi menara-menara candi itu seperti Prambanan. Apa karena ini candi Hindu jadi seperti itu strukturnya.

 
Angkor Wat hanyalah sekian dari candi-candi yang tersebar di Taman Arkeologi Angkor. Seperti namanya, dia merupakan tempat pemujaan sekaligus pusat kekuasaan raja sebab dibangun di ibu kota kemaharajaan Khmer, Yasodharapura. Keberadaan Angkor Wat dan situs-situs lainnya di Kamboja diketahui dimulai ketika pada akhir abad ke-19, beberapa arkeolog Prancis melakukan penggalian mengenai situs-situs bersejarah yang berada di dekat Siem Reap. Tak lama kemudian setelah berhasil direstorasi, Angkor Wat dibuka untuk umum dengan beberapa turis Prancis sebagai pengunjungnya. Keberadaan situs arkeologi itu tak pelak mempengaruhi Siem Reap, sebuah kota kecil yang awalnya hanyalah permukiman kumuh. Dibangunlah akomodasi dan jalan-jalan untuk mempermudah akses ke Angkor Wat. Akibatnya, Siem Reap pun menjadi kota yang berkembang cepat menjadi kota pariwisata dan gerbang ke Angkor Wat. Jarak dari kota itu kompleks candi hanya sekira 5,5 kilometer.

Puncak Kejayaan Khmer
Angkor Wat sendiri merupakan sebuah puncak prestasi peradaban yang dilakukan Kemaharajaan Khmer. Dalam sejarah Kamboja, Kemaharajaan Khmer merupakan kemaharajaan paling berpengaruh di negeri dan juga di Indocina. Indocina pada masa-masa kemaharajaan ini dikuasai dan disatukan. Kekuasaan Kemaharajaan Khmer membentang dari dari Myanmar hingga Thailand. Kemaharajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Sriwijaya di utara Semenanjung Melayu, Champa dan dinasti Tang di timur, Haripunjaya dan Mon di barat. Dalam sejarahnya, kemaharajaan ini memang mempunyai hubungan politik dan perdagangan dengan Jawa dan kemudian Sriwijaya. Beberapa raja yang terkenal selain Jayawarman II dan Suryawarman II adalah Indrawarman I yang memulai ekspansi Angkor, Yasowarman I yang membangun Yasodharapura. Hampir semua candi di kawasan Angkor dibangun oleh raja yang sedang berkuasa. Candi Angkor Thom atau Bayon dibangun oleh Jayawarman VII. Sedangkan Baphuon dibangun oleh Jayawarman VIII. Begitulah info yang kami dapatkan dari Bora kala kami bertaksi dari satu candi ke candi lainnya. Perlu diketahui jarak tiap candi bisa 2-5 kilometer sehingga transportasi beroda merupakan alternatif yang tepat untuk berkeliling.

Hujan turun cukup deras pada hari kami mengelilingi kawasan Angkor. Maklum, bulan September. Bulan yang tepat untuk turunnya hujan sampai Oktober. Wajar jika di bulan ini bisa dibilang bulan low-season atau bulan minim turis. Dipastikan berkeliling Angkor akan menghadapi tanah becek akibat hujan. Itulah juga yang kami alami ketika berjalan ke Angkor Thom kemudian berjalan menembus hutan sampai Teras Gajah-Gajah. Cukup melelahkan. Namun juga mengasyikkan. Ketika berkeliling sampai ke Teras Gajah-Gajah inilah, seperti halnya di Indonesia, ada anak kecil yang merengek-rengek meminta turis membeli barang dagangannya. Saya jadi teringat panduan di Lonely Planet dan beberapa situs internet, lebih baik jangan membeli barang-barang yang diperjualbelikan. Ada baiknya memberi anak kecil itu buku atau alat tulis sebab itu berguna untuk pendidikan mereka daripada uang yang ujung-ujungnya bisa membuat mereka terus mengemis. Dan memang ada beberapa turis yang memberikan buku dan alat tulis. Saya sendiri dan lainnya sih menolak halus.

Sehabis dari Teras-Teras Gajah, perjalanan dilanjutkan ke dua candi yang saya tidak tahu namanya. Meskipun Bora sudah memberi tahu tetap saja susah diingat sebab asing di telinga. Barulah setelah itu ke Ta Keo yang sedang direstorasi lalu berlanjut ke Ta Promh, tempat lokasi syuting Tomb Raider, dan terakhir Banteay Kdei.

Perjalanan mengelilingi kompleks Angkor berakhir pada pukul setengah 4 sore setelah kami mengawalinya pada jam 5 pagi. Sekali lagi, cukup melelahkan perjalanan ini tetapi setidaknya kami puas. Bisa berkunjung ke salah satu situs warisan dunia yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Mungkin seperti mimpi. Menyaksikan sisa-sisa kejayaan Kemaharajaan Khmer yang tetap membisu meski zaman berganti sampai Khmer pun hanya dikenal sebagai Kamboja, sebuah negara kecil di Teluk Thailand, yang kemudian mengalami penjajahan Prancis, Jepang, perang sipil, masa Khmer Merah, invasi Vietnam, sampai akhirnya menjadi seperti sekarang ini, negara yang sepertinya harus menanggung kemiskinan dan trauma akibat perang sipil. Pariwisata hanyalah menjadi alat penghibur semata.

Dari kejauhan, hujan yang tetap turun itu terlihat tidak segan-segan menumbuk sisa-sisa batu-batu kejayaan Kemahajaraan Khmer itu. Kemaharajaan itu akhirnya runtuh pada 1463 setelah konflik internal, wabah penyakit, serangan Kerajaan Ayutthaya dari Thailand, dan kerusakan lingkungan di Angkor.





Jumat, 27 September 2013

Nasgor...Nasi Goreng...

Dalam dua hari belakangan ini, saya memakan nasi goreng. Bukan saya yang mau tetapi karena makanan itu disediakan kantor tempat saya bekerja. Soalnya, di kantor saya itu sedang ada pengerjaan edisi khusus APEC yang akan diadakan di Bali pekan depan. Nah, supaya bisa memacu stamina diberilah makanan karbohidrat biar tetap ngejreng di malam hari.

 
Mengenai nasi goreng, saya dan semua orang di Indonesia, tentu memang tidak asing dengan makanan yang satu ini. Bentuk fisiknya berupa nasi yang digoreng hingga kecoklatan terkadang menjadi obat ampuh ketika lapar datang. Belum lagi jika tampilannya disuguhin lauk-pauk, telur, dan aroma harum yang menggoda. Siapa yang tak kuasa mencoba? Nasi goreng boleh dibilang makanan yang sangat-sangat populer di Indonesia, terutama di Jakarta. Populernya karena hampir semua tempat di Jakarta akan ditemukan penjual nasi goreng, baik melalui gerobak keliling, warung-warung, restoran, dan hotel. Tentu dengan variasi harga yang berbeda. Satu porsi bisa berkisar dari 5.000 sampai 10.000, bahkan 15.000. Variasi itu juga merambah ke tampilan menu yang memunculkan banyak varian nasi goreng seperti nasi goreng ayam, nasi goreng kambing, nasi goreng seafood, nasi goreng ati ampela, dan bahkan nasi goreng pete. Belum lagi yantg selalu menjadi peneman, kerupuk atau emping.

Nah, karena populernya nasi goreng di Indonesia, wajar jika menu ini sudah menjadi menu nasional Indonesia, dan boleh dibilang menjadi warisan kuliner Nusantara. Wajar juga ketika saya tengah berada di Siem Reap, Kamboja, seorang pemilik hotel yang akan saya inapi, menyalami lalu berkata,
"Nasi goreng sangat populer di Jakarta, ya?" ketika tahu saya dari Indonesia
Saya menjawab dengan yakin,
"Tentu saja,"
Gambaran itu tentu saja menjadi bukti, ya bukti, bahwa nasi goreng merupakan makanan yang betul-betul populer dan merakyat ---soalnya tidak mengenal batasan usia ---di Indonesia. Saking populernya, orang-orang dari luar Indonesia saja tahu.

Tetapi, dari sini timbul pertanyaan, apakah benar nasi goreng merupakan masakan asli Indonesia? Rasa penasaran saya ini lalu saya lanjutkan dengan mencari perihal makanan murah nan praktis itu ---bahkan Sevel membuat nasi goreng beku yang bisa dihangatkan kembali--- di internet. Setelah saya cari-cari dan membaca-baca barulah saya tahu kalau nasi goreng itu asalnya dari Cina. Ini berawal dari 4.000 tahun yang lalu. Nasi goreng, yang dalam bahasa Cinanya disebut Han-Chou, pada awalnya merupakan makanan yang tadinya dingin lalu dihangatkan kembali. Kemunculannya dikarenakan kebiasaan orang-orang Cina yang tidak menyukai makanan dingin dan tidak mau membuang sisa makanan itu. Jadilah, makanan itu dihangatkan dan digoreng bersama dengan bumbu-bumbu penyedap sehingga terciptalah masakan yang lezat.

Dari Cinalah, terutama dari masa Dinasti Siu, nasi goreng menyebar ke luar Cina, khususnya Asia Tenggara, pada abad ke-17. Di sinilah resep nasi goreng dari Cina itu berbaur dengan resep-resep lokal sehingga bisa diketahui di beberapa wilayah Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura berbeda resep dan cita rasanya. Di Indonesia saja ada beberapa varian lokal nasi goreng. Seperti nasi goreng jawa, nasi goreng teri medan, nasi goreng kambing, nasi goreng udang, nasi goreng ikan asin dan nasi goreng aceh. Selain populer di Indonesia dan beberapa negara jiran, nasi goreng atau nasgor juga populer di Belanda. Kepopuleran ini dikarenakan interaksi masa lalu kedua negara di masa kolonial. Lirik lagu dari Wietteke van Dort ini menjadi penegasnya,

Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
 
Bagi mereka yang menyukai segala sesuatu yang berbau kolonial tentulah akrab dengan lirik lagu yang berjudul Geef Mij Maar Nasi Goreng yang begitu populer hingga sekarang.

Saking populernya juga, wajar jika CNN pada 2011 menempatkan nasi goreng sebagai makanan populer kedua setelah rendang dalam 50 makanan terlezat di dunia. Memang, nasi goreng bisa dibilang tiada duanya. Kesederhanaan dan kefleksibelannya menjadi makanan Indonesia yang tepat saat lapar.

Nasgor...nasi goreng....
 

Kamis, 26 September 2013

Filipina: Si Latino-Hispanik Asia

Latin. Mendengar kata itu selalu diidentikkan dengan bahasa Latin atau Amerika Latin, dan bahkan telenovela. Hal itu memang sudah menjadi anggapan umum di masyarakat. Nama-nama yang berbau Latin dan biasanya berasal dari Spanyol seperti Jose, Gonzales, Alberto, Roberto, Gustavo, Helena sudah begitu akrab di telinga kebanyakan masyarakat Indonesia. Ini karena adanya siaran serial drama asal Amerika Latin yang menggunakan bahasa Spanyol, telenovela. Selain itu, nama-nama demikian menjadi populer tatkala beberapa nama pemain sepak bola berdarah Latin atau Latino menggunakannya.
manila.cervantes.es
Disebut Latin dikarenakan wilayah tersebut menggunakan bahasa-bahasa dari rumpun bahasa Latin, yaitu Spanyol, Portugal, dan Prancis. Spanyol menjadi bahasa dominan di wilayah Amerika Latin yang juga mencakup Karibia karena hampir semua negara Amerika Latin menggunakannya. Mulai dari Meksiko hingga Argentina. Sedangkan sisanya, Portugal dan Prancis digunakan Brasil dan Guyana Prancis. Jadi, yang dimaksud dengan Amerika Latin adalah wilayah benua Amerika yang menggunakan bahasa-bahasa dari grup bahasa Latin (Prancis, Spanyol, Portugal, Italia, dan Rumania). Hal ini untuk membedakan dengan wilayah Amerika Anglo seperti Amerika Serikat dan Kanada yang menggunakan bahasa Inggris.

Lalu apakah wilayah bahasa Latin di luar Spanyol, Portugal, dan Prancis, itu hanya ada di benua Amerika yang memang menjadi penyumbang terbesar kebudayaan Latino terbesar di dunia? Tentu saja jawabannya tidak. Wilayah Latin ada di Afrika dan Asia, serta Oseania. Afrika menjadi wilayah terbesar kedua setelah Amerika diikuti Asia dan Oseania. Di Asia setidaknya ada tiga wilayah berbahasa Latin, yaitu, Filipina, Makau, dan Timor Leste. Yang pertama disebut menggunakan bahasa Spanyol. Dua terakhir Portugal sehingga bisa disebut sebagai Asia Latin sebab selain berbahasa mereka juga berbudaya Latin. Hanya saja, dalam konteks ini, budaya Latin yang dimaksud menyerupai budaya Latino ala Amerika Latin. Dan negara yang mewakili Latino di Asia itu adalah Filipina.

Terletak di Lautan Pasifik dan berada dalam kawasan ASEAN, Filpina yang merupakan sebuah negara republik ini dikatakan berbudaya Latino karena masa lalu negara tersebut yang dikuasai Spanyol selama 333 tahun (1565-1898). Kolonisasi Spanyol atas Filipina yang berlangsung 3 abad itu dimulai ketika Ferdinand de Magellan mendaratkan kakinya di negara kepulauan tersebut, tepatnya di Cebu pada 1521. Kolonisasi yang begitu lama itu membuat Filipina terspanyolisasi dalam budaya, terutama dalam penamaan tempat, bangunan, orang-orang, agama, dan pakaian. Bahkan nama Filipina pun berasal dari nama Raja Spanyol, Phillip II. Dalam bahasa pun, sekitar 100-an lebih kosakata bahasa Spanyol masuk dalam bahasa nasional Filipina, Tagalog. Bahasa Spanyol pun digunakan sebagai bahasa pengantar, bahkan saat Amerika Serikat datang menguasai Filipina sampai akhir Perang Dunia ke-2. Baru pada 1987 bahasa Spanyol dihentikan menjadi bahasa pengantar lalu digantikan oleh Tagalog dan Inggris.  Namun sejak 2007 dihidupkan kembali sebagai bahasa pendidikan.

Identitas Latin yang dimiliki Filipina itu membuatnya hendak disamakan dengan negara-negara Amerika Latin. Bahkan ada yang menyebut Filipina merupakan salah satu negara Amerika Latin, bukan Asia. Anggapan demikian memang tidak berlebihan mengingat banyak kesamaan yang dimiliki Filipina dengan banyak negara Amerika Latin. Identitas Latin itu tetap terjaga meskipun bahasa Spanyol tak lagi menjadi bahasa nasional dan hanya menjadi bahasa opsional. Amerikanisasi yang disebabkan penjajahan AS atas negara itu setelah Perang Spanyol-AS menjadi penyebabnya. Akibatnya, banyak generasi muda Filipina tak bisa lagi berbahasa Spanyol namun lancar berbahasa Inggris. Meskipun demikian, budaya-budaya Latin lain selain bahasa tetap hidup hingga sekarang. Hal itu yang tetap membuat Filpina dipandang sebagai salah satu negara Latin yang satu-satunya berbudaya Hispanik di Asia.

Rabu, 25 September 2013

Vietnam: Si Asia Tenggara Beridentitas Sinosphere

Vietnam. Apa yang pertama kali kita bayangkan ketika mendengar nama negara ini? Jelas, Perang Vietnam, Vietkong, dan Ho Chi Minh. Penyebutan nama-nama itu jelas tidak sembarang mengingat Vietnam memang terkenal sebagai negara yang menjadi ajang pertempuran negara itu dengan Amerika Serikat pada kurun waktu 1965-1975. Alasan terjadinya perang itu, Amerika tidak menyukai tindak-tanduk Vietnam, yang ketika itu terbelah menjadi dua Vietnam (utara dan selatan), dan berideologi komunis berusaha menyerang Vietnam Selatan untuk disatukan dalam satu Vietnam. Bagi Amerika, tindakan itu bisa mengancam dan menyebabkan Asia Tenggara jatuh dalam pangkuan komunis. Perlu diketahui, pada masa-masa penyebab terjadinya perang, situasi dunia sedang dalam ancaman akibat persaingan dua negara adidaya, Amerika dan Uni Soviet. Amerika merasa harus bertanggung jawab bahwa kawasan Asia Tenggara harus aman dari komunisme.
en.wikipedia.org


Perang Vietnam yang terjadi selama 10 tahun itu dan membuat Amerika sebagai negara besar harus angkat kaki dari negeri itu memang memunculkan banyak kisah. Mulai dari Vietnam Rose, Vietkong, gerilyawan Vietnam Utara yang melawan Pemerintah Vietnam Selatan bentukan Amerika, bom oranye, serta Ho Chi Minh, sang pahlawan nasional Vietnam yang menjadi penggerak untuk bisa menyatukan Vietnam dan melawan Amerika. Dan ketika perang berakhir, kisah pun berlanjut ke serial televisi  dan film seperti Rambo dan Platoon.

Namun, Vietnam nyatanya bukanlah sekedar Perang Vietnam yang membuat negara ini menjadi dikenal banyak orang. Tetapi negara ini juga terkenal akan wisata alamnya yang terkenal, Halong Bay, yang kemudian dijadikan sebagai salah satu tujuh keajabian dunia baru bersanding dengan Taman Nasional Komodo dari Indonesia.

Namun, jika dilihat dari sisi budaya, Vietnam mempunyai budaya yang agak berbeda dan terkesan unik. Beribu kota di Hanoi dan terletak di kawasan Asia Tenggara, sejatinya Vietnam merupakan sebuah negara sosialis yang mempunyai kedekatan budaya dengan tetangganya di utara, Cina. Hal ini bisa dilihat dari tradisi yang meliputi cara dan bentuk pakaian yang disebut dengan Ao Dai, penamaan tempat, kebiasaan-kebiasaan dari tata cara perkawinan, filosofi hidup yang konfusian, bentuk bangunan dan penggunaan aksara Cina yang disebut dengan Han-Nom. Kedekatan budaya antara Cina dan Vietnam bukanlah sebuah kebetulan.

Kedekatan itu tercipta dari interaksi antara keduanya semenjak zaman perunggu melalui pengaruh Cina yang kemudian menghasilkan Kebudayaan Dongson. Kemudian Cina menguasai Vietnam semenjak zaman Dinasti Han sampai abad ke-10. Di masa-masa ini banyak orang Vietnam yang direkrut menjadi pegawai pemerintahan di dinasti itu dan beberapa di antaranya merupakan sastrawan-sastrawan terkenal Vietnam. Ketika Vietnam bisa memerdekakan diri dari Cina, negara itu meniru bekas penjajahnya tersebut dengan mendirikan pemerintahan bercorak dinasti. Dimulai dari Dinasti Ly sampai Dinasti Nguyen. Pada masa pemerintahan Dinasti Tran, Vietnam tercatat tiga kali bisa menghalau serangan Mongol yang berdinastikan Yuan.

Kedatangan Prancis sebagai salah satu negara Eropa pada akhir abad ke-19 mengakhiri kekuasaan dinasti-dinasti di Vietnam. Prancis menjadikan Vietnam sebagai bagian dari Indochina Prancis yang meliputi Kamboja, Laos, dan Vietnam dengan Vietnam sebagai pusatnya. Keberadaan Prancis juga yang membuat menghilangnya aksara Han-Nom dan digantikan dengan aksara Latin hingga sekarang. Prancis bertahan di Vietnam sampai Perang Dunia ke-2 ketika Jepang datang namun berkuasa kembali sampai akhirnya benar-benar mangkat pada 1954 setelah kalah oleh Vietnam di Dien Bien Phu. Prancis mangkat bukan berarti Vietnam benar-benar merdeka dan bisa menyatu. Amerika Serikat menjadi lawan berikutnya Vietnam sampai 1975.

Dikarenakan mempunyai kedekatan budaya yang kuat dengan Cina, Vietnam pun oleh sebagian kalangan dimasukkan ke dalam lingkungan berbudaya Cina dan kawasan Asia Timur bersama-sama dengan Jepang, Cina, Korea Selatan, Hongkong, Makau, dan Taiwan.  Kedekatan itu juga yang membuat Harry S. Truman, Presiden AS pengganti Franklin Rooselvelt pernah bertanya kepada Chiang Kai-Shek, pemimpin Cina pada Perang Dunia ke-2, mengenai Vietnam yang dikiranya bagian dari Cina ketika hendak mengizinkan beberapa negara Eropa mengambil alih kembali bekas-bekas jajahannya yang dikuasai Jepang pada Perang Dunia ke-2. Kedekatan itu juga yang memperkuat pendapat ilmiah bahwa Vietnam hanya satu-satunya negara di kawasan Indocina yang sangat kuat pengaruh Cinanya sementara negara-negara Indocina lainnya terpengaruh oleh India. Inilah yang membuat Vietnam unik. Berada di Asia Tenggara tetapi berbudaya Asia Timur (Sinosphere).

Senin, 23 September 2013

Nuk*

Matahari masih menggantung di ufuk barat. Sebentar lagi cahaya terbesar alam semesta itu akan menenggelamkan diri, merayap bagian bumi lainnya yang siap menerima cahayanya. Langit memerah menguning. Gelap sudah mulai terasa. Siluet burung-burung nampak beterbangan mencoba menjadi latar bagi senja yang selalu berulang setiap hari. Potret senja itu jelas menjadi santapan bagi mereka yang menyukai senja untuk diabadikan ke dalam kamera, baik digital atau kamera. Selanjutnya diunggah ke dalam jejaring sosial untuk menyatakan dan membagi betapa indahnya senja itu. Apalagi senja yang dimaksud berlatar depan sebuah bangunan megah dari masa lampau, Candi Borobudur. Sungguh tak seorang pun mau melewatkan ini. Bisa dipastikan kilatan cahaya menyambangi pendaran cahaya senja itu.

Bagi Rudi, pemandangan senja itu merupakan hal yang biasa. Tiap hari ia melihat senja itu dari tempat kerjanya, sebuah hotel di kawasan dekat candi Buddha terbesar di Asia Tenggara itu. Di hotel itu ia bekerja sebagai seorang pegawai hotel yang diikhususkan mengantar para turis ke kawasan Borobudur. Tak hanya mengantar, ia juga memandu mereka ke candi tersebut. Menjelaskan asal mula candi itu, sejarahnya dari zaman baheula hingga sekarang. Berulang kali ini ia lakukan sampai-sampai ia menjadi di luar kepala dan bisa dengan caranya sendiri mengatur untuk menjelaskan setiap detail-detail dan sejarah Borobudur. Tentu saja ada perasaan bosan dan ia ingin rehat sejenak dari pekerjaan ini dengan pergi ke pantai. Menikmati alunan ombak dan pasir putih. Tetapi, di dalam rehat pun ia merindukan dan ingin secepatnya kembali. Apalagi atasannya menjanjikan ia tambahan gaji jika ia bisa meningkatkan kinerjanya supaya lebih baik.

Tiap kali mengantar dan memandu, tiap kali ia juga berhadapan dengan banyak wajah dari berbagai bangsa. Coklat, sawo matang, hitam, putih, bahkan kuning. Menjelaskan dengan sabar sejarah Borobudur meski terkadang tak begitu ditanggapi. Membiarkan diri diterpa dengan siang yang menyengat yang membuat tenggorokan minta diairi. Tapi, itulah risiko dari pekerjaannya. Pekerjaan yang sebenarnya bukan pekerjaan idaman selepas lulus kuliah dari sebuah universitas di Solo. Ia sebenarnya ingin menjadi diplomat. Tapi, apa daya syarat menjadi diplomat cukup berat dan harus menunggu umur 45. Kemampuan berbahasa Inggris yang dimilikinya, selain bahasa-bahasa asing lainnya membuat ia mau dan menyanggupi untuk bekerja di salah satu hotel di Borobudur ketika hotel itu membuka lowongan pekerjaan.

Tiap kali mengantar dan memandu juga, ia berkenalan dengan banyak wajah dari berbagai dunia yang juga mmepunyai banyak karakter. Ada yang antusias sampai begitu aktif bertanya-tanya. Ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang tak terlalu begitu antusias dan kagum alias masa bodoh. Dari banyak wajah itu, turis-turis dari Asia Timur yang paling sering berceloteh sedangkan turis-turis dari Barat diam namun mengamati, dan turis-turis dari Mediterania sesekali tertawa. Rudi tak begitu menangkap kesan istimewa di antara mereka walaupun turis-turis, terutama para wanita, memakai pakaian terbuka yang cukup membelalakkan mata apalagi di siang yang menguras tenaga. Lagipula mereka yang gemar memakai pakaian terbuka harus menutup bawahannya supaya terlihat sopan.

Hanya saja ada yang harus membuatnya terkesan dari sekian wajah yang banyak ia jumpai. Seorang wanita membuatnya terpikat dan jatuh cinta walaupun bukan pada pandangan pertama. Ya, Rudi menganggap ia biasa-biasa saja seperti turis lainnya namun lama-kelamaan ia merasa tertarik pada wanita itu. Arruny nama wanita itu. Parasnya putih. Rambut panjang. Pendek, dan enak diajak bicara. Adalah sebuah kesalahan dilakukan Arruniy. Kesalahan ini yang membuat Rudi berinteraksi dengannya. Di dalam sebuah rombongan yang terdiri dari 10-15 orang, Rudi merasa ada yang tertinggal di dalam rombongannya setelah berkeliling Borobudur. Ia kemudian mengabsen satu per satu turis-turis yang ada di dalam rombongannya. Kebanyakan dari Eropa, Amerika, serta Asia Timur, dan satu Asia Tenggara. Ketika di daftar absen itu ada nama Arruny Chantou dan berasal dari Kamboja, ia lalu memanggilnya, tak ada jawaban, ia segera mencari-cari dan meminta turis-turis yang lain untuk menetap di titik temu yang ditetapkan, bagian candi yang menghadap ke Bukit Menoreh. Supaya aman, ia meminta salah satu rekannya agar segera datang menjaga turis-turis itu selagi ia mencari si turis asal Kamboja.

Ketika temannya, Aryo datang, Rudi segera bergegas dan mulai mencari-cari di bagian candi yang lain. Ia berteriak-teriak lalu bertanya kepada pemandu yang lain tentang sosok yang dicarinya. Namun tak ada yang tahu. Ia bertanya dalam hati, kemanakah gerangan ini orang? kenapa harus menghilang segala. Rasa kesal muncul di dalam dirinya. Huh, menyusahkan saja. Ia kemudian mencari lagi. Kali ini malah ke arah Candi Mendut alias sudah mau keluar dari kawasan candi. Ia berpikir pasti turis itu ada di desa di sekitar candi. Berjalanlah ia ke desa yang jarak sekira 1 kilometer itu. Cukup lelah memang tetapi mau bagaimana lagi. Turis itu menjadi tanggung jawabnya. Kalau hilang bisa-bisa ia bakal kehilangan pekerjaannya.
"Ini turis kok kaya hantu? hilang begitu saja," ujarnya kesal pada diri sendiri.
Rasa lelah menghantuinya. Ia mau tidak mau harus mencari bahan bakar berupa air minum. Sebuah warung terdekat disinggahinya. Ia pesan sebuah minuman dingin.
"Capek banget le sepertinya," kata si pemilik warung.
"Iya, bu," jawabnya, "Ada turis hilang dari rombongan saya. Nyusahin aja,"
Ia teguk minuman dingin yang dipesannya dan merasakan dahaga yang kemudian hilang.
"Kok bisa le?" tanya si pemilik warung.
"Tidak tahu, bu," jawab Rudi sambil meneguk lagi, "Orang saya sudah bilang jangan pisah dari rombongan. Tapi dia ini nakal,"
Ketika mereka sedang berbincang, tiba-tiba muncullah suara dari belakang. Suara itu berkata dalam bahasa Inggris,
"Sorry, do you know which way to Borobudur?"
Rudi segera membalikkan badan. Dan terkejutlah ia ternyata suara itu berasal dari orang yang tengah ia cari-cari, Arruny. Ia segera berdiri dan berkata dalam bahasa Inggris,
"Kemana saja kamu, hei? Saya mencari-cari kamu,"
Arruny yang sadar bahwa yang dihadapinya itu adalah pemandunya hanya tersenyum lalu berkilah,
"Maaf, tadi saya hanya mencoba keluar untuk memotret-motret desa di sini. Kelihatannya lebih menarik daripada Borobudur,"
"Ya apa pun itu kamu hampir membuat saya kehilangan pekerjaan," ujar Rudi yang nampaknya kesal namun gembira, "Ayo kita kembali ke rombongan,"
Rudi lalu membawa Arruny berjalan kembali ke rombongan setelah sebelumnya membayar uang minuman dingin.
"Ingat lho saya harus bertanggung jawab terhadap turis yang saya bawa dan tolong jangan seperti itu lagi,"
"Iya, maaf, saya hanya mengikuti naluri saja,"
"Apa pun itu, tanpa seizin saya, tidak boleh,"
"Iya,"

Kejadian itulah yang membuatnya harus terus berinteraksi dengan Arruny. Ketika di hotel pun, Arruny membuat masalah lagi karena kehilangan kunci kamarnya. Hal yang membuat Rudi menjadi geram dan memperingatkan Arruny agar berhati-hati supaya tidak ceroboh. Kehilangan kunci bisa membuat Arruny didenda puluhan ribu rupiah, atau kalau tidak Rudi yang harus bertanggung jawab. Untungnya, kunci hotel itu ketemu. Ia terselip di bawah pintu kamar.
"Jaga baik-baik dan jangan sampai hilang," ujar Rudi setelah itu.
"Iya, maaf ya merepotkan," jawab Arruny dengan senyum, "Terima kasih,"
Arruny segera masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

Esok pagi, ketika sedang tidak ada pekerjaan, Arruny tiba-tiba mendekatinya. Memintanya diantarkan. Rudi menyanggupi. Salah satu temannya, Heri, berkata,
"Cantik tuh cewek, bro. Sayang dianggurin,"
"Maksudmu apa?"
"Ya, pacarin aja,"
"Sembarangan kamu,"
Heri hanya tertawa-tawa.

Maka, diantarlah Arruny oleh Rudi keliling Borobudur dengan mobil dan kemudian ke arah Yogyakarta. Rudi sembari menjelaskan tiap daerah yang dilewati dengan gaya pemandu.
"Kamu dari tadi bicara mulu memangnya tidak capek," ujar Arruny yang kemudian ikatan rambutnya hingga terurai panjang. Saat itulah, Rudi melihat pesona dari wanita Khmer ini. Oh, cantik rupanya, ujarnya dalam hati.
"Capek memang," kata Rudi kaku.
"Kalau begitu berhentilah," ujar Arruny, "Saya ingin menikmati alam di sini tanpa harus mendengar panduan,"
"Baiklah," ujar Rudi menurut.

Arruny lalu memperkenalkan dirinya secara jelas. Ia berasal dari Kamboja, tepatnya dari Siem Reap, sebuah kota kecil yang terkenal dengan situs warisan dunianya, Angkor Wat. Mendengar Angkor Wat, Rudi hanya mengingat tentang Tomb Raider yang katanya pernah melakukan proses syuting di situ. Ya, candinya lumayan besar. Itu juga yang ia ingat kala melihat di internet. Ia pun teringat setelahnya bahwa Borobudur dan Angkor Wat mempunyai hubungan historis di masa lalu mengingat salah satu raja di Angkor, Jayawarman II pernah menetap di Jawa di masa dinasti Syailendra, dinasti pendiri Borobudur. Di masa lalu itu antara Indonesia yang diwakili Jawa dan Kamboja yang diwakili Khmer sering terjadi banyak interaksi terutama di perdagangan. Bukankah Khmer dahulunya merupakan bagian dari Jawa?

Dan pertemuan dengan Arruny ini seperti membuka tabir masa lalu.

"Saya ke Borobudur ingin mengetahui Borobudur itu seperti apa dan bagaimana relasi historis antara Angkor Wat dan Borobudur. Ya ini seperti sebuah perjalanan historis antara bangsa pendiri kedua candi,"
"Dan kamu sudah tahu kan Borobudur itu seperti apa?" tanya Rudi.
"Ya saya sudah tahu," kata Arruny, "Cukup besar tetapi tidak sebesar Angkor Wat,"
"Maksudmu?"
"Angkor Wat sejujurnya bukan merupakan satu candi tetapi banyak candi dalam satu kompleks. Apa kamu tahu Angkor Wat itu berarti kota besar? Boleh dibilang Angkor Wat dan candi-candi lainnya adalah sebuah permukiman bangsa Khmer di masa lalu. Nanti ketika kamu ke sana kamu akan tahu betapa luasnya candi-candi yang kami miliki dan kebanyakan berada di dalam hutan,"
"Hutan? Maksudnya kita berjalan ke dalam hutan untuk melihat semuanya,"
"Iya, dan ini bukan perjalanan sehari tetapi bisa dua atau seminggu,"
"Saya malah jadi penasaran,"

Arruny hanya tersenyum. Senyumnya membuat Rudi seketika takluk. Oh, begitu cantiknya wanita Khmer ini. Ia merasa jatuh cinta.Saking merasa jatuh cinta, Rudi yang mabuk itu bertanya tentang arti namanya. Arruny menjawab bahwa arti namanya adalah matahari terbit. Di saat itulah Rudi menggombal,
"Oh, pantas wajahmu selalu berseri. Aku suka itu,"

Arruny hanya tersipu. Ia tahu Rudi menyukainya. Sesuatu yang ia harapkan. Ia juga menyukai Rudi. Namun mencoba memancing supaya terlihat.

Seharian itu Rudi mengantarnya keliling Yogyakarta. Menjelaskan secara detail kota Yogyakarta mulai dari sejarah hingga tempat-tempat wisatanya juga kulinernya.

"Kota yang tenang dan adem ayem seperti di Siem Reap," komentar Arruny ketika mereka berada di Malioboro, "Orang-orang yang ramah. Saya sungguh suka,"
"Oh, terima kasih," kata Rudi, "Itulah kami. Tetapi saya jadi penasaran dengan Siem Reap,"
"Datanglah ke kotaku dan saya akan menyambut kamu di sana dengan ramah. Kamu akan merasakan keramahan khas Kamboja,"
"Ya, semoga ada waktu dan saya akan ke sana,"

Rasa jatuh cinta dibarengi dengan keinginan menyambangi langsung Siem Reap membuat Rudi merasa harus menyatakan cintanya ketika tahu lusa Arruny harus kembali ke Kamboja via Kuala Lumpur. Maka, pada esok malamnya, di sebuah tempat sepi di hotel, berhadapan dengan kolam ikan dan ditemani nyanyian jangkrik, Rudi menyatakan cintanya pada Arruny. Arruny yang tahu hal itu pura-pura terkejut lalu mencoba mengetes Rudi mengenai apa yang dikatakannya. Rudi mencoba meyakinkan sampai akhirnya Arruny mau menerima cintanya dan menjadikan Rudi sebagai pacarnya. Malam itu, selepas berikrar menjadi pasangan satu sama lain mereka bermesra-mesraan. Esok harinya, hari terakhir Arruny di Yogyakarta, Rudi mengantarnya ke Gunung Merapi. Di sanalah Arruny merasakan keterpesonaan panorama indah gunung itu. Di sanalah keduanya kembali bermesra-mesraan untuk terakhir kalinya. Ketika akan berpisah esoknya, keduanya seakan tak mau berpisah. Tetapi, Arruny harus kembali sebab ia harus bekerja. Begitu juga Rudi. Keduanya saling berucap sayang dan rindu. Rudi merasa waktunya cepat sekali harus berpisah.

Selepas berpisah, keduanya terus mengintensifkan komunikasi melalui Whatsapp. Sayang dan rindu selalu terucap ketika memulai dan mengakhiri pembicaraan. Rudi merasa harus mencari waktu yang tepat untuk bisa berlibur ke Kamboja, tepatnya ke Siem Reap. Membayangkan ia akan bertemu Arruny, melepas rindu lalu berjalan bersama ke dalam Angkor Wat. Oh, sungguh indah!

"Sudah samperi saja pacarmu itu," kata Heri, "Pergilah ke Kamboja,"
"Besok aku pergi kok," kata Rudi, "Sudah bilang ke atasan dan membolehkan,"
"Bagus dong," kata Heri senang, "Jangan lupa oleh-olehnya,"
"Pasti lah, bro,"

Di senja itulah dari hotel, Rudi menerawang. Membayangkan wajah Arruny yang tersenyum bersanding dengan siluet Borobudur. Rasa rindu itu tak bisa ditahan. Jawabannya hanyalah bertemu. Maka, leburlah rindu itu. Ia berharap esok bisa ke lancar terbang dari Yogyakarta ke Kuala Lumpur lalu ke Siem Reap. Sebuah relasi historis yang lama terpendam muncul kembali ketika cinta meruak di lubuk.

*bahasa Khmer: Kangen


Jumat, 13 September 2013

Polisi oh polisi

Selasa malam, 10 September 2013 lalu tiba-tiba kita dikejutkan oleh penembakan terhadap seorang anggota polisi oleh beberapa orang tak dikenal di depan gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Sebuah penembakan yang sepertinya merupakan miniseri dari penembakan-penembakan sebelumnya terhadap anggota dari institusi yang sama. Setelah penembakan yang menjadi breaking news di beberapa stasiun televisi nasional itu, beberapa pihak mulai berspekulasi. Ada yang bilang itu perbuatan pelaku teror. Ada yang bilang itu karena persaingan di dunia pengawalan barang. Apa pun itu, saya tau mau membahas terlalu dalam mengenai kejadian yang, mungkin, akhir atau endingnya sulit ditebak atau takkan pernah berakhir. Saya ingin melihat, melalui tulisan ini, tentang polisi.

Polisi, selalu identik dengan pemberantasan kejahatan dan pencarian keadilan. Selain itu,  identik sebagai alat anti huru-hara akibat demonstrasi atau kerusuhan. Polisi, yang saya tahu sewaktu kecil, kala mendengarnya, adalah polisi yang memakai mobil dengan sirine, cat mobilnya berwarna hitam dan putih, berseragam hitam-hitam, dan memakai pistol. Gambaran itu saya dapat karena terpengaruh oleh film-film Hollywood seperti Police Academy, yang waktu kecil memang populer. Tapi, kala melihat ke negeri sendiri, rupanya polisinya berpakaian coklat. dan tidak seperti di Hollywood, jarang yang bermobil.

Seiring berjalannya waktu, polisi yang saya lihat, ketika menyaksikan televisi, adalah polisi yang memakai tameng, helm, senapan mesin, pentungan lalu berpelindung di sekujur tubuhnya. Terlihat kesan angker dan juga angkuh kala dengan senjata yang dipunya menembaki dan memukul lawannya yang hanya bermodalkan nekat atau malah cuma punya bom molotov saat terjadi huru-hara. Bisa ditebak, lawannya babak belur tak keruan. Dipukul dan ditendangi.

Lalu polisi yang saya lihat juga berpakaian dan berperalatan canggih. Ya, itulah polisi yang bertindak sebagai pasukan elite. Tugasnya, melawan dan memberantas penjahat yang sudah berada di level mengkhawatirkan seperti teroris. Tampilan polisi ini boleh dibilang keren seperti di film-film. Apalagi memakai kacamata hitam yang digunakan untuk menyamarkan identitas.

Padahal, di masa lampau polisi itu tidak seperti sekarang. Hanya memakai pentungan, berjalan kaki lalu bersepeda. Nah, bagi yang pernah menyaksikan salah satu adegan dalam Pengkhianatan G30S/PKI, Anda akan melihat Soekitman, si polisi, yang tertangkap anggota Cakrabirawa karena tidak sengaja melintas di sekitar rumah Jenderal Pandjaitan. Ketika tertangkap ia sedang berpatroli menggunakan sepeda.

Di beberapa film kartun pun, terutama film kartun di tahun 30-40-an, polisi digambarkan hanya berseragam dan memakai pentungan, namun berperilaku kocak. Itu juga yang terlihat di Agen Polisi 212, sebuah komik karya Daniel Kox dan Raoul Cauvin. Ini mengenai kisah seorang polisi yang konyol dan terkadang sok tahu dalam menghadapi suatu kasus. Tingkah lakunya bisa membuat yang membacanya terbahak-bahak.

Polisi, yang berasal dari kata politia, yang berarti warga kota atau pemerintahan kota, yang kemudian diartikan lagi sebagai usaha kegiatan negara, pada kenyataannya lebih populer dalam ranah fiksi illmiah daripada tentara. Robocop, Judge Dredd, Jiban, Winspector,  merupakan sederetan beberapa film yang menggunakan polisi, dalam hal ini, polisi robot sebagai tokoh yang diyakini mampu memberantas kejahatan. Keyakinan itu muncul karena para polisi ini merupakan robot yang mempunyai sederetan kendaraaan dan senjata canggih. Keberadaan mereka pun diyakini sebagai jawaban persoalan atas kejahatan yang tak kunjung reda dan tak bisa diatasi polisi biasa. Keberadaan polisi dalam ranah fiksi ilmiah lebih populer dan banyak daripada tentara yang diwakili dalam The Universal Soldier.

Itulah gambaran saya tentang polisi. Aparat/perangkat negara yang tugasnya mengayomi dan melindungi. Meski dalam prakteknya sering berkebalikan. Sebuah gambaran yang melihat polisi mulai dari tampang ramah hingga bisa sangar dan kejam, terutama dalam pemberantasan teroris. Akibatnya, timbullah dendam kesumat yang berujung pembalasan terhadap perangkat negara yang sudah berusia ribuan tahun di bumi.

 

Selasa, 03 September 2013

Selamat Datang di Dunia Maya

Nyalakan komputermu
Nyalakan handphonemu
Nyalakan laptopmu

Lalu mainkan jejarimu
ketik sebuah situs
dan klik

infobogor.com

Selamat datang di dunia maya
selamat datang di dunia portal-portal
mencari kawan
mencari lawan
mencari cinta
mencari narsis
tiada batas dan waktu
apalagi norma

Selamat datang di dunia nihil kesopanan
caci maki, hujat-menghujat, deras mengalir seperti sungai
dan menghujam seperti pisau

Selamat datang di dunia yang nampak tepat untuk seorang pengecut
mungkin juga seorang pengumbar
dan seorang penggarap imaji liar
lalu menjadi gugup ketika kembali ke dunia nyata

Kamis, 29 Agustus 2013

Ketika Serumpun Bersatu dalam Sastra

Judul: Cerita Etnis 5 Negara Serumpun
Penyusun: Free Hearty dan Handoko F. Zainsam
Jumlah Halaman: 290
Penerbit: Wohai, Juni 2013

Melayu bersatu? atau serumpun bersatu? Secara politik dan ekonomi rasanya tidak mungkin jika melihat kondisi negara-negara berbahasa Melayu saat ini yang boleh dikatakan timpang. Namun secara budaya dan adat-istiadat masih bisa apalagi jika itu disatukan dalam karya tulis berupa cerpen yang memang merupakan produk budaya. Dan di dalam cerpen-cerpen itu juga menceritakan perilaku-perilaku manusianya yang berbahasa Melayu meskipun berlatar belakang dari etnis yang berbeda-beda.

Inilah yang disajikan di dalam Cerita Etnis 5 Negara Serumpun, sebuah buku berisi kumpulan cerpen dari negara-negara berbahasa Melayu. Antara lain Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, tepatnya Thailand Selatan. Di dalamnya terdapat 26 cerpen karya para cerpenis dari masing-masing negara dan kebanyakan, jika melihat dari profilnya, sudah mempunyai nama dan malang-melintang di dunia cerpen negara masing-masing atau dalam karya-karya serumpun. Sebut saja Phaosan Jehwae dari Thailand, Rosmiaty Shaari dan Jaya Ramba dari Malaysia, M. Raudhah Jambak dan Syarifuddin Arifin dari Indonesia, Brahim A.H.T dari Brunei Darussalam. Nama terakhir termahsyur sebagai sastrawan papan atas negeri kecil di Kalimantan tersebut.

Kebanyakan tema cerita yang ditampilkan dalam antologi cerpen serumpun ini tidaklah lepas dari kehidupan dan permasalahan sehari-hari yang bisa dibilang sederhana. Namun dari kesederhanaan itu, ada sesuatu yang sejujurnya hendak diungkapkan oleh para cerpenis ini. Dalam Anak-Anak Dewa, Phaosan Jehwae memang bercerita dengan sederhana tentang kehidupan anak-anak Melayu di Thailand Selatan bernama Rafi dan Rafat, dua bersaudara yang tinggal bersama neneknya. Dalam cerpen satu-satunya dari Thailand itu, penulis yang mempunyai nama Melayu Che Wan Fauzan bin Che Wan Yusoff itu menyinggung tentang keadaan bangsa Pattani sebagai bangsa Melayu yang tinggal di Thailand Selatan dan menjadi minoritas. Ada semacam kegusaran dan kekhawatiran dari sang penulis mengenai anak-anak muda Patani, yang diwakili Rafi, yang gemar mengonsumsi obat-obat terlarang alias narkoba. Obat-obatan terlarang itu dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah Thailand yang malah lebih sibuk menangkap orang-orang yang dicurigai akan memerdekakan diri. Perlu diketahui, sejak lama Patani memang menginginkan kemerdekaan dari Thailand dan wilayah di selatan negara itu sudah lama dirundung konflik. Simaklah kegusaran tersebut,
"Jika kita tinjau dari segi ekonomi, jika seorang penagih membelanjakan 500 bath seorang, bagaimana jika 90% pemuda di Patani penagihnya. Bangsa Patani hanya akan tinggal dalam catata sejarah saja, tentang kebesaran ratu-ratu dan ulama-ulama bertaraf dunia. Nampaknya tidak ada tindakan apa-apa dari pihak kerajaan untuk membasmi secara sungguh-sungguh fenomena yang sedang berlaku. Sikit-sikit masalah puak-puak yang menuntut kemerdekaan. Sebenarnya apa motif dan kehendak mereka?" (hal.4).

Selain isu kemerdekaan, isu politik juga kental dalam salah satu antologi cerpen serumpun ini. Djazlam Zainal dalam Panas menceritakan tentang politik di Malaysia setiap menjelang pemilihan umum atau pilihan raya, istilah di sana. Dalam Panas, terlihat sang cerpeni berusaha mengkritik kebijakan UMPURNO ---plesetan dari UMNO--- yang dianggap mendiskriminasi pihak pembangkang atau oposisi yang diwakili Parti Dakapan Suci, yang bisa jadi merupakan koalisi yang digalang oleh Anwar Ibrahim dan PAS. Untuk menunjukkan bahwa Malaysia terdiri dari semua unsur, sang cerpenis melakukannya dengan sebuah diskusi politik sederhana antara para tokohnya yang terdiri dari Melayu, India, dan Cina.

Sementara dari Indonesia, isu-isu keetnisan lebih terasa menonjol. Bagaimana Dhenok Kristianti dalam Sejengkal Tanah, Sebilah Keris menceritakan dengan detail tentang adat-istiadat Bali mengenai penggunaan tanah mewakili dan nampak memperlihatkan kondisi Bali selepas menjadi tujuan utama wisata Indonesia dan internasional. Ada semacam pertentangan antara kaum muda yang diwakili Gung Wira dan Bli Gung yang mewakili kaum muda. Pertentangan antar-etnis juga terasa dan terlihat pada Alek Baralek dari Free Hearty, yang menceritakan kisah orangtua tokoh utama bernama Galuh, yang berbapak Minang, tetapi beribu Jawa. Dalam cerpen ini, diceritakan masa lalu kedua orangtua Galuh yang sempat mengalami cibiran dan pertentangan karena orangtua laki-lakinya menikahi perempuan Jawa. Dan yang tak boleh dilewatkan bagaimana seorang M. Raudhah Jambak dengan detail menceritakan keterbelakangan kehidupan di Indonesia Timur, tepatnya di Papua dalam Mbirokateya.

Sementara dari dua negara terakhir, Brunei Darussalam dan Singapura, isu-isu religius lebih terasa. Inin terlihat pada Sungai Pendaruan Mengalir Lesu karya Firdaus H.N dan Wawancara di Nazareth karya Pengiran Metassan. Di yang pertama menceritakan seorang lulusan sebuah universitas ternama di Brunei, Universiti Brunei Darussalam, yang hanya disebut dengan kata ganti "kau" dan "ia". Dalam cerpen ini juga oleh cerpenis diberitahukan tentang Brunei Darussalam, sebuah negara kecil yang berfalsafah Melayu Islam Beraja, setiap kemerdekaan selalu membaca Yassin dan tahlil sebagai ungkapan rasa syukur karena kemerdekaan yang diraih sejak 1984. Sedangkan dalam Wawancara di Nazareth, Pengiran Metassan, ingin mengungkapkan sebuah perjumpaan religius dengan Sitti Maryam, ibunda Nabi Isa di Nazareth. Di dalamnya terlihat bagaimana seorang Maryam yang berusaha memberi banyak peringatan dan wejangan kepada tokoh utama yang disebut dengan "aku" tentang umat Islam dan Kiamat. Terlihat ada upaya untuk menghidupkan Maryam meski hanya melalui hitam di atas putih. Selain isu-isu religius, cerita fabel berjudul Kucing dari Sosonjan A. Khan patut disimak sebab menceritakan tentang para kucing yang selalu menjadi objek kesalahan binatang-binatang lain.

Terakhir, dari "negeri singa", Singapura, isu religius terlihat pada Malam Kita Lupakan Ranjang dari Chempaka Aizim. Cerpen ini menceritakan kisah pertobatan tentang seorang mucikari yang tentu taubatnya itu membuat terkejut tokoh utama.

Sekilas, cerpen-cerpen yang ditulis dalam bahasa Melayu itu bisa dimengerti meskipun terdapat perbedaan, baik dari ejaan dan makna. Kata-kata seperti mahu, sahaja masih bisa dimengertikan sebagai mau dan saja. Tetapi, kata nenek, yang seharusnya untuk orangtua perempuan dari ayah/ibu, bisa berarti sebagai orangtua laki-laki dari ayah/ibu. Perbedaan itu memang terkadang membuat pembaca bahasa Indonesia bisa tidak nyaman. Tapi inilah yang sesungguhnya hendak disajikan dalam cerpen-cerpen ini. Literasi serumpun yang diutujukan untuk mempererat persaudaraan seperti yang dituturkan dalam kata pengantar di buku ini. Sehingga bisa dibilang untuk meminimalisasi konflik-konflik yang belakangan terjadi antara negara-negara serumpun seperti Indonesia dan Malaysia yang terjadi belakangan.

Konflik-konflik yang demikian terjadi karena seringnya kesalahpahaman antara pihak-pihak yang bertikai. Dan apa karena hal tersebut kedua negara menjadi penyumbang terbanyak daripada negara-negara Melayu lainnya? Apapun itu, antologi ini patut diapresiasi.

Kamis, 22 Agustus 2013

Sebut Saja Nama itu Bosscha


Sebut saja nama itu Bosscha, diucapnya bosya atau boskha, terserah yang penting enak diucap
Sebut saja nama itu Bosscha, kebanyakan langsung merujuk pada sebuah observatorium, sebuah teropong bintang besar, benda-benda langit, planet, bulan, matahari
Sebut saja nama itu Bosscha, semua pikiran mengarah ke Lembang, lalu berucap sejuk, segar, dan tenang
Sebut saja nama itu Bosscha, dan nama ITB tercantum, di antara keekslusifan dan kehati-hatian
Sebut saja nama itu Bosscha, tetapi tidak benar-benar menyebut kata Bosscha, sang filantropis, juragan perkebunan
Sebut saja nama itu Bosscha, si meneer yang memang tertarik pada astronomi, dan karena itulah bangunan besar di Lembang itu dibangun, beserta sebuah teleskop
Sebut saja nama itu Bosscha, dan Malabar telah menjadi tempat abadinya

Selasa, 16 Juli 2013

Silent (kiss)

Yang merindukan gulatan bibir
berpadu dengan tatapan tulus
Merenyahkan senyawa kata yang memadu pada
kasih sayang



http://www.freewebs.com/mahtame/couple%20kissing%20sihoulette.bmp
www.freewebs.com


Yang merindukan keheningan malam
hanya suara berbisik bersaut
membungkam tembok-tembok budaya
saat kehangatan itu begitu mendarat dari dingin yang terkuak

Yang merindukan permainan lidah
menyentuh pada langit-langit kenikmatan
getaran itu mengalir lepas
jiwa itu seperti dalam satu badaniah
tenggelam dalam perasaan
kala hanya tertawa
Ungkapan sayang pun memburai

Kamis, 11 Juli 2013

Het Park

Het regent. Nog stond. Dat was genoeg gierzwaluw en maakte iedereen die in het straat haast om naar shuilplaatsen te lopen. Hoewel de zon scheen maar er was geen obstakel voor regen. Ja, het was toch 9 uur 's morgens. De tijd die veel mensen hun activiteiten liepen. Zoals naar de kantoor, school, en ook sport te doen. Regen kwam en dan maakte de situatie onveilig. Hij kwam plotseling. Volgens de weerberichten op 6 uur 's morgens kwam het mooi weer vandaag. Alle mensen hoefden niet te zorgen om hun activiteiten te doen. Doch dat was niet geldig.

Zijn naam was Dani. Deze man liep naar plaats welke hij werkte. Een paraplu beschermte hem. Een draagtas in zijn rug. Hij was zichtbaar ontspannen. Voor hem, regen was niet een obstakel. Hij beschouwde dat als God zegen. Daarom geniet ervan. Dani was een schrijver. Een advertentie schrijver preciezer. Ja, hij werkte in een advertentie bureau. Zijn kantoor lag in een grote straat. Aan de voorkant van zijn kantoor of tegenover lag een park. Een klein park maar er waren veel bomen. Dat maakten het park groener en koel. Dani vond dat het park belangrijk omdat er waren veel inspiraties als hij in het park zat. En de inspiraties hielpen hij om een schrift te maken. Zonder dat was het moeilijk voor hem. Even het park was uitgezet worden. En dan was er geen zang van vogels die altijd in de bomen zatten en netstelden. Er was geen windstoot die uit bomen kwam ook en natuurlijk was er geen iets groen. Als het gebeurt voelde Dani zich niet lekker in zijn lichaam en treurig. Hij wou een tegenstander worden.

http://www.abbaye-du-val-dieu.be/1_NL/uploads/images/v-d19.04.09.003.JPG
www.abbaye-du-val-dieu.be
“Genoeg gierzwaluw, niet waar?” vroeg een maan aan hem. Een man was Fredi, zijn collega in een dit advertentie bureau.
“Absoluut,” Dani antwoorde vast. “Waarom? Ben je natheid?”
“Ja, een beetje,” antwoordde Fredi terwijl Fredi leidde naar hemd die natheid was. “Hm...heb je dat iets gehoord?”
“Nee? Wat is dat? Is er een nieuw nieuws?”
“Ja, een nieuw nieuws maar het heeft geen relatie met onze beroep. Het is een slechte nieuws,”
“Slechte? Wat slechte? Is er slechts?”
“Ja, dat betreft met dat park,” zei Fredi leidde zijn ogen naar het park in de tegenover.
“Waarom met het park?” vroeg Dani nieuwsgierig. En in zijn hart zei hij: was dat park....nee...onmogelijk...
“Uitgezet,” antwoordde Fredi kort. Dat maakte Dani bleek.
“Waarom?”
Fredi keek naar Dani. Er was een treurig gezicht. Ja, hij wist dat Dani van het park hield.
“Meneer Rosman, eigenaar van het park, hebt dat park verkocht aan de zakenman zodat een gebouw wou gebouwd worden,”
“Waarom Meneer Rosman hebt dat park verkocht?”
“Ik heb gehoord dat hij geld had nodig voor zijn zoon en nu zijn zoon kritisch,”
“Maar waarom deed hij?”
“Dat park is zijn alleen schat,”

Stil. Indewaar. Treurig. Keek hij naar het park. Het park die veel betekenissen voor hem gaf. Het park die een verkoeling gaf. Natuurlijk, veel inspiraties. En nu dat wou gebeurd. Het park wou uitgezet worden. En dat betekent dat hij iets speciaal wou losmaakten. Dani voelde zich hemzelf leeg. Hij liep naar de bureau ongeest. Zijn collega's waren verbazing.
“Wat is er aan de hand, joh?” vroeg Rina.
“Fredi zei me dat het park wou uitgezet, niet waar?”
Rina stil. Zij keek naar Dani. Zij haalde adem in dan,
“Ja, dat is waar,” antwoorde Rina langzaam, “Ik weet dat je dat niet accepteert. En ook alle vrienden hier. Maar we kunnen niets,”
“Ja, we kunnen niets omdat we zijn alleen en kleine bureau en de ondermening dat het park wil uitgezet zeker een grote. Belachelijk!”
“Zeg, maak jezelf kalm, hoor,” zei Robi, “We bidden maar dat de uitgezet niet gebeurd,”
“Ja, zonder actie. En dat je voelt je zinloos!”
Plotseling verliet hij zijn collega's en leidde naar zijn directeur kamer. Misschien, in zijn hersenen, zijn directeur wou zijn klagen horen. Blijkbaar niet. In plaats daarvan zei zijn directeur tegen:
“Beter je werkt dan zorgt niet iets onbelangrijk!”
“Maar dat park is erg betekenis voor me en u weet dat. Kijk, hoewel klein, hij geeft me veel inspiraties en de inspiraties brengen dit bureau altijd een winnaar worden  in advertentie competities! U hoeft dat te realiseren!”
“Ja, ik heb dat gerealiseerd maar je moet naar andere plaatsen verhuizen. We kunnen toch een park maken in deze bureau,”
“Nee, ik denk dat het park is speciaal en belangrijk!”
“Oh, dus dat je opinie. Okee...ik geef nu twee opties. Werk of...ontslaag?”
Dani stil. Hij kon niet antwordden. Zijn directeur alleen glimlach. Hij vond dat hem vervelend. Dus, hij besliste om zijn directeur te verlaten.

Alle dagen, Dani was niet de geest. Hij piekerde alleen het park. Hij voelde zich niet lekker om iets te doen. Het park, volgens hem, als zijn vriendje. Eindelijk koos hij alleen te zitten.
“Hai, vriend,” zei Dani toen hij in het park was. Hij zat en kijk naar omheen. “Ik ben treurig sinds je wilt uitgezet worden. Ik accepteer niet erg. Ik vind dat ik me leeg wil voelen zonder jou. Ik kun niet als je geweest. Ik kun....ah, vergeet maar. Er is niets die ik voor jou kun even ook ze....wat een flauwekul!”

Hij stil dan. Keek naar omheen terug. Zag de vogels vlogen en daarna zitten. In de bomen netstelden zij tijdens zongen. Zo afstembaar te luisteren. Natuur zong. Het geluid was hinder en zuiver. Maakte Dani wou het park niet verlaten. Op den duur voelde hij slaperig en dan sliep.

***

Dani was ontwaakt. Hij keek naar omheen dan realiseerde dat hij nog in het park was. De zon sloeg neer. Koele lucht was zo gevoel. Het waait. Dani voelde zich voortdurend in het park maar hij realisserde dat hij moest werkten. Hij stond dan. Schoot hij op. Maar, hij was indewaar toen hij wist dat hij in de andere milieu. Geen gebouwen, geen straat, geen mensen, geen auto's. Alleen bomen en vogels. Vroeg hij zich af: Waar ben ik?


 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran