Pages

Selasa, 21 Desember 2021

Antara Bogor dan Depok: Lebih Enak Jalan Kaki di Mana?



Sekitar pertengahan dekade yang lalu saya mendengar diskusi teman-teman kantor sewaktu masih ngantor di Kalibata. Diskusi itu membicarakan kenyamanan berjalan kaki di Bogor dan Depok. Mantan atasan saya yang merupakan orang Solo tapi menetap di Bogor bertanya pada temannya wartawati junior yang baru kerja di situ.

Ia bertanya: Lebih enak mana jalan kaki di Bogor atau Depok? Bogor kan?

Si wartawati itu mengiyakan. Lalu mantan atasan saya itu melanjutkan, kalo di Bogor itu jalan kaki bawaannya tenang dan segar. Kalau di Depok kayaknya gimana gitu, waswas.

Dari diskusi di atas itu saya jadi tergelitik ingin menulis tentang kedua kota dari sudut pandang pribadi. Keduanya merupakan bagian dari megapolitan Jabodetabek dan penyokong penting Jakarta sebagai pusat kehidupan urban.

Saya mulai saja dulu dari Bogor...

Saya mulai kenal Bogor dari usia 4 tahun atau waktu saya di TK. Kenal karena selama masa-masa TK hingga SD sering ke Kota Hujan itu. Namun bukan ke Kebun Raya yang menjadi markah tanah kota tetapi ke rumah kakek-nenek saya yang berada di Ciapus yang letaknya di lereng Gunung Salak. Kenapa bisa ada di Ciapus yang masuk wilayah Kabupaten Bogor? Itu karena kakek-nenek yang asli Surabaya-Mojokerto memutuskan pindah dari rumah di Kebon Baru, Tebet ke Ciapus untuk menghabiskan masa-masa senja di sana.

Pilihan yang cukup tepat karena dengan ke sana sekaligus berlibur. Dan, itulah yang saya lakukan saat liburan caturwulan SD tiba. Suasana Ciapus yang begitu asri, tampilan Gunung Salak yang begitu memukau serta empang dan sawah, siapa yang tidak akan tergugah. Apalagi Ciapus masih dingin tidak seperti sekarang. Saya sering ke Ciapus hingga kakek-nenek saya wafat di akhir 90-an.

Karena ke Ciapus harus lewat Bogor mulai dari stasiun lalu ke arah Kebun Raya, Ramayana, Empang dengan dua kali naik angkot, secara tidak langsung saya mengenal kota tersebut, yang menurut saya rindang, banyak pepohonan tinggi dan besar di tepi jalan, dan kebanyakan dari dalam Kebun Raya yang memang letaknya di tengah kota. Kebun Raya bagi saya adalah semacam alun-alun dan nyawa Bogor hingga sekarang.

Kondisi yang demikian itu tidak berubah sampai sekarang namun ada beberapa perubahan seperti jalur yang diubah jadi satu jalur mulai dari stasiun hingga sekitaran Kebun Raya untuk menghindari macet di depan Ramayana yang jadi BTM, lalu ada penataan beberapa fasilitas publik seperti Lapangan Sempur dan Taman Musik, wilayah pinggir Kebun Raya dijadikan sebagai jalur pejalan kaki dan sepeda. Begitu juga di seberangnya. Hal ini tentu saja nyaman untuk berjalan kaki karena Bogor sudah seperti kota kebun.

Apalagi Wali Kota Bogor, Bima Arya, yang doyan berlari itu membangun sebuah monumen bernama Tepas Lawang Salapan yang berhadapan dengan Tugu Kujang sebagai markah tanah baru sehingga ke Bogor tidak melulu ke Kebun Raya.

Belakangan ini, sebuah fasilitas publik baru dbangun, yaitu Alun-alun Kota Bogor yang letaknya berhadapan dengan Stasiun Bogor. Ternyata alun-alun itu dibangun di atas Taman Topi, sebuah taman hiburan yang saya pernah ke dalamnya selama 2-3 kali sewaktu tinggal di Ciapus pada 1992 hingga 1993 hanya karena bersekolah TK di sana.

Karena itu, saya agak heran dengan alun-alun tersebut awalnya, dan ketika tahu itu dibangun di bekas Taman Topi, baru saya ngeh. Kondisi alun-alun yang berada di depan Stasiun Bogor lebih kepada kesan bagi penumpang KRL yang turun di Stasiun Bogor akan mendapati kota ini merupakan kota yang hijau sekali yang jaringannya sampai daerah Bogor Selatan karena jalan-jalan di kota terutama Jalan Pajajaran mempunyai kanopi alami berupa pohon-pohon besar sehingga membuat siapa pun yang berjalan atau olahraga akan merasa adem dan sejuk.

Apalagi Bogor sendiri itu sudah seperti kota plesiran karena tiap akhir pekan akan selalu ada orang-orang Jakarta dan wilayah Detabek bertandang ke Bogor, yang kini tidak hanya ke Kebun Raya namun juga wisata kuliner murah meriah di kota tersebut bahkan ada juga yang menginap sembari berharap bisa melihat Gunung Salak di kejauhan.

Ya, karena itulah Belanda di masa pembangunan jalur kereta api di Jawa memasukkan Bogor sebagai salah satu pemberhentian karena adanya Istana Gubernur Jenderal (Istana Bogor) dan Kebun Raya. Bahkan Belanda memasukkan Bogor sebagai salah satu tujuan wisata karena Kebun Raya tersebut.

Kini Bogor yang terlihat semakin menghijau masih terus berbenah. Setelah alun-alun, Pemkot Bogor berencana menata alun-alun di Empang kemudian kota ini sedang membangun jalur ganda kereta api Bogor-Sukabumi, yang kemungkinan besar menjadi jalur KRL, dan tentu saja proyek LRT terusan dari Cibubur serta trem. Untuk saat ini Bogor sudah merevitalisasi transportasi massalnya untuk atasi kemacetan akibat banyaknya angkot dengan Biskita TransPakuan.

Nah, itu tentang Bogor yang sebenarnya sampai sekarang cuma punya satu stasiun KRL, Stasiun Bogor karena Stasiun Sukaresmi yang direncanakan sejak lama masih di awang-awang, dan stasiun-stasiun lainnya, Batu Tulis dan Ciomas masuk stasiun KA Pangrango, lalu bagaimana dengan Depok?

Ceritanya cukup berbeda dan kebalikannya....

Saya kenal Depok sejak SD karena pernah ke sana untuk acara di rumah teman kantor orang tua saya. Saya ingat Depoknya berada di Depok 1, dan saya ingat ada di perumahan, dan panas. Tapi saya baru kenal Depok ketika kuliah di Universitas Indonesia dari 2005 hingga 2010. Kesan yang saya dapatkan adalah Depok adalah kota yang panas, berdebu, pohon-pohon tidak ada, macet, dan trotoar yang tidak manusiawi. Itulah yang saya lihat dari Jalan Margonda sampai arah Depok Lama hingga Citayam.

Bangunan-bagunan beton, ruko, mal, hotel restoran semua memadat di pinggiran jalan, dan tidak menyisakan ruang hijau sama sekali. Dan, Kampus UI Depok adalah pengecualian karena jika sudah begitu saya lebih baik ke dalam UI menghindari Depok yang tidak manusiawi.

Kalau saya ke Depok, jawaban saya cuma satu: UI karena di situlah rasa manusiawi benar-benar ada. Pohon rindang, jalanan yang rapi, danau, dan lainnya siapa sih yang tidak mah ke dalam kampus sekadar jalan-jalan atau berolahraga? Pada akhirnya, Depok hanya lebih dikenal karena UI-nya, yang sewaktu saya kuliah ada yang nyeletuk sebagai Kebun Raya Depok.

Padahal, Depok bukan UI saja. Secara historis, Depok punya nilai lebih seperti halnya Bogor, yang dimulai dari kawasan Depok Lama tenpat Cornelis Chastelein mendirikan perkampungan khusus para mantan budaknya. Namun sayang hal tersebut seperti terabaikan karena Depok semenjak memisahkan diri dari Bogor pada 1999 menjadi kota mandiri benar-benar lupa akan jati dirinya sebagai kota padepokan mencari ilmu. Pembangunan pesat tapi tidak melihat tata ruang semua dibabat hingga akhirnya berantakan, dan korbannya adalah rumah kapitan di Pondok Cina yang jadi kafe di area Margo City. Hal lainnya adalah pembangunan tidak memerhatikan trotoar, dan jadilah Depok kota tidak ramah trotoar.

Tidak seperti Bogor yang memang ingin jadi kota taman, Depok sebaliknya. Bahkan alun-alunnya pun seperti asal bangun saja, dan letaknya cukup jauh dari Margonda. Paling dekat ke alun-alun adalah dari Stasiun Citayam lanjut naik ojol dan angkot, dan tentu saja akan berpikir banyak jika jalan kaki ke sana karena tentu tidak ada yang mau jalan kaki di kota yang disebut tidak ramah trotoar atau tidak serindang Bogor.

Padahal, Depok letaknya cukup strategis, menempel langsung dengan Jakarta. Depok pun punya 5 stasiun KRL dan 1 stasiun LRT yang memudahkan warganya memobilisasi diri. Di zaman Belanda, Depok juga dimasukkan dalam jalur kereta api karena faktor Cornelis Chasteleinnya lalu di zaman Orde Baru Depok jadi tempat perumnas pertama, dan wilayah yang cukup strategis menopang beban Jakarta karena perkembangannya. Tapi, letak yang strategis itu membuat Depok keluar dari jalurnya hingga sekarang.

Jadi, seperti di awal tulisan, lebih enak mana jalan kaki di Bogor atau Depok, tentu saya pilih Bogor yang memang super rindang. Tak salah juga jika teman kuliah saya dari Malang pada 2006 pernah bilang ke saya lebih enak jalan kaki di Bogor daripada di Bandung.

Jumat, 10 Desember 2021

Mengamati Perkembangan Kota Jakarta dari Peta Transportasi Publik

Transportasi umum yang terintegrasi merupakan hal mutlak terutama di Jakarta sebagai ibu kota negara dan kota terbesar di Indonesia.

Sebab, di kota yang setara dengan provinsi inilah setiap harinya ratusan hingga jutaan bergerak melaju mencari nafkah di pusat-pusat kota dari tempat asal yang kebanyakan dari wilayah suburban.


Tentunya laju tersebut harus didukung oleh transportasi umum yang terhubung satu sama lain sehingga memudahkan mobilitas manusia-manusia di Jakarta.

Kalau boleh dibilang transportasi di Jakarta saat ini sudah terintegrasi satu sama lain sehingga tidak akan membingungkan para pelaju.

Sebagai contoh, jika Anda bekerja di kawasan perkantoran di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman-M.H. Thamrin, Anda sebenarnya tidak perlu bingung karena tersedianya banyak moda transportasi di sepanjang jalan tersebut.

Jika Anda katakanlah tinggal di Depok atau Bogor yang perlu Anda lakukan pertama kali adalah naik KRL Jabodetabek/Commuter Line dari stasiun-stasiun di dua kota penyangga tersebut. Jika Anda tinggal di Bogor Anda harus ke Stasiun Bogor terlebih dahulu dengan naik angkot, ojek online atau Bus Trans Pakuan yang baru beroperasi.

Selanjutnya, Anda perlu menaiki KRL jurusan ke Tanah Abang-Duri-Angke hingga Jatinegara yang berada dalam Lin Lingkar, dan ditunjukkan bulatan warna kuning dan tulisan L di tengahnya.

Karena Anda bekerja di sepanjang kawasan Jalan Jenderal Sudirman-M.H. Thamrin Anda tentunya perlu berhenti di Stasiun Sudirman kemudian melanjutkan naik MRT Jakarta atau bus TransJakarta. Jika bekerja di SCBD, Anda bisa naik MRT turun di Stasiun Istora Mandiri atau naik TransJakarta di Polda Metro Jaya.

Seperti itulah gambaran terintegrasinya transportasi di Jakarta. Jika Anda melihat peta transportasi terintegrasi di Ibu Kota yang saya ambil dari situs MRT Jakarta, Anda akan melihat bahwa jaringan transportasi di Ibu Kota begitu besar dan luas. Sebanyak 5 wilayah di kota-kota administrasi di Jakarta akan mempunyai transportasi yang terhubung satu sama lain, dan jika diperhatikan jejaring itu juga mencakup wilayah Bodetabek sebagai penyangga.


Dengan demikian peta transportasi ini menunjukkan wilayah megapolitan Jabodetabek secara keseluruhan yang berada di tiga provinsi, yaitu Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat serta dimulai dari wilayah suburban Rangkasbitung yang masuk Kabupaten Lebak di sebelah barat hingga ke wilayah real estate industri Cikarang di sebelah timur. Semua jejaring yang terhubung ini ada semenjak dibuatnya kawasan Jabo(de)tabek pada dekade 70-an untuk menunjang Jakarta yang mulai padat sejak era kemerdekaan.

Dari peta jejaring transportasi yang dikeluarkan pada Oktober 2020 itu jika diperhatikan bahwa Jakarta yang pada awalnya hanyalah sebuah pelabuhan gerbang Pajajaran bernama Sunda Kelapa, kemudian wilayah vasal Banten bernama Jayakarta lalu menjadi kota benteng Batavia, dan Jakarta hingga saat ini mengalami perkembangan yang cukup massif dalam 400-an tahun terakhir. 

Awalnya hanya sebuah wilayah kecil di sebelah utara kemudian meluas ke selatan, timur, dan barat membentuk Jakarta yang dikenal hingga saat ini. Perluasan wilayah kota yang begitu massif selepas kemerdekaan merambah hingga ke kampung-kampung pinggiran kota yang kemudian menjadi bagian dari kota sendiri, dan di bekas kampung-kampung itu juga berdiri pusat-pusat perbelanjaan modern dan megah seperti PGC di Cililitan atau yang teranyar, AEON Mall di Tanjung Barat. Bahkan, dalam perluasan itu juga mengambil wilayah dari kota penyangga seperti Lubang Buaya yang awalnya berada di Bekasi masuk menjadi salah satu kelurahan di Jakarta pada 1981.

Terjadinya perluasan kota karena begitu padatnya penduduk setiap tahunnya yang tentu memerlukan ruang untuk tinggal dan bekerja. Selain adanya perluasan akses transportasi yang memudahkan mobilisasi.

Tentu kita akan bertanya-tanya setelah memperhatikan peta jejaring transportasi di Jakarta sekarang ini, bagaimana dengan jejaring transportasi modern di masa Jakarta masih bernama Batavia atau tepatnya di zaman Belanda?

Rupa-rupanya konsep integrasi antarmoda angkutan itu sudah ada di zaman Belanda. Jadi, hal ini bukanlah hal yang baru namun baru dihidupkan lagi setelah Pemprov DKI mulai mempunyai kesadaran akan hal tersebut setelah melihat kemacetan yang kian parah di jalan-jalan Jakarta.

Lalu bagaimana transportasi yang terintegrasi di zaman Belanda itu? Sebenarnya sama saja. Anda bisa melihatnya pada peta jaringan trem di Jakarta tahun 1934 yang saya ambil dari situs In de Archipel.


Pada peta tersebut terpampang jaringan trem -kereta yang beroperasi di jalan raya dan beroperasi di Jakarta dari 1869 hingga 1962- terhubung dengan jalur kereta api dalam kota yang mulai dari Pelabuhan Tanjung Priok hingga ke Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) lalu melingkar ke Tanah Abang dan Manggarai. 

Dari Tanah Abang jalur terus ke Rangkasbitung dan Merak lalu dari Manggarai jalur terus ke Buitenzorg (Bogor), dan Meester Cornelis ke Bekasi dan Cikarang. Pada peta terlihat jalur trem terintegrasi dengan kereta listrik yang waktu itu dioperatori oleh ESS di Stasiun Batavia (Jakarta Kota), Halte Sawah Besar, Halte Noordwijk (Juanda), Stasiun Batavia Koningsplein atau Weltevreden (Gambir), Halte Kebon Sirih (dekat Stasiun Gondangdia), dan Stasiun Pasar Senen.

Pada peta tersebut terlihat Jakarta yang masih bernama Batavia mempunyai luas wilayah yang tidak begitu besar jika dibandingkan dengan Jakarta masa kini. Jika melihat letaknya berdasarkan wilayah masa kini, Batavia hanya terletak di tiga wilayah administrasi, yaitu Jakarta Utara yang meliputi Tanjung Priok, Ancol, Kampung Bandan, dan Pasar Ikan kemudian Jakarta Barat yang meliputi Duri Kota Tua, Glodok, Molenvliet (Jalan Gajah Mada), selanjutnya wilayah Jakarta Pusat mulai dari Gunung Sahari, Weltevreden (Monas) hingga Kramat.

Itu berarti wilayah-wilayah di luar Batavia masuk Meester Cornelis yang di zaman Belanda statusnya sama dengan Batavia, yaitu stadsgemeente atau kotapraja. Jika sekarang adalah kotamadya atau kota administrasi. Jika melihat pada peta Batavia tahun 1940 yang diterbitkan oleh Kolff & co terlihat wilayah-wilayah seperti Utan Kayu, Manggarai Tebet, Prumpung, dan Kampung Melayu wilayah Meester Cornelis.


Wilayah-wilayah itu ada yang sudah menjadi kota dan mempunyai stasiun kereta api seperti Manggarai dan Meester Cornelis namun ada juga yang masih berupa perkampungan yang dibatasi oleh pohon-pohon buah yang tumbuh di situ. Adapun dalam peta Bandara Kemayoran atau Kemajoran Vliegveld sudah ada, dan di sekitarnya dibatasi oleh area persawahan.

Jika melihat peta Jakarta zaman Belanda dapat disimpulkan bahwa kota Jakarta itu di masa itu tidaklah seperti sekarang, dan konsentrasi kepadatan penduduk berada di tengah-tengah kota mulai dari Kota Tua lalu ke Weltevreden hingga Meester Cornelis. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Jakarta saat ini yang konsentrasi kepadatannya merata bahkan sampai pinggiran dan suburban. Pada peta juga terlihat banyaknya ruang hijau, situ, dan persawahan.

Tapi, tunggu dulu rupanya kepadatan kota yang terkonsentrasi di tengah dari Kota Tua hingga Meester Cornelis itu rata-rata adalah permukiman orang-orang Belanda pada masa itu yang termasuk di dalamnya kawasan Menteng sedangkan orang Indonesia kebanyakan tinggal di luar kota atau kampung sekitar kota karena perilaku rasis dan eksklusif tersebut. Orang-orang Indonesia hanya bisa ke kota rancangan Belanda itu untuk bekerja di kantor-kantor yang tersebar dari Kota Tua hingga Meester Cornelis atau bersekolah di Kwitang, Kramat, dan Salemba.

Kondisi ini sejalan dengan pandangan bahwa kota yang diciptakan serta bercita rasa modern itu khusus untuk orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Karena itu, jangan heran jika kawasan Menteng memang untuk orang kulit putih. Begitu juga dengan rumah-rumah kolonial di Manggarai. Keadaan mulai berubah setelah kemerdekaan hingga sekarang namun tentunya bagi mereka yang berkocek tebal.

Minggu, 05 Desember 2021

Antara Menteng dan Kebayoran Baru: Kisah Dua Kota Taman Pertama di Jakarta

Keduanya adalah kota taman pertama di Jakarta, juga Indonesia yang saya dengar dan tahu sejak kecil. Perkenalan saya dengan kedua kawasan ini juga tiba-tiba. Pertama, saya akan memulai dari Menteng terlebih dahulu.

Koleksi pribadi

Dewasa ini Menteng merupakan salah satu kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Pusat yang terdiri dari 5 kelurahan, yaitu Menteng, Gondangdia, Cikini, Pegangsaan, dan Kebon Sirih. Masing-masing kelurahan tersebut punya tempat yang bisa dikunjungi secara massal dan komersial. Misal, Cikini. Di kelurahan ini ada Taman Ismail Marzuki, pusat seni dan budaya di Jakarta, dan yang di dalam kompleks seni dan budaya ini ada Planetarium, observatorium pertama di Jakarta. Atau di Pegangsaan terdapat Taman dan Monumen Proklamasi yang dulu merupakan tempat Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945.

Pada kecamatan ini juga terdapat tiga stasiun kereta api listrik atau KRL, yaitu Cikini, Gondangdia, dan Sudirman. Dua dari tiga stasiun tersebut, Cikini dan Gondangdia, melayani Lin Sentral dan Lin Cikarang sedangkan Sudirman melayani Lin Lingkar. Ketiganya pun juga teintegrasi dengan moda transportasi lain seperti TransJakarta dan MRT Jakarta.

Koleksi pribadi

Perkenalan saya dengan Menteng sebenarnya berawal dari seringnya saya di masa kecil diajak ke kantor bapak dan ibu saya yang kebetulan memang terletak di Jalan Raya Menteng yang masuk Kelurahan Cikini. Kantor itu sendiri merupakan sebuah kantor pelayanan jasa dan kontraktor yang letaknya di sebelah Gedung Tedja Buana dan Gedung Joeang 45 di sebelahnya lagi. Belakangan saya mengetahui bahwa kantor bapak dan ibu saya itu sebenarnya bukanlah termasuk kawasan Menteng mengingat letaknya yang berada di Kalipasir dan di belakang kantor terdapat Sungai Ciliwung yang membatasi dengan Kelurahan Kwitang yang masuk Kecamatan Senen.

Saya mengetahui hal itu setelah membaca halaman awal dari buku yang ditulis oleh Adolf Heuken berjudul Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia. Itu berarti wilayah-wilayah lain yang berada dalam Kecamatan Menteng seperti Gondangdia dan Cikini merupakan hasil perluasan. Soalnya juga yang saya dapat dari buku tersebut Jalan Raya Menteng tempat lokasi kantor bapak dan ibu saya itu disebut sebagai Jalan Menuju Menteng yang mengarah ke Jalan Cut Meutia, dan di jalan tersebut terdapat Gedung Boplo yang sekarang menjadi Masjid Cut Meutia.

Lalu sebenarnya seperti apa Menteng tersebut pada awalnya?

Dari beberapa sumber yang saya ketahui dari internet, Menteng awalnya merupakan tanah partikelir atau pribadi milik beberapa tuan tanah Belanda dan Timur Asing. Tanah partikelir yang terhampar di luar Weltevreden itu mulai dari Kebon Sirih kemudian dibeli oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan kawasan pemerintahan dan perdagangan seiring dengan meluasnya Jakarta di era kolonial setelah banyak kolonis awal meninggalkan kawasan kota benteng di Kota Tua karena banyaknya gangguan kesehatan.

Jadi, bisa dibilang Menteng itu awalnya memang berkaitan dengan perluasan kota itu sendiri pada abad ke-19 dan ke-20 yang kemudian meningkat seiring dengan dibangunnya infrastruktur-infrastruktur pendukung seperti jalan raya, jalur trem, dan kereta api. Hal ini memang didukung juga dengan letak Menteng yang merupakan bagian dari poros ekonomi kolonial, yang bermula dari Weltevreden hingga Meester Cornelis atau Jatinegara.

Menteng yang dibangun pada dekade 1910 oleh P.AJ. Mooijen, seorang arsitek dan anggota Dewan Kota Batavia itu mempunyai batas berupa kali kecil, yaitu Kali Gresik yang merupakan sebuah selokan untuk drainase. Kali itulah yang menjadi batas alami antara Menteng di selatan dan Gondangdia di utara. Awalnya, oleh Mooijen Menteng disebut dengan Nieuw Gondangdia namun lama kelamaan disebut Menteng sesuai dengan kebiasaan penduduk lokal yang menamai kawasan tersebut dengan nama buah menteng, buah tropis yang banyak tumbuh di kawasan tersebut.

Selain Kali Gresik, pada sebelah selatannya Menteng dibatasi oleh Kanal Banjir Barat dan jalur kereta dari Manggarai menuju Tanah Abang. Sedari awal, kawasan ini memang dirancang sebagai sebuah kota taman atau tuinstad atau garden city, sebuah konsep yang begitu menggema oleh arsitek urban asal Inggris, Ebenezer Howard di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Yang dimaksud dengan kota taman adalah bahwa dalam wilayah tersebut harus didominasi oleh taman-taman publik yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dan untuk mendapatkan kesehatan yang lebih baik. Taman-taman ini pun harus melingkari kota. Meski begitu, Menteng oleh para perancangnya adalah kota taman yang tidak berdiri sendiri melainkan terhubung dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Karena itu, tak mengherankan jika Anda jalan-jalan ke kawasan Menteng sudah pasti Anda akan banyak melihat taman-taman yang besar maupun kecil serta pepohonan rindang dan setu-setu di dalamnya berkat para perancang urban yang tak hanya Mooijen, tetapi juga Kubatz dan Ghijssels.

Kota taman pertama di Indonesia ini tentunya membuat decak kagum banyak pihak yang melihatnya seperti Thomas Karsten, salah satu arsitek art-deco kenamaan di Hindia-Belanda, yang menilai Menteng merupakan sebuah kota taman dengan perpaduan elegan antara Eropa dan tropis yang layak dihuni. Memang, Menteng tetap didesain dengan konsep Eropa pada tata kawasan yang meliputi jalan, permukiman, dan tamannya. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya bulevar pada kawasan seperti Oranje Boulevard yang sekarang menjadi Jalan Diponegoro. Namun ada satu hal yang berbeda pada bentuk rumah-rumah di dalamnya yang didesain dengan khas tropis seperti rumah-rumah besar dengan lubang udara dan ventilasi yang lebar, jendela yang besar serta berhalaman luas. Hal inilah yang akan membuat penghuni rumah akan selalu merasa sejuk dan tidak pengap. Ini tentunya supaya tidak ada lagi kesalahan dalam membuat permukiman seperti di Kota Tua.

Kondisi yang demikian membuat Menteng menjadi kawasan perumahan-villa orang Eropa di negara tropis yang cukup tersohor serta banyak diminati para penduduk kulit putih di Batavia untuk menempatinya. Kawasan Menteng pun menjadi role model untuk pembangunan kota-kota taman seperti di Surabaya, Semarang, dan Malang. Kondisi ini mencapai puncaknya sebelum Perang Dunia Kedua meletus di Asia dan Pasifik pada 1942-1945. Ketika Jepang datang ke Jakarta pada 1942, mereka pun cukup kagum dengan arsitektural Menteng sehingga menempatkan beberapa pejabatnya untuk tinggal di kawasan tersebut selama masa perang seperti Laksamana Tadashi Maeda yang kediamannya dijadikan sebagai tempat untuk merumuskan teks proklamasi dan sekarang dijadikan Museum Perumusan Teks Proklamasi.

Setelah Indonesia merdeka terutama setelah Belanda benar-benar hengkang seusai kesepakatan pengakuan kedaulatan pada 1949, berbondong-bondong para pejabat dan kantor pemerintahan bertempat tinggal di Menteng yang masih memancarkan pesonanya. Tak hanya para aparatur pemerintahan dalam negeri, para kedutaan besar pun menempatkan perwakilan mereka di kota taman tersebut.

Di masa setelah kemerdekaan pulalah terutama pada 1965 terjadilah peristiwa penculikan dan penembakan para jenderal AD di rumah mereka masing-masing yang kebanyakan ada di Menteng. Contohnya adalah Jenderal Ahmad Yani yang ditembak mati oleh kesatuan Cakrabirawa yang loyal pada PKI, dan kemudian dibuang ke Lubang Buaya. Di rumah tempat Ahmad Yani gugur itu kemudian dijadikan sebagai Museum Sasmita Loka. Atau peristiwa-peristiwa lainnya seperti Kudatuli 1996 dan penggusuran cagar budaya Stadion Persija di Lapangan Vios yang dijadikan sebagai Taman Menteng pada 2007.

Lalu bagaimana dengan Kebayoran Baru?

Jika Menteng saya mengenalnya karena ada kantor bapak ibu saya di Jalan Raya Menteng, kalau Kebayoran Baru ini karena awalnya berasal dari Blok M, yang di masa saya kecil begitu tersohor sebagai terminal bus dan mal. Memang hingga sekarang pun di Blok M masih ada terminal dan mal yang lebih dari satu, yaitu Mal Blok M, Blok M Square, Blok M Plaza, dan Pasaraya Blok M. Kemudian di kawasan ini sekarang juga ada Stasiun MRT Blok M BCA dan tempat nongkrong baru anak muda bernama M Bloc yang tempatnya mengambil tempat bekas perumahan Peruri.

Koleksi pribadi

Blok M sendiri memang merupakan bagian dari Kebayoran Baru, dan tepatnya merupakan kawasan di Kelurahan Melawai. Kawasan ini memang paling populer di Kebayoran Baru karena merupakan tempat nongkrong anak muda pada era 80 dan 90-an. Karena populernya tidaklah mengherankan jika Blok M menjadi latar belakang video klipnya Denny Malik, "Jalan-jalan Sore". Bahkan saya semasa SMA dan kuliah sering main ke Blok M untuk sekadar ke Blok M Plaza lalu menonton film di bioskop dalam mal tersebut. Apalagi di Blok M juga ada dua SMA yang cukup terkenal dan sering tawuran, SMA 6 dan SMA 70. Kondisi yang demikian membuat Blok M adalah magnet untuk tempat pergaulan di masa muda.

Tentunya kehadiran Blok M ini memang tidak akan lepas dari penciptaan sebuah kawasan bernama Kebayoran Baru pada 1948. Secara administratif, Kebayoran Baru adalah sebuah kecamatan dalam Kota Administrasi Jakarta Selatan. Adapun kecamatan ini terdiri dari 10 kelurahan, yaitu Senayan, Gunung, Selong, Rawa Barat, Kramat Pela, Melawai, Petogogan, Gandaria Utara, Pulo, dan Cipete Utara. Wilayah ini merupakan pecahan dari Kebayoran Lama di sebelah barat yang juga dibatasi Kali Grogol sebagai batas alami.

Seperti halnya Menteng, Kebayoran Baru juga mempunyai ciri khas pada beberapa kelurahannya, yaitu Melawai yang kental dengan Blok M atau Senayan yang kental dengan kawasan distrik bisnis, SCBD. Pada kecamatan ini juga terdapat 4 stasiun kereta api MRT, yaitu Senayan, ASEAN, Blok M BCA, dan Blok A. Keempat stasiun ini melayani jalur Lin Utara-Selatan dari Jakarta Kota ke Lebak Bulus.

Kebayoran Baru merupakan kota taman kedua di Indonesia setelah Menteng yang pada awalnya merupakan sebuah perkampungan di Afdeeling Meester Cornelis pada era Hindia-Belanda yang masuk district Kebajoran dengan ibu kota berada di Kebayoran Lama. Awalnya Kebayoran Baru dirancang sebagai kota satelit Batavia setelah Perang Dunia Kedua ketika Belanda datang kembali ke Indonesia seusai menyerahnya Jepang.

Kota taman ini dirancang oleh H. Moh. Soesilo, murid Thomas Karsten, dan dikerjakan oleh CSW, yang tentu masih populer namanya bagi yang ingin ke Blok M, dan nama ini sekarang dijadikan sebagai nama Halte TransJakarta koridor 13 dan sebuah bangunan integrasi antara TransJakarta dan MRT Jakarta. 

Pengerjaan kota taman Kebayoran Baru oleh CSW sebenarnya sama dengan pengerjaan Menteng oleh NV Bouwploeg atau Boplo. Pengambilan tema kota taman berdasarkan tren yang terjadi pada awal abad ke-20 dan pasca Perang Dunia Kedua. Kebayoran Baru sendiri dirancang sebagai kota satelit untuk mengakomodasi kebutuhan akan permukiman di Jakarta kala itu yang bagi pemerintah Belanda dirasa sangat mendesak karena Batavia kota inti sudah tidak bisa menampung banyak orang lagi.

Pengerjaan kota taman ini dimulai pada 1949 setahun setelah perancangan, dan di saat Indonesia masih terus mempertahankan kemerdekaan dengan berbagai pertempuran melawan Belanda di luar Jakarta. Ketika Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia lewat KMB, pengerjaan kota taman satelit Kebayoran Baru tidak terpengaruh hingga akhirnya kelar pada 1955.

Meskipun merupakan kota taman, kenyataannya Kebayoran Baru dirancang secara heterogen pada permukimannya dengan berbagai bentuk tipe, dan dibuat dengan blok-blok, yaitu blok A, O, dan P yang masuk Kelurahan Pulo, Blok B, C, D yang masuk Kelurahan Kramat Pela, Blok M dan N yang masuk Kelurahan Melawai, Blok Q yang masuk Kelurahan Petogogan, dan Blok R dan S yang masuk Kelurahan Rawa Barat. Pada akhirnya blok-blok ini menjadi lebih populer daripada nama kelurahannya seperti Blok M, Blok A, dan Blok S.

Dalam perkembangannya, Kebayoran Baru yang terdiri blok-blok tersebut mencakup beberapa wilayah seperti Senayan, Cipete Utara, dan Gandaria Utara sebagai bagian dari perluasan wilayah. Ketika kota satelit ini selesai pada 1955, terjadilah permasalahan lain yang berkaitan dengan letaknya yang cukup jauh dari pusat kota Jakarta yang berada di kawasan Monas. Walaupun Belanda sudah membangun jalan penghubung berupa jembatan dari Menteng dari Jalan Teluk Betung menyeberangi Sungai Ciliwung, hal tersebut belumlah cukup sehingga pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno membuat sebuah jalan baru yang lebih luas serta memanjang dari Medan Merdeka Barat ke Sisingamangaraja. Jalan itu dinamai Jalan M. H. Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman sepanjang 13 kilometer.

Tak hanya itu, Bung Karno juga membangun kompleks olahraga di Senayan dan jembatan di Semanggi yang memudahkan orang-orang bermobilisasi dari utara ke selatan tepatnya ke Kebayoran Baru. Pembangunan bangunan-bangunan monumental itu seiring dengan keinginan Bung Karno membuat Jakarta menjadi mercusuar dunia yang ia manfaatkan lewat Asian Games 1962 sekaligus membuat poros ekonomi baru dari Thamrin hingga Sudirman yang tetap eksis hingga kini.

Dalam perjalanan sejarahnya kawasan Kebayoran Baru yang juga merupakan kawasan elite di Jakarta pernah punya sejarah kelam, yaitu penculikan dan penembakan Jenderal D.I. Panjaitan oleh para tentara loyalis Soekarno yang pro-PKI di rumahnya di Jalan Hasanuddin seberang Terminal Blok M pada 1965. Sang jenderal yang tewas itu langsung dibawa ke Lubang Buaya. Peristiwa ini seperti halnya pada Menteng sehingga kedua kota taman ini ada keterkaitan peristiwa historis yang sama pada 1965.

Kesimpulan 

Menteng dan Kebayoran Baru merupakan dua kota taman pertama di Jakarta yang menjadikan keduanya sebagai pelopor kawasan yang asri, sejuk, dan terintegrasi. Tentunya dari gambaran di atas Menteng adalah kawasan permukiman yang identik dengan gaya hidup kolonial yang gemerlap pada awal abad ke-20, dan karena kolonial kawasan ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa di masa penjajahan sedangkan Kebayoran Baru walaupun dikerjakan oleh biro Belanda, pada akhirnya menjadi kawasan permukiman yang identik dengan orang-orang Indonesia pascakolonial, yang tentunya masih begitu membara semangat nasionalismenya.

Dewasa ini kita melihat kedua kawasan ini masih tetap eksis meskipun ada perubahan struktur bangunan di dalamnya yang tentu saja bisa mengaburkan pandangan historis keduanya. Menteng di masa pasca kolonial ini menjadi tempat tinggal bagi para pejabat, kantor partai-partai ternama, lembaga-lembaga pemerintahan, dan kedutaan besar negara-negara asing.

Sedangkan Kebayoran Baru yang mempunyai distrik bisnis dan serta pusat perbelanjaan menjadi tempat lembaga-lembaga pemerintahan seperti Polri, PLN, Kejaksaan Agung, Kantor Walikota Jakarta Selatan serta Sekretariat Jenderal ASEAN. Keduanya juga merupakan ibu kota kota administrasi masing-masing sehingga bisa dibilang keduanya masih sangat istimewa, dan berbicara mengenai perluasan kota Jakarta tidak akan bisa dilepaskan dari keduanya.


Sabtu, 04 Desember 2021

Dari Timur ke Barat: Sejarah Poros Ekonomi, Bisnis, dan Perdagangan Jakarta

Belakangan ini nama Dukuh Atas sedang begitu terkenal sebagai sebuah kawasan berorientasi transit yang dikembangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat sejak 2019. Disebut demikian karena kawasan yang terhampar di Jakarta Pusat dan Selatan merupakan titik pertemuan antara berbagai moda transportasi di Ibu Kota, yaitu KRL Jabodetabek, TransJakarta, Kereta Bandara Soekarno-Hatta, dan MRT Jakarta.


Pada Agustus 2022 kawasan ini akan bertambah lagi satu moda transportasi, yaitu LRT Jabodebek yang mempunyai jalur dari Cibubur dan Bekasi, dan Pemprov DKI pun melalui para BUMD transportasinya (MITJ dan MRT Jakarta) sedang membangun Simpang Temu Dukuh Atas yang akan menghubungkan Stasiun LRT Jabodebek dan Stasiun KRL Sudirman di seberang Waduk Setiabudi. Simpang Temu yang direncanakan mempunyai 11 lantai itu juga akan terhubung dengan Halte TransJakarta Dukuh Atas 2 di bawahnya serta di situ terdapat juga jalur pejalan kaki dan sepeda.

Kehadiran fasilitas penunjang mobilitas untuk transportasi terintegrasi di Jakarta ini merupakan yang kedua setelah Terowongan Jalan Kendal di bawah Jalan Jenderal Sudirman diubah menjadi jalur pejalan kaki yang begitu luas untuk memudahkan mobilitas para kaum penglaju Ibu Kota yang hendak berpindah antarmoda seperti dari Stasiun KRL Sudirman ke Stasiun MRT Dukuh Atas dengan aman.

Kawasan Segitiga Emas Jakarta

Dukuh Atas sendiri sebenarnya merupakan bagian dari kawasan Segitiga Emas Jakarta yang di dalamnya terdapat Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, SCBD, Senayan, Rasuna Epicentrum, dan Mega Kuningan. Kawasan yang berisikan banyak gedung pencakar langit yang dimaksudkan sebagai distrik bisnis, ekonomi, dan perdagangan Jakarta hari ini merupakan sebuah kawasan yang dikonsepkan sejak dekade 90-an. Awal mulanya konsep ini berawal dari perkembangan Jakarta pasca kemerdekaan terutama di tahun 1950-an dan 1960-an, yang kemudian sekarang berkembang menjadi kawasan yang supermegah dan mewah, dengan jarak sekitar 19,01 km.

Pada hari di kawasan ini terutama dari arah Bundaran HI hingga Bundaran Senayan terlihat banyak revitalisasi fasiltas publik mulai dari halte hingga JPO yang dibuat futuristik demi memancarkan keindahan kota. Hal tersebut pun berkelindan dengan adanya stasiun-stasiun bawah tanah MRT di jalur tersebut.

Ketika di masa  sekarang kawasan yang sedang mencuri perhatian adalah sepanjang Jalan Jenderal Soedirman dan M.H. Thamrin yang benar-benar mencirikan sebagai nyawa ekonomi Ibu Kota apakah hal yang sama pernah ada di masa Jakarta masih bernama Batavia yang merupakan ibu kota Hindia-Belanda, nama historis Indonesia sampai 1949 menurut pandangan orang Belanda?

Jawabannya tentu saja ada. Bahkan sebenarnya di masa Batavialah integrasi moda transportasi sudah dilakukan dengan berbagai moda transportasi yang ada pada masa itu, yaitu trem, kereta listrik, dan bus. Namun kawasan yang menjadi pusat perdagangan dan perekonomian di zaman Belanda itu berada di sebelah timur jika ditarik dari Dukuh Atas sekarang, dan kawasan itu bernama Senen.

Kawasan Segitiga Senen

Nama Senen tentu sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang Jakarta atau dari luar Jakarta terutama dari Cirebon dan Tanah Jawa yang sering naik kereta api dari tempat asalnya kemudian turun di Stasiun Pasar Senen yang merupakan salah satu stasiun terbesar di Jakarta selain Gambir dan Jatinegara. Pada kawasan yang masuk administrasi Jakarta Pusat ini juga terdapat Terminal Bus Senen sebagai salah satu terminal bus untuk mudik dari pusat kota ke daerah.


Kawasan Senen yang berdekatan langsung dengan Cempaka Putih, Johar Baru di timur serta Menteng dan Kwitang di barat merupakan kawasan yang cukup termasyhur di masa Batavia. Letak kawasan ini yang cukup strategis karena hanya satu jalan lurus saja dari Arah Ancol dan Gunung Sahari di utara serta Salemba dan Jatinegara di selatan membuatnya berada di pertengahan titik pertemuan. Apalagi di kawasan ini juga terdapat Pasar Senen yang dibangun sejak abad ke-18 oleh Justus Vinck setelah membeli beberapa hektare tanah dari Cornelis Chastelein yang terkenal memilki tanah dari Jatinegara hingga Depok di masa ketika VOC  sudah mulai ada di Jakarta.

Seperti halnya Dukuh Atas, kawasan Senen juga merupakan salah satu dari poros ekonomi Jakarta di masa Batavia. Di kawasan ini banyak bermunculan toko-toko orang Cina setelah pasar, tempat hiburan berupa bioskop dan gelanggang seni, dan lain-lain. Bahkan karena ramai dan padatnya kawasan ini disebut juga dengan Segitiga Senen karena memang jika dilihat dari peta bentuknya seperti segitiga yang di dalamnya terdapat toko dan fasilitas publik lainnya serta pasar yang sampai sekarang masih ada serta pusat perbelanjaan Mal Atrium.

Di Senen pulalah banyak lahir para seniman gelanggang yang disebut dengan seniman Senen seperti Chairil Anwar dan  Misbach Yusa Biran yang memang sering berkumpul di tempat-tempat seni dan hiburan di kawasan itu seperti bioskop Rivoli (dahulu Asia) dan Rex yang sekarang sudah tutup serta berganti nama Grand Theater Senen. Tak hanya di tempat seni dan hiburan, para seniman itu juga sering berkumpul dekat Stasiun Pasar Senen sampai kemudian pusat kebudayaan dan seni di Jakarta dipindahkan ke Taman Ismail Marzuki pada dekade akhir 1960-an.

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kawasan Senen yang cukup populer di masa Batavia dan pada dekade-dekade awal kemerdekaan sebenarnya merupakan salah satu dari poros ekonomi, bisnis, dan perdagangan yang diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda di Batavia. Kawasan ini berawal dari Weltevreden (sekarang kawasan Monas) lalu ke Salemba, dan berakhir di Jatinegara yang  kala itu bernama Meester Cornelis sebagai batas poros di selatan yang mengarah ke Bekasi.

Awal munculnya poros ini karena keinginan orang-orang Belanda yang lama menetap di Batavia sejak abad ke-17 untuk membuat kembali distrik perdangangan dan ekonomi sekeluarnya mereka dari kawasan benteng yang sekarang berada di Kota Tua akibat permasalahan kesehatan seperti malaria, sesak napas karena udara dalam rumah-rumah di kawasan itu yang pengap akibat dibangun mengikuti Amsterdam, serta udara tropis yang tidak bersahabat. Kondisi kota benteng Batavia yang tidak sehat tersebut menyebabkan banyak penghuninya meninggal hampir setiap harinya, dan setiap harinya pula Kali Besar di kawasan itu akan selalu ada peti jenazah yang menuju ke pemakaman Tanah Abang (sekarang Museum Taman Prasasti).

Dari kawasan benteng inilah kemudian mereka ke beneden stad atau kota bawah yang dianggap lebih sehat serta masih mempunyai suhu yang menyejukkan sehingga kemudian disebut dengan Weltevreden hingga Belanda hengkang dari Indonesia selama-lamanya. Permukiman baru seketika muncul dan tumbuh dengan pesat meskipun Batavia dikuasai Inggris pada 1811-1816. Di Weltevreden inilah mulailah dibangun banyak bangunan publik seperti Gedung Harmoni yang sekarang menjadi lapangan parkir Sekretariat Negara, Gedung Schouwburg yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta, Museum Batavia yang sekarang adalah Museum Nasional, Gereja Katedral, Gereja Immanuel, serta Istana Weltevreden yang sekarang menjadi gedung Kementerian Keuangan yang berada di sebelah timur Waterlooplein atau sekarang Lapangan Banteng.

Massifnya perkembangan kawasan di Weltevreden terutama di sebelah timur berlanjut hingga ke kawasan-kawasan di bawahnya, Senen, Salemba, dan Jatinegara. Selain kawasan Senen yang sudah disebutkan di awal juga ada kawasan Kwitang yang di dalamnya terdapat gedung Stovia yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional kemudian ke Salemba terdapat Sekolah Kedokteran STOVIA yang baru untuk menggantikan gedung STOVIA lama di Kwitang. Selain fasilitas pendidikan di Kwitang dan Salemba juga berdiri banyak toko dan perkantoran, dan hal itu berlanjut hingga Jatinegara via Matraman, yang  mulai berkembang pesat menjadi gemeente atau kotamadya pada awal abad ke-20 seiring dengan adanya Stasiun Jatinegara dan jalur trem yang mengarah dari Pasar Ikan. Poros ekonomi masa Batavia ini juga semakin berkembang setelah adanya perumahan tropis khusus orang Eropa di kawasan Menteng dan Gondangdia yang terhubung oleh jalur trem dari Pasar Ikan ke Menteng serta Harmoni ke Pasar Senen dan kereta api dari Stasiun Batavia BEOS (sekarang Stasiun KRL Jakarta Kota) ke Buitenzorg (Bogor). Di sepanjang jalur Salemba-Matraman integrasi antara trem dan kereta yang sudah dialiri listrik pada 1925 ada di viaduk Matraman. Di situlah trem yang mengarah ke Meester Cornelis bertemu dengan kereta di Stasiun Matraman di atasnya.

Gambaran mengenai poros ekonomi, bisnis, dan perdagangan di kala Jakarta masih bernama Batavia ini banyak disebutkan dalam beberapa karya sastra Indonesia seperti para sastrawan Balai Pustaka yang dalam novel-novel seperti Salah Asuhan selalu menyebutkan Kwitang sebagai asrama bagi para mahasiswa kedokteran yang kuliah di STOVIA serta menyaksikan gemerlapnya poros ekonomi tersebut atau Jejak Langkah bagian dari Tetralogi Pulau Buru yang juga menyebut kawasan-kawasan di poros ini seperti Kwitang, Salemba, Kramat, bahkan Jatinegara sebagai latar belakang tokoh Minke yang kuliah di STOVIA.

Bergeser ke barat

Perkembangan kota Jakarta di masa kolonial dari abad ke-18 hingga awal abad ke-20 sebelum Perang Dunia Kedua mengindikasikan jika perkembangan kota hanya berada di sebelah timur saja setelah turun dari utara sementara di luar perkembangan berarti adalah pinggiran kota yang berisi kampung-kampung yang tidak terjamah oleh gemerlap pembangunan di timur yang lebih banyak ditujukan bagi orang Eropa. Hal ini berdasarkan peta-peta Jakarta zaman dahulu yang di dalamnya juga sudah ada jalur trem dan kereta api.


Karena poros tersebut dianggap sebagai bentuk keangkuhan Belanda di masa kolonial, di masa-masa awal kemerdekaan terutama setelah pengakuan kedaulatan pada 1949, Bung Karno sebagai Presiden mulai memikirkan poros ekonomi baru untuk Jakarta yang mulai berkembang sekaligus meninggalkan kesan kolonial yang kejam dan diskriminatif.  Pada dekade 1950-an dan 1960-an mulailah ia merancang poros dari kawasan Monas sebelah barat hingga ke Kebayoran Baru dengan membangun jalan-jalan  baru penghubung kawasan tua dan baru Jakarta , yaitu Jalan M.H. Thamrin dan Jenderal Sudirman dengan beberapa bangunan monumental di sekitarnya, yaitu Monas, gedung Sarinah, patung selamat datang di bundaran HI, Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Jembatan Semanggi, hingga Kompleks Olahraga Bung Karno yang bisa dibilang berupaya mengangkangi arsitektur-arsitektur dan infrastruktur kolonial di sebelah timur, dan seiring perkembangan zaman poros dari Monas hingga ke Kebayoran Baru ini menjadi kawasan bisnis utama Jakarta hingga saat ini.

Foto dari berbagai sumber


Senin, 22 Maret 2021

Harapan Terakhir

 Deretan sawah yang menghijau, dan di kejauhan terdapat gunung yang membiru lalu pepohonan di kanan-kiri jalan merupakan pemandangan yang terlihat cukup indah. Kicau burung-burung terasa semakin menambah hal tersebut. Kerbau-kerbau yang terlihat membajak sawah, juga para petani yang tengah bercocok tanam. Siapa yang tidak menyangka anugerah terindah ini dari-Nya!



"Sayang jika ini jatuh ke tangan Jepang," ujar seseorang mengomentari pemandangan tersebut dengan tatapan tidak rela. Ia lalu berbalik badan kemudian duduk melihat kondisi di depannya yang ternyata banyak orang. Mereka berbaju dan bercelana panjang hijau, memakai helm dan sepatu lars, serta memegang senapan. Di badan mereka terdapat kantung- kantung berisi amunisi.

Ia mendapati dirinya juga demikian kemudian membuka helmnya yang terdapat lambang singa. Orang-orang di depannya ini ada yang duduk diam, tertidur, dan bahkan menulis sebuah catatan harian. Ribuan pemandangan mereka lewati begitu saja tanpa henti seiring dengan laju truk yang mereka tumpangi. Wajah para serdadu itu beragam warna. Ada yang putih seperti dirinya, dan ada yang hitam serta bersawo matang.

"Memang sayang, Pieter. Tapi, kenyataannya sebentar lagi memang akan diambil Jepang," ujar salah seorang yang menyebut namanya, Pieter. Orang itu sama seperti dirinya, berkulit putih namun tampak ada gurat campuran di wajahnya, " Kalau kau ingin ini tidak jatuh ke para kate, mari kita bertempur demi Pangeran Oranye dan Sang Ratu," lanjut orang ini yang duduk tidak jauh darinya.

Pieter tidak menjawab orang yang bernama Hans tersebut. Ia seperti merasa lelah dan capek. Kemudian menatap kosong ke depan.Di depan Pieter terdapat serdadu berkulit sawo matang bernama Koentjoro yang kemudian berkata,

"Bagaimana bisa tidak jatuh kalau kita saja tidak punya semangat tempur yang bagus seperti mereka. Persenjataan apa adanya. Kau lihat Batavia sekarang mereka kuasai?"

Tampak Koentjoro, si prajurit sawo matang keturunan priyayi biasa dari Surakarta, agak kesal ketika komando militer Hindia-Belanda di Batavia membiarkan saja ibu kota menjadi kota terbuka bagi Jepang sehari sebelumnya, 5 Maret 1942.

Kala itu Koentjoro yang sedang asyik bermain sepak bola di waktu senggang bersama serdadu lainnya di tangsi mereka di Galur dekat Weltevreden mendadak menerima berita bahwa Tanjung Priok diserang dan dibom. Mereka lantas disuruh siaga menjaga kota namun tidak diinstruksikan melakukan perlawanan terhadap Jepang yang datang dengan sepeda.

Koentjoro kemudian bersama teman-temannya diperintahkan ke pinggiran Batavia tepatnya ke Buitenzorg untuk diangkut bersama dengan para serdadu dari kesatuan lain pada tengah malam menjelang pagi menuju Bandung.

"Kenapa kita tidak melawan saja mereka? Mereka bertubuh pendek, berkulit sama! Apa yang harus ditakutkan?"

"Ini sudah perintah dari Jenderal Schilling, broer. Jepang datang jumlah banyak dan kita memang tidak mampu melawan," ujar Hans menanggapi kekesalan Koentjoro, " Kita diperintahkan ke Bandung karena di situlah baru kita akan melawan habis-habisan. Jadi, ini biar tenaga kita tetap ada,"

Perkataan Hans itu tiba-tiba ditanggapi oleh serdadu lain. Ia berkulit sawo matang.

"Sebenarnya ini perang siapa? Perang kalian atau kami?" tanyanya yang kemudian membuat semuanya kaget. 

"Siapa kau?" tanya Pieter, "Dari mana asalmu?"

"Didi" ujarnya singkat, "Saya dari Buteinzorg. Apa masalah ucapan saya tadi?"

"Maksudmu apa dengan kalian dan kami?" ujar Pieter yang penasaran dan seperti merasa ada perbedaan di ucapan tersebut.

"Ya, ini perang kaliankah, orang Belanda?" ujar Didi yang mulai dengan nada tinggi dan mata melotot, "Untuk apa kalian libatkan kami yang sudah rampas hak kami dan adu domba kami?"

Pieter yang kesabarannya habis mulai bertindak,

"Zeg, verdomme! Kuhajar kau!"

Namun buru-buru ia dicegah oleh Hans dan beberapa serdadu yang lain,

"Lalu buat apa kau bergabung dengan KNIL?" tanyanya lagi masih dengan nada emosi.

Didi yang ditanya seperti itu menjawab dengan mudah,

"Simpel. Demi perut karena tanah kami semua kalian rampas!"

"Brengsek!" Pieter yang masih terbalut emosi berusaha melayangkan tinjunya ke arah Didi. Namun, itu buru-buru kembali dicegah Hans.

"Sudah-sudah tidak ada gunanya kau berurusan dengan orang tidak terpelajar dan tidak tahu terima kasih ini!"

Tetapi Pieter malah tidak menghiraukan Hans. Ia masih saja mencecar Didi,

"Kau tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku kehilangan teman terbaikku di Palembang!"

"Ya, itu salahnya sendiri. Tidak ada urusannya denganku,"

"Sialan!"

Tiba-tiba saja truk berhenti. Seorang kapten turun dari mobil lalu ke bagian belakang berisi tentara-tentara tersebut.

Ia meminta mereka semua turun dan menanyakan perihal yang terjadi. Setelah dijelaskan barulah si kapten yang bernama Jaap ini meminta Didi pindah ke truk lain di belakang yang kebetulan diminta berhenti. Kapten Jaap berkata,

"Kau, Pribumi, bisanya menyusahkan saja!"

Tapi, Didi tidak menanggapi hal itu. Ia langsung menaiki truk yang ternyata banyak berisi serdadu sawo matang. Truk-truk yang berjumlah tiga buah itu memang diarahkan ke Bandung untuk memperkuat pertahanan terakhir Hindia-Belabda di kota tersebut.

Selepas pindahnya Didi, keadaan menjadi tenang kembali. Truk-truk itu tak terasa memasuki Sukabumi kemudian Cianjur, dan akhirnya Bandung. Di Bandung beberapa pasukan segera disiagakan untuk menjaga Bandung sementara yang lainnya bergerak ke arah Lembang dan Ciater untuk bertempur melawan Jepang yang berhasil merebut Kalijati. Tidak ada istirahat untuk mereka.

Keadaan Bandung cukup terlihat tenang walaupun situasi kelihatan menegang dan mencekam seiring dengan gerak cepat pasukan Jepang. Pasukan dari Batavia dan Buitenzorg yang kebetulan tidak mendapat tugas menjaga kota memanfaatkan kesempatan ini untuk berplesir atau pulang. Inilah yang dilakukan Joris yang memutuskan pulang ke rumahnya di dekat Pangkalan Udara Andir.

Ia ditemani Oey, serdadu keturunan Cina yang merupakan asli Tangerang, dan memilih bergabung dengan KNIL karena ingin berbeda dari keluarganya yang merupakan pedagang. 

"Terima kasih telah mengajakku, kawan," kata Oey, "Seumur-umur baru kali ini aku bisa melihat Bandung. Sungguh indah dan sejuk,"

"Sama-sama, kawan," kata Joris tersenyum bangga, "Itulah mengapa kami menamakannya Parijs van Java,"

Namun apa yang dirasakan Oey tidak bisa dirasakan lagi oleh Mevrouw Anne dan Petra, anak perempuannya. Mereka adalah ibu dan adik perempuan Joris. Mereka seperti sudah ketakutan dan pasrah jika Jepang menang dan menguasai Bandung.

"Yang Ibu khawatirkan adalah Petra, Joris," kata Mevrouw Anne mengungkapkan kekhawatiran tersebut saat menyambut Joris dan Oey, "Ibu takut jika Jepang menguasai Bandung mereka lalu datang ke rumah kita dan mungkin akan memperkosa Petra. Kau tahu kan berita kekejaman mereka di Nanjing?"

"Ya, aku tahu, Ibu," kata Joris menanggapi, "Mereka sungguh-sungguh biadab! Karena doakan kami bisa melawan mereka!"

"Harus, Nak, harus. Kita sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Nak. Kau juga sudah tahu Abangmu, Ruud, tewas oleh Jerman karena ketahuan bersekongkol dengan Yahudi di Amsterdam, dan rumah saudara-saudara kita di sana sudah hancur oleh para laknat tersebut!"

"Iya, Bu,"

"Ibu selalu mendoakanmu,"

"Terima kasih doanya, Bu,"

"Bang Joris, kau harus bisa melawan Jepang," ujar Petra yang menunjukkan ketakutan seperti Mevrouw Anne, "Aku takut jika mereka ke sini dan memperkosaku seperti di Nanjing. Kemarin saja saat pangkalan di bom saja, aku dan Ibu sudah ketakutan dan pasrah,"

"Tenang, Dik, aku pasti akan bisa. Doakan saja!"

"Harus, Bang!"

Oey yang menyaksikan pembicaraan keluarga itu langsung terenyuh. Ia tak menyangka jika dalam kehidupannya akan harus berhadapan dengan orang-orang Jepang. Teringatlah dia akan berita-berita yang ia dapatkan dari saudara ayahnya yang berhasil lolos dari Shanghai yang hancur lebur oleh Jepang, dan sekarang tinggal di pedalaman Cina. Saudara ayahnya itu dengan mata kepala sendiri menyaksikan kekejaman Jepang yang gemar memenggal kepala tawanan yang tertangkap

Saudara ayahnya adalah salah satu tentara Nasionalis yang pura-pura mati dibawah tumpukan mayat yang lain, dan ia berhasil menghindari tusukan bayonet tentara Jepang setelah eksekusi melalui tembakan.

Karena itulah, ayahnya sangat menentang keras keinginan Oey tersebut. Ia ingat ayahnya memarahinya habis-habisan suatu malam,

"Lo orang nggak pernah mikir pake otak, hah? Apa-apaan Lo mau jadi tentara? Mau gengsi Lo ya? Lo nggak tahu apa paman Lo di Tiongkok hampir mati ditembak Jepang. Lo mau kaya dia? Nggak, gue kagak izinin!"

Namun, Oey tetap bersikeras ingin jadi tentara karena ia merasa ingin membaktikan diri pada Hindia-Belanda.

"Kita orang Cina. Kita nggak lama di sini. Nanti juga balik ke sana. Tanah leluhur lo!" Kembali ia teringat amarah ayahnya tersebut sampai akhirnya ia tidak pernah berbicara lagi dengan ayahnya bahkan sampai ia berangkat untuk ikut latihan pendidikan. Hanya ibu dan adik perempuannya yang melepasnya, dan memberikan ongkos.

Sebuah suara dari Joris tiba-tiba menyadarkannya.

"Kau melamun, Kawan?" Tanya Joris setelah itu.

"Eh, tidak. Saya cuma teringat keluarga saya di Tangerang," kata Oey.

"Kau kangen?" tanya Joris lagi, " Tenang, kalau kita berhasil mengalahkan Jepang, kau bisa kembali ke Tangerang,"

"O, iya, Oey silakan diminum lagi teh dan kue spekulasnya ya," kata Mevrouw Anne, "Kalian berdua malam ini menginaplah,"

***

Berkilometer jauh dari Andir dan Bandung, terjadilah pertempuran sengit di Ciater. Pasukan Belanda berupaya mengadang laju pasukan Jepang yang cukup cepat setelah berhasil merebut Kalijati. Pertempuran yang terjadi sejak 5 Maret itu bermedan bukit, perkebunan teh, dan pepohonan lebat yang menjadi benteng alami dari tembakan-tembakan yang berdesing menghantam aspal jalan raya.

Koentjoro yang merupakan salah satu anak buah Kapten Jaap segera menembakkan peluru dari tempatnya berlindung berupa semak-semak yang ditutupi pepohonan lebat. Ia tembakkan begitu peluru-peluru tentara Jepang berupaya menyadarinya.

Di samping Koentjoro terdapat serdadu lainnya, dan berkulit sawo matang, Soemangat, yang juga menembakkan peluru dari senapan.

"Mereka sepertinya tidak bisa habis-habis," ujar Soemangat, "Peluruku tinggal sedikit!"

"Iya," Koentjoro mengamini, "Terbuat dari apa orang-orang Jepang ini, hah?"

Ketika peluru berdesang-desing terdengar raungan dari pesawat Jepang yang kemudian mengebom posisi tentara Belanda hingga luluh lantak bukit dan persawahan di tepian jalan. Lalu setelah itu dari kejauhan terdengar suara serbu dalam bahasa Jepang. Melihat itu, Koentjoro dan Soemangat terkejut.

"Sebaiknya kita mundur saja! Mereka seperti gelombang pasang!" Kata Soemangat.

"Iya, betul," kata Koentjoro. Keduanya lalu mundur mencari perlindungan.

Dari salah satu tentara Jepang yang menyerbu itu terdapat Mitsuo. Ia adalah seorang kapten angkatan darat, dan sepertinya cukup semangat dalam penyerbuan di Ciater ini. Rupanya ia pernah tinggal lama di Hindia-Belanda tepatnya di Bandung, dan selama di Bandung setiap minggunya ia selalu ke Ciater hanya untuk mandi air panas seperti halnya di Jepang.

Ia merasa seperti pulang kampung.

"Kapten, sepertinya cukup senang untuk penyerbuan besok ke Ciater? tanya salah satu anak buahnya, Sersan Miyamoto saat keduanya berada di Kalijati.

"Ya, saya dulu pernah di sana. Di sana ada pemandian air panas. Kalau kita berhasil kuasai Ciater, kita bisa mandi air panas di situ. Rasanya seperti di Jepang,"

Di Bandung, Mitsuo berprofesi sebagai penjual barang-barang kebutuhan pokok. Namun ia juga sembari menjalani tugas sebagai mata-mata untuk memantau kondisi di Bandung. Sejak 1937 ia melakukannya, dan tidak ada yang menyadari hal tersebut.

"Semuanya serbu!" ujarnya pada pasukannya, "Tenno Heikai, banzai!"

Semua penyerbu benar-benar semangat dan patriotis menyerbu ke kubu Belanda yang terus menghalau  menembaki mereka. Beberapa ada yang tumbang namun tetap mereka melaju seperti air bah lalu menembaki para tentara Belanda di depan dan menusuk dengan bayonet. Mitsuo yang mendapati lawannya adalah seoarang tentara Belanda berkulit putih, tanpa ampun segera menembaknya. Tentara itu pun tersungkur. Ia lalu melaju lagi mencari mangsa.

Di tempat lain terdapat Pieter berupaya menahan laju serangan Jepang dengan meminta bantuan artileri. Sayang, artileri itu macet. Ia pun menembakkan senapannya, dan tiba-tiba saja di hadapannya kini ada Mitsuo. Pieter pun terkejut apalagi saat orang Jepang itu bisa berbicara bahasa Belanda.

"Selamat sore, Tuan yang terhormat," kata Mitsuo memberi salam.

"Siapa kau?" tanya Pieter terkejut, "Kau bisa Holland spreken?"

"Tentu saja bisa karena saya pernah lama tinggal di sini,"

"Apa maumu?"

"Saya minta Tuan menyerah, dan kami akan perlakukan tuan secara baik-baik!"

"Tidak akan. Ini tanah kami!"

"Tanah tuan? Bukannya ini tanah milik pribumi yang telah diambil haknya?"

"Zeg, verdomme! Banyak omong kau!"

Pieter segera hendak menarik pelatuk senapannya. Namun, Mitsuo yang tahu akan hal itu segera mengambil samurainya, menghindar, dan kemudian menusukkan ke perut Pieter. Pieter pun terkejut. Ia melihat ke arah perutnya yang tertusuk samurai, dan mengeluarkan darah. Ia lalu menatap marah Mitsuo, dan perlahan tersungkur. Setelahnya, Mitsuo menarik senyum dan ia segera merampas senjatanya Pieter.

Pertempuran itu sendiri berakhir pada sore hari dengan kekalahan telak Belanda. Belanda memutuskan mundur ke Lembang. Sementara itu, mereka yang tidak sempat menyelamatkan diri akhirnya menjadi tawanan. Tapi bukannya dimasukkan ke penjara beberapa malah dieksekusi atau dipenggal.

Didi yang melihat itu dari kejauhan langsung bergidik ngeri apalagi saat para tawanan terutama yang berkulit putih dipenggal, dan kemudian dijadikan trofi kebanggaan. Ia segera lari melepas seragam KNIL-nya dan memutuskan untuk mengembara ke kampung halamannya di Tasikmalaya melalui hutan-hutan. Ia bersumpah tidak mau lagi jadi tentara dan lebih baik menjadi orang sipil saja

***

"Akhirnya, kita berhasil!" ujar Ian kepada Davies, saat mereka secara mendadak berhasil meninggalkan Pangkalan Udara Andir menuju Australia. Ian adalah salah satu pilot Angkatan Udara Inggris yang ditugaskan membantu pertahanan udara Hindia-Belanda. Davies juga, seorang Skotlandia yang sudah lama berpatner semenjak keduanya berada di Singapura, dan menjelang menyerahnya Singapura kepada Jepang keduanya segera melarikan diri ke Sumatera tepatnya ke Palembang.

Dari Palembang keduanya akhirnya melarikan diri ke Jawa dan 2 hari yang lalu mengebom posisi Jepang di Kalijati dan Ciater. Namun ketika tahu Belanda kalah di Ciater keduanya menjadi pesimistis,

"Kita sepertinya tidak akan memenangkan perang melawan Jepang, Kawan," kata Ian, "Belanda sudah keok sebentar lagi Bandung akan mereka masuki,"

"Iya betul," kata Davies menimpali, "Kita sudah tidak berdaya lagi. Tinggal menunggu waktu saja. Huff...aku hanya berharap tidak seperti teman-teman sebangsa kita di Malaya dan Singapura,"

"Iya, aku juga," kata Ian, "Dan orang-orang Jepang sungguh barbar! Melebihi Jerman!"

Mereka berdua lalu terdiam. Kemudian Ian berucap sesuatu,

"Kita sebaiknya tinggalkan saja koloni ini, dan pergi ke Australia,"

"Bagaimana caranya?"

"Tengah malam kita lancarkan aksi saat sepi,"

Dan, benarlah tengah malam kedua pilot tersebut melancarkan aksinya. Mereka terbangkan pesawat pengebom mereka. Tentu saja aksi itu membuat terkejut tentara Belanda yang berjaga di pangkalan. Tentara itu berteriak kembali, dan kemudian menembakkan senapan ke udara. Sayang, usahanya tidak berhasil. Ketika seisi pangkalan tahu, orang-orang  Belanda hanya pasrah,

"Kita sekarang benar-benar sendirian," ujar salah seorang perwira penjaga pangkalan.

***

"Petra, Ibu minta kau tetap jaga dirimu baik-baik dan persiapkan kemungkinan terburuk saat Jepang masuk ke sini," ujar Mevrouw Anne meminta putrinya tersebut untuk siap dan waspada sembari melihat kepergian Joris dan Oey yang siap ke Medan tempur di Lembang.

"Sebenarnya ini sudah bisa ditebak, kita tetap akan kalah karena Jepang sudah terus-menerus bergerak ke sini,"

"Apa kita tidak pergi saja, Bu, ke Cilacap untuk ke Australia?" tanya Petra. "Para tetangga kita, Meneer Hansen dan keluarganya juga sudah ke sana. Begitu juga Meneer Kerkhoven,"

"Nee, Petra," kata Mevrouw Anne, "Kita tidak akan ke sana. Kita lebih baik di sini. Bandung adalah tempat lahir Ibu. Jadi, biar Ibu juga mati di sini,"

"Iya, Bu," ujar Petra menuruti Mevrouw Anne.

***

"Semuanya, hari ini kita akan berjibaku di Lembang melawan Jepang. Kalau Lembang jatuh, Bandung akan jatuh juga. Karena itu, saya minta demi Pangeran Oranye dan Sri Ratu kita bertempur habis-habisan demi tanah Hindia tercinta!" Begitulah Kolonel Vliegveld membakar semangat pasukannya meskipun hasil akhir sudah bisa diprediksi.

Para tentara yang hadir dan mendengar langsung mengiyakan semangat dan segera menaiki truk dari markas besar KNIL di Bandung untuk membantu pertahanan di Lembang. Udara Bandung cukup sejuk hari itu. Aktivitas masih seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda kepanikan bahwa dalam hitungan hari kota akan dikuasai Jepang. Tampak sepertinya cuek.

Sesampainya di Lembang, para serdadu segera ditempatkan di benteng pertahanan di Gunung Putri. Desingan peluru sudah terdengar karena Jepang terus merengsek maju. Koentjoro dan Soemangat yang sebelumnya mundur juga ke Lembang kini berada di paling depan menghalau serangan Jepang yang bagai air bah.

Lagi-lagi keduanya kewalahan, dan sebuah mortir tiba-tiba mendarat dekat mereka, meledak, dan tewaslah mereka seketika. Hans, si indo juga berusaha menghalau Jepang sekuat tenaga. Sayang, ia harus angkat tangan dan menjadi tawanan Jepang. Kapten Jaap sebagai pemimpin pasukan meminta pasukannya terus melepaskan tembakan. Dari atas benteng ia juga melepaskan tembakan sampai akhirnya pelurunya habis. Kapten Jaap segera mencari senjata dari anak buahnya yang sudah tewas, dan terus melancarkan serangan. Sayang saat seperti itu tiba-tiba ada sebuah granat mengarah padanya, meledak, dan ia pun tewas.

Joris dan Oey yang berada di garis pertahanan terakhir juga tidak mampu menghalau. Mereka berusaha lari. Sayang, keduanya tertangkap dan menjadi tawanan Jepang. Malam harinya Lembang berhasil dikuasai, dan kini Jepang mengarahkan perhatian ke Bandung.

***

8 Maret 1942 akhirnya Hindia-Belanda menyerah pada Jepang di Kalijati. Seketika itu pula Hindia-Belanda runtuh. Setelah penyerahan itu tentara KNIL yang ada diminta menyerah dan melepaskan senjata. 

Bandung setelahnya mulai dimasuki tentara Jepang yang disambut meriah para penduduk pribumi. Tentara Jepang berupaya mencari orang-orang Eropa untuk ditawan. Saat memasuki rumah Joris, terjadi perlawanan dari Petra karena tentara Jepang berusaha memerkosanya. Mevrouw Anne berusaha menolong sayang ia pun malah ditembak. 

Saat Petra melawan itu, datanglah seorang perwira Jepang berpangkat letnan kolonel yang segera mencegah dengan menampar para tentara tersebut. Ia lalu menyuruh mereka keluar. Kini tinggal Petra sendiri yang menangisi jenazah ibunya.

Minggu, 21 Maret 2021

Cina, Sekutu Utama Perang Dunia Kedua yang Terlupakan

Perang Dunia Kedua yang terjadi pada kurun waktu 1939-1945 merupakan perang yang melibatkan dua kubu, Sekutu dan Poros.



Seperti kita ketahui bahwa di kubu Sekutu terdapat Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Cina. Sementara di kubu Poros terdapat Jerman, Italia, dan Jepang.

Di luar negara-negara utama blok masing-masing terdapat Prancis, Belanda, Australia, Kanada, Selandia Baru, Ghana, Brasil, dan Yugoslavia untuk Sekutu. Untuk Poros sendiri terdapat Prancis Vichy, Thailand, Rumania, Finlandia, dan Hongaria.

Yang menarik adalah di negara utama Sekutu terdapat Cina. Tentu sampai hari ini masih banyak orang yang belum tahu dan bertanya mengapa Negara Tirai Bambu ini termasuk Sekutu utama dalam perang global yang menewaskan ratusan ribu jiwa di awal Abad ke-20 tersebut?

Sederhananya, Cina menjadi salah satu negara Sekutu utama karena perannya yang ternyata cukup penting pada Perang Dunia Kedua di teater Asia.

Berawal dari Ulah Jepang

Tidak seperti Perang Dunia Pertama yang kebanyakan terjadi di Eropa sehingga juga disebut sebagai Perang Eropa, Perang Dunia Kedua adalah perang yang benar-benar bersifat global karena terjadi di hampir semua tempat dunia termasuk juga Kutub Utara.

Di Asia, perang ini seperti halnya di Eropa melibatkan banyak negara termasuk para negara Eropa yang mempunyai koloni di Benua Kuning.

Namun, teater di Asia awalnya hanya melibatkan dua negara, yaitu Cina dan Jepang. Konflik bilateral ini mulai terjadi pada dekade 30-an, tepatnya pada 1937 melalui Perang Cina-Jepang Kedua.

Beberapa sejarawan kontemporer meyakini bahwa perang kedua negara itulah yang sebenarnya memulai PD II, dan bukan seperti yang selama ini diketahui berdasarkan serangan kilat Jerman ke Polandia, 1 September 1939.

Terlibatnya Cina dalam perang melawan Jepang adalah karena tindakan mengada-ngada Jepang melalui insiden di Jembatan Marco Polo sebagai alasan bagi Jepang untuk bisa menyerang Cina demi kebutuhan sumber daya alam dalam negeri.

Jepang sendiri di Cina sejak 1931 dengan menduduki Manchuria melalui Semenanjung Korea, dan mendirikan negara boneka, Manchukuo.

Cina sendiri ketika berperang dengan Jepang sedang disibukkan dengan konflik internal yang tidak kunjung usai sejak berdirinya Republik Cina pada 1911 setelah meruntuhkan dinasti terakhir, Qing.

Dimulai dari perang dengan para panglima perang hingga kaum Komunis membuat negeri tersebut porak poranda.

Namun datangnya musuh dari luar bernama Jepang pada akhirnya membuat kaum Nasionalis yang memegang kekuasaan akhirnya mau bersatu dengan Komunis untuk melawan Jepang.

Jepang sendiri dinilai cukup kejam dan biadab dalam usahanya untuk menguasai Cina sebagai bagian dari Hakko Ichiu, dan juga sebagai akses untuk melawan Uni Soviet.

Dalam beberapa pertempuran, Jepang tidak segan-segan menggunakan cara-cara brutal untuk menghabisi nyawa. Tidak peduli militer atau sipil bahkan orang tua, perempuan, dan anak-anak semua kena. Nanjing menjadi puncak kekejaman tersebut.

Hal itulah yang membuat Cina bersatu untuk bisa mengalahkan dan mengusir Jepang. Meski sudah digempur berkali-kali dan tampak kewalahan, Cina sama sekali tidak menyerah, dan terus melawan, baik secara terang-terangan maupun gerilya.

Hal inilah yang membuat Jepang frustrasi. Apalagi datang tekanan internasional terutama dari AS yang melakukan embargo minyak buntut tenggelamnya USS Panay dan 3 kapal minyak  pada 1937 di Sungai Kuning oleh para pengebom Jepang.

Peran yang Krusial

Tidak menyerahnya Cina sama sekali terhadap berbagai gempuran Jepang yang menewaskan warga sipil merupakan peran yang cukup krusial dalam teater Asia.

Rana Mitters, sejarawan kontemporer asal Inggris menyebut apabila Cina menyerah, hal itu akan menjadi jalan bagi Jepang untuk bisa dengan mudah menyerang Uni Soviet atau India untuk mendapatkan sumber daya alam yang lebih. Karena itu, jalannya perang akan menjadi berbeda ke depannya.

Kegigihan Cina untuk bertahan dan terus melawan pada akhirnya menimbulkan banyak simpati internasional untuk membantu mereka termasuk dari AS dan Inggris yang mulai mengirimkan bantuan dan menjadikan Cina sebagai sekutu utama di Asia.

Ketika terjadi Perang Dunia di teater Pasifik melalui serangan Jepang ke Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, rasa kebersamaan untuk melawan semakin menjadi yang kemudian berakhir pada menyerahnya Jepang September 1945.

Meski begitu, peran Cina sendiri tidak terlalu banyak diingat sampai hari ini terutama di kalangan Barat. Hal inilah yang membuat Cina cukup kesal.

Cina memang diberi penghargaan berupa balasan sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB bersama dengan para Sekutu di masa perang.

Namun sebagian kalangan di Barat hanya melihat bahwa Cina di masa perang adalah Cina Nasionalis pimpinan Chiang Kai-Shek yang kemudian diusir ke Taiwan setelah kalah perang sipil pada 1949.

Cina Komunis pimpinan Mao Zedong yang berhasil menguasai seluruh daratan Cina setelah menang perang sipil memang tidak mau menaruh perhatian besar terhadap yang dilakukan kaum Nasionalis sebagai front utama perlawanan terhadap Jepang.

Barulah setelah pada dekade 80-an, pemerintah komunis Cina mulai mengizinkan untuk melibatkan secara penuh kaum nasionalis dalam sejarah negara tersebut demi kepentingan nasional.

Hal-hal tabu yang ada pada masa Perang Dingin mulai dihilangkan. Cina memberi perhatian dengan juga menghormati para pejuang dari kaum Nasionalis dalam setiap perayaan peringatan kemenangan melawan Jepang di Perang Dunia Kedua.

Penghormatan dan penghargaan itu juga terlihat dalam film-film negara tersebut terutama yang bertemakan perang terhadap Jepang yang disebut sebagai perang melawan fasisme. Para pejuang kaum Nasionalis diberi peran yang cukup dan sesuai dalam film.

Penilaian ulang secara positif ini bertujuan menyadarkan dunia Barat bahwa Cina juga memiliki kontribusi penting untuk menghadirkan kekalahan pada Jepang. Apalagi merekalah yang pertama kali melawan Jepang bahkan dengan susah payah.

Sebab, selama ini AS-lah yang dianggap oleh banyak orang untuk mengalahkan Jepang melalui pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, dan hal itu diperkuat pada menyerahnya Jepang secara formal di USS Missouri, 2 September 1945.

Sekutu yang Kurang Menguntungkan

Selain lebih pada cara pandang Barat yang  melihat Cina melawan Jepang adalah kaum nasionalis, hal lainnya adalah Cina sebenarnya kurang menguntungkan terutama dari sumber daya dan peran politis negara tersebut di masa perang.

Kebijakan AS dan Inggris yang lebih mengutamakan Europe first untuk melawan teror Nazi di Eropa juga menjadi penyebab tidak begitu menariknya Cina dalam pandangan kedua negara terutama pada gaya kepemimpinan Chiang Kai-Shek yang kurang disukai para pemimpin Barat.

Gayanya yang kaku dan diktatoris dalam berbagai hal membuatnya kurang bisa diterima para pemimpin Barat. Apalagi Chiang sendiri mencurigai bantuan yang diberikan Sekutu terutama AS.

Hal ini berbeda dari Josep Stalin yang benar-benar diperhitungkan untuk dijadikan sebagai sekutu dalam melawan Poros di Eropa.

AS dan Inggris melihat bahwa Uni Soviet pimpinan Stalin adalah sekutu sekaligus ancaman bagi keberlangsungan demokrasi di Eropa Barat terutama pada saat perang berakhir karena ideologi komunisme negara tersebut.

Karena itu, AS memang tidak segan-segan memberikan bantuan persenjataan kepada Uni Soviet dalam perlawanan terhadap Jerman, dan menuruti kemauan Stalin untuk membuka front di Barat melalui D-Day agar mengurangi beban Soviet di front timur.

Sebagai gantinya Soviet pun bersedia membantu Sekutu melawan Jepang di Manchuria pada Agustus 1945 setelah pembatalan pakta non-agresi terhadap Jepang.

Barat menyadari juga bahwa Uni Soviet adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan punya letak strategis sehingga benar-benar menguntungkan.

 

 

 

 

 

Jumat, 12 Februari 2021

Perbedaan KRL Joglo dan KRL Jabodetabek Apa Saja?

KRL Joglo atau Kereta Rel Listrik Jogjakarta-Solo resmi beroperasi sejak 10 Februari 2021 setelah melalui serangkaian uji coba atau trial run selama beberapa bulan. Kehadiran KRL ini merupakan yang pertama di luar Jabodetabek dalam waktu 96 tahun.

perbedaan KRL Joglo dan KRL Jabodetabek
image via SWA


Hadirnya KRL di dua wilayah tradisional budaya Jawa tersebut karena untuk menjawab kebutuhan mobilitas masyarakat yang semakin tinggi di sana. Mobilitas itu tentu saja memerlukan transportasi yang cepat, efektif, dan aman serta terintegrasi dengan transportasi lainnya.

Meski begitu terdapat perbedaan KRL Joglo dan KRL Jabodetabek. Apa saja perbedaannya? Yuk, mari simak di bawah ini!

Perbedaan KRL Joglo dan KRL Jabodetabek

Jarak

Perbedaan pertama adalah jarak kedua KRL. KRL Joglo diketahui mempunyai jarak 59.267 kilometer atau 37 mil.

Hal ini tentu saja berbeda dari KRL Jabodatabek yang mempunyai jarak hingga 418 km atau 260 mil.

Jumlah Stasiun

Terdapat 11 stasiun untuk KRL Joglo yang dimulai dari Stasiun Yogyakarta hingga Stasiun Solo Balapan.

Sementara KRL Jabodetabek mempunyai 80 stasiun. Ke-80 stasiun tersebut tersebar di 6 lintas, yaitu:

  •          Lintas Jakarta Kota-Bogor
  •          Lintas Jatinegara-Bogor
  •          Lintas Jakarta Kota-Cikarang
  •          Lintas Tanah Abang-Rangkasbitung
  •          Lintas Duri-Tangerang
  •          Lintas Jakarta Kota-Tanjung Priok

Provinsi yang Dilintasi

Perbedaan KRL Joglo dan KRL Jabodetabek adalah jumlah provinsi yang dilintasi. Untuk KRL Joglo ini melintasi 2 provinsi, yaitu Yogyakarta dan Jawa Tengah, dengan perincian 2 kota dan 3 kabupaten.

Sementara KRL Jabodetabek melintasi 3 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, dengan perincian 9 kota dan 4 kabupaten. Bahkan KRL Jabodetabek sendiri sebenarnya juga mencapai Kabupaten Lebak yang merupakan wilayah luar megapolitan tersebut.

Tiket

KRL Joglo diketahui juga menerapkan sistem pembayaran elektronik sama dengan KRL Jabodetabek.

Namun terdapat perbedaan, yaitu pada KRL Joglo tidak dikenal adanya tiket harian berjaminan atau THB sebagaimana pada KRL Jabodetabek.

Tarif

Meski menerapkan tiket elektronik, kenyataanya KRL Jogjakart-Solo tetap menerapkan tarif flat atau sama antarstasiun, dengan harga Rp 8.000 sekali naik. Tarif ini sama seperti tarif KA Prameks yang digantikan KRL ini

Berbeda halnya dengan KRL Jabodetabek yang menerapkan tarif dinamis berdasarkan jarak stasiun tujuan.

Jumlah Gerbong

Selama ini kita mengetahui bahwa jumlah gerbong KRL Jabodetabek berkisar dari 8-12 gerbong.

Namun hal itu tidak akan kamu temui di KRL Joglo yang hanya menerapkan 4 gerbong per kereta.

Armada

Untuk armada, terdapat dua jenis kereta yang memperkuat KRL Joglo, yaitu 205 Series dan i9000 series. Keduanya merupakan alumni KRL Jabodetabek. Khusus i9000 series, ia merupakan KRL buatan INKA dan Bombardier.

Sedangkan di KRL Jabodetabek sendiri terdapat 7 tipe kereta, yaitu 205 Series, Tokyo Metro 6000 series, Tokyo Metro 05 Series, Tokyu 8500 Series, 203 Series, Tokyo Metrio 7000 series, dan Tokyu 8000 Series. Semuanya adalah buatan Jepang dan bekas pakai.

Ciri Khas

Perbedaan terakhir KRL Joglo dan KRL Jabodetabek adalah ciri khasnya. Karena berada di wilayah budaya Jawa, KRL Joglo diberikan motif Batik Parang. Sementara KRL Jabodetabek tidak sama sekali

 

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran