Pages

Jumat, 10 Desember 2021

Mengamati Perkembangan Kota Jakarta dari Peta Transportasi Publik

Transportasi umum yang terintegrasi merupakan hal mutlak terutama di Jakarta sebagai ibu kota negara dan kota terbesar di Indonesia.

Sebab, di kota yang setara dengan provinsi inilah setiap harinya ratusan hingga jutaan bergerak melaju mencari nafkah di pusat-pusat kota dari tempat asal yang kebanyakan dari wilayah suburban.


Tentunya laju tersebut harus didukung oleh transportasi umum yang terhubung satu sama lain sehingga memudahkan mobilitas manusia-manusia di Jakarta.

Kalau boleh dibilang transportasi di Jakarta saat ini sudah terintegrasi satu sama lain sehingga tidak akan membingungkan para pelaju.

Sebagai contoh, jika Anda bekerja di kawasan perkantoran di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman-M.H. Thamrin, Anda sebenarnya tidak perlu bingung karena tersedianya banyak moda transportasi di sepanjang jalan tersebut.

Jika Anda katakanlah tinggal di Depok atau Bogor yang perlu Anda lakukan pertama kali adalah naik KRL Jabodetabek/Commuter Line dari stasiun-stasiun di dua kota penyangga tersebut. Jika Anda tinggal di Bogor Anda harus ke Stasiun Bogor terlebih dahulu dengan naik angkot, ojek online atau Bus Trans Pakuan yang baru beroperasi.

Selanjutnya, Anda perlu menaiki KRL jurusan ke Tanah Abang-Duri-Angke hingga Jatinegara yang berada dalam Lin Lingkar, dan ditunjukkan bulatan warna kuning dan tulisan L di tengahnya.

Karena Anda bekerja di sepanjang kawasan Jalan Jenderal Sudirman-M.H. Thamrin Anda tentunya perlu berhenti di Stasiun Sudirman kemudian melanjutkan naik MRT Jakarta atau bus TransJakarta. Jika bekerja di SCBD, Anda bisa naik MRT turun di Stasiun Istora Mandiri atau naik TransJakarta di Polda Metro Jaya.

Seperti itulah gambaran terintegrasinya transportasi di Jakarta. Jika Anda melihat peta transportasi terintegrasi di Ibu Kota yang saya ambil dari situs MRT Jakarta, Anda akan melihat bahwa jaringan transportasi di Ibu Kota begitu besar dan luas. Sebanyak 5 wilayah di kota-kota administrasi di Jakarta akan mempunyai transportasi yang terhubung satu sama lain, dan jika diperhatikan jejaring itu juga mencakup wilayah Bodetabek sebagai penyangga.


Dengan demikian peta transportasi ini menunjukkan wilayah megapolitan Jabodetabek secara keseluruhan yang berada di tiga provinsi, yaitu Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat serta dimulai dari wilayah suburban Rangkasbitung yang masuk Kabupaten Lebak di sebelah barat hingga ke wilayah real estate industri Cikarang di sebelah timur. Semua jejaring yang terhubung ini ada semenjak dibuatnya kawasan Jabo(de)tabek pada dekade 70-an untuk menunjang Jakarta yang mulai padat sejak era kemerdekaan.

Dari peta jejaring transportasi yang dikeluarkan pada Oktober 2020 itu jika diperhatikan bahwa Jakarta yang pada awalnya hanyalah sebuah pelabuhan gerbang Pajajaran bernama Sunda Kelapa, kemudian wilayah vasal Banten bernama Jayakarta lalu menjadi kota benteng Batavia, dan Jakarta hingga saat ini mengalami perkembangan yang cukup massif dalam 400-an tahun terakhir. 

Awalnya hanya sebuah wilayah kecil di sebelah utara kemudian meluas ke selatan, timur, dan barat membentuk Jakarta yang dikenal hingga saat ini. Perluasan wilayah kota yang begitu massif selepas kemerdekaan merambah hingga ke kampung-kampung pinggiran kota yang kemudian menjadi bagian dari kota sendiri, dan di bekas kampung-kampung itu juga berdiri pusat-pusat perbelanjaan modern dan megah seperti PGC di Cililitan atau yang teranyar, AEON Mall di Tanjung Barat. Bahkan, dalam perluasan itu juga mengambil wilayah dari kota penyangga seperti Lubang Buaya yang awalnya berada di Bekasi masuk menjadi salah satu kelurahan di Jakarta pada 1981.

Terjadinya perluasan kota karena begitu padatnya penduduk setiap tahunnya yang tentu memerlukan ruang untuk tinggal dan bekerja. Selain adanya perluasan akses transportasi yang memudahkan mobilisasi.

Tentu kita akan bertanya-tanya setelah memperhatikan peta jejaring transportasi di Jakarta sekarang ini, bagaimana dengan jejaring transportasi modern di masa Jakarta masih bernama Batavia atau tepatnya di zaman Belanda?

Rupa-rupanya konsep integrasi antarmoda angkutan itu sudah ada di zaman Belanda. Jadi, hal ini bukanlah hal yang baru namun baru dihidupkan lagi setelah Pemprov DKI mulai mempunyai kesadaran akan hal tersebut setelah melihat kemacetan yang kian parah di jalan-jalan Jakarta.

Lalu bagaimana transportasi yang terintegrasi di zaman Belanda itu? Sebenarnya sama saja. Anda bisa melihatnya pada peta jaringan trem di Jakarta tahun 1934 yang saya ambil dari situs In de Archipel.


Pada peta tersebut terpampang jaringan trem -kereta yang beroperasi di jalan raya dan beroperasi di Jakarta dari 1869 hingga 1962- terhubung dengan jalur kereta api dalam kota yang mulai dari Pelabuhan Tanjung Priok hingga ke Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) lalu melingkar ke Tanah Abang dan Manggarai. 

Dari Tanah Abang jalur terus ke Rangkasbitung dan Merak lalu dari Manggarai jalur terus ke Buitenzorg (Bogor), dan Meester Cornelis ke Bekasi dan Cikarang. Pada peta terlihat jalur trem terintegrasi dengan kereta listrik yang waktu itu dioperatori oleh ESS di Stasiun Batavia (Jakarta Kota), Halte Sawah Besar, Halte Noordwijk (Juanda), Stasiun Batavia Koningsplein atau Weltevreden (Gambir), Halte Kebon Sirih (dekat Stasiun Gondangdia), dan Stasiun Pasar Senen.

Pada peta tersebut terlihat Jakarta yang masih bernama Batavia mempunyai luas wilayah yang tidak begitu besar jika dibandingkan dengan Jakarta masa kini. Jika melihat letaknya berdasarkan wilayah masa kini, Batavia hanya terletak di tiga wilayah administrasi, yaitu Jakarta Utara yang meliputi Tanjung Priok, Ancol, Kampung Bandan, dan Pasar Ikan kemudian Jakarta Barat yang meliputi Duri Kota Tua, Glodok, Molenvliet (Jalan Gajah Mada), selanjutnya wilayah Jakarta Pusat mulai dari Gunung Sahari, Weltevreden (Monas) hingga Kramat.

Itu berarti wilayah-wilayah di luar Batavia masuk Meester Cornelis yang di zaman Belanda statusnya sama dengan Batavia, yaitu stadsgemeente atau kotapraja. Jika sekarang adalah kotamadya atau kota administrasi. Jika melihat pada peta Batavia tahun 1940 yang diterbitkan oleh Kolff & co terlihat wilayah-wilayah seperti Utan Kayu, Manggarai Tebet, Prumpung, dan Kampung Melayu wilayah Meester Cornelis.


Wilayah-wilayah itu ada yang sudah menjadi kota dan mempunyai stasiun kereta api seperti Manggarai dan Meester Cornelis namun ada juga yang masih berupa perkampungan yang dibatasi oleh pohon-pohon buah yang tumbuh di situ. Adapun dalam peta Bandara Kemayoran atau Kemajoran Vliegveld sudah ada, dan di sekitarnya dibatasi oleh area persawahan.

Jika melihat peta Jakarta zaman Belanda dapat disimpulkan bahwa kota Jakarta itu di masa itu tidaklah seperti sekarang, dan konsentrasi kepadatan penduduk berada di tengah-tengah kota mulai dari Kota Tua lalu ke Weltevreden hingga Meester Cornelis. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Jakarta saat ini yang konsentrasi kepadatannya merata bahkan sampai pinggiran dan suburban. Pada peta juga terlihat banyaknya ruang hijau, situ, dan persawahan.

Tapi, tunggu dulu rupanya kepadatan kota yang terkonsentrasi di tengah dari Kota Tua hingga Meester Cornelis itu rata-rata adalah permukiman orang-orang Belanda pada masa itu yang termasuk di dalamnya kawasan Menteng sedangkan orang Indonesia kebanyakan tinggal di luar kota atau kampung sekitar kota karena perilaku rasis dan eksklusif tersebut. Orang-orang Indonesia hanya bisa ke kota rancangan Belanda itu untuk bekerja di kantor-kantor yang tersebar dari Kota Tua hingga Meester Cornelis atau bersekolah di Kwitang, Kramat, dan Salemba.

Kondisi ini sejalan dengan pandangan bahwa kota yang diciptakan serta bercita rasa modern itu khusus untuk orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Karena itu, jangan heran jika kawasan Menteng memang untuk orang kulit putih. Begitu juga dengan rumah-rumah kolonial di Manggarai. Keadaan mulai berubah setelah kemerdekaan hingga sekarang namun tentunya bagi mereka yang berkocek tebal.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran