Pages

Jumat, 28 Desember 2012

Musi: Saksi Bisu Palembang dari Atas Sungai





Matahari bersinar cukup terik. Awan pun terlihat cerah dengan latar belakang langit yang membiru. Namun teriknya matahari pada sebuah sabtu siang itu tak menyurutkan langkah beberapa orang untuk menaiki perahu dari sekian perahu yang mangkal di tepian Sungai Musi, sebuah sungai besar yang membelah Palembang. Dari dermaga di tepian sungai itu terlihat begitu megahnya Jembatan Ampera, yang menjadi ikon Palembang, mencoba menjembatani Palembang di kanan dan di kiri.
 ***
Suasana Sungai Musi yang terlihat tenang airnya dengan sesekali ada ombak kecil yang menerpa tangga bebatuan di dermaga, memang menjadi pilihan bagi mereka yang hendak menikmati Palembang dengan berwisata di atas air. Sebuah wisata yang rasanya tepat ketika Palembang pada 2008 dicanangkan sebagai kota wisata air oleh presiden sebagai padanan Bangkok di Thailand dan Phnom Penh di Kamboja.
Berbicara Sungai Musi, memang tidak bisa dilepaskan dari Palembang. Sebab dari sungai inilah kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan, dan juga menjadi Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan ini berdiri. Tentu saja ini ada kaitannya dengan Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam.
Palembang belakangan menggeliat, terutama setelah diselenggarakannya SEA Games 2011 lalu dengan dibangun banyaknya infrastruktur olahraga. Hal yang demikian membuat Palembang semakin dikenal di dunia. Terletak di ketinggian 8 meter dari atas permukaan laut, menjadikan Palembang sebagai kota dengan kedudukan geografis yang rendah. Namun kedudukan geografis ini membuat Palembang menjadi lintasan yang cukup strategis untuk bisa dilalui jalan Trans Sumatera, jalan yang menghubungkan Sumatera dari Lampung hingga ke Aceh. Keberadaan Sungai Musi tak pelak juga membuat Palembang menjadi lintasan dan sandaran beberapa kapal tongkang, pengangkut pasir, serta yang hendak ke Bangka dan Belitung. Meskipun demikian, letak yang rendah itu, tidak bisa membuat Palembang terhindar dari genangan air di kala hujan.


Sejarah Palembang sebagai kota sebenarnya sudah tersebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit. Dalam prasasti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya (682-1025), kerajaan maritim terbesar di Sumatera, tersebut menyebutkan pembangunan sebuah kota bertanggal 16 Juni 682 Masehi. Dari prasasti itu pun bisa tersimpulkan bahwa Palembang adalah kota tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, kota ini pun, bersama dengan Sungai Musi yang membelahnya, menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang pada masa puncak kejayaan menjadi kerajaan maritim yang bisa meluaskan pengaruhnya hingga ke Thailand, serta menjadi pusat studi agama Buddha ketika itu. 

 
Namun kejayaan itu sirna ketika Rajendra Chola dari India pada 1025 menyerang Sriwijaya sehingga menjadikan Palembang sebagai ibu kota pelabuhan di tepian Sungai Musi yang banyak dikunjungi kapal-kapal saudagar mulai kehilangan pamor. Pada masa-masa selanjutnya, kota ini berada di naungan kerajaan besar Nusantara lainnya, Majapahit. Di bawah kekuasaan Majapahit, banyak eksodus dari Jawa yang kemudian menetap di kota ini lalu membentuk adat dan istiadat yang sama seperti di Jawa. Meskipun di masa Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1823), adat istiadat Jawa berusaha dihilangkan, namun pengaruh Jawa masih terasa kental hingga saat ini mulai dari nama bangunan, bahasa, dan pakaian. Penggunaan nama lawang, gedang, masayu, dan rumah limas cukup menunjukkan masih kentalnya pengaruh Jawa.

Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, kesultanan yang melepaskan diri kesultanan induk di Jawa, yaitu Kesultanan Demak, Palembang menjadi kota pelabuhan yang ramai kembali dan sangat maju. Keadaan demikian seolah-olah mengisyaratkan bahwa Palembang Darussalam sebagai penerus Sriwijaya. Kemajuan demikian juga ditandai dengan kemajemukan etnis sehingga Palembang menjadi kota yang kaya akan banyak kultur.


Sayang, kedatangan Belanda dan Inggris menghancurkan segalanya. Dimulai dari niat berdagang hingga kemudian muncul perang antara Palembang dengan dua negara Eropa tersebut. Perang itu terjadi dalam beberapa periode. Dimulai pada 1811 hingga 1824. Perang terjadi di Sungai Musi yang ketika itu masih sangat lebar, dan tidak seperti sekarang. Peperangan itu tergambar jelas dalam sebuah diorama di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang berada di tepian Sungai Musi. Dalam peperangan itu, Palembang harus mengakui kekuatan dua negara tersebut, terutama Belanda, yang tidak hanya menjalankan perang dengan fisik, tetapi juga dengan mental mengingat kegigihan yang ditunjukkan Palembang Darussalam. Akhirnya, setelah perang terakhir, pada 1825, Sultan Najamuddin III, sultan terakhir Palembang Darussalam, menyerahkan diri, dan semenjak itu, sejak dalam penguasaan Belanda pada 1823, kesultanan pun dihapuskan. Palembang pun menjadi karesidenan dengan pembagian dua wilayah, hulu dan hilir.

Pada masa Perang Dunia ke-2, Palembang pun tak luput dari sasaran pasukan Jepang yang datang ke kota itu untuk mengincar minyak serta mengusir Belanda yang sudah lama bercokol di sana. Ketika Indonesia memerdekakan diri, 20 tahun setelahnya, dibangunlah Jembatan Ampera yang menghubungkan Palembang Seberang Ulu dan Ilir oleh Sukarno. Awalnya, jembatan ini, setelah jadi dan diresmikan dinamakan Jembatan Sukarno. Namun pergolakan politik pasca 1965 membuat nama jembatan diubah menjadi Ampera yang merupakan singkatan dari amanat penderitaan rakyat. Pembangunan jembatan yang istimewa itu, yang pada awalnya bisa dinaik-turunkan jika ada kapal besar lewat di Sungai Musi, secara tak langsung menjadi ikon kota tersebut hingga kini.
***
Cuaca masih cukup terik meski mereka yang menaiki perahu itu sudah sampai lagi di dermaga di tepian sungai usai berplesir ke Pulau Kemaro di delta sungai yang berdekatan dengan pabrik Pupuk Sriwijaya. Teriknya matahari yang menerpa langsung air Sungai Musi yang tampak coklat kehitaman dan berbau kurang sedap tidak serta-merta menghilangkan kejayaan Palembang di masa silam. Bagaimanapun, sungai terbesar di Sumatera itu tetaplah saksi bisu Palembang dari masa ke masa.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran