Pages

Sabtu, 21 November 2020

Hikayat Inggris di Tanah Jawa dalam Dua Periode

Inggris di Tanah Jawa adalah periode ketika negara pulau yang terletak di Eropa tersebut menjejakkan kakinya di salah satu pulau tersubur dan terpenting di dunia itu untuk mengadministrasi kekuasaan dan menguasai pulau tersebut. Ternyata dalam sejarahnya sudah dua kali Negeri Ratu Elizabeth menginjakkan kaki di Pulau Jawa yang merupakan pulau pusat pemerintahan di Indonesia. Yang pertama adalah pada periode 1811-1816 dan kedua adalah periode 1945-1946. Lalu mengapa bisa Inggris, negara yang di masa silam punya julukan The Sun Never Sets in British Empire –karena punya banyak tanah jajahan- itu ada di Pulau Jawa? Yuk, mari kita simak penjelasan di bawah ini.



Periode Pertama (1811-1816)




Pada periode yang pertama ini Inggris datang ke Pulau Jawa karena untuk menggantikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Waktu itu, Belanda merupakan sekutu Prancis dalam era Napoleon Bonaparte. Sang jenderal yang kemudian menjadi kaisar itu lantas mendudukkan saudaranya, Lodewijk atau Louis, sebagai raja di Belanda setelah Prancis berhasil menduduki Belanda yang dibantu oleh orang-orang Belanda pro-Prancis. Dalam orang-orang Belanda pro-Prancis ini terdapat Willem Herman Daendels.

Nama tersebut tentu sudah tidak asing lagi bagi orang Indonesia. Sosok Daendels akan dikenang sebagai sosok yang kejam karena memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg dari Anyer hingga Panarukan pada masa pemerintahannya. Jalan itu dibangun untuk mobilisasi pasukan Belanda-Prancis dalam menghadapi serangan Inggris ke Jawa. Perlu diketahui, Inggris merupakan rival berat Prancis di Eropa selain Rusia dalam era Napoleon.

Kedatangan Inggris ke Pulau Jawa juga sudah merupakan mandat untuk mengakhiri kekuasaan Prancis di seberang lautan serta mendapat restu dari Willem V, wali negara Belanda terakhir di era Republik Belanda Bersatu yang tersingkirkan oleh Revolusi Batavia pro-Prancis pada dekade akhir 1790-an. Wali negara ini melarikan diri Inggris dan meminta bantuan negara tersebut setelahnya melalui Surat Kew.

Dalam sejarah Indonesia, periode pertama Inggris ini akan selalu muncul nama yang akrab di telinga, Sir Thomas Stamford Raffles. Sosok yang kemudian dikenal sebagai pendiri Singapura modern ini dipuja oleh banyak kalangan sebagai sosok yang cukup berhasil merombak dan merapikan administrasi pemerintahan di Jawa. Raffles yang mempunyai kecintaan pada dunia botani dikenal menerapkan sistem sewa tanah yang mewajibkan rakyat atau petani membayar pajak kepada pemerintah melalui uang sewa atas tanah yang digarap.

Selain itu, Raffles tertarik pada budaya Jawa dan mengekspresikan ketertarikannya melalui History of Java yang terkenal tersebut. Akan tetap, rupanya ada beberapa hal yang menodai keberadaan Inggris di Tanah Jawa. Tim Hannigan dalam bukuya, Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa menyebut, di masa Raffles berkuasa inilah Jawa dikacaubalaukan. Raffles mengubah tatanan kesopanan yang berlaku dari masa Belanda berkuasa saat berhadapan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa seperti Surakarta dan Yogyakarta, dan menimbulkan huru-hara melalui peristiwa bernama Geger Sepahi yang terjadi pada 1812, dan dipimpin oleh Rollo Gillespie. Peristiwa yang menghancurkan Keraton Yogyakarta dan seluruh isinya ini terjadi di masa Yogya dipimpin oleh Hamengkubuwono II yang kemudian digulingkan Hamengkubuwono III melalui bantuan Inggris.

Pada peristiwa ini Inggris mengerahkan sebagian besar pasukannya dari Resimen Benggala, India. Karena resimen inilah nama Sepehi yang berasal dari nama Sepoy, demikian orang-orang dari resimen tersebut, muncul. Peristiwa Geger Sepehi merupakan peristiwa yang amat mempengaruhi kewibawaan Keraton Yogyakarta dan memicu Perang Jawa setelahnya. Hingga hari ini dampak peristiwa memalukan tersebut masih sangat berbekas.

Periode Kedua (1945-1946)


Periode kedua kedatangan Inggris ke Jawa juga hampir mirip dengan periode pertama, yaitu transisi dan pemulihan kekuasaan. Hal ini ada hubungannya dengan akhir Perang Dunia Kedua. Ketika perang terbesar dalam sejarah umat manusia itu berakhir, Inggris yang merupakan salah satu pemenang perang ditugaskan oleh Amerika Serikat untuk melucuti kekuasaan Jepang yang berada di Pasifik Barat. Wilayah ini termasuk Sumatra dan Jawa.

Inggris datang sebagai pemegang komando SEAC yang berada di bawah pimpinan langsung Lord Louis Mountbatten. Kedatangan Inggris ke Jawa ini tentu saja tidak disukai oleh para pemuda karena ditengarai merupakan aksi untuk menjajah kembali Indonesia. Apalagi kedatangan Inggris juga diboncengi Belanda, yang memang sudah meminta Inggris mengembalikan lagi Indonesia yang dirampas oleh Jepang pada 1942. Awalnya, Inggris tidak mau ikut campur terhadap kobaran Revolusi 17 Agustus 1945 oleh para pemuda terutama di Surabaya, dan memilih netral.

Namun karena provokasi dari Belanda melalui NICA terjadilah beberapa pertempuran antara Inggris dan TKR serta para pemuda yang berpuncak pada tewasnya Jenderal A.W.S Mallaby pada November 1945. Menariknya adalah hampir semua tentara Inggris itu berasal dari India. Sama seperti periode pertama. Namun di periode kedua ini adalah dari Gurkha.

Pembunuhan Mallaby inilah yang kemudian membuat Inggris marah lantas membombardir Surabaya selama hampir sebulan dari enam hari yang diperkirakan. Peristiwa yang terkenal sebagai Pertempuran 10 November 1945 atau Pertempuran Surabaya itu membuat Inggris menyadari posisi mereka yang sebenarnya. Apalagi Parlemen Inggris juga getol meminta Inggris tidak ikut campur terhadap masalah yang terjadi di Indonesia, dan meminta Inggris menghormati kemerdekaan Indonesia.

Selain Pertempuran Surabaya, juga terdapat peristiwa Bandung Lautan Api pada 23 Maret 1946. Dua peristiwa besar ini kemudian membuat Inggris menarik diri dari Indonesia, dan lantas mendukung kemerdekaan Indonesia, dengan meminta Belanda dan Indonesia untuk berunding melalui Perjanjian Linggajati. Di kemudian hari, Inggris meminta maaf telah mengebom Surabaya seperti yang dikutip oleh Batara Hutagalung dalam Indonesia Tidak Pernah Dijajah.

Itulah Hikayat Inggris di Tanah Jawa yang terbagi dalam dua periode. Dapat disimpulkan kedatangan Inggris hanya sebagai pemulih kekuasaan, dan sebenarnya sudah melaksanakan tindakan sesuai prosedur. Sayangnya, ketetapan tersebut tidak berjalan sesuai dengan di lapangan. Raffles yang tergila-gila pada Jawa malah menghancurkan Yogyakarta karena ambisinya yang kelewatan, dan tentara Inggris di Surabaya yang kebingungan pada situasi setelah kemerdekaan serta tersulut oleh provokasi Belanda sehingga meluluhlantakan kota terbesar kedua di Indonesia tersebut.

Kamis, 12 November 2020

KRL Jogja-Solo Seperti Apa dan Bagaimana Pengoperasiannya?


Pengertian


KRL Jogja-Solo adalah layanan kereta rel listrik komuter yang melayani  rute Yogyakarta dan Solo yang masing-masing berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Layanan kereta rel listrik atau KRL ini merupakan yang pertama beroperasi di luar wilayah Jakarta dan sekitarnya atau Jabodetabek-Lebak. Karena itu, banyak orang yang mengasosikan KRL dengan Jakarta dan daerah-daerah penyangganya. Alasan dipilihnya Yogyakarta dan Solo sebagai tempat beroperasi selain Jabodetabek-Lebak adalah karena tingginya mobilitas masyarakat di kedua kota terutama yang menggunakan transportasi massal. Kebutuhan akan transportasi massal yang efisien, efektif, ekonomis, dan aman juga menjadi alasan lainnya. Kedua kota sebenarnya sudah mempunyai transportasi massal berupa kereta Prambanan Ekspres. Namun, kereta yang disingkat Prameks itu ternyata kehadirannya dirasa belum cukup jika dikaitkan dengan kecepatan dan efektivitas sebab masih memakai diesel sebagai mesin penggerak. Selain itu, daya angkut penumpang pada Prameks maksimal hanya 800. Bandingkan dengan KRL yang mampu mengangkut hingga 1.000 lebih. Kereta komuter Jogja-Solo sendiri diproyeksikan menggantikan Prameks.

Rute dan Stasiun


Rute untuk KRL Tanah Jawa ini sekitar 60 kilometer meliputi Yogyakarta-Klaten-Solo. Jarak ini tentu saja masih kalah jika dibandingkan dengan jarak KRL Jabodetabek-Lebak yang mencapai hingga 418 km. Rute yang digunakan ini juga menggunakan rute yang sudah ada, yang sebelumnya merupakan rute Prameks. Untuk stasiun sendiri, KRL Commuter Line Jogja-Solo mempunyai 11 stasiun, yaitu:

  • ·         Stasiun Yogyakarta
  • ·         Stasiun Lempuyangan
  • ·         Stasiun Maguwo
  • ·         Stasiun Srowot
  • ·         Stasiun Klaten
  • ·         Stasiun Ceper
  • ·         Stasiun Delanggu
  • ·         Stasiun Bawok
  • ·         Stasiun Purwosari
  • ·         Stasiun Solo Balapan

Yang perlu diketahui beberapa stasiun terletak dekat atau mempunyai akses ke tempat-tempat penting seperti tempat wisata atau fasilitas publik. Stasiun Yogyakarta dan Lempuyangan dekat dengan tempat-tempat penting di Yogyakarta seperti Keraton Yogyakarta, Benteng Vredeburg, dan Kebun Binatang Gembira Loka. Stasiun Brambanan dekat dengan Candi Prambanan  dan Candi Ratu Boko, Stasiun Maguwo dekat dengan Bandara Adi Sucipto, Stasiun Klaten dengan Watu Sepur Bayat, dan Stasiun Solo Balapan yang terkenal karena Didi Kempot dekat dengan Keraton Surakarta dan Benteng Vastenburg. Tentu saja letak stasiun yang dekat dengan tempat-tempat wisata akan semakin memudahkan akses jika ditempuh dengan KRL yang punya kecepatan 90 kilometer per jam. Bandingkan dengan Prameks yang hanya 70 km per jam. Ini seperti halnya di Jabodetabek-Lebak yang beberapa stasiunnya juga dekat dengan tempat-tempat wisata atau pemerintahan seperti Stasiun Jakartakota (kawasan Kota Tua Jakarta), Stasiun Bogor (Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor), Stasiun Sudirman (kawasan bisnis dan perdagangan), dan Stasiun Rangkasbitung (Museum Multatuli).

Operator


Operator KRL Jogja-Solo adalah PT KCI atau Kereta Commuter Indonesia, anak usaha PT KAI, yang juga mengoperasikan KRL Jabodetabek-Lebak sejak tahun 2008. PT KCI sendiri bermarkas di Jakarta tepatnya di Stasiun Juanda, salah satu stasiun KRL Jabodetabek-Lebak. Untuk daerah operasi, KRL Commuter Line Jogja Solo berada di Daerah Operasi 6 Yogyakarta.

Armada


Kereta listrik Jogja-Solo akan memakai armada berupa KRL KfW i9000, yaitu kereta listrik yang sebelumnya pernah beroperasi di lintas Jabodetabek-Lebak, dan terakhir sebelum dihentikan operasionalnya karena masalah teknis beroperasi di salah satu lintas, yaitu di jalur Jakartakota-Tanjung Priok. Kereta ini sendiri buatan PT INKA, BUMN yang memproduksi kereta api, dan Bombardier, perusahaan transportasi asal Kanada yang terkenal dengan berbagai produk kereta apinya untuk beberapa transportasi massal cepat seperti Berlin U-Bahn dan London Underground. KRL KfW ini tentu saja berbeda secara tampilan untuk lintas Jogja-Solo ini setelah dirapikan kembali di pabrik INKA di Madiun, yaitu mempunyai livery merah corak batik Jawa yang memang sesuai dengan Yogyakarta dan Solo sebagai dua pusat kebudayaan Jawa. Selain KRL KfW, kereta lain yang juga siap melintas adalah KRL JR-205 Series yang sudah malang-melintang di Jabodetabek-Lebak. KRL ini akan digunakan sebagai sarana untuk membantu dan melengkapi.

Tiket dan Harga



Untuk tiket KRL Jogja-Solo akan menggunakan tiket elektronik seperti halnya KRL Jabodetabek-Lebak. Tiket elektronik ini dapat berupa tiket harian berjaminan atau THB, kartu multi trip atau KMT, dan kartu elektronik dari bank seperti E-Money, Flazz, Brizzi, dan Tapcash. Untuk pembeliannya bisa dilakukan di konter loket stasiun pada THB dan KMT sedangkan kartu bank bisa di bank yang mengeluarkan kartu tersebut atau merchant-merchant yang bekerja sama dengan bank yang bersangkutan. Kartu elektronik ini juga bisa diisi ulang melalui konter atau vending machine sedangkan kartu bank pada bank atau merchant-merchant yang bermitra dengan bank-bank yang bersangkutan. Kartu-kartu ini kemudian di-tap di gate-gate elektronik yang ada di stasiun. Cara ini tentunya lebih praktis daripada Prameks yang masih mengandalkan tiket manual dan nomor tempat duduk.

Harga tiket juga akan sama seperti di Jabodetabek-Lebak, yaitu berdasarkan kilometer. Untuk 1-25 kilometer pertama tiket dihargai Rp 3.000, dan 10 kilometer berikutnya bertambah Rp 1.000 serta berlaku kelipatan. Namun hal ini masih menunggu penyesuaian lebih lanjut. Lalu apakah pengguna KRL Jabodetabek-Lebak bisa menggunakan layanan ini? Dilansir dari akun Twitter @AnkerTwitter pengguna di Jabodetabek bisa menggunakan KRL Commuter Line Jogja Solo dengan kartu elektronik yang ada.

Baca Juga: Jalur-jalur KRL Jabodetabek

Rencana Operasi



KRL Commuter Line Jogja-Solo hingga saat ini masih menjalani serangkaian uji coba sebagai proses adaptasi terhadap jalur-jalur dari Yogyakarta ke Solo yang sudah dielektrifikasi. Rencananya KRL Tanah Jawa ini akan beroperasi pada Januari 2021 jika tidak ada halangan sama sekali dan semua perangkat siap dijalankan.

Rabu, 14 Oktober 2020

Musuh dan Sekutu Kekhalifahan Usmaniyah dari Abad ke-16 hingga Awal Abad ke-20

Kekhalifahan Usmaniyah merupakan salah satu negara kekaisaran terbesar yang ada di muka bumi. Berdiri sejak 1299 melalui seorang pemimpin suku nomaden Turki bernama Usman, Ustmaniyah mulai menjadi salah satu kekuatan paling berpengaruh di Eropa dan Asia terutama sejak takluknya Konstantinopel pada 1453 melalui tangan Sultan Muhammad Al Fatih.




Dari sinilah Ustmaniyah mempunyai banyak musuh di Eropa. Tak hanya di Eropa, Kekhalifahan Islam terakhir ini juga mempunyai musuh di Asia. Meski begitu, ada pihak-pihak yang bersekutu dengan kekhalifahan yang kekuasaannya di tiga benua termasuk di dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah. Lalu siapakah musuh dan sekutu Ustmaniyah terutama dari abad ke-16 hingga awal abad ke-20 itu? Yuk, tanpa berlama-lama simak penjelasan di bawah ini.

Musuh-musuh Usmaniyah

Monarki Habsburg



Para sejarawan dan penikmat sejarah sudah sepakat bahwa musuh besar Ustmaniyah di Eropa pertama kali semenjak Konstantinopel jatuh dan berubah jadi Istanbul adalah Habsburg. Habsburg adalah sebuah monarki yang berpusat di Wina, Austria. Monarki ini sebenarnya adalah gabungan kerajaan-kerajaan yang berada di Eropa termasuk Spanyol yang menguasai negara-negara Beneluks (Belgia, Belanda, dan Luksemburg). Selain Spanyol, kerajaan lain yang juga ada dalam monarki yang berdiri sejak 1282 itu adalah Jerman, Bohemia, dan Hungaria. Jadi, bisa disimpulkan Habsburg adalah Uni Eropa di masa lampau. Rajanya yang terkenal adalah Charles V yang juga menjadi raja di Spanyol dan Romawi Suci.

Persinggungan pertama Habsburg dan Ustmaniyah dimulai pada Pertempuran Mohacs di tahun 1526 memperebutkan Hungaria. Dalam pertempuran, Ustmaniyah yang dipimpin oleh Sultan Sulaiman berhasil mengalahkan Habsburg yang dipimpin oleh Raja Louis II dari Hungaria. Kemenangan yang meyakinkan tersebut tentu saja membuat orang-orang Eropa begitu ketakutan. Setelah Konstantinopel jatuh, kini giliran wilayah Transyilvania dan Hungaria dikuasai. 

Dari sekian pertempuran yang akan terus diingat dalam sejarah antara kedua kekaisaran ini adalah pertempuran di Lepanto pada 1571 dan Pengepungan Wina yang kedua pada 1683. Kedua pertempuran itu berujung pada kegagalan Ustmaniyah dalam ekspansi yang lebih ke luas ke Eropa. Kekalahan itu tentu saja sangat disyukuri oleh orang-orang Kristen Eropa yang masih traumatis akan kejatuhan Konstantinopel. Pertempuran Lepanto bagi banyak  orang Katolik dianggap sebagai sebuah mukjizat karena jumlah armada kapal laut untuk melawan Ustmaniyah masih kalah jauh namun di luar dugaan mereka bisa memenangi perang. Pertempuran terbesar dalam sejarah itu juga memopulerkan penggunaan doa Rosario yang sakral bagi orang Katolik hingga saat ini. Sedangkan Pengepungan Wina Kedua yang gagal dianggap sebagai peristiwa yang menyelamatkan wajah Peradaban Barat. Tentu akan lain ceritanya jika pengepungan itu berhasil. Imbas dari pengepungan itu muncullah roti Croissant sebagai ejekan bagi kekalahan Ustmaniyah.

Habsburg bertarung dengan Ustmaniyah hingga akhir abad ke-19. Dalam pertempuran yang banyak terjadi di wilayah Balkan itu, Habsburg yang kemudian terkenal dengan nama Austria-Hongaria juga berhasil menguasai wilayah-wilayah Turki di Balkan seperti Serbia, Montenegro, Kroasia, dan Bosnia. Dalam konflik di Balkan ini Habsburg berkoalisi dengan Rusia yang juga punya kepentingan di wilayah Eropa Timur. Namun pada Perang Dunia Pertama kedua kekaisaran ini malah menjadi sekutu bergabung dengan Jerman. Sayangnya, Blok Sentral koalisi ini keok di tangan Sekutu. Pada akhirnya setelah PD I, kedua-duanya bubar dan menjadi negara republik modern yang terpisah-pisah, yaitu Republik Turki dan Republik Austria. Meski begitu, ingatan akan memori di masa silam masih terasa bagi keduanya. Ketika Turki hendak mengajukan diri sebagai negara anggota Uni Eropa, Austria menolak tegas, dan akhirnya Turki hingga sekarang belum bisa menjadi anggota UE.

Kekaisaran Portugis



Persinggungan antara Portugis dan Ustmaniyah kebanyakan berlangsung di lautan tidak seperti dengan Habsburg yang berada di daratan. Persinggungan ini terjadi ketika Portugis dalam masa kejayaan pada Era Penjelajahan Dunia Baru yang dipelopori oleh sang navigator ternama, Vasco da Gama. Adanya penjelajahan ini juga imbas dari jatuhnya Konstantinopel. Portugis dan Ustmaniyah bertarung di jalur rempah-rempah sekitar Samudra Hindia terutama di area Laut Merah, Teluk Aden, Teluk Persia, dan Selat Hormuz. Salah satu pertempuran yang paling diingat adalah Pengepungan Jeddah pada 1517 atau bertepatan dengan musim haji 923 H. Pertempuran yang dimenangkan Ustmaniyah merupakan pertempuran yang menyelamatkan wajah Islam dari serangan Portugis yang bermaksud menguasai Jeddah kemudian Mekkah dan Madinah sebagai bagian dari jalur rempah-rempah. 

Kekaisaran Safawiyah



Kekaisaran Safawiyah adalah salah satu dinasti yang pernah berkuasa di Iran. Dinasti ini didirikan oleh Ismail I pada 1501, dengan ibu kotanya di Tabriz, Iran. Safawiyah adalah Dinasti Islam pertama di Iran semenjak negara itu bebas dari kekuasaan-kekuasaan Khulafaur Rasyidin, Umayah, Abbasiyah, dan Seljuk. Safawiyah sendiri merupakan kekaisaran mandiri Iran pertama semenjak takluknya Sasaniyah, Kekaisaran Iran terakhir di tangan muslim saat ekpansi muslim ke Persia. Ismail I mengklaim dirinya adalah ahlulbait atau keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Hal itu tentu saja diragukan oleh Ustmaniyah yang juga menilai Ismail arogan dan menghina Sunni. Perlu diingat Safawiyah adalah Syiah. Hal inilah yang menyulut konfrontasi antara Safawiyah dan Usmaniyah.

Rivalitas kedua negara di daratan Asia itu berwujud dalam banyak peperangan. Peperangan kedua kubu pertama kali pecah pada Pertempuran Chaldiran yang terjadi pada 1514. Pertempuran ini sendiri dimenangkan oleh Usmaniyah. Pertempuran terakhir antara kedua kudu terjadi pada 1736 yang dimenangkan oleh Safawiyah dan kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai di Istanbul. Rivalitas kedua kubu ini juga melibatkan Portugis terutama di sekitaran Teluk Hormuz, tempat Portugis mendirikan pangkalan dagang. Antara Safawiyah dan Portugis memang menjalin aliansi untuk melawan dan mengusir Usmaniyah dari jalur rempah-rempah di Samudra Hindia. Setelah Kekaisaran Safawiyah berakhir, penerus-penerusnya juga masih berkonflik dengan Ustmaniyah seperti Zand dan Qajar. Ustmaniyah sendiri pada akhirnya lebih mengutamakan peperangan dengan Safawiyah berkaitan dengan mazhab atau aliran bukan dengan Habsburg yang secara akidah berbeda.

Kekaisaran Rusia



Selain dengan Habsburg di daratan Eropa, Ustmaniyah juga mempunyai rival yang tidak kalah hebatnya, yaitu Kekaisaran Rusia. Kekaisaran yang berdiri pada 1721 ini menjadi salah satu kekaisaran berpengaruh di Eropa terutama pada abad ke-17. Adalah Peter I yang berhasil membuat Rusia menjadi salah satu yang disegani di Eropa, dengan melakukan banyak modernisasi di berbagai bidang termasuk kemiliteran yang memang diarahkan pada Usmaniyah yang merupakan ancaman terbesar Kekaisaran. Meski begitu Kekaisaran Rusia baru berperang melawan Usmaniyah di masa Anna Ioanovna. Pertempuran dengan Usmaniyah terjadi pada 1735 hingga 1739. Perang ini sendiri dimenangkan oleh Rusia yang dibantu oleh Habsburg. Pertempuran besar selanjutnya terjadi pada masa Ratu Catherine, yaitu pada 1768 di Teluk Chesma, Turki. Lagi-lagi Rusia kembali memenangi perang, dan dibantu oleh Inggris.

Skala konflik kedua kekaisaran terus-menerus terjadi hingga awal abad ke-20, yaitu pada masa Perang Dunia Pertama. Akibat dari konflik yang terjadi terus-menerus itu Usmaniyah harus merelakan beberapa wilayahnya yang berbatasan dekat dengan Rusia diambil Rusia. Kekalahan demi kekalahan dari Rusia membuat Usmaniyah menurun wibawanya di beberapa wilayah kekuasaan. Tidak mengherankan jika Rusia kemudian dijadikan inspirasi oleh beberapa wilayah kekuasaan Usmaniyah di Balkan seperti Yunani yang akhirnya merdeka lalu Serbia dan Rumania. Kekalahan demi kekalahan ini juga akhirnya membuat Usmaniyah mendapat julukan pesakitan dari Eropa, dan membuat Kekhalifahan harus melakukan reformasi militer.

Ketika kedua negara berhadapan di medan Perang Dunia I, Rusia sesumbar akan merebut Istanbul dari Usmaniyah. Namun hal itu urung ketika Usmaniyah dengan bantuan Jerman menyiagakan dua kapal tempur di Selat Bosporus. Pada akhirnya ketika masih dalam keadaan berperang Kekaisaran Rusia akhirnya kolaps oleh Revolusi Bolshevik pada 1917. Rivalitas di masa silam itu masih sangat terasa hingga sekarang terutama dalam masalah Armenia dan konflik mengenai Nagorno-Karabakh. Perlu diketahui di masa Usmaniyah Armenia adalah salah satu wilayah Usmaniyah yang ingin memerdekakan diri dan bergabung dengan Rusia. Indikasi itu terlihat pada saat perang dengan Rusia, banyak orang Armenia yang lebih mendukung Rusia daripada Usmaniyah karena masalah keimanan. Akhirnya, Usmaniyah mengalami banyak kekalahan. Ketika terjadi Perang Dunia I hal yang sama juga berlaku. Usmaniyah menganggap orang Armenia adalah duri dalam daging sehingga terjadilah pembantaian orang-orang Armenia. Pembantaian itu sampai sekarang menjadi halangan hubungan antara Turki dan Armenia, dan Turki menyangkal melakukan pembantaian. Mengenai Nagorno-Karabakh adalah sudah kewajiban bagi Turki untuk membantu Azerbaijan yang masih satu ras melawan Armenia, musuh abadi yang didukung oleh Rusia.

Sekutu-sekutu Usmaniyah

Kerajaan Prancis



Di saat banyak negara Eropa memusuhi Usmaniyah tidak halnya dengan Prancis. Salah satu negara terbesar di Eropa ini malah memilih beraliansi dengan Ustmaniyah. Hal itu tentu saja membuat geger Eropa, dan tindakan ini dikecam oleh banyak kalangan agamawan terutama Paus di Vatikan. Namun rupanya ada alasan mengapa Prancis memilih bersekutu dengan Usmaniyah terutama di bidang budaya dan kemiliteran. Hal itu disebabkan oleh tidak sukanya Raja Prancis, Francis I terhadap dominasi Habsburg di Eropa. Puncaknya adalah pada Pertempuran Pavia pada 1525 yang membuat Francis I ditahan oleh Charles V. Hal ini membuat ibunda Francis, Louise, meminta bantuan pada Usmaniyah yang dipimpin oleh Sulaiman. Sulaiman tentu saja menyanggupi karena itu akan menjadi jalan bagi Usmaniyah untuk bisa ekspansi ke Eropa.

Aliansi kedua negara ini berjalan hingga 2,5 abad, dan terlihat cukup romantis bagi keduanya untuk sama-sama memerangi Habsburg meskipun dalam kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Misal pada penyerangan ke Italia terutama ke Naples, salah satu kerajaan yang bersekutu di dalam Habsburg. Penyerangan yang terjadi pada 1537 itu menurut rencana adalah Usmaniyah menyerang Naples dan Prancis menyerang Lombardia. Namun kenyataannya Prancis tidak melakukan sama sekali.  Begitu juga saat Hayredin Barbarosa ke Nice untuk membantu Prancis, kenyataannya raja Henry II lebih memilih berdamai dengan Habsburg sehingga bantuan itu berakhir prematur. Pada akhirnya, aliansi terpenting dalam sejarah dan membuat Habsburg bersekutu dengan Safawiyah ini berakhir setelah Napoleon secara tiba-tiba menginvasi Mesir, salah satu wilayah Usmaniyah pada 1798.

Kekhanan Bukhara



Kekhanan Bukhara adalah salah satu negara di Asia Tengah yang mayoritasnya adalah orang Uzbek, salah satu ras Turki. Kekhanan yang eksis pada abad ke-16 hingga 18 ini beribu kota di Bukhara, wilayah asal perawi hadis terkenal, Imam Bukhari. Salah satu pemimpin yang terkenal dari kekhanan ini adalah Muhammad Shaybani, salah satu keturunan Jengis Khan. Alasan Shaybani memilih bersekutu dengan Usmaniyah karena musuh yang sama, Safawiyah. Bahkan, Shaybani menawarkan diri menyerang Safawiyah. Sayang, Shaybani gugur dalam Pertempuran Merv di tahun 1510 saat melawan Safawiyah. Namun hal itu tidak menghilangkan keinginan orang-orang Uzbek untuk terus bersekutu dengan Usmaniyah dalam perang- perang selanjutnya melawan Safawiyah yang Syiah.

Kesultanan Aceh



Usmaniyah kenyataannya juga menjalin hubungan dengan Kesultanan Aceh di Nusantara yang dimulai dari masa Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahhar pada abad ke-16. Alasan Aceh mau bersekutu dengan Usmaniyah adalah karena menghadapi musuh yang sama; Portugis, yang kala itu bercokol di Malaka sejak 1511. 

Usmaniyah banyak membantu dalam bidang kemiliteran kepada Aceh dalam menghadapi Portugis. Bahkan, pada 1547 beberapa pasukan Usmaniyah terlibat dalam penyerangan ke Malaka. Aliansi ini tentu saja mengancam keberadaan Portugis di Selat Malaka. Portugis sendiri berusaha menghancurkan aliansi ini tetapi tidak berhasil. Selain membantu Aceh menghadapi Portugis, Usmaniyah juga membantu Aceh menaklukkan Aru dan Johor pada 1564. Bantuan militer dari Usmaniyah membuat Aceh menjadi salah satu kekuatan terbesar di Selat Malaka. Meski begitu ketika terjadi konflik dengan Belanda pada 1873 yang berujung pada Perang Aceh, Usmaniyah tidak bisa membantu Aceh karena terikat hukum perang di Eropa yang tidak membolehkan Usmaniyah ikut campur urusan Belanda. Pada akhirnya, bantuan yang sudah direncanakan itu dialihkan untuk memadamkan pemberontakan Zaidi, salah satu sekte Syi'ah di Yaman.

Hubungan Usmaniyah dan Aceh sebenarnya tidak hanya pada militer tetapi juga pada budaya dan pendidikan. Bahkan di Aceh terdapat makam ulama-ulama Turki di Bitai. Bendera Kesultanan Aceh pun terinspirasi dari bendera Usmaniyah. Hingga hari ini banyak orang Aceh yang merasa Turki adalah saudara seiman yang paling setia.

Minggu, 20 September 2020

4 Negara Eropa yang Konsisten Mempunyai Pemain Sepak Bola Berkulit Hitam

Banyak sekali pemain sepak bola berkulit hitam yang bermain di timnas negara-negara Eropa terutama di Jerman dan Belgia. Nama-nama seperti Jerome Boateng, Leroy Sane, Serge Gnabry di Jerman serta Romelu Lukaku, Michy Batsuayi, dan Axel Witsel di Belgia merupakan sederet nama para pemain berkulit legam di dua timnas tersebut. Tidak ketinggalan pula Spanyol yang memainkan pemain kulit hitam yang di masa depan akan menjadi bintang, Ansu Fati.


Banyaknya pemain berkulit hitam terutama dari Afrika di timnas negara-negara Eropa belakangan ini menunjukkan adanya pengakuan dari negara-negara Benua Biru terhadap bakat-bakat alam dari Afrika yang tidak boleh disia-siakan demi mendongkrak penampilan timnas di ajang-ajang internasional nan bergengsi seperti Piala Dunia dan Piala Eropa. Kebanyakan adalah para imigran yang awalnya bekerja lalu menetap dan menjadi warga negara setempat.

Keberadaan pemain kulit hitam di timnas Eropa sebenarnya bukanlah fenomena baru karena terjadi sejak akhir abad ke-19. Adalah Andrew Watson, pemain kulit hitam pertama di Eropa yang bermain untuk timnas Skotlandia pada 1881 dalam sebuah pertandingan persahabatan melawan Inggris di London. Dalam pertandingan itu, Watson, yang semasa kariernya kebanyakan bersama Queen's Park Glasgow, mengapteni Skotlandia, dan ikut memberikan andil kemenangan Tartan Army 6-1 atas Tim Tiga Singa.

Dari Watsonlah kemudian arus pemakaian pemain sepak bola berkulit hitam mulai meningkat di Eropa, dan beberapa memberikan dampak yang cukup signifikan untuk prestasi negara-negara Benua Biru, baik di Piala Dunia atau Piala Eropa. Namun, dari sekian banyak negara Eropa yang menjadi anggota UEFA --termasuk di dalamnya negara-negara transkontinental seperti Turki, Azerbaijan, Georgia, dan Israel-- jika diperhatikan hanya ada 4 negara yang konsisten memainkan bakat-bakat berharga ini. Pemain-pemain kulit legam akan selalu terlihat jika 4 negara ini bermain, dan lama-kelamaan menjadi suatu ciri khas negara-negara tersebut. Lalu negara-negara apa sajakah yang benar-benar rutin dan konsisten memainkan para pemain kulit legam tersebut. Yuk, tanpa berlama-lama, mari kita simak!

Negara-negara yang Konsisten Memainkan Pemain Sepak Bola Berkulit Hitam

Prancis



Negara pertama adalah Prancis. Tentu kamu sudah tidak asing lagi jika menyaksikan tim berjuluk Les Blues sewaktu bermain dengan banyak pemain kulit hitam di dalamnya, yang kebanyakan berasal dari negara-negara Afrika Barat seperti Senegal, Kamerun, dan Ghana. Keberadaan para pemain Afrika di Prancis sendiri dimulai sejak Raoul Diagne menjadi bagian Les Blues pada 1931. Pemain keturunan Senegal ini memulai debut melawan Republik Ceska. Selain dari Afrika, pemain-pemain kulit hitam Prancis juga berasal dari kepulauan-kepulauan di Pasifik seperti Martinique, Kaledonia Baru kemudian Guyana Prancis di Amerika Selatan.

Keberadaan para pemain hitam dalam skuad Tim Ayam Jantan ini kerap dianggap sebagai tim Eropa berbau Afrika, dan bahkan mendominasi semua lini permainan Prancis sehingga hampir-hampir tidak menyisakan satu pun yang asli Prancis. Tidak hanya dari Afrika, pemain-pemain Prancis yang bukan asli Prancis juga berasal dari negara-negara Arab seperti Aljazair dan Tunisia. Zinedine Zidane menjadi salah satu buktinya. Keberadaan para pemain imigran dalam tubuh tim Eropa Barat tersebut sebenarnya merupakan pengejawantahan dari slogan persamaan derajat dan hak yang digaungkan pada Revolusi Prancis, dan imbas karena Negara Mode tersebut juga mempunyai banyak wilayah jajahan yang otomatis di kemudian hari menjadi pusat penghidupan bagi orang-orang bekas negeri jajahan.

Para pemain kulit legam dalam Les Blues tentunya mempunyai banyak peran penting dalam prestasi sepak bola dari kurun waktu 80-an hingga 2018. Mereka membantu Prancis menjuarai Piala Eropa 1984, Piala Dunia 1998, Piala Eropa 2000 hingga Piala Dunia 2018. Nama-nama seperti Jean Tigana, Marcel Desailly, Lilian Thuram, David Trezeguet, Thierry Henry hingga Paul Pogba dan Ousman Dembélè merupakan deretan nama-nama pemain kulit hitam yang mengharumkan Prancis hingga menjadi salah satu tim sepak bola yang cukup disegani. Namun, prestasi-prestasi ini kerap dipandang sebelah mata oleh politikus sayap kanan anti-imigran, Jean Marie Le Pen.

Belanda



Negara kedua yang juga konsisten memainkan para armada hitamnya adalah Belanda. Negara yang secara historis akrab dengan Indonesia kerap memainkan para pemain legamnya sejak akhir 80-an. Tentu semua akan tahu sosok hitam yang cukup membuat Tim Oranye berjaya di pentas sepak bola Eropa pada waktu itu. Ya, tidak salah jika menyebut nama Ruud Gullit dan Frank Rijkaard sebagai sosok yang membawa Belanda menjadi jawara Eropa pada 1988. Keduanya berpadu dengan pemain asli Belanda, Marco Van Basten, dan dikenal sebagai trio maut di akhir 80-an dan awal 90-an, baik di timnas maupun klub, AC Milan. Duo asal Suriname ini kemudian menjadi keran dibukanya para pemain kulit hitam di timnas Belanda. Nama-nama seperti Patrick Kluivert, Clarence Seedorf, Aaron Winter hingga Virgil Van Dijk, Quincy Promes, dan Memphis Depay merupakan nama-nama pemain kulit hitam yang pernah dan sedang berada di dalam Tim Oranye. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa permain-pemain kulit hitam Belanda yang pertama bukanlah Gullit dan Rijkaard.

Baca Juga: 5 Pemain Belanda yang Juara Liga Champions di Italia

Nama itu adalah Humphrey Mijnals, yang juga sama-sama berasal dari Suriname, dan memainkan debut bersama Belanda pada 1960 melawan Bulgaria. Namun, ia tercatat hanya 3 kali membela De Oranje, dan selanjutnya bermain untuk tim negaranya sendiri, Suriname, dengan 45 kali penampilan. Selain dari Suriname, pemain-pemain hitam Belanda juga berasal dari Aruba, Curaçao, dan bahkan Indonesia terutama Maluku. Hal ini yang terlihat pada diri Giovanni van Bronckhorst, yang mengapteni Belanda pada Piala Dunia 2010 hingga ke final. Sayang, De Oranye kalah dari Spanyol lewat gol tunggal Andres Iniesta.

Keberadaan para pemain kulit hitam di Belanda juga tidak lepas dari masa lalu Belanda yang merupakan salah satu negara penjajah melalui penjejelajahan dunia baru. Selain itu, para pemain kulit hitam ini juga untuk menggambarkan Belanda yang multikultural dan menghargai persamaan dan hak di samping juga Belanda tentu tidak akan menyia-nyiakan bakat-bakat alam dan terpendam dari warga negara non kulit putihnya demi prestasi.

Portugal



Selain Prancis dan Belanda, negara Eropa lainnya yang juga konsisten mempunyai pemain legam di dalamnya adalah Portugal. Berbicara pemain hitam dalam skuad Brasilnya Eropa ini, nama-nama seperti Abel Xavier, Costinha, Jose Bosingwa, William Carvalho hingga Rafael Sanches adalah kerap ada dan didengar telinga kita selain nama-nama pemain asli Portugal seperti Rui Costa, Luis Figo, Fernando Couto, Nani, dan Cristiano Ronaldo yang bersanding dengan mereka di atas lapangan. Keberadaan para pemain hitam di Portugal juga tidak lepas dari kemahsyuran Eusebio sebagai pemain hitam terkenal pada dekade 60-an dan 70-an yang kemudian menjadi legenda sepak bola negara tersebut hingga sekarang. 

Namun pemain hitam pertama yang melakukan debut untuk Portugal bukanlah Eusebio, melainkan Guilherme Espirito Santo. Pemain keturunan Sao Tome dan Principe ini melakukan debut pada 1937 saat melawan negara tetangga, Spanyol. Kebanyakan pemain hitam di Portugal berasal dari Mozambik, Angola, Guinea Bissau, dan Sao Tome dan Principe, yang memang merupakan jajahan Portugal di masa silam. Bahkan, belakangan juga terdapat para pemain dari Brasil, salah satunya Pepe, yang kemungkinan memperkuat Portugal karena tidak mendapatkan tempat di Brasil.

Para pemain legam di Portugal ini pun juga mempunyai peran yang cukup signifikan bagi prestasi di sepak bola internasional dan Eropa. Eusebio sendiri punya peran membawa Portugal hingga semifinal Piala Dunia 1966 di Inggris. Prestasi cukup membanggakan itu kemudian ditambah lagi dengan keberhasilan Portugal untuk pertama kalinya juara Piala Eropa 2016 di Prancis. Pada laga melawan tuan rumah, sang penentu kemenangan adalah Eder yang merupakan pemain hitam keturunan Guinea-Bissau. Selanjutnya, para pemain hitam itu juga membawa Portugal meraih tempat ketiga di Piala Konfederasi 2017 dan juara Liga Bangsa Eropa 2019. Raihan ini cukup melebihi tempat ketiga di Piala Dunia 1966 dan runner-up di Piala Eropa 2004.

Inggris



Negara Eropa terakhir yang juga konsisten mempunyai dan memiliki pemain sepak bola berkulit hutam adalah Inggris. Tim Tiga Singa pertama kali diperkuat oleh pemain kulit hitam pada dekade 70-an melalui diri Viv Anderson yang melakoni laga debut melawan Republik Ceska. Setelah itu mulailah nama-nama seperti Jhon Barnes, Paul Ince, Sol Campbell, Rio Ferdinand, Ashley Cole, Joleon Lescott, Raheem Sterling, dan Jadon Sancho menghiasi skuad Tim Tiga Singa. Dari deretan nama-nama tersebut ada Paul Ince yang menjadi kapten Inggris pertama dari pemain kulit hitam ketika melawan Amerika Serikat pada Juni 1993 dalam sebuah pertandingan persahabatan.

Baca Juga: 3 Tim  Kampiun Piala Dunia yang Juara dengan Brand Lokal

Kebanyakan pemain hitam di tubuh Inggris berasal dari negara-negara Karibia Barat seperti Jamaika, Saint Vincent dan Grenadies, dan Bahama. Selain dari Karibia Barat, juga dari negara-negara Afrika Barat seperti Ghana dan Nigeria. Hal ini karena merupakan dampak tidak langsung Inggris di masa silam sebagai salah satu negara penjajah. Namun tidak seperti kebanyakan 3 negara Eropa sebelumnya, peran para pemain kulit legam ini belum begitu terlihat signifikan untuk prestasi semenjak Inggris juara dunia pada 1966. Mereka hanya mampu membantu Inggris meraih tempat ketiga di Piala Dunia 1990 dan Piala Dunia 2018, serta semifinal Piala Eropa 1996 di kandang sendiri. Bisa dibilang peran pemain hitam di Inggris malah kalah jauh dari Jerman yang baru-baru saja memakai jasa pemain hitam tetapi sudah langsung memperlihatkan prestasi, dengan menjadi juara Piala Dunia 2014.


Minggu, 23 Agustus 2020

3 Tim Kampiun Piala Dunia yang Juara dengan Brand Lokal

Sejauh ini kampiun Piala Dunia berjumlah 8 tim. Mereka adalah Brasil, Jerman, Italia, Prancis, Uruguay, Argentina, Inggris, dan Spanyol. Tim-tim ini tentu saja juara dengan memakai apparel dari brand-brand olahraga ternama, yaitu Adidas, Nike, Puma, dan Umbro. Dalam hal ini tentu saja Adidas merajai. Brand olahraga asal Jerman tersebut menikmati kesuksesan merengkuh juara kala menjadi apparel bagi Jerman, Spanyol, Argentina, dan Prancis.

juara piala dunia, jawara piala dunia

Baca Juga: 5 Pemain Belanda yang Juara Liga Champions di Italia

Nah, dari tim-tim yang pernah menjadi jawara dunia tersebut tahukah kamu bahwa hanya ada 3 tim yang juara dengan apparel lokal alias buatan sendiri. Tentu saja ini merupakan suatu hal yang membanggakan; juara dengan brand buatan sendiri. Tim-tim apa sajakah itu? Yuk, tanpa berlama-lama, mari kita simak!

Jerman

Tim pertama yang menjadi kampiun dengan brand lokal adalah Jerman. Die Nationalmannschaft yang sudah juara Piala Dunia sebanyak 4 kali ini selalu juara dengan memakai Adidas, brand lokal yang juga brand global. Jerman memakai Adidas sejak 1954. Boleh dibilang Tim Panser merupakan die hard-nya merek yang terkenal dengan tiga setripnya itu, dan brand ini juga tidak akan tergantikan sebab merupakan identitas nasional Jerman. Jadi, ketika banyak tim lain berganti apparel, sudah dipastikan Jerman akan selalu setia dengan brand yang namanya diambil dari nama pendirinya itu, Adi Dassler.

Baca Juga: 7 Pelatih Italia yang Sukses di EPL, Kebanyakan di Chelsea

Brasil

Tim kedua yang juara Piala Dunia dengan brand buatan negara sendiri adalah Brasil. Ya, Tim Samba yang sekarang ini identik dengan Nike, apparel saingan Adidas, kenyataannya pernah memakai apparel lokal saat juara Piala Dunia pada 1958, 1962, dan 1970. Brand lokal itu bernama Athleta, yang ternyata menjadi apparel bagi Tim Samba dari 1954 hingga 1977. Tentu saja masa-masa juara itu diikuti dengan lahirnya sang megabintang Pelé. Setelah kerja sama dengan Athleta berakhir, Brasil sempat mencoba brand lokal lainnya, Topper, pada dekade 80-an. Sayang, Topper tidak bisa mengulangi kesuksesan seperti yang dilakukan Athleta. Hingga akhirnya, Brasil kembali lagi menjadi juara pada 1994 dan 2002. Itu pun dengan brand luar, Umbro dan Nike.

Inggris

Tim terakhir kampiun Piala Dunia dengan brand lokal adalah Inggris, yang hingga saat ini tercatat baru sekali juara pada 1966 di kandang sendiri. Yang justru membanggakan, selain juara di negara sendiri, mereka juga juara dengan brand lokal bernama Umbro. Brand ini sendiri pada dekade 90-an begitu terangkat karena performa Manchester United yang mengesankan di Premier League dan Liga Champions. Akan tetapi sepertinya Umbro tidak akan begitu diingat sebagai brand lokal yang pernah menjadi juara dunia bersama Tim Tiga Singa. Sebab, yang paling diingat orang adalah final Piala Dunia 1966 itu sendiri yang agak kontroversial, yaitu gol kemenangan yang dicetak oleh Sir Geoff Hurst. Umbro sendiri adalah brand yang sebenarnya cukup lekat dengan Inggris, dan sepertinya sudah menjadi identitas nasional. Sayang, semenjak 2013, Inggris memilih Nike sebagai apparel.

Baca Juga: Inilah 4 Sepupu Sepak Bola, Sama-sama Memakai Nama Football

Nah, itulah 3 tim kampiun Piala Dunia yang pernah menjadi jawara dengan brand lokal. Dapat disimpulkan hanya Jerman yang hingga saat ini benar-benar setia dengan brand lokal. Hal ini tepat dengan nasionalisme Jerman yang masih begitu kuat untuk produk lokalnya. Berkaca dari sini, kita harapkan Indonesia bisa menjadi juara di tingkat ASEAN atau Asia, bahkan dunia suatu saat nanti dengan brand lokal supaya ada kebanggaan yang tidak bisa digantikan sama sekali. Amin!

Kamis, 20 Agustus 2020

Inilah 5 Perbedaan Dasar Bahasa Spanyol dan Bahasa Portugis

 Apa sih perbedaan dasar bahasa Spanyol dan bahasa Portugis? Bagi sebagian besar orang Indonesia tentu tidak bisa melihat perbedaannya karena kedua-keduanya terlihat sama, dan bahkan bisa jadi malah sulit dibedakan. Lihat saja ketika pertandingan sepak bola dimainkan. Nama-nama familiar seperti Juan Mata, Fernando Torres, Raul Meireles, Cristiano Ronaldo terlihat mirip, bukan? Kebanyakan hanya tahu kalau dua nama awal dari Spanyol sedangkan dua nama terakhir dari Portugal. Sesimpel itu, dan tidak ada lagi pertanyaan.

perbedaan bahasa Spanyol dan bahasa Portugis

Inilah yang membuat Spanyol dan Portugis terlihat sama. Sama seperti ketika mereka pada masa-masa penjelajahan dunia baru datang ke Indonesia lalu memperebutkan beberapa daerah yang potensial di Indonesia Timur mulai dari Sulawesi hingga Maluku dengan tindakan-tindakan kekerasan dan penghancuran. Namun, keduanya mewariskan beberapa peninggalan seperti cabai dan fam-fam berbau Portugis di Maluku dan Flores.

Bahasa Spanyol dan bahasa Portugis memang mirip karena mereka termasuk rumpun bahasa Roman, salah satu rumpun bahasa terbesar di Eropa selain Jermanik. Rumpun bahasa ini meliputi antara lain Spanyol, Portugis, Prancis, Italia, dan Rumania. Rumpun Roman sendiri merupakan turunan dari bahasa Latin, lingua franca di Eropa pada masa Kekaisaran Romawi. Karena turunan dari Latin tersebut, bahasa-bahasa tersebut menyerap hampir semua kosakata Latin.

Baca Juga: Sepuluh Perbedaan Bahasa Belanda dan Bahasa Jerman

Meski begitu, kalau diperhatikan tetap saja keduanya mempunyai perbedaan. Jadi, keduanya itu serupa namun tidak sama. Inilah yang sering membuat orang sukar melihat perbedaan keduanya. Lalu apa saja sih perbedaan yang dimiliki keduanya? Yuk, semuanya, mari simak dalam artikel ini sampai habis ya!

Perbedaan Dasar Bahasa Spanyol dan bahasa Portugis

Perbedaan Ucapan

Perbedaan pertama yang ada pada keduanya adalah ucapan. Kalau kamu yang familiar dengan ucapan atau tuturan dalam bahasa Spanyol karena telenovela sudah pasti bisa mengucap dengan benar salah satu nama Spanyol ini: Jorge. Ya, kamu pasti akan membacanya: Khorkhe. Tapi, coba taruh nama ini dalam bahasa Portugis. Keliru jika kamu membacanya sama seperti sebelumnya. Di Portugis Jorge diucapkan Zyorzyi atau Zyorz. Tentu saja kamu akan terkejut dengan ucapan yang sangat berbeda tersebut. Contoh lain adalah Fernando. Jelas di Spanyol diucapkan sangat jelas dan sesuai tulisan. Tetapi kalau di Portugis jadi firnandu. Jadi, nama seperti Bruno Fernandes dan Cristiano Ronaldo diucap atau dibaca brunu firnandis atau kristianu ronaldu. Nah, kalau sudah tahu coba ucapkan dengan benar nama ini: Jose Mourinho.

Perbedaan Tulisan

Perbedaan kedua pada dua bahasa ini adalah tulisan. Memang penulisan nama dan tempat pada keduanya hampir mirip. Namun tetap saja ada perbedaan jika diperhatikan. Misalkan, untuk penulisan nama. Jamak diketahui bahwa dalam bahasa Spanyol dan bahasa Portugis ada orang-orang yang bernama Rodriguez, Sanchez, Hernandez, Fernandez atau Alvarez. Arti dari nama-nama itu adalah anak lelaki/perempuan Rodrigo, Sancho, Hernando, Fernando atau Alvaro. Nah, di Portugis rupanya ada sedikit perbedaan dalam penulisan. Akhiran -z diganti dengan -s. Maka, jadilah Rodrigues, Sanches, Hernandes, Fernandes, dan Alvares. 

Baca Juga: Bahasa Spanyol: Si Latin yang Terarabisasi

Selain perbedaan nama z jadi s di Portugis, perbedaan tulisan lainnya adalah penulisan bunyi sengau -ny. Di Spanyol penulisan seperti ini biasa ditandai dengan 〜 sedangkan di Portugis dengan nh. Jadi, penulisannya adalah Alemaña untuk Spanyol sedangkan Portugis adalah Alemanha. Artinya adalah Jerman, dan dibaca alemanya. Perbedaan terakhir dari penulisan adalah campeon pada Spanyol dan campeão di Portugis. Keduanya mempunyai arti juara. Kalau di Spanyol  diucapkan jelas, ditekan, dan sesuai huruf, di Portugis dibaca kampiaung dengan a bersuara sengau. Kalau sudah tahu perbedaan yang mendasar ini kamu pun sudah bisa mengidentifikasi apakah orang yang kamu ajak bicara itu Spanyol atau Portugis.

Perbedaan Kata Sandang

Jamak diketahui bahwa bahasa-bahasa yang termasuk rumpun bahasa induk Indo-Eropa pasti mempunyai kata sandang. Begitu juga dengan bahasa Spanyol dan bahasa Portugis. Namun keduanya mempunyai perbedaan, yaitu jika di Spanyol menggunakan el, la di Portugis o dan a. Contohnya seperti el che, la bombonera, o campeão dan a bola. Jika jamak tentu akan berubah menjadi los, las, os, as. Misal los galaticos, las banderas, os cidadãos, dan as canários. Persamaan dari kata sandang itu adalah punya jenis kelamin, maskulin dan feminin serta berakhiran -s.

Kemiripan dengan bahasa lain

Perbedaan dasar bahasa Spanyol dan bahasa Portugis pada akhirnya membuat yang pernah mempelajarinya merasakan bahwa keduanya ternyata lebih mirip dengan bahasa-bahasa lain yang tidak serumpun. Misal, Spanyol dianggap lebih mirip bahasa Yunani sedangkan Portugis lebih mirip Rusia. Kemiripan itu dikarenakan sistem ucap atau fonologi kedua bahasa. Supaya lebih jelas mengenai kemiripan itu silakan simak dua video berikut ini:



Perbedaan Status

Baik Spanyol dan Portugis mempunyai status. Keduanya menjadi bahasa nasional dan bahasa resmi di beberapa negara di luar Spanyol dan Portugal. Spanyol menjadi bahasa utama atau resmi di negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan, mulai dari Meksiko hingga Argentina, bahasa resmi Guinea Ekuatorial di Afrika, serta bahasa pilihan di Filipina. Bahkan, Spanyol juga menjadi bahasa kedua terbanyak penuturnya di AS setelah Inggris. 

Baca Juga: Imperialisme Bahasa di PBB

Sedangkan Portugis selain dituturkan di luar Portugal juga dituturkan di Brasil, Angola, Mozambik, Makau, Tanjung Verde, dan Timor Leste, juga India terutama di Goa. Dari semua negara itu tentu saja Brasil menjadi negara dengan penutur Portugis terbanyak.  Perbedaan jumlah penutur berdasarkan negara itu membuat Spanyol lebih unggul, yaitu 410 juta melawan 210 juta, dan persebaran penutur di lintas benua ini karena aksi kolonialis kedua negara di masa silam.

Spanyol juga unggul dari Portugis dalam status internasional. Bahasa ini adalah salah satu bahasa resmi di PBB. Selain itu, Spanyol merupakan bahasa resmi di Uni Eropa, OAS, Mercosur, Celac, dan Uni Afrika. Portugis hanya menikmati status sebagai bahasa resmi di Uni Eropa, OAS, Mercosur, Ecowas, dan Uni Afrika.

Nah, itulah perbedaan dasar bahasa Spanyol dan bahasa Portugis. Bagaimana? Dari sini sudah bisa kan membedakan keduanya yang serupa namun tidak sama. Semoga artikel ini bermanfaat, dan membuat kamu tertarik mempelajari keduanya. Salam!

Rabu, 03 Juni 2020

5 Pemain Belanda yang Juara Liga Champions di Italia

Pemain Belanda

Dalam dunia sepak bola, para pemain Belanda merupakan salah satu yang mampu memainkan si kulit bundar secara lihai.

Permainan yang lihai tersebut juga dipadukan dengan sistem menyerang total atau total football yang menjadi salah satu trademark sepak bola dunia.

Dari situlah lahir nama-nama seperti Johan Cruyff, Ruud Gullit, Marco van Basten, Patrick Kluivert hingga Ruud van Nistelrooy yang mampu memainkan si kulit bundar dengan elegan.

Berkat deretan nama-nama di atas, Belanda, negara kecil di Eropa Barat, mampu menunjukkan diri sebagai salah satu negara sepak bola terbaik di Eropa dan dunia, dan akan selalu diperhitungkan keberadaannya, baik di Piala Dunia maupun Piala Eropa.

Para pemain sepak bola dari Negeri Oranye tidak hanya berkutat di Belanda saja untuk berkompetisi, tetapi juga di negara-negara lain termasuk Italia.

Di kompetisi Negeri Pizza tersebut, Serie A, banyak sekali pemain Negeri Tulip yang merumput, baik di klub besar maupun klub kecil.

Beberapa pun sukses meraih juara terutama juara antar klub Eropa atau Liga Champions. Titel ini tentu sangat prestisius dan bergengsi, dan karena itu diincar oleh banyak pemain termasuk para meneer.

Menjuarai Liga Champions yang menjadi hasrat para pemain sepak bola dunia merupakan pelengkap terindah selain juara domestik.

Tercatat ada 5 pemain asal negara yang punya hubungan historis sangat kuat dengan Indonesia juara Si Kuping Besar saat berkarier di Italia. Siapa sajakah mereka? Yuk, mari disimak!

Ruud Gullit

Pemain Belanda

Penggemar sepak bola dunia sudah pasti sangat familiar dengan nama yang satu ini. Perawakannya yang tinggi dengan rambut gimbal reggae serta kumis yang tebal membuat pemain yang satu ini sangat mudah dikenali.

Pemain yang bernama asli Rudi Dil adalah satu pemain sepak bola Belanda yang mampu menjuarai Liga Champions saat mengolah si kulit bundar di Italia bersama AC Milan.

Gullit yang terkenal dengan kecepatan dan sundulannya itu juara Liga Champions bersama Rossoneri setelah hijrah dari PSV Eindhoven pada 1987.

Di klub Merah-Hitam ini Gullit bahkan mampu merengkuh Si Kuping Besar sebanyak dua kali berturut-turut, yaitu pada musim 1988-1989 dan 1989-1990.

Klub-klub yang menjadi korban keganasannya adalah Steaua Bucuresti dan Benfica. Ketika mengalahkan Steaua, Gullit turut menyumbangkan dua gol untuk merobek jala klub asal Rumania tersebut.

Selain dua gelar Liga Champions, Gullit turut menyumbang trofi-trofi lain untuk AC Milan seperti juara Serie A sebanyak 3 kali, juara Piala Super Italia 2 kali, Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antaklub masing-masing 1 kali.

Capaian ini membuat Gullit yang keturunan Suriname itu menjadi salah satu meneer yang sukses menaklukkan ganasnya Serie A yang lekat dengan permainan bertahan atau catenaccio.

Marco van Basten

pemain belanda

Meneer kedua yang juga sukses merengkuh gelar Liga Champions saat merumput di Italia adalah Marco van Basten.

Penggemar sepak bola dunia tentu tahu mengenai pemain yang satu ini, yang punya kemampuan bermain bagus dan anggun  layaknya angsa sehingga dijuluki sebagai Angsa dari Utrecht.

Van Basten pun akan dikenal karena tendangan volinya yang begitu indah dari sudut sempit saat melawan Uni Soviet di final Piala Eropa 1988.

Tendangan itu membuat Belanda berhasil menjuarai Piala Eropa untuk pertama kali, dan menjadi satu-satunya trofi internasional Negeri Oranye hingga saat ini.

Di Italia, Van Basten mampu merengkuh Si Kuping Besar saat merumput di AC Milan. Ia dua kali mampu meraih gelar tersebut, yaitu pada musim 1988-1989 dan 1989-1990.

Pada  musim pertama meraih gelar ia turut menyumbangkan dua gol bersama kompatriot Belanda lainnya, Ruud Gullit, yang memang datang bersama ke klub asal Lombardia tersebut pada 1987.

Selain dua gelar kejuaraan antarklub tersebut, Van Basten yang merupakan salah satu alumnus terbaik Ajax Amsterdam itu juga meraih gelar lain bersama Milan, yaitu juara 3 kali Serie A, 2 kali Piala Super Eropa, 1 Piala Super Eropa dan 2 Piala Dunia Antarklub.

Bersama Milan, Van Basten juga meraih gelar pribadi seperti 3 kali meraih Ballon D’or serta menjadi dua kali menjadi topskor Serie A.

Sayangnya, karier pemain yang juga pernah mencetak 4 gol saat melawan Gothenburg di Liga Champions 1992 itu harus berakhir dengan cepat pada usia 28 tahun karena cedera yang sering dialaminya, dan Milan menjadi tempat untuk juga mengakhiri kiprah sebagai pemain.

Frank Rijkaard

pemain Belanda

Nama Frank Rijkaard tentunya masuk sebagai salah satu pemain Belanda yang sukses juara Liga Champions di Italia.

Gelandang bertahan yang juga bisa bermain sebagai bek tengah ini mampu meraih gelar paling prestesius dan bergengsi di Benua Biru kala bermain bersama AC Milan.

Dua kali pria keturunan Suriname itu melakukannya sebanyak dua kali berturut-turut pada musim 1988-1989 dan 1989-1990 semenjak didatangkan dari Real Zaragoza pada 1988.

Rijkaard yang terkenal karena insiden ludahnya pada Rudi Voeller di Piala Dunia 1990 itu melakukannya bersama dua kompatriot Belanda lainnya yang sudah lebih dahulu bergabung, Ruud Gullit dan Marco van Basten.

Ketika meraih gelar kedua Liga Champions itu saat melawan Benfica, ia mencetak satu-satunya gol untuk memberikan kemenangan pada Rossoneri melalui umpan dari Van Basten.

Rijkaard yang juga pernah melatih Belanda pada 1998-2000 dan Barcelona pada 2003-2008 setelah pensiun selain meraih dua gelar itu, juga meraih gelar-gelar lain selama di Milan, yaitu dua kali juara Serie A, dua kali Piala Super Italia, dua kali Piala Super Eropa, dan dua kali Piala Dunia Antarklub.

Di antara ketiga trio Belanda Milan yang pernah membuat Milan Berjaya pada akhir 80-an dan awal 90-an itu, Rijkaardlah cuma satu-satunya pemain Negeri Oranye yang mampu meraih gelar Si Kuping Besar dalam kurun waktu yang berbeda.

Pertama ia melakukannya bersama Ajax selepas pergi dari Milan selepas musim 1992-1993 berakhir, dan juara pada musim 1994-1995.

Kedua, saat ia menjadi pelatih Barcelona, dan merengkuh Si Kuping Besar pada musim 2005-2006. Namun, yang pertama merupakan ironi karena ia merengkuhnya saat mengalahkan mantan klub yang membesarkan namanya, Milan.

Clarence Seedorf

Pemain Belanda

Ketika era trio Belanda di Milan berakhir pada pertengahan 1990-an, tidak ada lagi pemain Belanda yang datang ke Giuseppe Meazza, dan mampu melakukannya. Sampai kemudian datang Patrick Kluivert.

Sayang, striker Belanda keturunan Maluku itu gagal menunjukkan performanya di Milan alih-alih ingin seperti Van Basten.

Kluivert cuma bertahan semusim, yaitu pada musim 1997-1998, dan kemudian hijrah ke Barcelona, dan meraih banyak gelar di sana.

Setelah Kluivert yang dianggap gagal kemudian datanglah Clarence Seedorf pada 2002 setelah hijrah dari Inter Milan, musuh bebuyutan Milan.

Pemain asal Belanda yang bertugas sebagai gelandang tengah ini ternyata menjadi pemain yang mampu meneruskan jejak trio Belanda yang sudah begitu melegenda di Milan.

Seedorf yang kelahiran 1976 itu, dan dikenal akan kemampuannya yang mumpuni dalam mengolah bola itu mampu meraih dua gelar Liga Champions bersama Si Merah-Hitam saat merumput dalam kurun waktu 10 tahun.

Pertama, ia melakukannya pada musim 2002-2003 saat melawan Juventus, dan laga melawan Si Nyonya Besar menjadi final sesama Italia pertama di ajang tersebut.

Kedua, ia melakukannya pada musim 2006-2007 saat berhasil mengalahkan Liverpool, dan laga ini merupakan laga pembalasan karena dua tahun sebelumnya klub asal The Beatles tersebut mengandaskan impiannya meraih gelar ini.

Dengan capaian dua gelar tersebut membuat Seedorf yang sempat bermain di Serie A Brasil selepas dari Milan menjadi satu-satunya pemain yang mampu meraih 4 gelar Liga Champions.

Sebelum di Milan, Seedorf pernah meraihnya saat di Ajax pada pada 1994-1995, dan itu pun mengalahkan Milan, kemudian di Real Madrid pada 1997-1998, dengan mengalahkan Juventus.

Selain dua gelar Liga Champions, Sang Profesor juga meraih gelar-gelar lain selama mengabdi untuk korps Merah-Hitam, yaitu dua kali juara Serie A, 1 kali Coppa Italia, 2 kali Piala Super Italia, dua kali Piala Super Eropa, dan 1 kali Piala Dunia Antarklub.

Seedorf juga menjadi pemain Negeri Oranye yang cukup lama mengabdi, dan menjadi salah satu legenda di klub tersebut. Boleh dibilang hingga saat ini dialah pemain Negeri Tulip terakhir yang juara Liga Champions bersama Milan.

Wesley Sneijder

pemain Belanda

Pemain Belanda terakhir yang mampu juara Liga Champions di Italia adalah Wesley Sneijder. Tidak seperti 4 pemain sebelumnya, Sneijder melakukannya bersama Inter Milan, musuh bebuyutan AC Milan.

Sneijder yang merupakan salah satu alumnus Ajax tersebut melakukannya pada musim pertamanya berseragam biru-hitam pada 2009 selepas hijrah dari Real Madrid.

Gelar itu ia dapatkan setelah mengalahkan Bayern Muenchen pada musim 2009-2010, dan itu ia lakukan di Santiago Bernabeu, kandang Real Madrid.

Gelar Si Kuping Besar yang ia raih itu semakin istimewa karena diraih bersamaan dengan dua gelar lainnya pada satu musim, yaitu Serie A dan Coppa Italia.

Keberhasilan itu membuat Inter meraih treble winners pada musim tersebut, dan menjadi satu-satunya klub Italia yang hingga saat ini mampu melakukannya. Apalagi Inter kala itu di bawah asuhan pelatih kontroversial, Jose Mourinho.

Hingga saat ini Sneijder yang membela Nerazurri selama 4 tahun itu masih belum mempercayai bisa meraih gelar tersebut, yang merupakan gelar antarregion satu-satunya bagi dirinya.

Selain gelar Liga Champions, pemain yang berposisi sebagai pengatur serangan itu juga memberikan gelar-gelar lain untuk I Serpente, yaitu 1 gelar Serie A, 2 Coppa Italia, 1 Piala Super Italia, dan 1 Piala Dunia Antarklub.

Nah, itulah 5 pemain Belanda yang mampu merengkuh gelar juara Liga Champions saat menjalani karier sepak bola di Italia.

Keberhasilan para meneer juara Si Kuping Besar terbilang amat langka apalagi jika dilakukan di Italia yang lebih mengandalkan taktik dan strategi dalam bertahan, bukan menyerang.

Namun para meneer ini ternyata mampu melakukannya dan membuktikan bahwa mereka bisa beradaptasi dengan kultur sepak bola Italia yang gemar memperlambat ritme permainan.

Pertanyaanya, apakah akan ada lagi para meneer yang mampu menjuarai Liga Champions bersama klub-klub Italia pasca Wesley Sneijeder?

Hal itu bisa saja terjadi jika melihat gerak langkah empat wakil Italia pada Liga Champions musim 2020-2021, Juventus Atalanta, Inter, dan Lazio, yang mempunyai para pemain Belanda.

Di Juventus ada Matthijs de Ligt, di Atalanta ada Marten de Roon dan Hans Hateboer. Di Lazio ada Djavan Anderson dan Wesley Hoedt, dan di Inter ada Stefan de Vrij. Semoga saja kita dapat melihat aksi mereka setelah pandemi Corona bisa diatasi dengan maksimal.

Selasa, 31 Maret 2020

Imbas Corona, 4 Turnamen Olahraga Akbar ini Harus Ditunda!

Corona Ubah Nasib Tahun Ganjil 'di Mata' Olahraga Dunia
CNN Indonesia via AFP

Akibat mewabahnya Corona dengan sangat cepat dan massif, banyak turnamen olahraga akbar yang sedianya digelar pada 2020 harus ditunda atau diundur.

Turnamen-turnamen akbar ini biasanya digelar di tahun genap, dan dilaksanakan sebulan seperti halnya Piala Dunia.

Tentu saja penundaan penyelenggaraan even ini dari sisi finansial dan sponsorship agak merugikan. Apalagi, rata-rata digelar pada musim panas, musim liburnya orang-orang di belahan bumi utara.

Lalu turnamen-turnamen apa saja yang mau tidak mau harus ditunda demi keselamatan fans? Yuk, mari kita simak!

Piala Eropa 2020


UEFA Euro 2020 Logo.svg
Wikipedia
Kompetisi sepak bola antarnegara Eropa ini menjadi turnamen olahraga yang harus ditunda pelaksanaannya akibat pandemik Covid-19.

UEFA sebagai penyelenggara memutuskan menunda turnamen 4 tahunan itu mengingat sangat tidak mungkin menghelatnya di saat banyak kompetisi liga Eropa untuk sementara dihentikan.

Liga-liga yang kompetisinya untuk sementara dihentikan karena virus Corona itu tentu harus mempunyai banyak waktu bagi para pemainnya dalam melakukan recovery.

Apabila melihat dari jadwal yang sudah ada, yaitu pada 12 Juni hingga 12 Juli sangatlah tidak masuk akal menyelenggarakan Piala Eropa apabila kompetisi bisa dilanjutkan pada akhir Mei atau awal Juli dengan catatan wabah Corona sudah berakhir.

Akhirnya, untuk meredakan hal tersebut, UEFA pun memutuskan mengadakan turnamen pada pertengahan 2021 (11 Juni-11 Juli) namun tetap dengan nama yang sama, EURO 2020.

Hal itu untuk menandakan spesialnya turnamen tersebut yang bertepatan dengan ulang tahun Federasi Sepak Bola Eropa , dan akan diselenggarakan di 12 negara Benua Biru.

Olimpiade 2020

2020 Summer Olympics logo new.svg
Wikipedia
Tidak hanya Piala Eropa, Olimpiade pun kena imbasnya. Sedianya turnamen multieven empat tahunan itu akan diselenggarakan di Tokyo, Jepang, pada  24 Juli hingga 9 Agutus.

Awalnya, IOC sebagai penyelenggara bersikukuh bahwa Olimpiade musim panas ini tetap bisa digelar sesuai jadwal.

Namun semakin meluasnya wabah Corona yang juga berdampak pada beberapa pembatalan test event membuat ajang yang selalu dikuasai AS itu harus ditunda hingga 2021.

Supaya jadwalnya tidak bentrok dengan Piala Eropa yang terlebih dahulu sudah mengumumkan penundaan, diputuskan turnamen dilaksanakan pada 23 Juli hingga 8 Agustus 2021.

Copa America 2020

2020 Copa América logo.svg
Wikipedia
Turnamen akbar olahraga lain yang juga harus ditunda pelaksanaannya karena Corona adalah Copa America yang sedianya akan dilaksanakan di Argentina dan Kolombia pada  12 Juni-12 Juli 2020.

Sebenarnya Copa America yang merupakan turnamen sepak bola negara-negara Amerika Latin ini biasanya diadakan di tahun ganjil.

Penyelenggaraan pada 2020 untuk menandakan bahwa selanjut-lanjutnya turnamen ini akan diadakan pada tahun genap sekaligus menyaingi Piala Eropa.

Memang dari  segi ketenaran turnamen ini kalah pamor dari Piala Eropa sehingga penyelenggaraan yang bersamaan akan membuat rating turnamen menjadi naik dan bersaing.

Copa America sendiri akhirnya akan dilaksanakan pada 11 Juni hingga 11 Juli 2021, dan tanggal tersebut bersamaan dengan penyelenggaraan Piala Eropa.

Piala Thomas dan Uber 2020

2020 Thomas & Uber Cup logo.png
Wikipedia
Turnamen olahraga lain yang juga terkena imbas Corona adalah Piala Thomas dan Uber 2020, kejuaraan bergengsi bulu tangkis dunia.

BWF sebagai operator turnamen dua tahunan itu memutuskan menunda penyelengaraan yang sedianya dilaksanakan pada 16 hingga 24 Mei 2020 ke 15 hingga 23 Agustus 2020 di Aarhus, Denmark.

Sebelum menunda ajang yang merupakan jualan utamanya ini, BWF telah menunda beberapa turnamen kecil yang mempunyai lisensi badan bulu tangkis dunia tersebut seperti Swiss Open, India Open, dan Malaysia Open.

Bagaimana dengan PON 2020 dan Piala AFF 2020?


Itulah turnamen-turnamen olahraga yang harus ditunda pelaksanaannya pada 2020 ini akibat mengganasnya wabah Corona di seluruh dunia.

Penundaan turnamen-turnamen internasional  tersebut tentunya akan membuat banyak orang bertanya-tanya mengenai PON 2020 dan  Piala AFF 2020.

Apakah keduanya juga akan bernasib sama?

Untuk PON 2020 yang rencananya digelar di Papua pada  20 Oktober hingga 2 November menurut Menpora Zainuddin Amali tetap akan dilaksanakan sesuai jadwal.

Namun, wabah Corona yang menggila sejak awal Maret ini tentunya membuat banyak pihak untuk meminta pemerintah menunda ajang olahraga provinsi empat tahunan tersebut.

Wapres Ma’ruf Amin meminta PON 2020 ditunda apabila wabah Corona semakin merajalela. Hal senada diungkapkan oleh Nasim Khan, anggota DPR dari F-PKB dan Edgar Xavier Marvelo, atlet wushu peraih dua medali emas SEAgames 2019.

Sementara untuk Piala AFF yang rencananya digelar pada 23 November hingga 31 Desember alias di pengujung tahun akan tetap sesuai rencana.

Demikian hal tersebut diungkapkan oleh Presiden AFF , Khiev Sameth seperti dilansir dari Kumparan. Meski begitu, AFF akan tetap memantau dan melihat situasi yang akan memungkikan pengunduran apabila Corona tetap berlanjut.

Semoga saja virus Corona segera berakhir, dan turnamen olahraga akbar yang ditunda pelaksanaannya demi nyawa manusia tidak kehilangan greget dan gengsinya.
 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran