Pada suatu hari, di
sebuah taman kota, duduklah dua anak perempuan. Umur mereka sama.
Jenjang sekolah mereka juga sama. Kalau dilihat dari cara bicaranya
menunjukkan bahwa dua anak perempuan ini sedang berada di bangku
sekolah menengah atas.
Nah, sedang asyiknya
mengobrol, yang sudah tentu tidak akan jauh-jauh dari segala macam
yang berbau dunia mereka ---dunia anak remaja--- termasuk di
antaranya gaya hidup dan juga cowok, datanglah seorang lelaki mencoba
berada di antara mereka berdua. Tanpa sungkan, keduanya menerima
lelaki itu yang mereka anggap sepantaran guru mereka di sekolah. Lalu
ditanyalah satu per satu nama keduanya. Dengan sigap mereka menjawab,
“Dewi,”
“Devi,”
Si lelaki yang menanyakan
pun tersenyum sambil bertanya,
“Kok namanya mirip?”
Mendengar pertanyaan
seperti itu keduanya lantas heran,
“Apanya yang mirip,
pak? Kan saya Dewi dia Devi,”
Yang juga diiyakan
setelah itu.
Si lelaki itu sekali lagi
tersenyum sambil menggeleng kepala perlahan. Perlahan juga ia
berbicara,
“Nama kalian memang
berbeda, tetapi sebenarnya sama,”
“Maksud bapak apa?”
Si Devi lantas bertanya kembali.
“Iya, maksud bapak
apa?” ucap si Dewi mengikuti.
Si lelaki tampak tenang
menghadapi pertanyaan si dua anak perempuan tersebut yang terlihat
penasaran. Seperti memaklumi tingkah para remaja yang selalu
penasaran, mudah terbisiki, lalu gampang dimainkan emosinya, serta
bertindak tanpa pikir panjang.
“Dewi, Devi,” Si
lelaki itu mulai berseloroh dengan pelannya. Mencoba mempermainkan
emosi keduanya, “Kalian sadar tidak kalau nama kalian itu sama
sebab berasal dari satu sumber: Devi. Itu dari bahasa Sansekerta.
Kalau diucapkan dalam bahasa itu Devi menjadi Dewi,”
“Wah kok bisa, pak?”
tanya Devi yang kini penasaran, “Lalu bahasa Sansekerta itu apa,
pak?”
Hm...rupanya si lelaki itu menyadari kedua anak ini sepertinya kurang
menyukai kegiatan membaca. Ya, ia sadar realitanya memang demikian di
negaranya. Maka, perlahan dijelaskannya apa bahasa Sansekerta itu,
dan mengapa Devi diucapkan menjadi Dewi.
Kasus di atas sebenarnya
hanyalah sekian dari kasus dalam berbahasa, terutama pada pemberian
nama orang. Memang, sudah secara umum, kita mengenal Indonesia
sebagai negara yang kaya kultur, agama, dan juga bahasa. Proses ini
pun terjadi semenjak berabad lalu melalui asimilasi dan akulturasi.
Dimulai dari zaman Hindu-Buddha hingga ke zaman kolonialisme. Selain
Dewi dan Devi, sering juga kita jumpai nama Widya-Vidya, yang juga
berasal dari bahasa yang sama. Dalam bahasa Sansekerta memang, huruf
v akan selalu dibaca huruf w. Pengucapan ini sama dengan di Polandia,
negara-negara Slavia serta Jerman. Bahasa Sansekerta sendiri
merupakan bahasa dari rumpun dari Indo-Eropa dan berkerabat dekat
dengan bahasa-bahasa di Eropa.
Ketika bahasa Sansekerta
masuk ke Indonesia, dan dalam abjad bahasa Melayu tidak ada huruf v,
otomatis dua bentuk penamaan itu terterima sehingga meragamkan bentuk
fisik dan bunyi, tetapi mendualismekan arti yang ternyata malah untuk
kedua-duanya tidak ada artinya sama sekali sebab diucapkan sesuai
dengan bentuk katanya.
Kasus yang sama juga
terjadi dari serapan bahasa Arab. Misal nama Rahmat dan Rohmat. Kedua
nama ini juga bisa akhirannya ditulis dengan huruf -d. Atau
Yusuf-Yusup. Untuk kasus pertama dikarenakan pelafalan nama yang
sesuai dengan bahasa aslinya, dan ketika dilatinkan mengikuti
pelafalan itu. Ketika serapan Arab di-KBBI-kan, otomatis yang lafalnya
o harus dirubah menjadi a. Kasus kedua karena dalam abjad Melayu
tidak ada huruf f yang alih-alih diucapkan menjadi p.
Dualisme penamaan ini pun
akhirnya, karena belum adanya penyeragaman dan pengetahuan ejaan
bahasa Indonesia yang benar, sering muncul di kehidupan sehari-hari,
terutama di dalam ijazah. Yang demikian pun terkadang sering
membingungkan apalagi jika nama yang bersangkutan ketika hendak
ditulis tidak dieja. Hal ini karena yang menulis merasa sudah tahu (sok tahu) bentuk kata dalam nama
itu.
0 komentar:
Posting Komentar