Pages

Sabtu, 07 April 2018

Pertautan Tapal Batas UEFA Champions League dan AFC Champions League


Layout



Para penggila bola sejagad pasti begitu akrab dengan UEFA Champions League atau akrab disebut dengan Liga Champions. Ya, inilah ajang antarklub Eropa yang gaungnya bahkan melebihi Eropa alias ke seluruh dunia. Bahkan karena gaungnya begitu luas karena juga peran media, Liga Champions selalu menjadi patokan ajang antarklub lainnya di lain benua seperti di Asia, Afrika, Oseania, dan Amerika.

Beberapa pun memakai nama liga champions dengan embel-embel nama konfederasi yang bersangkutan, sekadar membedakan dengan liga champions yang sudah ada seperti AFC Champions League (Asia), CAF Champions League (Afrika), OFC Champions League (Oseania), dan Concacaf Champions League (Amerika Utara, Tengah, dan Karibia). Cuma satu ajang antarklub yang tidak memakai nama liga champions, yaitu Copa Libertadores di Amerika Selatan atau Latin. Ajang ini dianggap sebagai kompetitor terdekat Liga Champions, baik dari sisi klub, pemain, penonton, dan kultur sepak bola.
Layout


Namun tulisan saya kali ini tidak akan membahas persaingan Liga Champions dan Copa Libertadores sebagai perwakilan dua kutub sepak bola dunia, Eropa dan Amerika Latin. Persaingan sudah sering ditulis oleh banyak media ketika klub-klub dari dua ajang yang bersangkutan bertemu di Piala Dunia Antarklub, sebuah ajang yang sering dianggap sebagai tempat untuk membuktikan kompetisi antarklub benua manakah yang terbaik.

Quora


Saya ingin membahas bahwa Liga Champions jika diperhatikan sebenarnya satu benua dengan AFC Champions League atau Liga Champions Asia. Kenapa satu benua? Perhatikan pada atlas dunia bahwa Eropa dan Asia memang dalam satu lingkup, dan karenanya sering disebut dengan Eurasia. Namun satu lingkup ini tidak lantas membuat keduanya sama. Di satu sisi Liga Champions memang begitu prestisius, dan banyak penggemarnya di seluruh dunia. Namun di sisi lain Liga Champions Asia sebaliknya. Perbedaannya 180 derajat atau bak langit dan bumi. Bahkan orang Asia sendiri lebih familiar dengan Liga Champions Benua Biru daripada liga champions di wilayah sendiri. Apalagi jika itu berkaitan dengan nama-nama klub yang berlaga, klub-klub Eropa ternama seperti Real Madrid, Barcelona, Bayern München, Liverpool, dan Juventus, yang memang punya banyak penggemar di seluruh dunia. Bandingkan jika nama-nama seperti Urawa Reds Diamond, Guangzhou Evergrande, Suwon Bluewings, Sepahan, Al Ahli disebut, tentu tak semua familiar.
Layout


Hal itu juga yang bertautan dengan jumlah penonton. Apabila Liga Champions selalu ramai oleh penonton, dengan bangku stadion terisi penuh. Belum lagi ditambah dengan hak siar yang mengglobal, tidak demikian dengan Liga Champions Asia yang sering sepi penonton, dan hanya beberapa stadion saja terisi penuh. Begitu juga dengan hak siar. Hal ini karena kultur sepak bola yang berbeda di kedua benua.

Meski dalam lingkup Eurasia, tidak lantas semuanya sama begitu saja. Di Eropa kultur sepak bolanya begitu bergelora, dan menjadi gaya hidup. Di Asia sebaliknya. Orang Asia memang tidak menyukai sepak bola yang mungkin secara fisik tidak cocok.
Liga Champions dan Liga Champions Asia memang satu tautan yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan. Format keduanya sama, yaitu 32 tim dalam delapan grup. Bahkan kriteria dalam Liga Champions Asia juga mengikuti standar Liga Champions yang kemudian dimodifikasi dengan standar sepak bola Asia seperti slot tim-tim yang berlaga maksimal empat, dan terutama berasal dari liga-liga Asia papan atas, standar stadion, kualitas pemain dan pelatih, sponsor, dan hak siar media. Namun dari semua itu tetap ada yang membedakan, yaitu pembagian tim berdasarkan wilayah dan pelaksanaan partai final.
Goal.com


Kita ketahui bahwa dalam pelaksanaan Liga Champions Asia sedari awal pada 1967 selalu dibagi dalam dua wilayah untuk klub-klub yang berlaga, yaitu barat dan timur. Pembagian melalui dua wilayah ini berdasarkan kenyataan bahwa benua Asia tempat ajang antarklub Asia ini begitu luas, yaitu 44.579.000 kilometer persegi. Luas itu yang menjadikan Asia sebagai benua terbesar di dunia. Dan dalam wilayah yang begitu luas tersebut terdapat banyak negara dengan luas terbesar seperti Cina, Indonesia, Arab Saudi, Iran, dan India.

Apalagi benua Asia juga punya negara yang tidak melulu di daratan alias ada yang berupa kepulauan.

Tentu saja dengan luas yang demikian akan membuat ongkos penyelenggaraan membengkak. Tim yang satu harus terbang sejauh ribuan kilometer untuk sebuah laga tandang. Hal itu tentu saja juga akan membuat tim yang terbang itu kelelahan. Karena itu, dibuatlah wilayah barat dan timur untuk mengurangi biaya perjalanan dan logistik. Pembuatan wilayah barat dan timur ini berdasarkan kondisi geografis. Untuk barat biasanya diisi oleh tim-tim dari Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Sedangkan timur berisi tim-tim dari Asia Timur, Asia Tenggara, dan Australia. Maka, jangan heran jika dalam satu tim dalam wilayah barat dan timur terdapat klub-klub yang negaranya berdekatan seperti di barat terdapat klub asal Arab Saudi yang kemudian lawannya dari Qatar, Uni Emirat Arab, dan Iran. Dan yang terjauh adalah dari Asia Tengah yang biasanya diwakili oleh klub-klub asal Uzbekistan. Sedangkan di timur biasanya berisi klub-klub asal Jepang yang lawannya dekat secara geografis, Cina dan Korea Selatan. Dan yang paling jauh adalah dari Asia Tenggara dan Australia.

Pembagian wilayah barat dan timur ini awalnya hanya di babak penyisihan. Sedangkan ketika memasuki babak gugur barulah kedua tim dari barat dan timur diadu. Namun demi mengurangi biaya perjalanan tim-tim, sejak 2015 kedua tim dari dua wilayah yang berbeda itu baru dipertemukan di partai final yang dilaksanakan dalam dua kali pertemuan.

Pengadaan final sebanyak dua kali dengan menggunakan sistem kandang-tandang dikarenakan juga tidak akan populer apabila dilaksanakan dalam satu final di tempat netral. Hal ini mengingat sepak bola di Asia belum begitu membudaya dan mewabah sehingga apabila dilaksanakan di tempat netral malah akan mendatangkan kerugian. AFC sendiri pernah melakukan sistem ini pada 2009 hingga 2010, dan hasilnya seperti yang dibayangkan, sepi. Sejak 2013, AFC mulai memperkenalkan kembali sistem kandang-tandang untuk final.

Hal yang sebaliknya berlalu di Eropa. Di sini Liga Champions diselenggarakan tanpa membagi wilayah seperti di Asia apalagi untuk partai final. Hal ini berdasarkan kondisi geografis Eropa yang hanya 1/3 benua Asia, dengan luas hanya 10.180.000 kilometer persegi. Luas yang demikian itu memang memberikan keuntungan tersendiri dalam penyelenggaraan kompetisi antarklub dalam satu benua. Apalagi kebanyakan wilayah Eropa adalah kontinental tidak seperti Asia yang maritim. Luas negara-negara di Eropa juga kecil-kecil, kecuali Rusia.Dan di Eropa sendiri jaringan jalan daratnya sudah begitu bagus sehingga memudahkan untuk para pendukung tim yang hendak bertandang. Melalui pesawat pun jarak hanya 1-2 jam ditempuh untuk tim-tim yang bertandang sehingga tidak ada permasalahan sama sekali, baik untuk perjalanan maupun logistik. Jarak terjauh pun hanya ke Rusia. Karena itu, jangan heran jika dalam grup-grup Liga Champions selalu akan berisi tim-tim campuran, baik dari Eropa Barat, Timur, Selatan, Tengah, dan Utara dalam satu grup. Misal, Real Madrid yang merupakan perwakilan Spanyol yang terletak di Eropa Selatan akan bisa segrup dengan klub dari Norwegia di Eropa Utara, Rosenborg. Atau Manchester United di Inggris (Eropa Barat) tidak masalah segrup dengan CSKA Moskow di Rusia (Eropa Timur).
Zimbio.com


Selain itu, untuk partai final akan selalu diselenggarakan di tempat netral Untuk satu kali pertemuan. Dan sudah bisa dipastikan partai final akan begitu ramai apalagi jika itu mempertemukan dua klub yang sama-sama begitu terkenal.

Namun ada keunikan juga rupanya di Liga Champions terutama untuk  klub-klub kontestan dari Turki, Israel, Siprus, dan Kazakhstan. Secara geografis negara-negara ini adalah negara-negara Asia namun lebih memilih berkompetisi di Eropa dengan alasan Benua Biru lebih kompetitif, masalah keamanan, dan kultural. Maka, jangan heran jika berseliweran nama-nama seperti Galatasaray, Fenerbahce, Besiktas, Bursaspor, Maccabi Haifa, Maccabi Tel Aviv, Hapoel Tel Aviv, Anarthosis Famagusta, APOEL FC, dan teranyar dari Kazakhstan, FC Astana. Nama klub terakhir ini menjadi perbincangan hangat ketika lolos ke penyisihan grup Liga Champions 2015-2016. Yang berarti Liga Champions benar-benar memainkan laganya di Asia, yaitu di Kazakhstan yang berbatasan dengan Cina, Kirgiztan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Dan bisa dibilang Liga Champions keluar dari batas geografisnya.
Getty Images


Selain Kazakhstan yang memang pernah bermain di Asia hingga 2002, ada juga Israel yang bermain di Benua Kuning hingga 1974 lalu keluar dari Asia karena penolakan bermain dari klub-klub negara Arab terkait masalah Palestina. Sewaktu di Asia, klub-klub Israel termasuk yang dominan, dan pernah menjuarai kejuaraan antarklub Asia. Yaitu, Maccabi Tel Aviv pada 1969 dan 1971 serta Hapoel Tel Aviv pada 1967.
The Times of Israel


Lalu bagaimana dengan Liga Champions Asia? Apakah juga ada tapal batas?

Ya, ada, dan itu ada di klub-klub Australia dari region Oseania yang ikut Liga Champions Asia sejak 2006. Dari keikutsertaan hingga sekarang baru satu klub Negeri Kangguru yang menjuarai ajang ini pada 2013 melalui Western Sydney Wanderers.
CNN International


Begitulah perhatian antara dua kompetisi antarklub dalam lingkup Eurasia. Hubungan kedua benua ibarat dalam sepak bola sebenarnya bagai hubungan di masa silam yang berkaitan dengan kejayaan peradaban Asia yang merambah ke Eropa dan kolonialisme Eropa yang merambah ke Asia. Hingga kini harus diakui pasar Asia sebenarnya potensial untuk sepak bola Eropa. Terbukti banyak klub Eropa yang tur ke Asia. Selain itu, trofi Liga Champions
sering mampir ke Asia dalam tur trofi. Dan, Asia yang masih berupaya menggeliatkan sepak bola tetap belajar kepada Eropa terutama dalam penyelenggaraan kompetisi antarklub satu benua. Asia pun menoleransi jika klub-klubnya pindah ke Eropa demi sesuatu yang prestisius.

Selasa, 03 April 2018

Nippon Sharyo dan Kereta-kereta Komuter Indonesia

SaukValley.com


Maret 2019, MRT Jakarta siap beroperasi. Transportasi angkut cepat massal berbasis kereta api yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meminimalkan kemacetan parah di Jakarta merupakan transportasi massal pertama di Indonesia yang akan dioperasikan di jalur bawah tanah selain jalur layang. Dan, karena MRT Jakarta didanai dan dibantu oleh Jepang melalui JICA, wajar jika pengadaan manufaktur kereta api juga dari Negeri Sakura. Untuk MRT Jakarta yang bertindak sebagai manufaktur adalah Nippon Sharyo.
SocImage.com



Tentu para penggemar kereta api tidak asing dengan nama produsen kereta yang satu ini. Jauh sebelum menjadi manufaktur kereta MRT Jakarta, Nippon Sharyo terlebih dahulu sudah wira-wiri di dunia perkeretaapian di Indonesia, khususnya kereta komuter di Pulau Jawa. Sejak 1976, kereta-kereta yang diproduksi oleh perusahaan yang bermarkas di Nagoya, Jepang, ini hadir.

Bentuk kehadiran kereta-kereta Nippon Sharyo adalah pada KRL Rheostatik untuk KRL Jabodetabek. Kereta-kereta ini didatangkan untuk menggantikan kereta-kereta tua buatan Belanda seperti ES 3200 yang kerap terkenal dengan sebutan Bon Bon. Disebut Rheostatik karena KRL asal Jepang ini menggunakan teknologi rheostat atau potensiometer. KRL Rheostatik ini didatangkan sebanyak tiga gelombang dari 1976 hingga 1987, dan bukan kereta hibah seperti sekarang ini. Jadi, boleh dibilang mirip dengan MRT Jakarta yang dibuat langsung di pabriknya.


Pada 2013, KRL Rheostatik yang kala itu merupakan kereta komuter ekonomi dihentikan operasionalnya, dan digantikan oleh kereta-kereta Jepang yang lain namun merupakan hasil hibah, dan tetap buatan Nippon Sharyo seperti Tokyo Metro Seri 6000 dan 7000, serta yang terbaru, JR Seri 205. Kereta-kereta Nippon Sharyo generasi pertama bersama kereta-kereta buatan Hitachi dan Hyundai kemudian ditaruh dan ditumpuk di halaman dalam Stasiun Purwakarta, Jawa Barat.

Selain untuk KRL, Nippon Sharyo juga membuat untuk kereta diesel berupa MCW 301 dan 302. Pembuatan ini berdasarkan kenyataan di Indonedia pada 1976 belum seluruhnya mempunyai jalur listrik aliran atas termasuk di Jabodetabek. Jadilah kereta ini dioperasikan di daerah-daerah jalur non-listrik. Selain di Jabodetabek bukan relasi Jakarta-bogor, kereta diesel ini juga dioperasikan di Bandung Raya, Joglosemar, dan Gerbangkertosusilo. Hingga sekarang tercatat beberapa tempat masih mengoperasikan kereta ini yang untuk memaksimalkan performa harus dilakukan retrofit. Pada 2015 kereta ini direhabilitasi sebagai kereta klinik dan perpustakaan. Nippon Sharyo tercatat sudah memproduksi sebanyak 352 unit untuk kereta diesel yang punya ciri unik berupa dasi kupu-kupu di atas kaca kabin masinis.
Flickr


Sebenarnya dalam proyek-proyek pengerjaan kereta api komuter di Indonesia, kecuali MCW 301 dan 302, Nippon Sharyo tidak sendirian melakukannya. Perusahaan-perusahaan lain seperti Kawasaki, Hitachi, dan Kinki Sharyo juga melakukannya, dan ini sebagaimana kebiasaan produksi kereta api di Jepang yang selalu dikerjakan bareng-bareng. Namun nama Nippon Sharyo kadung terkenal sebagai produsen ternama kereta api di Jepang.
Flickr


Tak hanya di Jepang, perusahaan yang berdiri pada 1896 ini memang dalam perjalanan sejarahnya telah memproduksi begitu banyak kereta api yang mumpuni dan berkualitas. Mulai dari lokomotif di zaman Jepang menapaki modernisasi pada masa Meiji hingga beberapa Shinkansen seperti Shinkansen seri pertama atau Seri 0 yang diproduksi pada 1964. Selain itu, Nippon Sharyo mengerjakan produksi kereta-kereta api di seluruh dunia seperti di Argentina, Kanada, Venezuela, dan Taiwan. Bahkan untuk Taiwan perusahaan ini memproduksi kereta supercepat THSR 700T. Dan untuk pasar Amerika Serikat dan sekitarnya, Nippon Sharyo mendirikan anak perusahaan bernama Nippon Sharyo USA.
Jenis KRL


Untuk kawasan Asia Tenggara selain Indonesia, Nippon Sharyo juga memproduksi kereta-kereta untuk MRT Singapura dan LRT Manila. Dan, juga jika melihat sejarahnya di masa Perang Dunia Kedua, Nippon Sharyo turut terlibat dengan membuat lokomotif C56 31 yang merupakan lokomotif yang melintas di jalur kereta api Thailand-Myanmar. Jalur ini disebut sebagai jalur kematian karena kebanyakan para pekerjanya adalah tawanan perang Jepang dan para romusha yang bekerja dengan disiksa dan tanpa istirahat. Akibatnya, banyak korban jiwa berjatuhan. Lokomotif yang melintasi jalur ini sekarang tersimpan apik di Museum Perang Yasukuni, Tokyo.

Minggu, 01 April 2018

Kereta-kereta Bandara di Indonesia

Kebutuhan akan kereta api sebagai transportasi massal cepat bebas hambatan sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Hampir di setiap negara di dunia mengandalkan transportasi darat yang berjalan di atas rel ini. Begitu juga di Indonesia. Karena karakteristiknya yang demikian tak salah jika kereta api juga dijadikan sebagai transportasi menuju bandara. Dengan adanya kereta api ke bandara tentu perjalanan akan menjadi lebih efektif dan efisien alias tidak membuang-buang waktu di jalanan hanya karena macet. Keberadaan kereta api juga mengurangi polusi.

Sejak diperkenalkan pada 1927 melalui Berlin U-Bahn di Jerman, kereta api bandara telah menjelma menjadi transportasi favorit di seluruh dunia terutama di Eropa, Amerika, dan Asia. Kereta bandara itu sendiri ada yang memang khusus kereta bandara, yaitu dengan rute dan stasiun yang sudah dipersiapkan untuk lewat dan berhenti, dan ada juga yang berupa kereta yang memang rute dan stasiunnya tidak dikhususkan namun berhenti di Stasiun yang dekat dari bandara.

Di Indonesia sendiri sekarang ini terdapat lima kereta bandara, dan kelima kereta termasuk dua tipe tadi. Apa saja kereta-kereta bandara di Indonesia. Yuk, mari simak!

Prambanan Ekspres (Daerah Istimewa Yogyakarta)

Tempo.co

Populer dengan sebutan Prameks, Prambanan Ekspres adalah kereta komuter layaknya KRL Jabodetabek yang menghubungkan Yogyakarta (Kutoarjo) dan Solo (Solo Balapan). Beroperasi sejak 1994, Prameks mempunyai rute yang berhenti di Stasiun Maguwo. Stasiun kelas II ini terletak berdekatan dengan Bandara Internasional Adisucipto, bandara termashyur di Provinsi DI Yogyakarta. Karena itu, Prameks disebut sebagai kereta bandara pertama di Indonesia. Sayangnya, keberadaan Prameks sebagai kereta bandara pertama di Tanah Air kalah gaung dari kereta Bandara Kuala Namun yang muncul pada 2013, dan malah dianggap sebagai kereta bandara pertama di republik ini. Prameks merupakan kereta rel diesel ekonomi yang armadanya adalah kereta BN Holec eks KRL Jabodetabek, yang kemudian dimodifikasi oleh INKA. Operator kereta dengan jarak tempuh 64 kilometer ini adalah PT KA Daerah Operasi VI Yogyakarta.

ARS Kuala Namu (Sumatera Utara)
Beritatrans.com

Inilah kereta bandara yang kerap disalahkaprahkan oleh banyak orang sebagai kereta bandara pertama di Indonesia. Memang sepintas sebutan itu tidak salah jika melihat pada pengertian kereta bandara sebagai transportasi khusus bandara. Apalagi rute ARS Kuala Namu sendiri melayani Bandara Kuala Namu hingga Medan. Hal inilah yang membuat orang beranggapan demikian, dan ketika hadir ARS Kuala Namu bagai dianggap sebagai sebuah fenomena transportasi massal ke bandara.

ARS Kuala Namu sendiri mulai dioperasikan bersamaan dengan dibukanya Bandara Internasional Kuala Namu pada 2013. Kereta bandara ini menempuh perjalanan bolak-balik Medan-Kuala Namu 30-47 menit, dengan kecepatan 60 kilometer per jam. Kereta bandara ini dibuat oleh Woojin dari Korea Selatan, dan digerakkan oleh diesel. Kereta Bandara Kuala Namu merupakan kereta eksekutif yang dioperatori oleh Railink, perusahaan patungan antara KA dan Angkasa Pura.

KRL Railink Basoetta (DKI Jakarta)
Koleksi pribadi


Sebagai ibu kota, Jakarta seharusnya lebih dulu yang mempunyai kereta bandara. Namun ini malah kebalikannya. Sebagai ibu kota Jakarta baru punya kereta bandara pada akhir 2017. Kehadiran kereta bandara ini tentu merupakan realisasi dari keinginan masyarakat selama bertahun-tahun yang mendambakan transportasi massal khusus cepat dan bebas hambatan ke Bandara Soekarno-Hatta. Kehadiran kereta Bandara Soekarno-Hatta sudah bisa menyandingkan Jakarta dengan ibu kota-ibu kota lain di Asia Tenggara seperti Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok, yang telah lebih dulu mempunyai layanan kereta bandara.

Kereta Bandara Soekarno-Hatta adalah kereta yang digerakkan dengan listrik berkekuatan 1.500 Volt. Rutenya dari Stasiun Manggarai hingga Stasiun Bandara Soekarno-Hatta. Namun karena Stasiun Manggarai sedang diperluas titik awal pemberangkatan kereta ini dari Stasiun Sudirman Baru atau BNI City. Ada kemungkinan rute kereta diperpanjang hingga Bekasi. Kereta Bandara Soetta sendiri merupakan kereta yang dibuat oleh INKA, dengan bantuan dari Bombardier. Kereta ini dapat melaju dalam kecepatan 120 kilometer per jam, dengan waktu tempuh 55 menit, yang kemungkinan besar bakal dipangkas menjadi 38 menit demi menarik banyak penumpang. Operator kereta ini adalah Railink.

Minangkabau Express (Sumatera Barat)
Twitter.com/Moez


Tempat lain di Pulau Sumatera yang mempunyai kereta khusus ke bandara adalah Sumatera Barat, tepatnya di Padang dan sekitarnya. Kereta ini dinamakan Minangkabau Express, dan melayani rute Stasiun Simpang Haru di Padang dengan Stasiun Duku di Padang Pariaman yang terletak berdekatan dengan Bandara Internasional Minangkabau atau BIM. Minangkabau Express merupakan proyek yang digagas sejak 2012, dan baru selesai pengerjaannya pada 2018. Kereta ini menempuh jarak sepanjang 23 kilometer, dengan kecepatan 40 hingga 100 kilometer per jam. Minangkabau Express adalah kereta diesel eksekutif yang dibuat oleh INKA, dan dioperatori oleh KA Divisi Regional II Padang.

LRT Palembang (Sumatera Selatan)
Jawapos.com


Sebagai kota terpadat kedua di Sumatera setelah Medan, Palembang merasakan dampak negatif dari kepadatan tersebut, yaitu kemacetan. Hal itulah yang mendasari keinginan pemerintah daerah di Palembang untuk membangun sebuah transportasi massal yang efektif dan efisien untuk meminimalkan kemacetan. Awalnya transportasi yang diajukan adalah monorel namun tidak jadi karena kurang menguntungkan. Maka, dibangunlah kereta api ringan atau light rail transit yang dianggap cocok, dengan dibiayai oleh pemerintah.

Kehadiran LRT di Palembang ini merupakan yang pertama di Tanah Air. Dan ia sendiri dibangun juga untuk menyambut Asian Games yang akan digelar di Kota Pempek pada Agustus 2018. Tentu saja kehadiran LRT Palembang akan semakin menambah geliat pariwisata di kota itu. Apalagi salah satu stasiunnya, Stasiun Ampera, merupakan stasiun pertemuan semua moda transportasi di Palembang. Stasiun itu juga berdekatan dengan Jembatan Ampera, salah satu ikon Palembang, Museum Sriwijaya, Benteng Kuto Besak, dan patung ikan belido, ikon baru di bekas Ibu Kota Kerajaan Sriwijaya itu. LRT Palembang mempunyai 13 stasiun, dan sebagaimana halnya transportasi angkut cepat, stasiun-stasiun yang dibangun berdekatan atau berhubungan dengan beberapa tempat publik di Palembang seperti Palembang Icon, Pasar Cinde, Jembatan Ampera, OPI Mall, dan Gelora Jakabaring. LRT Palembang juga mempunyai rute ke Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II sehingga ia juga merupakan kereta bandara yang sama dengan Prameks. Sedangkan di Asia Tenggara ia sama dengan MRT Singapura dan Greater Bangkok Commuter Rail yang berhenti di Stasiun Don Mueang, Thailand. Jarak yang ditempuh oleh kereta listrik buatan INKA, dan dioperatori oleh KA ini adalah 25 kilometer. Seluruh jalur kereta dari Bandara SMB II hingga Ogan Permata Indah adalah jalur layang atau elevated.



 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran