Tanggal 28 Oktober 1928, suara alunan merdu biola mengalun memasuki
telinga mereka yang berada dekat dengan biola tersebut. Alunan merdu namun juga
patriotik itu nampak begitu mengena bagi mereka yang mendengarkannya. Aroma
kebangsaan pun terpancar, dan sejalan dengan keinginan mereka, para pemuda,
yang menginginkan Indonesia merdeka dalam banyak suku namun dalam satu payung.
Meski Pemerintah Kolonial Belanda melarang yang dibiolakan dinyanyikan, tetapi
gesekan itu tetap membuat mereka bersemangat, dan yakin suatu saat apa yang
sesuai dengan isi lagu itu, Indonesia Raya, terwujud.
Tujuh belas tahun kemudian, bertepatan pada tanggal yang sama, dan
juga saat sebagian besar muslim menjalankan ibadah puasa, kembali Indonesia Raya
dinyanyikan, menjadi pelengkap proklamasi yang dibacakan Sukarno. Lagu itu
menjadi saksi bagaimana Indonesia merdeka. Lepas dari penjajahan ratusan tahun,
seperti yang dikatakan Sukarno sebelumnya ketika hendak membacakan proklamasi.
Semenjak itulah Indonesia Raya terus dikumandangkan. Menjadi lagu
kebangsaan dari Sabang hingga Merauke. Menjadi lagu yang tidak hanya
dinyanyikan ketika pada acara kenegaraan semata, tetapi pada acara yang membawa
nama bangsa, terutama di bidang olahraga. Lihat saja, ketika ada pertandingan
sepak bola melibatkan tim nasional Indonesia, semua sontak bernyanyi.
Bersemangat. Meresapi, bahkan hingga menangis. Indonesia Raya menjadi sebuah
sihir bagi mereka yang menyanyikan. Di dalamnya seperti ada sebuah lirik yang
sungguh patriotik. Apalagi jika berhadapan dengan negara jiran yang sering
menjadi lawan dalam segala hal, Malaysia.
Berbicara Malaysia, yang selalu bercirikan hate-love relationship
dengan Indonesia, memang tidak akan ada habisnya. Konflik sering terjadi. Bukan
hanya dalam bentuk fisik tetapi juga mental. Tetapi, rasanya bosan juga
membicarakan konflik dengan negara serumpun ini. Saya toh menulis ini bukan
untuk membahas konflik, tetapi membahas adanya persamaan lirik antara Indonesia
Raya dan Negaraku, lagu kebangsaan Malaysia.
Soal Negaraku sempat mencuat hangat 3 tahun lalu kala Malaysia
dituduh mencontek lagu Terang Boelan yang sempat populer pada 1950-an. Ini
dikarenakan adanya kemiripan antara dua lagu, terutama dari nadanya. Padahal, jika
ditelusuri lagi, Terang Boelan juga merupakan contekan dari Malayan Moon.
Pada lirik Negaraku, saya menangkap sesuatu yang menurut saya sama
dengan Indonesia Raya, terutama pada bait ke-2. Di situ terdapat lirik
“Tanahnya tumpah darahku” yang menurut saya identik dengan “Tanah tumpah
darahku”. Apakah Malaysia menjiplak lirik itu? Menurut saya pribadi, tidak.
Pencipta lagu Negaraku yang yang multi pasti terinsiprasi oleh lirik dalam
Indonesia Raya.
Bukan hanya Malaysia, negeri jiran lainnya yang serumpun, Singapura
juga demikian. Lagu Majulah Singapura memiliki kemiripan lirik dengan Indonesia
Raya. Hanya saja sedikit berbeda liriknya. Lirik “Marilah kita bersatu” hampir
pasti mirip dengan “Marilah kita berseru”. Singapura menjiplak? Menurut saya,
juga tidak. Pencipta lagu ini, Zubir Said –yang punya hubungan darah dengan
artis Nirina Zubir--- adalah orang Minangkabau yang sebelumnya berwarga negara
Indonesia, yang kemudian pindah ke Singapura. Sudah
pasti ia terinspirasi Indonesia Raya.
Ingat! Di kawasan Nusantara ---jika merunut pada kekuasaan
Majapahit--- Indonesia merupakan negara yang pertama kali merdeka dari
penjajahan. Tentu lagu Indonesia Raya yang disertakannya juga didengar
orang-orang Melayu di luar Indonesia. Mereka pun mengerti, dan seperti saya
bilang tadi, terinspirasi ketika hendak menciptakan saat negaranya merdeka. Namun ada yang perlu dicatat juga. Baik
Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga menggunakan kata “maju”. Hanya tersusun
dari 4 kata tetapi sepertinya ampuh. Entah karena kata “maju” dalama Indonesia Raya tersembunyi sebab berada pada stanza 3, sehingga semua orang tidak
mengetahui, atau karena rakyat di negeri ini tidak memahami apa itu kata “maju",
kenyataannya malah dua negara jiran itu yang maju. Hm...
0 komentar:
Posting Komentar