Inggris di Tanah Jawa adalah periode ketika negara pulau yang terletak di Eropa tersebut menjejakkan kakinya di salah satu pulau tersubur dan terpenting di dunia itu untuk mengadministrasi kekuasaan dan menguasai pulau tersebut. Ternyata dalam sejarahnya sudah dua kali Negeri Ratu Elizabeth menginjakkan kaki di Pulau Jawa yang merupakan pulau pusat pemerintahan di Indonesia. Yang pertama adalah pada periode 1811-1816 dan kedua adalah periode 1945-1946. Lalu mengapa bisa Inggris, negara yang di masa silam punya julukan The Sun Never Sets in British Empire –karena punya banyak tanah jajahan- itu ada di Pulau Jawa? Yuk, mari kita simak penjelasan di bawah ini.
Periode Pertama (1811-1816)
Pada periode yang pertama ini Inggris datang ke Pulau Jawa karena untuk menggantikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Waktu itu, Belanda merupakan sekutu Prancis dalam era Napoleon Bonaparte. Sang jenderal yang kemudian menjadi kaisar itu lantas mendudukkan saudaranya, Lodewijk atau Louis, sebagai raja di Belanda setelah Prancis berhasil menduduki Belanda yang dibantu oleh orang-orang Belanda pro-Prancis. Dalam orang-orang Belanda pro-Prancis ini terdapat Willem Herman Daendels.
Nama tersebut
tentu sudah tidak asing lagi bagi orang Indonesia. Sosok Daendels akan dikenang
sebagai sosok yang kejam karena memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos atau
De Grote Postweg dari Anyer hingga Panarukan pada masa pemerintahannya. Jalan
itu dibangun untuk mobilisasi pasukan Belanda-Prancis dalam menghadapi serangan
Inggris ke Jawa. Perlu diketahui, Inggris merupakan rival berat Prancis di
Eropa selain Rusia dalam era Napoleon.
Kedatangan
Inggris ke Pulau Jawa juga sudah merupakan mandat untuk mengakhiri kekuasaan
Prancis di seberang lautan serta mendapat restu dari Willem V, wali negara
Belanda terakhir di era Republik Belanda Bersatu yang tersingkirkan oleh
Revolusi Batavia pro-Prancis pada dekade akhir 1790-an. Wali negara ini
melarikan diri Inggris dan meminta bantuan negara tersebut setelahnya melalui
Surat Kew.
Dalam sejarah
Indonesia, periode pertama Inggris ini akan selalu muncul nama yang akrab di
telinga, Sir Thomas Stamford Raffles. Sosok yang kemudian dikenal sebagai
pendiri Singapura modern ini dipuja oleh banyak kalangan sebagai sosok yang
cukup berhasil merombak dan merapikan administrasi pemerintahan di Jawa.
Raffles yang mempunyai kecintaan pada dunia botani dikenal menerapkan sistem
sewa tanah yang mewajibkan rakyat atau petani membayar pajak kepada pemerintah
melalui uang sewa atas tanah yang digarap.
Selain itu,
Raffles tertarik pada budaya Jawa dan mengekspresikan ketertarikannya melalui History
of Java yang terkenal tersebut. Akan tetap, rupanya ada beberapa hal yang
menodai keberadaan Inggris di Tanah Jawa. Tim Hannigan dalam bukuya, Raffles
dan Invasi Inggris ke Jawa menyebut, di masa Raffles berkuasa inilah Jawa
dikacaubalaukan. Raffles mengubah tatanan kesopanan yang berlaku dari masa
Belanda berkuasa saat berhadapan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa seperti
Surakarta dan Yogyakarta, dan menimbulkan huru-hara melalui peristiwa bernama
Geger Sepahi yang terjadi pada 1812, dan dipimpin oleh Rollo Gillespie.
Peristiwa yang menghancurkan Keraton Yogyakarta dan seluruh isinya ini terjadi
di masa Yogya dipimpin oleh Hamengkubuwono II yang kemudian digulingkan
Hamengkubuwono III melalui bantuan Inggris.
Pada
peristiwa ini Inggris mengerahkan sebagian besar pasukannya dari Resimen
Benggala, India. Karena resimen inilah nama Sepehi yang berasal dari nama
Sepoy, demikian orang-orang dari resimen tersebut, muncul. Peristiwa Geger
Sepehi merupakan peristiwa yang amat mempengaruhi kewibawaan Keraton Yogyakarta
dan memicu Perang Jawa setelahnya. Hingga hari ini dampak peristiwa memalukan
tersebut masih sangat berbekas.
Periode Kedua (1945-1946)
Periode kedua kedatangan Inggris ke Jawa juga hampir mirip dengan periode pertama, yaitu transisi dan pemulihan kekuasaan. Hal ini ada hubungannya dengan akhir Perang Dunia Kedua. Ketika perang terbesar dalam sejarah umat manusia itu berakhir, Inggris yang merupakan salah satu pemenang perang ditugaskan oleh Amerika Serikat untuk melucuti kekuasaan Jepang yang berada di Pasifik Barat. Wilayah ini termasuk Sumatra dan Jawa.
Inggris
datang sebagai pemegang komando SEAC yang berada di bawah pimpinan langsung
Lord Louis Mountbatten. Kedatangan Inggris ke Jawa ini tentu saja tidak disukai
oleh para pemuda karena ditengarai merupakan aksi untuk menjajah kembali
Indonesia. Apalagi kedatangan Inggris juga diboncengi Belanda, yang memang
sudah meminta Inggris mengembalikan lagi Indonesia yang dirampas oleh Jepang
pada 1942. Awalnya, Inggris tidak mau ikut campur terhadap kobaran Revolusi 17
Agustus 1945 oleh para pemuda terutama di Surabaya, dan memilih netral.
Namun karena
provokasi dari Belanda melalui NICA terjadilah beberapa pertempuran antara
Inggris dan TKR serta para pemuda yang berpuncak pada tewasnya Jenderal A.W.S
Mallaby pada November 1945. Menariknya adalah hampir semua tentara Inggris itu
berasal dari India. Sama seperti periode pertama. Namun di periode kedua ini
adalah dari Gurkha.
Pembunuhan
Mallaby inilah yang kemudian membuat Inggris marah lantas membombardir Surabaya
selama hampir sebulan dari enam hari yang diperkirakan. Peristiwa yang terkenal
sebagai Pertempuran 10 November 1945 atau Pertempuran Surabaya itu membuat
Inggris menyadari posisi mereka yang sebenarnya. Apalagi Parlemen Inggris juga
getol meminta Inggris tidak ikut campur terhadap masalah yang terjadi di
Indonesia, dan meminta Inggris menghormati kemerdekaan Indonesia.
Selain
Pertempuran Surabaya, juga terdapat peristiwa Bandung Lautan Api pada 23 Maret
1946. Dua peristiwa besar ini kemudian membuat Inggris menarik diri dari
Indonesia, dan lantas mendukung kemerdekaan Indonesia, dengan meminta Belanda
dan Indonesia untuk berunding melalui Perjanjian Linggajati. Di kemudian hari,
Inggris meminta maaf telah mengebom Surabaya seperti yang dikutip oleh Batara
Hutagalung dalam Indonesia Tidak Pernah Dijajah.
Itulah Hikayat Inggris di Tanah Jawa yang terbagi dalam dua periode. Dapat disimpulkan kedatangan Inggris hanya sebagai pemulih kekuasaan, dan sebenarnya sudah melaksanakan tindakan sesuai prosedur. Sayangnya, ketetapan tersebut tidak berjalan sesuai dengan di lapangan. Raffles yang tergila-gila pada Jawa malah menghancurkan Yogyakarta karena ambisinya yang kelewatan, dan tentara Inggris di Surabaya yang kebingungan pada situasi setelah kemerdekaan serta tersulut oleh provokasi Belanda sehingga meluluhlantakan kota terbesar kedua di Indonesia tersebut.