Matahari
bersinar cukup terik. Awan pun terlihat cerah dengan latar belakang
langit yang membiru. Namun teriknya matahari pada sebuah sabtu siang
itu tak menyurutkan langkah beberapa orang untuk menaiki perahu dari
sekian perahu yang mangkal di tepian Sungai Musi, sebuah sungai besar
yang membelah Palembang. Dari dermaga di tepian sungai itu terlihat
begitu megahnya Jembatan Ampera, yang menjadi ikon Palembang, mencoba
menjembatani Palembang di kanan dan di kiri.
***
Suasana
Sungai Musi yang terlihat tenang airnya dengan sesekali ada ombak
kecil yang menerpa tangga bebatuan di dermaga, memang menjadi pilihan
bagi mereka yang hendak menikmati Palembang dengan berwisata di atas
air. Sebuah wisata yang rasanya tepat ketika Palembang pada 2008
dicanangkan sebagai kota wisata air oleh presiden sebagai padanan
Bangkok di Thailand dan Phnom Penh di Kamboja.
Berbicara
Sungai Musi, memang tidak bisa dilepaskan dari Palembang. Sebab dari
sungai inilah kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan, dan juga
menjadi Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan ini berdiri. Tentu saja
ini ada kaitannya dengan Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang
Darussalam.
Palembang
belakangan menggeliat, terutama setelah diselenggarakannya SEA Games
2011 lalu dengan dibangun banyaknya infrastruktur olahraga. Hal yang
demikian membuat Palembang semakin dikenal di dunia. Terletak di
ketinggian 8 meter dari atas permukaan laut, menjadikan Palembang
sebagai kota dengan kedudukan geografis yang rendah. Namun kedudukan
geografis ini membuat Palembang menjadi lintasan yang cukup strategis
untuk bisa dilalui jalan Trans Sumatera, jalan yang menghubungkan
Sumatera dari Lampung hingga ke Aceh. Keberadaan Sungai Musi tak
pelak juga membuat Palembang menjadi lintasan dan sandaran beberapa
kapal tongkang, pengangkut pasir, serta yang hendak ke Bangka dan
Belitung. Meskipun demikian, letak yang rendah itu, tidak bisa
membuat Palembang terhindar dari genangan air di kala hujan.
Sejarah
Palembang sebagai kota sebenarnya sudah tersebutkan dalam prasasti
Kedukan Bukit. Dalam prasasti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya
(682-1025), kerajaan maritim terbesar di Sumatera, tersebut menyebutkan
pembangunan sebuah kota bertanggal 16 Juni 682 Masehi. Dari prasasti
itu pun bisa tersimpulkan bahwa Palembang adalah kota tertua di
Indonesia. Dalam perkembangannya, kota ini pun, bersama dengan Sungai
Musi yang membelahnya, menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Sriwijaya
yang pada masa puncak kejayaan menjadi kerajaan maritim yang bisa
meluaskan pengaruhnya hingga ke Thailand, serta menjadi pusat studi
agama Buddha ketika itu.
Namun
kejayaan itu sirna ketika Rajendra Chola dari India pada 1025
menyerang Sriwijaya sehingga menjadikan Palembang sebagai ibu kota
pelabuhan di tepian Sungai Musi yang banyak dikunjungi kapal-kapal
saudagar mulai kehilangan pamor. Pada masa-masa selanjutnya, kota ini
berada di naungan kerajaan besar Nusantara lainnya, Majapahit. Di
bawah kekuasaan Majapahit, banyak eksodus dari Jawa yang kemudian
menetap di kota ini lalu membentuk adat dan istiadat yang sama
seperti di Jawa. Meskipun di masa Kesultanan Palembang Darussalam
(1659-1823), adat istiadat Jawa berusaha dihilangkan, namun pengaruh
Jawa masih terasa kental hingga saat ini mulai dari nama bangunan,
bahasa, dan pakaian. Penggunaan nama lawang,
gedang, masayu,
dan rumah
limas
cukup menunjukkan masih kentalnya pengaruh Jawa.
Pada
masa Kesultanan Palembang Darussalam, kesultanan yang melepaskan diri
kesultanan induk di Jawa, yaitu Kesultanan Demak, Palembang menjadi
kota pelabuhan yang ramai kembali dan sangat maju. Keadaan demikian
seolah-olah mengisyaratkan bahwa Palembang Darussalam sebagai penerus
Sriwijaya. Kemajuan demikian juga ditandai dengan kemajemukan etnis
sehingga Palembang menjadi kota yang kaya akan banyak kultur.
Sayang,
kedatangan Belanda dan Inggris menghancurkan segalanya. Dimulai dari
niat berdagang hingga kemudian muncul perang antara Palembang dengan
dua negara Eropa tersebut. Perang itu terjadi dalam beberapa periode.
Dimulai pada 1811 hingga 1824. Perang terjadi di Sungai Musi yang
ketika itu masih sangat lebar, dan tidak seperti sekarang. Peperangan
itu tergambar jelas dalam sebuah diorama di Museum Sultan Mahmud
Badaruddin II yang berada di tepian Sungai Musi. Dalam peperangan
itu, Palembang harus mengakui kekuatan dua negara tersebut, terutama
Belanda, yang tidak hanya menjalankan perang dengan fisik, tetapi
juga dengan mental mengingat kegigihan yang ditunjukkan Palembang
Darussalam. Akhirnya, setelah perang terakhir, pada 1825, Sultan
Najamuddin III, sultan terakhir Palembang Darussalam, menyerahkan
diri, dan semenjak itu, sejak dalam penguasaan Belanda pada 1823,
kesultanan pun dihapuskan. Palembang pun menjadi karesidenan dengan
pembagian dua wilayah, hulu dan hilir.
Pada
masa Perang Dunia ke-2, Palembang pun tak luput dari sasaran pasukan
Jepang yang datang ke kota itu untuk mengincar minyak serta mengusir
Belanda yang sudah lama bercokol di sana. Ketika Indonesia
memerdekakan diri, 20 tahun setelahnya, dibangunlah Jembatan Ampera
yang menghubungkan Palembang Seberang Ulu dan Ilir oleh Sukarno.
Awalnya,
jembatan ini, setelah jadi dan diresmikan dinamakan Jembatan Sukarno.
Namun pergolakan politik pasca 1965 membuat nama jembatan diubah
menjadi Ampera yang merupakan singkatan dari amanat penderitaan
rakyat. Pembangunan jembatan yang istimewa itu, yang pada awalnya
bisa dinaik-turunkan jika ada kapal besar lewat di Sungai Musi,
secara tak langsung menjadi ikon kota tersebut hingga kini.
***
Cuaca
masih cukup terik meski mereka yang menaiki perahu itu sudah sampai
lagi di dermaga di tepian sungai usai berplesir ke Pulau Kemaro di
delta sungai yang berdekatan dengan pabrik Pupuk Sriwijaya. Teriknya
matahari yang menerpa langsung air Sungai Musi yang tampak coklat
kehitaman dan berbau kurang sedap tidak serta-merta menghilangkan
kejayaan Palembang di masa silam. Bagaimanapun, sungai terbesar di
Sumatera itu tetaplah saksi bisu Palembang dari masa ke masa.
0 komentar:
Posting Komentar