Sebagai Ibu Kota negara, Jakarta memang tak bisa lepas dari berbagai macam masalah. Terutama kemacetan. Berbagai cara ditempuh supaya kemacetan bisa terurai. Mulai dari pelebaran jalan, pembangunan jembatan layang hingga TransJakarta. Namun, ternyata, semua belum ampuh. Kemudian ditempuh dengan cara yang lain lagi, dan mungkin akan menjadi obat yang mujarab. MRT. Atau mass rapid transportation. Bahasa Indonesianya transportasi cepat massal. Namun untuk mewujudkan Jakarta yang bebas macet itu saja sudah menemui banyak kendala. Mulai dari pembebasan lahan, anggaran sampai tetek-bengek segala macam. Gara-gara itu, Jokowi, sang gubernur, pusing.
brianramadhian.blogspot.com |
Tapi, saya di sini tak hendak mau membuat pusing beliau karena saya tak mau ikut-ikutan mempersoalkan tetek-bengek tersebut. Biarlah mereka, para pemangku kebijakan atau yang ahlinya yang mengurusi. Saya cuma mau mengurusi kata MRT itu sendiri. Karena MRT berasal dari bahasa Inggris, wajar kalau diucapkan em-ar-ti. Wajar karena memang begitu pronounciation-nya. Cuma, agaknya saya agak kurang setuju saja mengapa harus disebut demikian. Saya terbiasa mengucap MRT itu em-er-te. Sesuai dengan konsonan. Dan itu sesuai juga dengan ejaan Indonesia.
Ini yang tadi saya temui sewaktu menonton Metro TV tentang MRT menjelang magrib. Si penyiar berita mengucap MRT berdasarkan cara baca bahasa Inggris. Ya, dia, menurut saya, tidak salah, hanya saja terkesan itu tidak pas sebab ini di Indonesia. Tidak sesuai dengan sistem bahasa kita yang fonologinya sesuai dengan ejaan dan kata. Coba deh tanyakan masyarakat umum: Lebih enak mana menyebutnya: em-ar-ti atau em-er-te? Lebih nyaman mana? Kalau saya sih secara pribadi ya em-er-te.
Sistem fonologi kita yang seperti itu, sejujurnya, secara logika tepat. Pengucapan sesuai dengan apa yang dituliskan. Tidak mengingkari bentuk dari kata tersebut. Perlu diberitahu, sistem fonologi ini juga bawaan dari sistem fonologi bahasa Belanda, terutama dalam pengucapan abjad. Coba saja sekarang, Anda sebut a-b-c-d-e-f-g sampai h dalam lidah Indonesia Anda kemudian Anda dengarkan dalam bahasa Belanda pengucapan itu, Anda akan temui kesamaan. Dan memang sistem fonologi bawaan dari Belanda ini cocok dengan sistem fonologi bahasa Melayu yang kemudian di Indonesia berkembang menjadi bahasa Indonesia.
Berkenaan dengan sistem pengucapan ini, saya jadi teringat teman saya sewaktu saya masih kuliah. Dia bersama teman-temannya pergi ke Malaysia untuk mengikuti kejuaraan sepakbola mahasiswa di sana. Kemudian menemukan cara ucap suatu kata yang berbeda dengan di Indonesia. Misal, kata UI diucapkan menjadi yu-ai, atau SBY menjadi es-bi-wai. Mereka seperti itu karena mengikuti sistem fonologi bahasa Inggris, bahasa dari negeri yang menjajah mereka. Namun ketika diucapkan singkatan itu malah berbeda. Huruf U yang dibaca yu malah menjadi u seperti bentuk katanya begitu juga i. Nah, untuk SBY silakan tebak sendiri.
Seorang indonesianis asal Swedia, saya lupa namanya, pernah ditertawai oleh mahasiswa UII sebab menyebut nama kampus itu sesuai dengan bentuk katanya. Mereka maunya disebut yu-i-i. Lantas dia heran kenapa seperti itu sebelum dia bisa menyimpulkan itu karena efek dari globalisasi kata.
Namun itu semua memang tergantung pada rasa atau nuansa bahasa yang tertanam dalam benak orang itu sendiri. Saya sih tidak memaksa semua orang harus berucap em-er-te seperti saya. Hanya saja, saya berpikir dengan logika, bahwa em-er-te itu tepat dan logis. Tidak mengingkari bentuk kata. Apa yang ditulis dan disebut kedua-keduanya sesuai. Apalagi dalam etimologi huruf.
Namun, saya beranggapan, kalau saja semua kompak menyebut em-er-te bukan em-ar-ti, pasti segala persoalan yang sekarang menghadang pembangunan MRT bisa diselesaikan. Lagipula, memangnya ada masyarakat menengah ke bawah sekali yang mengerti em-ar-ti?
0 komentar:
Posting Komentar