Pages

Rabu, 14 Oktober 2020

Musuh dan Sekutu Kekhalifahan Usmaniyah dari Abad ke-16 hingga Awal Abad ke-20

Kekhalifahan Usmaniyah merupakan salah satu negara kekaisaran terbesar yang ada di muka bumi. Berdiri sejak 1299 melalui seorang pemimpin suku nomaden Turki bernama Usman, Ustmaniyah mulai menjadi salah satu kekuatan paling berpengaruh di Eropa dan Asia terutama sejak takluknya Konstantinopel pada 1453 melalui tangan Sultan Muhammad Al Fatih.




Dari sinilah Ustmaniyah mempunyai banyak musuh di Eropa. Tak hanya di Eropa, Kekhalifahan Islam terakhir ini juga mempunyai musuh di Asia. Meski begitu, ada pihak-pihak yang bersekutu dengan kekhalifahan yang kekuasaannya di tiga benua termasuk di dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah. Lalu siapakah musuh dan sekutu Ustmaniyah terutama dari abad ke-16 hingga awal abad ke-20 itu? Yuk, tanpa berlama-lama simak penjelasan di bawah ini.

Musuh-musuh Usmaniyah

Monarki Habsburg



Para sejarawan dan penikmat sejarah sudah sepakat bahwa musuh besar Ustmaniyah di Eropa pertama kali semenjak Konstantinopel jatuh dan berubah jadi Istanbul adalah Habsburg. Habsburg adalah sebuah monarki yang berpusat di Wina, Austria. Monarki ini sebenarnya adalah gabungan kerajaan-kerajaan yang berada di Eropa termasuk Spanyol yang menguasai negara-negara Beneluks (Belgia, Belanda, dan Luksemburg). Selain Spanyol, kerajaan lain yang juga ada dalam monarki yang berdiri sejak 1282 itu adalah Jerman, Bohemia, dan Hungaria. Jadi, bisa disimpulkan Habsburg adalah Uni Eropa di masa lampau. Rajanya yang terkenal adalah Charles V yang juga menjadi raja di Spanyol dan Romawi Suci.

Persinggungan pertama Habsburg dan Ustmaniyah dimulai pada Pertempuran Mohacs di tahun 1526 memperebutkan Hungaria. Dalam pertempuran, Ustmaniyah yang dipimpin oleh Sultan Sulaiman berhasil mengalahkan Habsburg yang dipimpin oleh Raja Louis II dari Hungaria. Kemenangan yang meyakinkan tersebut tentu saja membuat orang-orang Eropa begitu ketakutan. Setelah Konstantinopel jatuh, kini giliran wilayah Transyilvania dan Hungaria dikuasai. 

Dari sekian pertempuran yang akan terus diingat dalam sejarah antara kedua kekaisaran ini adalah pertempuran di Lepanto pada 1571 dan Pengepungan Wina yang kedua pada 1683. Kedua pertempuran itu berujung pada kegagalan Ustmaniyah dalam ekspansi yang lebih ke luas ke Eropa. Kekalahan itu tentu saja sangat disyukuri oleh orang-orang Kristen Eropa yang masih traumatis akan kejatuhan Konstantinopel. Pertempuran Lepanto bagi banyak  orang Katolik dianggap sebagai sebuah mukjizat karena jumlah armada kapal laut untuk melawan Ustmaniyah masih kalah jauh namun di luar dugaan mereka bisa memenangi perang. Pertempuran terbesar dalam sejarah itu juga memopulerkan penggunaan doa Rosario yang sakral bagi orang Katolik hingga saat ini. Sedangkan Pengepungan Wina Kedua yang gagal dianggap sebagai peristiwa yang menyelamatkan wajah Peradaban Barat. Tentu akan lain ceritanya jika pengepungan itu berhasil. Imbas dari pengepungan itu muncullah roti Croissant sebagai ejekan bagi kekalahan Ustmaniyah.

Habsburg bertarung dengan Ustmaniyah hingga akhir abad ke-19. Dalam pertempuran yang banyak terjadi di wilayah Balkan itu, Habsburg yang kemudian terkenal dengan nama Austria-Hongaria juga berhasil menguasai wilayah-wilayah Turki di Balkan seperti Serbia, Montenegro, Kroasia, dan Bosnia. Dalam konflik di Balkan ini Habsburg berkoalisi dengan Rusia yang juga punya kepentingan di wilayah Eropa Timur. Namun pada Perang Dunia Pertama kedua kekaisaran ini malah menjadi sekutu bergabung dengan Jerman. Sayangnya, Blok Sentral koalisi ini keok di tangan Sekutu. Pada akhirnya setelah PD I, kedua-duanya bubar dan menjadi negara republik modern yang terpisah-pisah, yaitu Republik Turki dan Republik Austria. Meski begitu, ingatan akan memori di masa silam masih terasa bagi keduanya. Ketika Turki hendak mengajukan diri sebagai negara anggota Uni Eropa, Austria menolak tegas, dan akhirnya Turki hingga sekarang belum bisa menjadi anggota UE.

Kekaisaran Portugis



Persinggungan antara Portugis dan Ustmaniyah kebanyakan berlangsung di lautan tidak seperti dengan Habsburg yang berada di daratan. Persinggungan ini terjadi ketika Portugis dalam masa kejayaan pada Era Penjelajahan Dunia Baru yang dipelopori oleh sang navigator ternama, Vasco da Gama. Adanya penjelajahan ini juga imbas dari jatuhnya Konstantinopel. Portugis dan Ustmaniyah bertarung di jalur rempah-rempah sekitar Samudra Hindia terutama di area Laut Merah, Teluk Aden, Teluk Persia, dan Selat Hormuz. Salah satu pertempuran yang paling diingat adalah Pengepungan Jeddah pada 1517 atau bertepatan dengan musim haji 923 H. Pertempuran yang dimenangkan Ustmaniyah merupakan pertempuran yang menyelamatkan wajah Islam dari serangan Portugis yang bermaksud menguasai Jeddah kemudian Mekkah dan Madinah sebagai bagian dari jalur rempah-rempah. 

Kekaisaran Safawiyah



Kekaisaran Safawiyah adalah salah satu dinasti yang pernah berkuasa di Iran. Dinasti ini didirikan oleh Ismail I pada 1501, dengan ibu kotanya di Tabriz, Iran. Safawiyah adalah Dinasti Islam pertama di Iran semenjak negara itu bebas dari kekuasaan-kekuasaan Khulafaur Rasyidin, Umayah, Abbasiyah, dan Seljuk. Safawiyah sendiri merupakan kekaisaran mandiri Iran pertama semenjak takluknya Sasaniyah, Kekaisaran Iran terakhir di tangan muslim saat ekpansi muslim ke Persia. Ismail I mengklaim dirinya adalah ahlulbait atau keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Hal itu tentu saja diragukan oleh Ustmaniyah yang juga menilai Ismail arogan dan menghina Sunni. Perlu diingat Safawiyah adalah Syiah. Hal inilah yang menyulut konfrontasi antara Safawiyah dan Usmaniyah.

Rivalitas kedua negara di daratan Asia itu berwujud dalam banyak peperangan. Peperangan kedua kubu pertama kali pecah pada Pertempuran Chaldiran yang terjadi pada 1514. Pertempuran ini sendiri dimenangkan oleh Usmaniyah. Pertempuran terakhir antara kedua kudu terjadi pada 1736 yang dimenangkan oleh Safawiyah dan kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai di Istanbul. Rivalitas kedua kubu ini juga melibatkan Portugis terutama di sekitaran Teluk Hormuz, tempat Portugis mendirikan pangkalan dagang. Antara Safawiyah dan Portugis memang menjalin aliansi untuk melawan dan mengusir Usmaniyah dari jalur rempah-rempah di Samudra Hindia. Setelah Kekaisaran Safawiyah berakhir, penerus-penerusnya juga masih berkonflik dengan Ustmaniyah seperti Zand dan Qajar. Ustmaniyah sendiri pada akhirnya lebih mengutamakan peperangan dengan Safawiyah berkaitan dengan mazhab atau aliran bukan dengan Habsburg yang secara akidah berbeda.

Kekaisaran Rusia



Selain dengan Habsburg di daratan Eropa, Ustmaniyah juga mempunyai rival yang tidak kalah hebatnya, yaitu Kekaisaran Rusia. Kekaisaran yang berdiri pada 1721 ini menjadi salah satu kekaisaran berpengaruh di Eropa terutama pada abad ke-17. Adalah Peter I yang berhasil membuat Rusia menjadi salah satu yang disegani di Eropa, dengan melakukan banyak modernisasi di berbagai bidang termasuk kemiliteran yang memang diarahkan pada Usmaniyah yang merupakan ancaman terbesar Kekaisaran. Meski begitu Kekaisaran Rusia baru berperang melawan Usmaniyah di masa Anna Ioanovna. Pertempuran dengan Usmaniyah terjadi pada 1735 hingga 1739. Perang ini sendiri dimenangkan oleh Rusia yang dibantu oleh Habsburg. Pertempuran besar selanjutnya terjadi pada masa Ratu Catherine, yaitu pada 1768 di Teluk Chesma, Turki. Lagi-lagi Rusia kembali memenangi perang, dan dibantu oleh Inggris.

Skala konflik kedua kekaisaran terus-menerus terjadi hingga awal abad ke-20, yaitu pada masa Perang Dunia Pertama. Akibat dari konflik yang terjadi terus-menerus itu Usmaniyah harus merelakan beberapa wilayahnya yang berbatasan dekat dengan Rusia diambil Rusia. Kekalahan demi kekalahan dari Rusia membuat Usmaniyah menurun wibawanya di beberapa wilayah kekuasaan. Tidak mengherankan jika Rusia kemudian dijadikan inspirasi oleh beberapa wilayah kekuasaan Usmaniyah di Balkan seperti Yunani yang akhirnya merdeka lalu Serbia dan Rumania. Kekalahan demi kekalahan ini juga akhirnya membuat Usmaniyah mendapat julukan pesakitan dari Eropa, dan membuat Kekhalifahan harus melakukan reformasi militer.

Ketika kedua negara berhadapan di medan Perang Dunia I, Rusia sesumbar akan merebut Istanbul dari Usmaniyah. Namun hal itu urung ketika Usmaniyah dengan bantuan Jerman menyiagakan dua kapal tempur di Selat Bosporus. Pada akhirnya ketika masih dalam keadaan berperang Kekaisaran Rusia akhirnya kolaps oleh Revolusi Bolshevik pada 1917. Rivalitas di masa silam itu masih sangat terasa hingga sekarang terutama dalam masalah Armenia dan konflik mengenai Nagorno-Karabakh. Perlu diketahui di masa Usmaniyah Armenia adalah salah satu wilayah Usmaniyah yang ingin memerdekakan diri dan bergabung dengan Rusia. Indikasi itu terlihat pada saat perang dengan Rusia, banyak orang Armenia yang lebih mendukung Rusia daripada Usmaniyah karena masalah keimanan. Akhirnya, Usmaniyah mengalami banyak kekalahan. Ketika terjadi Perang Dunia I hal yang sama juga berlaku. Usmaniyah menganggap orang Armenia adalah duri dalam daging sehingga terjadilah pembantaian orang-orang Armenia. Pembantaian itu sampai sekarang menjadi halangan hubungan antara Turki dan Armenia, dan Turki menyangkal melakukan pembantaian. Mengenai Nagorno-Karabakh adalah sudah kewajiban bagi Turki untuk membantu Azerbaijan yang masih satu ras melawan Armenia, musuh abadi yang didukung oleh Rusia.

Sekutu-sekutu Usmaniyah

Kerajaan Prancis



Di saat banyak negara Eropa memusuhi Usmaniyah tidak halnya dengan Prancis. Salah satu negara terbesar di Eropa ini malah memilih beraliansi dengan Ustmaniyah. Hal itu tentu saja membuat geger Eropa, dan tindakan ini dikecam oleh banyak kalangan agamawan terutama Paus di Vatikan. Namun rupanya ada alasan mengapa Prancis memilih bersekutu dengan Usmaniyah terutama di bidang budaya dan kemiliteran. Hal itu disebabkan oleh tidak sukanya Raja Prancis, Francis I terhadap dominasi Habsburg di Eropa. Puncaknya adalah pada Pertempuran Pavia pada 1525 yang membuat Francis I ditahan oleh Charles V. Hal ini membuat ibunda Francis, Louise, meminta bantuan pada Usmaniyah yang dipimpin oleh Sulaiman. Sulaiman tentu saja menyanggupi karena itu akan menjadi jalan bagi Usmaniyah untuk bisa ekspansi ke Eropa.

Aliansi kedua negara ini berjalan hingga 2,5 abad, dan terlihat cukup romantis bagi keduanya untuk sama-sama memerangi Habsburg meskipun dalam kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Misal pada penyerangan ke Italia terutama ke Naples, salah satu kerajaan yang bersekutu di dalam Habsburg. Penyerangan yang terjadi pada 1537 itu menurut rencana adalah Usmaniyah menyerang Naples dan Prancis menyerang Lombardia. Namun kenyataannya Prancis tidak melakukan sama sekali.  Begitu juga saat Hayredin Barbarosa ke Nice untuk membantu Prancis, kenyataannya raja Henry II lebih memilih berdamai dengan Habsburg sehingga bantuan itu berakhir prematur. Pada akhirnya, aliansi terpenting dalam sejarah dan membuat Habsburg bersekutu dengan Safawiyah ini berakhir setelah Napoleon secara tiba-tiba menginvasi Mesir, salah satu wilayah Usmaniyah pada 1798.

Kekhanan Bukhara



Kekhanan Bukhara adalah salah satu negara di Asia Tengah yang mayoritasnya adalah orang Uzbek, salah satu ras Turki. Kekhanan yang eksis pada abad ke-16 hingga 18 ini beribu kota di Bukhara, wilayah asal perawi hadis terkenal, Imam Bukhari. Salah satu pemimpin yang terkenal dari kekhanan ini adalah Muhammad Shaybani, salah satu keturunan Jengis Khan. Alasan Shaybani memilih bersekutu dengan Usmaniyah karena musuh yang sama, Safawiyah. Bahkan, Shaybani menawarkan diri menyerang Safawiyah. Sayang, Shaybani gugur dalam Pertempuran Merv di tahun 1510 saat melawan Safawiyah. Namun hal itu tidak menghilangkan keinginan orang-orang Uzbek untuk terus bersekutu dengan Usmaniyah dalam perang- perang selanjutnya melawan Safawiyah yang Syiah.

Kesultanan Aceh



Usmaniyah kenyataannya juga menjalin hubungan dengan Kesultanan Aceh di Nusantara yang dimulai dari masa Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahhar pada abad ke-16. Alasan Aceh mau bersekutu dengan Usmaniyah adalah karena menghadapi musuh yang sama; Portugis, yang kala itu bercokol di Malaka sejak 1511. 

Usmaniyah banyak membantu dalam bidang kemiliteran kepada Aceh dalam menghadapi Portugis. Bahkan, pada 1547 beberapa pasukan Usmaniyah terlibat dalam penyerangan ke Malaka. Aliansi ini tentu saja mengancam keberadaan Portugis di Selat Malaka. Portugis sendiri berusaha menghancurkan aliansi ini tetapi tidak berhasil. Selain membantu Aceh menghadapi Portugis, Usmaniyah juga membantu Aceh menaklukkan Aru dan Johor pada 1564. Bantuan militer dari Usmaniyah membuat Aceh menjadi salah satu kekuatan terbesar di Selat Malaka. Meski begitu ketika terjadi konflik dengan Belanda pada 1873 yang berujung pada Perang Aceh, Usmaniyah tidak bisa membantu Aceh karena terikat hukum perang di Eropa yang tidak membolehkan Usmaniyah ikut campur urusan Belanda. Pada akhirnya, bantuan yang sudah direncanakan itu dialihkan untuk memadamkan pemberontakan Zaidi, salah satu sekte Syi'ah di Yaman.

Hubungan Usmaniyah dan Aceh sebenarnya tidak hanya pada militer tetapi juga pada budaya dan pendidikan. Bahkan di Aceh terdapat makam ulama-ulama Turki di Bitai. Bendera Kesultanan Aceh pun terinspirasi dari bendera Usmaniyah. Hingga hari ini banyak orang Aceh yang merasa Turki adalah saudara seiman yang paling setia.

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran