Balai Kota Cirebon (wikipedia.org) |
Sinar matahari menerangi patung-patung berbentuk udang tersebut.
Warna keemasan itu pun menjadi terlihat jelas. Patung udang itu, yang berjumlah
4 buah, nampak begitu setia menempel pada 4 sisi bangunan yang di
tengah-tengahnya terpasang sebuah lambang bergambar udang, dan bertulisan Gemah
Ripah Loh Jinawi. Lalu di bawahnya lagi bertulisan Balai Kota Cirebon.
***
Udang yang tertera pada bangunan dan lambang itu memang ciri khas
kota Cirebon, sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai letak cukup
strategis. Berada di utara Jawa Barat dan selintasan dengan jalur pantura.
Letak yang strategis ini cukup menguntungkan Cirebon. Kota ini, baik dari
pelabuhan maupun jalannya menjadi ramai apalagi ketika musim mudik tiba. Ia
menjadi sebuah gerbang menuju ke Jawa Tengah.
Di Cirebonlah semua keunikan ada. Meski terletak di Provinsi Jawa
Barat, bukan berarti ia kota yang penduduknya berbahasa Sunda. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Cirebonan. Campuran antara bahasa Sunda dan Jawa.
Alasan mengapa Cirebon yang kulturnya bukanlah kultur Sunda dimasukkan ke dalam
Provinsi Jawa Barat lebih pada alasan historis dan budaya semata. Begitulah
yang saya dapatkan kala dari seorang pemandu wisata di Keraton Kasepuhan, salah
satu keraton dari 3 keraton yang ada di Cirebon. Ia juga bilang Cirebon dahulu
oleh Belanda dimasukkan ke dalam wilayah Parahyangan Timur.
Sejarah Cirebon sebagai sebuah tempat yang kemudian menjadi kota
sejujurnya tidaklah lepas dari udang. Karena dari udanglah, Cirebon akhirnya
menjadi ramai dan dikenal. Awal mulanya, Ki Gedeng Alang-Alang, salah seorang
penguasa Cirebon yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh, menerima
kedatangan seorang pangeran Pajajaran bernama Raden Walasungsang yang kemudian bergelar
Pangeran Cakrabuana. Melihat tempat yang didatanginya cukup strategis, sang
pangeran kemudian meminta izin membuka lahan lalu menambak udang. Menurut salah
satu cerita, udang yang kemudian ditambak itu kemudian diolah menjadi terasi
setelah sebelumnya hanya menjadi makanan biasa. Proses menjadi terasi itu
muncul ketika salah seorang pengunjung menyukai air yang digunakan memasak
bersama udang begitu harum dan nikmat. Maka, semenjak itulah sang pangeran
menggiatkan terasi yang berasal dari udang. Nama Cirebon sendiri pun
beretimologi dari air (ci) dan udang (rebon: udang kecil).
Perkembangan selanjutnya, Cirebon yang hanya sebuah wilayah
beralang-alang di tepi pantai menjadi ramai. Hal itu membuat Kerajaan Galuh
meminta upeti, namun ditolak pihak Cirebon sehingga terjadilah pertempuran yang
kemudian dimenangkan Cirebon dengan bantuan dari Banten dan Demak. Semenjak
itulah, Cirebon menjadi salah satu kesultanan Islam terkuat di Jawa.
Mengenai penyebaran Islam, Cirebon memang termasuk di dalamnya. Di
sinilah karena adanya interaksi dengan dunia luar, Cirebon menjadi pusat
penyebaran islam di timur Jawa Barat. Di kota inilah kemudian muncul nama-nama
seperti Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah. Cirebon pun menjadi kota
yang islami dan mendapat julukan “kota wali”. Ciri khas keislamian Cirebon itu
sampai sekarang masih terlihat pada bentuk-bentuk bangunan mulai dari keraton
hingga masjid. Yang semuanya berpadu dengan unsur-unsur lokal. Selain itu,
kaligrafi berbahasa Arab dengan tulisan asmaul husna bertebaran di tiap papan
nama jalan. Menunjukkan bahwa Cirebon benar-benar islami meski mereka juga
bertoleransi terhadap pemeluk agama lain, seperti Kristen. Hal itu ditandai
dengan adanya gereja di Pelabuhan Cirebon di kawasan kota lama. Nama gereja itu
St.Yusuf, dan merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda di Cirebon.
Makna toleransi pun juga tercatat pada kereta Kesultanan Cirebon di Keraton
Kasepuhan, Singa Barong, yang berbentuk burak, gajah, dan naga serta memegang tiga
tombak. Tiap binatang yang digabung satu melambangkan persahabatan dan
toleransi. Gajah dengan India yang beragama Hindu. Burak dengan Arab-Mesir yang
beragama Islam, dan naga dengan Cina yang beragama Buddha. Toleransi lainnya
adalah keramik kisah alkitab yang dipajang di Keraton Kasepuhan.
Letaknya yang strategis tak pelak mengundang bangsa barat, termasuk
Belanda untuk datang, dan akhirnya menguasai Cirebon. Kesultanan itu lalu
dijadikan protektorat, dan kemudian pada 1906 dinaikkan menjadi gemeente
atau kota madya hingga sekarang. Oleh Belanda juga, pada saat pemerintahan Daendels, Cirebon dimasukkan sebagai salah
satu wilayah yang dilalui Jalan Raya Pos sehabis dari Sumedang. Inilah yang
kemudian membuat Cirebon tambah ramai.
Cirebon memang kota yang sarat dengan banyak cagar budaya. Sayang,
sepertinya tidak semua cagar budaya itu diperhatikan. Salah satunya Taman Gua
Sunyaragi yang nampak terbengkalai dan tidak terurus. Taman yang tersusun dari
batu karang itu malah menjadi objek vandalisme tidak keruan. Kering kerontang,
dan malah dijadikan tempat berduaan. Nampak kemalasan yang begitu hebat kala
menyambanginya akibat kurangnya dana. Begitu juga Keraton Kasepuhan. Orang pun
bisa lalu-lalang keluar-masuk keraton yang nampaknya malah menjadi kurang
sakral.
Meski begitu, Cirebon merupakan kota yang relatif tenang.
Kendaraannya sedikit. Tidak ada kemacetan. Jalan cukup lebar meski berdebu dan
cuacanya cukup panas karena letak begitu dekat dengan laut. Panasnya malah melebihi
Jakarta.
***
Udang-udang itu nampak masih terus setia menempel meskipun matahari
sudah hendak melewati batas senja. Warna keemasan itu perlahan memudar. Sinar
matahari kini pun berganti dengan sinar lampu, yang meskipun terang tetapi
tetap tidak mampu menyandinginya. Andaikata udang-udang yang kini menjadi
lambang dari Cirebon tidak ada, mungkin Cirebon tidak akan pernah lahir.
0 komentar:
Posting Komentar