Garuda di dadaku
Garuda kebangaanku
Kuyakin hari ini pasti menang
Lirik lagu di atas, tentu semua orang tahu dan mengenalnya. Lirik itu berasal dari lagu Garuda Di Dadaku yang dinyanyikan band Netral untuk menyemangati tim nasional olahraga Indonesia yang akan dan sedang bertanding. Sebuah lirik yang nadanya terpengaruh dari Apuse, lagu rakyat di Indonesia Timur.
Dalam lirik itu terlihat sekali, kata "Garuda" menjadi begitu penting dan sakral, khususnya di Indonesia. Di negeri ini, Garuda adalah sebuah lambang negara, nama maskapai penerbangan nasional, nama sebuah taman budaya di Bali, nama kontingen pasukan militer Indonesia yang akan bertugas di luar negeri atas mandat PBB, lambang sebuah universitas, julukan untuk timnas sepak bola Indonesia, dan juga identitas pariwisata Indonesia yang ber-tagline: Wonderful Indonesia.
Kata Garuda pun juga menjadi sakral ketika digabungkan dengan kata Pancasila, yang kemudian menjadi sebuah lagu nasional. Bahkan, karena sakralnya, tentu saja penghinaan atau pemakaian tanpa izin lambang oleh orang asing ini bisa menjadi sebuah penghinaan dan juga pencurian identitas nasional. Di masa Konfrontasi dengan Malaysia, Bung Karno marah besar ketika Garuda sebagai lambang negara diinjak-injak oleh orang-orang Malaysia di depan Tunku Abdul Rahman. Dua tahun yang lalu, semua orang di negeri ini heboh ketika rumah desain kondang, Giorgio Armani, membuat sebuah kaus yang desainnya mirip dengan Garuda.
Garuda, juga karena kesakralannya, pernah diperkarakan David Tobing dua tahun yang lalu. Persoalannya, timnas sepak bola Indonesia, dalam setiap bertanding sejak 1956 selalu memakai lambang garuda di dada. Pemakaian demikian, menurut David, jelas melanggar pasal pemakaian lambang negara tanpa izin. Tentu saja, pelanggaran demikian haruslah diberi hukuman. Perkara yang diajukannya memang benar, sayang ia mengajukannya ketika timnas sedang bermain bagus, sehingga ada yang bilang aji mumpung. Pemakaian lambang itu memang tidak boleh, tetapi Bung Karno, pada waktu sebagai kepala negara, mengiyakan saja, dan terbawa hingga sekarang.
Sejujurnya, Garuda bukanlah makhluk asli Indonesia. Ia hanyalah saduran yang diambil Mitologi Jawa dan Bali dari India. Ingat! Mitologi kedua suku bangsa itu, juga Sunda sangat terpengaruh oleh India yang kental akan Hinduisme (hanya Dewi Sri atau Nyi Pohaci yang bisa dibilang asli). Di negara asalnya, India, dalam bahasa Sansekerta, Garuda disebut Garud (गरुड) yang berarti elang. Memang, dalam perawakannya, wahana Dewa Wisnu ini, berwujud elang, namun separuh manusia. Di dalam mitologi, diceritakan bahwa Garuda adalah raja burung musuh para ular. Keturunan Kasyapa dan Winata. Ia diberi kebebasan oleh orangtuanya untuk memangsa manusia, kecuali kaum Brahmana. Pernah pada suatu ketika, ia memangsa salah satu kaum Brahmana. Akibatnya, tenggorokannya terbakar, dan ia muntahkan kembali.
Dari India, yang kemudian menyebarkan ajaran Hindu, juga Buddha, Garuda pun menjadi populer, dan ada di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Namun perawakannya berbeda-beda. Ada yang berwujud setengah manusia, setengah burung, dan ada juga yang berwujud burung saja. Di Jepang ---Garuda disebut Karura--- dan beberapa negara ASEAN seperti Thailand (di sana Garuda disebut dengan Khrut Pa), Garuda berwujud setengah manusia, setengah burung. Sedangkan di Indonesia benar-benar berwujud burung. Namun, di Jepang, Garuda hanyalah sebatas cerita dalam mitologi. Di India dan negara-negara ASEAN, Garuda dipakai dalam kehidupan nyata. Makhluk mitologi ini pun kemudian juga ditampilkan dalam sebuah kartun dari Jepang, Digimon dengan nama Garudamon.
Nah, Garuda di Indonesia yang berwujud burung itu, bahkan boleh dibilang itu adalah representasi elang jawa, satwa asli Indonesia. Di sinilah terletak kearifan lokal bangsa ini yang hanya menyadur kemudian mengkondisikan dengan lingkungan sekitar. Dalam mitologi Jawa dan Bali, bentuk Garuda memang hampir mirip dengan yang di India, namun ketika hendak dijadikan lambang negara, Sultan Hamid II dari Pontianak yang mendesain lambang itu masih seperti dalam mitologi, hingga kemudian oleh Bung Karno dirubah tidak antromorfomik.
Perihal mengapa Garuda menjadi lambang negara, bisa dibilang merupakan inspirasi Bung Karno yang memang mengetahui dan menggemari cerita mitologi Jawa. Telah disebutkan di atas, bahwa Garuda adalah musuh para ular. Sebuah relief di Candi Kidal, Malang, Jawa Timur, menggambarkan proses kelahiran Garuda yang kemudian di masa kecilnya diteror para ular besar. Namun, Garuda kecil itu bertumbuh besar, dan bisa melawan ular-ular tersebut. Relief itu, menurut sebagian besar orang, yang menginspirasi Bung Karno memilih Garuda menjadi lambang negara. Menurutnya, Garuda dalam relief itu adalah perlambang rakyat Indonesia yang terjajah melawan para ular yang digambarkan sebagai penjajah. Bung Karno bisa dibilang kagum dengan sosok Garuda yang terlihat gagah dan berwibawa, serta berani melawan siapa pun yang menindas.
Garuda memang sakral. Lambang identitas nasional yang tidak boleh diinjak-injak atau dimain-mainkan. Tentu semua ingat bagaimana kasus almarhum Harry Roesli mengubah lirik lagu Garuda Pancasila? Meskipun, di Aceh, terutama oleh para mantan GAM seperti tercantum dalam buku yang ditulis Indra J. Pilliang, Bouraq-Singa vs Garuda: Pengaruh Lambang Separatisme GAM Terhadap RI, menganggap Garuda (Gereuda) adalah makhluk pemangsa ternak. Juga simbolisme Hindu yang berlawanan dengan kondisi masyarakat Aceh yang islami. Ini seperti yang tercantum dalam cerita rakyat Aceh, dan gambaran pada masa DOM.
Namun, sepertinya, pelambangan Garuda seperti yang diharapkan Bung Karno, tidaklah nampak sebab bangsa ini malah semakin diracunbisakan oleh ular-ular imprealis, musuh yang seharusnya dibinasakan Garuda.
Garuda kebangaanku
Kuyakin hari ini pasti menang
Lirik lagu di atas, tentu semua orang tahu dan mengenalnya. Lirik itu berasal dari lagu Garuda Di Dadaku yang dinyanyikan band Netral untuk menyemangati tim nasional olahraga Indonesia yang akan dan sedang bertanding. Sebuah lirik yang nadanya terpengaruh dari Apuse, lagu rakyat di Indonesia Timur.
wikipedia.org |
Dalam lirik itu terlihat sekali, kata "Garuda" menjadi begitu penting dan sakral, khususnya di Indonesia. Di negeri ini, Garuda adalah sebuah lambang negara, nama maskapai penerbangan nasional, nama sebuah taman budaya di Bali, nama kontingen pasukan militer Indonesia yang akan bertugas di luar negeri atas mandat PBB, lambang sebuah universitas, julukan untuk timnas sepak bola Indonesia, dan juga identitas pariwisata Indonesia yang ber-tagline: Wonderful Indonesia.
Kata Garuda pun juga menjadi sakral ketika digabungkan dengan kata Pancasila, yang kemudian menjadi sebuah lagu nasional. Bahkan, karena sakralnya, tentu saja penghinaan atau pemakaian tanpa izin lambang oleh orang asing ini bisa menjadi sebuah penghinaan dan juga pencurian identitas nasional. Di masa Konfrontasi dengan Malaysia, Bung Karno marah besar ketika Garuda sebagai lambang negara diinjak-injak oleh orang-orang Malaysia di depan Tunku Abdul Rahman. Dua tahun yang lalu, semua orang di negeri ini heboh ketika rumah desain kondang, Giorgio Armani, membuat sebuah kaus yang desainnya mirip dengan Garuda.
Garuda, juga karena kesakralannya, pernah diperkarakan David Tobing dua tahun yang lalu. Persoalannya, timnas sepak bola Indonesia, dalam setiap bertanding sejak 1956 selalu memakai lambang garuda di dada. Pemakaian demikian, menurut David, jelas melanggar pasal pemakaian lambang negara tanpa izin. Tentu saja, pelanggaran demikian haruslah diberi hukuman. Perkara yang diajukannya memang benar, sayang ia mengajukannya ketika timnas sedang bermain bagus, sehingga ada yang bilang aji mumpung. Pemakaian lambang itu memang tidak boleh, tetapi Bung Karno, pada waktu sebagai kepala negara, mengiyakan saja, dan terbawa hingga sekarang.
Sejujurnya, Garuda bukanlah makhluk asli Indonesia. Ia hanyalah saduran yang diambil Mitologi Jawa dan Bali dari India. Ingat! Mitologi kedua suku bangsa itu, juga Sunda sangat terpengaruh oleh India yang kental akan Hinduisme (hanya Dewi Sri atau Nyi Pohaci yang bisa dibilang asli). Di negara asalnya, India, dalam bahasa Sansekerta, Garuda disebut Garud (गरुड) yang berarti elang. Memang, dalam perawakannya, wahana Dewa Wisnu ini, berwujud elang, namun separuh manusia. Di dalam mitologi, diceritakan bahwa Garuda adalah raja burung musuh para ular. Keturunan Kasyapa dan Winata. Ia diberi kebebasan oleh orangtuanya untuk memangsa manusia, kecuali kaum Brahmana. Pernah pada suatu ketika, ia memangsa salah satu kaum Brahmana. Akibatnya, tenggorokannya terbakar, dan ia muntahkan kembali.
Dari India, yang kemudian menyebarkan ajaran Hindu, juga Buddha, Garuda pun menjadi populer, dan ada di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Namun perawakannya berbeda-beda. Ada yang berwujud setengah manusia, setengah burung, dan ada juga yang berwujud burung saja. Di Jepang ---Garuda disebut Karura--- dan beberapa negara ASEAN seperti Thailand (di sana Garuda disebut dengan Khrut Pa), Garuda berwujud setengah manusia, setengah burung. Sedangkan di Indonesia benar-benar berwujud burung. Namun, di Jepang, Garuda hanyalah sebatas cerita dalam mitologi. Di India dan negara-negara ASEAN, Garuda dipakai dalam kehidupan nyata. Makhluk mitologi ini pun kemudian juga ditampilkan dalam sebuah kartun dari Jepang, Digimon dengan nama Garudamon.
Nah, Garuda di Indonesia yang berwujud burung itu, bahkan boleh dibilang itu adalah representasi elang jawa, satwa asli Indonesia. Di sinilah terletak kearifan lokal bangsa ini yang hanya menyadur kemudian mengkondisikan dengan lingkungan sekitar. Dalam mitologi Jawa dan Bali, bentuk Garuda memang hampir mirip dengan yang di India, namun ketika hendak dijadikan lambang negara, Sultan Hamid II dari Pontianak yang mendesain lambang itu masih seperti dalam mitologi, hingga kemudian oleh Bung Karno dirubah tidak antromorfomik.
Perihal mengapa Garuda menjadi lambang negara, bisa dibilang merupakan inspirasi Bung Karno yang memang mengetahui dan menggemari cerita mitologi Jawa. Telah disebutkan di atas, bahwa Garuda adalah musuh para ular. Sebuah relief di Candi Kidal, Malang, Jawa Timur, menggambarkan proses kelahiran Garuda yang kemudian di masa kecilnya diteror para ular besar. Namun, Garuda kecil itu bertumbuh besar, dan bisa melawan ular-ular tersebut. Relief itu, menurut sebagian besar orang, yang menginspirasi Bung Karno memilih Garuda menjadi lambang negara. Menurutnya, Garuda dalam relief itu adalah perlambang rakyat Indonesia yang terjajah melawan para ular yang digambarkan sebagai penjajah. Bung Karno bisa dibilang kagum dengan sosok Garuda yang terlihat gagah dan berwibawa, serta berani melawan siapa pun yang menindas.
Garuda memang sakral. Lambang identitas nasional yang tidak boleh diinjak-injak atau dimain-mainkan. Tentu semua ingat bagaimana kasus almarhum Harry Roesli mengubah lirik lagu Garuda Pancasila? Meskipun, di Aceh, terutama oleh para mantan GAM seperti tercantum dalam buku yang ditulis Indra J. Pilliang, Bouraq-Singa vs Garuda: Pengaruh Lambang Separatisme GAM Terhadap RI, menganggap Garuda (Gereuda) adalah makhluk pemangsa ternak. Juga simbolisme Hindu yang berlawanan dengan kondisi masyarakat Aceh yang islami. Ini seperti yang tercantum dalam cerita rakyat Aceh, dan gambaran pada masa DOM.
Namun, sepertinya, pelambangan Garuda seperti yang diharapkan Bung Karno, tidaklah nampak sebab bangsa ini malah semakin diracunbisakan oleh ular-ular imprealis, musuh yang seharusnya dibinasakan Garuda.