Pages

Senin, 24 Desember 2012

Dari Udang Naik ke Kota

Balai Kota Cirebon
(wikipedia.org)

Sinar matahari menerangi patung-patung berbentuk udang tersebut. Warna keemasan itu pun menjadi terlihat jelas. Patung udang itu, yang berjumlah 4 buah, nampak begitu setia menempel pada 4 sisi bangunan yang di tengah-tengahnya terpasang sebuah lambang bergambar udang, dan bertulisan Gemah Ripah Loh Jinawi. Lalu di bawahnya lagi bertulisan Balai Kota Cirebon.
***
Udang yang tertera pada bangunan dan lambang itu memang ciri khas kota Cirebon, sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai letak cukup strategis. Berada di utara Jawa Barat dan selintasan dengan jalur pantura. Letak yang strategis ini cukup menguntungkan Cirebon. Kota ini, baik dari pelabuhan maupun jalannya menjadi ramai apalagi ketika musim mudik tiba. Ia menjadi sebuah gerbang menuju ke Jawa Tengah.

Di Cirebonlah semua keunikan ada. Meski terletak di Provinsi Jawa Barat, bukan berarti ia kota yang penduduknya berbahasa Sunda. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Cirebonan. Campuran antara bahasa Sunda dan Jawa. Alasan mengapa Cirebon yang kulturnya bukanlah kultur Sunda dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat lebih pada alasan historis dan budaya semata. Begitulah yang saya dapatkan kala dari seorang pemandu wisata di Keraton Kasepuhan, salah satu keraton dari 3 keraton yang ada di Cirebon. Ia juga bilang Cirebon dahulu oleh Belanda dimasukkan ke dalam wilayah Parahyangan Timur.

Sejarah Cirebon sebagai sebuah tempat yang kemudian menjadi kota sejujurnya tidaklah lepas dari udang. Karena dari udanglah, Cirebon akhirnya menjadi ramai dan dikenal. Awal mulanya, Ki Gedeng Alang-Alang, salah seorang penguasa Cirebon yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh, menerima kedatangan seorang pangeran Pajajaran bernama Raden Walasungsang yang kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana. Melihat tempat yang didatanginya cukup strategis, sang pangeran kemudian meminta izin membuka lahan lalu menambak udang. Menurut salah satu cerita, udang yang kemudian ditambak itu kemudian diolah menjadi terasi setelah sebelumnya hanya menjadi makanan biasa. Proses menjadi terasi itu muncul ketika salah seorang pengunjung menyukai air yang digunakan memasak bersama udang begitu harum dan nikmat. Maka, semenjak itulah sang pangeran menggiatkan terasi yang berasal dari udang. Nama Cirebon sendiri pun beretimologi dari air (ci) dan udang (rebon: udang kecil).

Perkembangan selanjutnya, Cirebon yang hanya sebuah wilayah beralang-alang di tepi pantai menjadi ramai. Hal itu membuat Kerajaan Galuh meminta upeti, namun ditolak pihak Cirebon sehingga terjadilah pertempuran yang kemudian dimenangkan Cirebon dengan bantuan dari Banten dan Demak. Semenjak itulah, Cirebon menjadi salah satu kesultanan Islam terkuat di Jawa.

Mengenai penyebaran Islam, Cirebon memang termasuk di dalamnya. Di sinilah karena adanya interaksi dengan dunia luar, Cirebon menjadi pusat penyebaran islam di timur Jawa Barat. Di kota inilah kemudian muncul nama-nama seperti Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah. Cirebon pun menjadi kota yang islami dan mendapat julukan “kota wali”. Ciri khas keislamian Cirebon itu sampai sekarang masih terlihat pada bentuk-bentuk bangunan mulai dari keraton hingga masjid. Yang semuanya berpadu dengan unsur-unsur lokal. Selain itu, kaligrafi berbahasa Arab dengan tulisan asmaul husna bertebaran di tiap papan nama jalan. Menunjukkan bahwa Cirebon benar-benar islami meski mereka juga bertoleransi terhadap pemeluk agama lain, seperti Kristen. Hal itu ditandai dengan adanya gereja di Pelabuhan Cirebon di kawasan kota lama. Nama gereja itu St.Yusuf, dan merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda di Cirebon. Makna toleransi pun juga tercatat pada kereta Kesultanan Cirebon di Keraton Kasepuhan, Singa Barong, yang berbentuk burak, gajah, dan naga serta memegang tiga tombak. Tiap binatang yang digabung satu melambangkan persahabatan dan toleransi. Gajah dengan India yang beragama Hindu. Burak dengan Arab-Mesir yang beragama Islam, dan naga dengan Cina yang beragama Buddha. Toleransi lainnya adalah keramik kisah alkitab yang dipajang di Keraton Kasepuhan.

Letaknya yang strategis tak pelak mengundang bangsa barat, termasuk Belanda untuk datang, dan akhirnya menguasai Cirebon. Kesultanan itu lalu dijadikan protektorat, dan kemudian pada 1906 dinaikkan menjadi gemeente atau kota madya hingga sekarang. Oleh Belanda juga, pada saat pemerintahan  Daendels, Cirebon dimasukkan sebagai salah satu wilayah yang dilalui Jalan Raya Pos sehabis dari Sumedang. Inilah yang kemudian membuat Cirebon tambah ramai.

Cirebon memang kota yang sarat dengan banyak cagar budaya. Sayang, sepertinya tidak semua cagar budaya itu diperhatikan. Salah satunya Taman Gua Sunyaragi yang nampak terbengkalai dan tidak terurus. Taman yang tersusun dari batu karang itu malah menjadi objek vandalisme tidak keruan. Kering kerontang, dan malah dijadikan tempat berduaan. Nampak kemalasan yang begitu hebat kala menyambanginya akibat kurangnya dana. Begitu juga Keraton Kasepuhan. Orang pun bisa lalu-lalang keluar-masuk keraton yang nampaknya malah menjadi kurang sakral.

Meski begitu, Cirebon merupakan kota yang relatif tenang. Kendaraannya sedikit. Tidak ada kemacetan. Jalan cukup lebar meski berdebu dan cuacanya cukup panas karena letak begitu dekat dengan laut. Panasnya malah melebihi Jakarta.
***
Udang-udang itu nampak masih terus setia menempel meskipun matahari sudah hendak melewati batas senja. Warna keemasan itu perlahan memudar. Sinar matahari kini pun berganti dengan sinar lampu, yang meskipun terang tetapi tetap tidak mampu menyandinginya. Andaikata udang-udang yang kini menjadi lambang dari Cirebon tidak ada, mungkin Cirebon tidak akan pernah lahir.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran