Pages

Selasa, 21 Desember 2021

Antara Bogor dan Depok: Lebih Enak Jalan Kaki di Mana?



Sekitar pertengahan dekade yang lalu saya mendengar diskusi teman-teman kantor sewaktu masih ngantor di Kalibata. Diskusi itu membicarakan kenyamanan berjalan kaki di Bogor dan Depok. Mantan atasan saya yang merupakan orang Solo tapi menetap di Bogor bertanya pada temannya wartawati junior yang baru kerja di situ.

Ia bertanya: Lebih enak mana jalan kaki di Bogor atau Depok? Bogor kan?

Si wartawati itu mengiyakan. Lalu mantan atasan saya itu melanjutkan, kalo di Bogor itu jalan kaki bawaannya tenang dan segar. Kalau di Depok kayaknya gimana gitu, waswas.

Dari diskusi di atas itu saya jadi tergelitik ingin menulis tentang kedua kota dari sudut pandang pribadi. Keduanya merupakan bagian dari megapolitan Jabodetabek dan penyokong penting Jakarta sebagai pusat kehidupan urban.

Saya mulai saja dulu dari Bogor...

Saya mulai kenal Bogor dari usia 4 tahun atau waktu saya di TK. Kenal karena selama masa-masa TK hingga SD sering ke Kota Hujan itu. Namun bukan ke Kebun Raya yang menjadi markah tanah kota tetapi ke rumah kakek-nenek saya yang berada di Ciapus yang letaknya di lereng Gunung Salak. Kenapa bisa ada di Ciapus yang masuk wilayah Kabupaten Bogor? Itu karena kakek-nenek yang asli Surabaya-Mojokerto memutuskan pindah dari rumah di Kebon Baru, Tebet ke Ciapus untuk menghabiskan masa-masa senja di sana.

Pilihan yang cukup tepat karena dengan ke sana sekaligus berlibur. Dan, itulah yang saya lakukan saat liburan caturwulan SD tiba. Suasana Ciapus yang begitu asri, tampilan Gunung Salak yang begitu memukau serta empang dan sawah, siapa yang tidak akan tergugah. Apalagi Ciapus masih dingin tidak seperti sekarang. Saya sering ke Ciapus hingga kakek-nenek saya wafat di akhir 90-an.

Karena ke Ciapus harus lewat Bogor mulai dari stasiun lalu ke arah Kebun Raya, Ramayana, Empang dengan dua kali naik angkot, secara tidak langsung saya mengenal kota tersebut, yang menurut saya rindang, banyak pepohonan tinggi dan besar di tepi jalan, dan kebanyakan dari dalam Kebun Raya yang memang letaknya di tengah kota. Kebun Raya bagi saya adalah semacam alun-alun dan nyawa Bogor hingga sekarang.

Kondisi yang demikian itu tidak berubah sampai sekarang namun ada beberapa perubahan seperti jalur yang diubah jadi satu jalur mulai dari stasiun hingga sekitaran Kebun Raya untuk menghindari macet di depan Ramayana yang jadi BTM, lalu ada penataan beberapa fasilitas publik seperti Lapangan Sempur dan Taman Musik, wilayah pinggir Kebun Raya dijadikan sebagai jalur pejalan kaki dan sepeda. Begitu juga di seberangnya. Hal ini tentu saja nyaman untuk berjalan kaki karena Bogor sudah seperti kota kebun.

Apalagi Wali Kota Bogor, Bima Arya, yang doyan berlari itu membangun sebuah monumen bernama Tepas Lawang Salapan yang berhadapan dengan Tugu Kujang sebagai markah tanah baru sehingga ke Bogor tidak melulu ke Kebun Raya.

Belakangan ini, sebuah fasilitas publik baru dbangun, yaitu Alun-alun Kota Bogor yang letaknya berhadapan dengan Stasiun Bogor. Ternyata alun-alun itu dibangun di atas Taman Topi, sebuah taman hiburan yang saya pernah ke dalamnya selama 2-3 kali sewaktu tinggal di Ciapus pada 1992 hingga 1993 hanya karena bersekolah TK di sana.

Karena itu, saya agak heran dengan alun-alun tersebut awalnya, dan ketika tahu itu dibangun di bekas Taman Topi, baru saya ngeh. Kondisi alun-alun yang berada di depan Stasiun Bogor lebih kepada kesan bagi penumpang KRL yang turun di Stasiun Bogor akan mendapati kota ini merupakan kota yang hijau sekali yang jaringannya sampai daerah Bogor Selatan karena jalan-jalan di kota terutama Jalan Pajajaran mempunyai kanopi alami berupa pohon-pohon besar sehingga membuat siapa pun yang berjalan atau olahraga akan merasa adem dan sejuk.

Apalagi Bogor sendiri itu sudah seperti kota plesiran karena tiap akhir pekan akan selalu ada orang-orang Jakarta dan wilayah Detabek bertandang ke Bogor, yang kini tidak hanya ke Kebun Raya namun juga wisata kuliner murah meriah di kota tersebut bahkan ada juga yang menginap sembari berharap bisa melihat Gunung Salak di kejauhan.

Ya, karena itulah Belanda di masa pembangunan jalur kereta api di Jawa memasukkan Bogor sebagai salah satu pemberhentian karena adanya Istana Gubernur Jenderal (Istana Bogor) dan Kebun Raya. Bahkan Belanda memasukkan Bogor sebagai salah satu tujuan wisata karena Kebun Raya tersebut.

Kini Bogor yang terlihat semakin menghijau masih terus berbenah. Setelah alun-alun, Pemkot Bogor berencana menata alun-alun di Empang kemudian kota ini sedang membangun jalur ganda kereta api Bogor-Sukabumi, yang kemungkinan besar menjadi jalur KRL, dan tentu saja proyek LRT terusan dari Cibubur serta trem. Untuk saat ini Bogor sudah merevitalisasi transportasi massalnya untuk atasi kemacetan akibat banyaknya angkot dengan Biskita TransPakuan.

Nah, itu tentang Bogor yang sebenarnya sampai sekarang cuma punya satu stasiun KRL, Stasiun Bogor karena Stasiun Sukaresmi yang direncanakan sejak lama masih di awang-awang, dan stasiun-stasiun lainnya, Batu Tulis dan Ciomas masuk stasiun KA Pangrango, lalu bagaimana dengan Depok?

Ceritanya cukup berbeda dan kebalikannya....

Saya kenal Depok sejak SD karena pernah ke sana untuk acara di rumah teman kantor orang tua saya. Saya ingat Depoknya berada di Depok 1, dan saya ingat ada di perumahan, dan panas. Tapi saya baru kenal Depok ketika kuliah di Universitas Indonesia dari 2005 hingga 2010. Kesan yang saya dapatkan adalah Depok adalah kota yang panas, berdebu, pohon-pohon tidak ada, macet, dan trotoar yang tidak manusiawi. Itulah yang saya lihat dari Jalan Margonda sampai arah Depok Lama hingga Citayam.

Bangunan-bagunan beton, ruko, mal, hotel restoran semua memadat di pinggiran jalan, dan tidak menyisakan ruang hijau sama sekali. Dan, Kampus UI Depok adalah pengecualian karena jika sudah begitu saya lebih baik ke dalam UI menghindari Depok yang tidak manusiawi.

Kalau saya ke Depok, jawaban saya cuma satu: UI karena di situlah rasa manusiawi benar-benar ada. Pohon rindang, jalanan yang rapi, danau, dan lainnya siapa sih yang tidak mah ke dalam kampus sekadar jalan-jalan atau berolahraga? Pada akhirnya, Depok hanya lebih dikenal karena UI-nya, yang sewaktu saya kuliah ada yang nyeletuk sebagai Kebun Raya Depok.

Padahal, Depok bukan UI saja. Secara historis, Depok punya nilai lebih seperti halnya Bogor, yang dimulai dari kawasan Depok Lama tenpat Cornelis Chastelein mendirikan perkampungan khusus para mantan budaknya. Namun sayang hal tersebut seperti terabaikan karena Depok semenjak memisahkan diri dari Bogor pada 1999 menjadi kota mandiri benar-benar lupa akan jati dirinya sebagai kota padepokan mencari ilmu. Pembangunan pesat tapi tidak melihat tata ruang semua dibabat hingga akhirnya berantakan, dan korbannya adalah rumah kapitan di Pondok Cina yang jadi kafe di area Margo City. Hal lainnya adalah pembangunan tidak memerhatikan trotoar, dan jadilah Depok kota tidak ramah trotoar.

Tidak seperti Bogor yang memang ingin jadi kota taman, Depok sebaliknya. Bahkan alun-alunnya pun seperti asal bangun saja, dan letaknya cukup jauh dari Margonda. Paling dekat ke alun-alun adalah dari Stasiun Citayam lanjut naik ojol dan angkot, dan tentu saja akan berpikir banyak jika jalan kaki ke sana karena tentu tidak ada yang mau jalan kaki di kota yang disebut tidak ramah trotoar atau tidak serindang Bogor.

Padahal, Depok letaknya cukup strategis, menempel langsung dengan Jakarta. Depok pun punya 5 stasiun KRL dan 1 stasiun LRT yang memudahkan warganya memobilisasi diri. Di zaman Belanda, Depok juga dimasukkan dalam jalur kereta api karena faktor Cornelis Chasteleinnya lalu di zaman Orde Baru Depok jadi tempat perumnas pertama, dan wilayah yang cukup strategis menopang beban Jakarta karena perkembangannya. Tapi, letak yang strategis itu membuat Depok keluar dari jalurnya hingga sekarang.

Jadi, seperti di awal tulisan, lebih enak mana jalan kaki di Bogor atau Depok, tentu saya pilih Bogor yang memang super rindang. Tak salah juga jika teman kuliah saya dari Malang pada 2006 pernah bilang ke saya lebih enak jalan kaki di Bogor daripada di Bandung.

Jumat, 10 Desember 2021

Mengamati Perkembangan Kota Jakarta dari Peta Transportasi Publik

Transportasi umum yang terintegrasi merupakan hal mutlak terutama di Jakarta sebagai ibu kota negara dan kota terbesar di Indonesia.

Sebab, di kota yang setara dengan provinsi inilah setiap harinya ratusan hingga jutaan bergerak melaju mencari nafkah di pusat-pusat kota dari tempat asal yang kebanyakan dari wilayah suburban.


Tentunya laju tersebut harus didukung oleh transportasi umum yang terhubung satu sama lain sehingga memudahkan mobilitas manusia-manusia di Jakarta.

Kalau boleh dibilang transportasi di Jakarta saat ini sudah terintegrasi satu sama lain sehingga tidak akan membingungkan para pelaju.

Sebagai contoh, jika Anda bekerja di kawasan perkantoran di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman-M.H. Thamrin, Anda sebenarnya tidak perlu bingung karena tersedianya banyak moda transportasi di sepanjang jalan tersebut.

Jika Anda katakanlah tinggal di Depok atau Bogor yang perlu Anda lakukan pertama kali adalah naik KRL Jabodetabek/Commuter Line dari stasiun-stasiun di dua kota penyangga tersebut. Jika Anda tinggal di Bogor Anda harus ke Stasiun Bogor terlebih dahulu dengan naik angkot, ojek online atau Bus Trans Pakuan yang baru beroperasi.

Selanjutnya, Anda perlu menaiki KRL jurusan ke Tanah Abang-Duri-Angke hingga Jatinegara yang berada dalam Lin Lingkar, dan ditunjukkan bulatan warna kuning dan tulisan L di tengahnya.

Karena Anda bekerja di sepanjang kawasan Jalan Jenderal Sudirman-M.H. Thamrin Anda tentunya perlu berhenti di Stasiun Sudirman kemudian melanjutkan naik MRT Jakarta atau bus TransJakarta. Jika bekerja di SCBD, Anda bisa naik MRT turun di Stasiun Istora Mandiri atau naik TransJakarta di Polda Metro Jaya.

Seperti itulah gambaran terintegrasinya transportasi di Jakarta. Jika Anda melihat peta transportasi terintegrasi di Ibu Kota yang saya ambil dari situs MRT Jakarta, Anda akan melihat bahwa jaringan transportasi di Ibu Kota begitu besar dan luas. Sebanyak 5 wilayah di kota-kota administrasi di Jakarta akan mempunyai transportasi yang terhubung satu sama lain, dan jika diperhatikan jejaring itu juga mencakup wilayah Bodetabek sebagai penyangga.


Dengan demikian peta transportasi ini menunjukkan wilayah megapolitan Jabodetabek secara keseluruhan yang berada di tiga provinsi, yaitu Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat serta dimulai dari wilayah suburban Rangkasbitung yang masuk Kabupaten Lebak di sebelah barat hingga ke wilayah real estate industri Cikarang di sebelah timur. Semua jejaring yang terhubung ini ada semenjak dibuatnya kawasan Jabo(de)tabek pada dekade 70-an untuk menunjang Jakarta yang mulai padat sejak era kemerdekaan.

Dari peta jejaring transportasi yang dikeluarkan pada Oktober 2020 itu jika diperhatikan bahwa Jakarta yang pada awalnya hanyalah sebuah pelabuhan gerbang Pajajaran bernama Sunda Kelapa, kemudian wilayah vasal Banten bernama Jayakarta lalu menjadi kota benteng Batavia, dan Jakarta hingga saat ini mengalami perkembangan yang cukup massif dalam 400-an tahun terakhir. 

Awalnya hanya sebuah wilayah kecil di sebelah utara kemudian meluas ke selatan, timur, dan barat membentuk Jakarta yang dikenal hingga saat ini. Perluasan wilayah kota yang begitu massif selepas kemerdekaan merambah hingga ke kampung-kampung pinggiran kota yang kemudian menjadi bagian dari kota sendiri, dan di bekas kampung-kampung itu juga berdiri pusat-pusat perbelanjaan modern dan megah seperti PGC di Cililitan atau yang teranyar, AEON Mall di Tanjung Barat. Bahkan, dalam perluasan itu juga mengambil wilayah dari kota penyangga seperti Lubang Buaya yang awalnya berada di Bekasi masuk menjadi salah satu kelurahan di Jakarta pada 1981.

Terjadinya perluasan kota karena begitu padatnya penduduk setiap tahunnya yang tentu memerlukan ruang untuk tinggal dan bekerja. Selain adanya perluasan akses transportasi yang memudahkan mobilisasi.

Tentu kita akan bertanya-tanya setelah memperhatikan peta jejaring transportasi di Jakarta sekarang ini, bagaimana dengan jejaring transportasi modern di masa Jakarta masih bernama Batavia atau tepatnya di zaman Belanda?

Rupa-rupanya konsep integrasi antarmoda angkutan itu sudah ada di zaman Belanda. Jadi, hal ini bukanlah hal yang baru namun baru dihidupkan lagi setelah Pemprov DKI mulai mempunyai kesadaran akan hal tersebut setelah melihat kemacetan yang kian parah di jalan-jalan Jakarta.

Lalu bagaimana transportasi yang terintegrasi di zaman Belanda itu? Sebenarnya sama saja. Anda bisa melihatnya pada peta jaringan trem di Jakarta tahun 1934 yang saya ambil dari situs In de Archipel.


Pada peta tersebut terpampang jaringan trem -kereta yang beroperasi di jalan raya dan beroperasi di Jakarta dari 1869 hingga 1962- terhubung dengan jalur kereta api dalam kota yang mulai dari Pelabuhan Tanjung Priok hingga ke Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) lalu melingkar ke Tanah Abang dan Manggarai. 

Dari Tanah Abang jalur terus ke Rangkasbitung dan Merak lalu dari Manggarai jalur terus ke Buitenzorg (Bogor), dan Meester Cornelis ke Bekasi dan Cikarang. Pada peta terlihat jalur trem terintegrasi dengan kereta listrik yang waktu itu dioperatori oleh ESS di Stasiun Batavia (Jakarta Kota), Halte Sawah Besar, Halte Noordwijk (Juanda), Stasiun Batavia Koningsplein atau Weltevreden (Gambir), Halte Kebon Sirih (dekat Stasiun Gondangdia), dan Stasiun Pasar Senen.

Pada peta tersebut terlihat Jakarta yang masih bernama Batavia mempunyai luas wilayah yang tidak begitu besar jika dibandingkan dengan Jakarta masa kini. Jika melihat letaknya berdasarkan wilayah masa kini, Batavia hanya terletak di tiga wilayah administrasi, yaitu Jakarta Utara yang meliputi Tanjung Priok, Ancol, Kampung Bandan, dan Pasar Ikan kemudian Jakarta Barat yang meliputi Duri Kota Tua, Glodok, Molenvliet (Jalan Gajah Mada), selanjutnya wilayah Jakarta Pusat mulai dari Gunung Sahari, Weltevreden (Monas) hingga Kramat.

Itu berarti wilayah-wilayah di luar Batavia masuk Meester Cornelis yang di zaman Belanda statusnya sama dengan Batavia, yaitu stadsgemeente atau kotapraja. Jika sekarang adalah kotamadya atau kota administrasi. Jika melihat pada peta Batavia tahun 1940 yang diterbitkan oleh Kolff & co terlihat wilayah-wilayah seperti Utan Kayu, Manggarai Tebet, Prumpung, dan Kampung Melayu wilayah Meester Cornelis.


Wilayah-wilayah itu ada yang sudah menjadi kota dan mempunyai stasiun kereta api seperti Manggarai dan Meester Cornelis namun ada juga yang masih berupa perkampungan yang dibatasi oleh pohon-pohon buah yang tumbuh di situ. Adapun dalam peta Bandara Kemayoran atau Kemajoran Vliegveld sudah ada, dan di sekitarnya dibatasi oleh area persawahan.

Jika melihat peta Jakarta zaman Belanda dapat disimpulkan bahwa kota Jakarta itu di masa itu tidaklah seperti sekarang, dan konsentrasi kepadatan penduduk berada di tengah-tengah kota mulai dari Kota Tua lalu ke Weltevreden hingga Meester Cornelis. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Jakarta saat ini yang konsentrasi kepadatannya merata bahkan sampai pinggiran dan suburban. Pada peta juga terlihat banyaknya ruang hijau, situ, dan persawahan.

Tapi, tunggu dulu rupanya kepadatan kota yang terkonsentrasi di tengah dari Kota Tua hingga Meester Cornelis itu rata-rata adalah permukiman orang-orang Belanda pada masa itu yang termasuk di dalamnya kawasan Menteng sedangkan orang Indonesia kebanyakan tinggal di luar kota atau kampung sekitar kota karena perilaku rasis dan eksklusif tersebut. Orang-orang Indonesia hanya bisa ke kota rancangan Belanda itu untuk bekerja di kantor-kantor yang tersebar dari Kota Tua hingga Meester Cornelis atau bersekolah di Kwitang, Kramat, dan Salemba.

Kondisi ini sejalan dengan pandangan bahwa kota yang diciptakan serta bercita rasa modern itu khusus untuk orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Karena itu, jangan heran jika kawasan Menteng memang untuk orang kulit putih. Begitu juga dengan rumah-rumah kolonial di Manggarai. Keadaan mulai berubah setelah kemerdekaan hingga sekarang namun tentunya bagi mereka yang berkocek tebal.

Minggu, 05 Desember 2021

Antara Menteng dan Kebayoran Baru: Kisah Dua Kota Taman Pertama di Jakarta

Keduanya adalah kota taman pertama di Jakarta, juga Indonesia yang saya dengar dan tahu sejak kecil. Perkenalan saya dengan kedua kawasan ini juga tiba-tiba. Pertama, saya akan memulai dari Menteng terlebih dahulu.

Koleksi pribadi

Dewasa ini Menteng merupakan salah satu kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Pusat yang terdiri dari 5 kelurahan, yaitu Menteng, Gondangdia, Cikini, Pegangsaan, dan Kebon Sirih. Masing-masing kelurahan tersebut punya tempat yang bisa dikunjungi secara massal dan komersial. Misal, Cikini. Di kelurahan ini ada Taman Ismail Marzuki, pusat seni dan budaya di Jakarta, dan yang di dalam kompleks seni dan budaya ini ada Planetarium, observatorium pertama di Jakarta. Atau di Pegangsaan terdapat Taman dan Monumen Proklamasi yang dulu merupakan tempat Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945.

Pada kecamatan ini juga terdapat tiga stasiun kereta api listrik atau KRL, yaitu Cikini, Gondangdia, dan Sudirman. Dua dari tiga stasiun tersebut, Cikini dan Gondangdia, melayani Lin Sentral dan Lin Cikarang sedangkan Sudirman melayani Lin Lingkar. Ketiganya pun juga teintegrasi dengan moda transportasi lain seperti TransJakarta dan MRT Jakarta.

Koleksi pribadi

Perkenalan saya dengan Menteng sebenarnya berawal dari seringnya saya di masa kecil diajak ke kantor bapak dan ibu saya yang kebetulan memang terletak di Jalan Raya Menteng yang masuk Kelurahan Cikini. Kantor itu sendiri merupakan sebuah kantor pelayanan jasa dan kontraktor yang letaknya di sebelah Gedung Tedja Buana dan Gedung Joeang 45 di sebelahnya lagi. Belakangan saya mengetahui bahwa kantor bapak dan ibu saya itu sebenarnya bukanlah termasuk kawasan Menteng mengingat letaknya yang berada di Kalipasir dan di belakang kantor terdapat Sungai Ciliwung yang membatasi dengan Kelurahan Kwitang yang masuk Kecamatan Senen.

Saya mengetahui hal itu setelah membaca halaman awal dari buku yang ditulis oleh Adolf Heuken berjudul Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia. Itu berarti wilayah-wilayah lain yang berada dalam Kecamatan Menteng seperti Gondangdia dan Cikini merupakan hasil perluasan. Soalnya juga yang saya dapat dari buku tersebut Jalan Raya Menteng tempat lokasi kantor bapak dan ibu saya itu disebut sebagai Jalan Menuju Menteng yang mengarah ke Jalan Cut Meutia, dan di jalan tersebut terdapat Gedung Boplo yang sekarang menjadi Masjid Cut Meutia.

Lalu sebenarnya seperti apa Menteng tersebut pada awalnya?

Dari beberapa sumber yang saya ketahui dari internet, Menteng awalnya merupakan tanah partikelir atau pribadi milik beberapa tuan tanah Belanda dan Timur Asing. Tanah partikelir yang terhampar di luar Weltevreden itu mulai dari Kebon Sirih kemudian dibeli oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan kawasan pemerintahan dan perdagangan seiring dengan meluasnya Jakarta di era kolonial setelah banyak kolonis awal meninggalkan kawasan kota benteng di Kota Tua karena banyaknya gangguan kesehatan.

Jadi, bisa dibilang Menteng itu awalnya memang berkaitan dengan perluasan kota itu sendiri pada abad ke-19 dan ke-20 yang kemudian meningkat seiring dengan dibangunnya infrastruktur-infrastruktur pendukung seperti jalan raya, jalur trem, dan kereta api. Hal ini memang didukung juga dengan letak Menteng yang merupakan bagian dari poros ekonomi kolonial, yang bermula dari Weltevreden hingga Meester Cornelis atau Jatinegara.

Menteng yang dibangun pada dekade 1910 oleh P.AJ. Mooijen, seorang arsitek dan anggota Dewan Kota Batavia itu mempunyai batas berupa kali kecil, yaitu Kali Gresik yang merupakan sebuah selokan untuk drainase. Kali itulah yang menjadi batas alami antara Menteng di selatan dan Gondangdia di utara. Awalnya, oleh Mooijen Menteng disebut dengan Nieuw Gondangdia namun lama kelamaan disebut Menteng sesuai dengan kebiasaan penduduk lokal yang menamai kawasan tersebut dengan nama buah menteng, buah tropis yang banyak tumbuh di kawasan tersebut.

Selain Kali Gresik, pada sebelah selatannya Menteng dibatasi oleh Kanal Banjir Barat dan jalur kereta dari Manggarai menuju Tanah Abang. Sedari awal, kawasan ini memang dirancang sebagai sebuah kota taman atau tuinstad atau garden city, sebuah konsep yang begitu menggema oleh arsitek urban asal Inggris, Ebenezer Howard di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Yang dimaksud dengan kota taman adalah bahwa dalam wilayah tersebut harus didominasi oleh taman-taman publik yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dan untuk mendapatkan kesehatan yang lebih baik. Taman-taman ini pun harus melingkari kota. Meski begitu, Menteng oleh para perancangnya adalah kota taman yang tidak berdiri sendiri melainkan terhubung dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Karena itu, tak mengherankan jika Anda jalan-jalan ke kawasan Menteng sudah pasti Anda akan banyak melihat taman-taman yang besar maupun kecil serta pepohonan rindang dan setu-setu di dalamnya berkat para perancang urban yang tak hanya Mooijen, tetapi juga Kubatz dan Ghijssels.

Kota taman pertama di Indonesia ini tentunya membuat decak kagum banyak pihak yang melihatnya seperti Thomas Karsten, salah satu arsitek art-deco kenamaan di Hindia-Belanda, yang menilai Menteng merupakan sebuah kota taman dengan perpaduan elegan antara Eropa dan tropis yang layak dihuni. Memang, Menteng tetap didesain dengan konsep Eropa pada tata kawasan yang meliputi jalan, permukiman, dan tamannya. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya bulevar pada kawasan seperti Oranje Boulevard yang sekarang menjadi Jalan Diponegoro. Namun ada satu hal yang berbeda pada bentuk rumah-rumah di dalamnya yang didesain dengan khas tropis seperti rumah-rumah besar dengan lubang udara dan ventilasi yang lebar, jendela yang besar serta berhalaman luas. Hal inilah yang akan membuat penghuni rumah akan selalu merasa sejuk dan tidak pengap. Ini tentunya supaya tidak ada lagi kesalahan dalam membuat permukiman seperti di Kota Tua.

Kondisi yang demikian membuat Menteng menjadi kawasan perumahan-villa orang Eropa di negara tropis yang cukup tersohor serta banyak diminati para penduduk kulit putih di Batavia untuk menempatinya. Kawasan Menteng pun menjadi role model untuk pembangunan kota-kota taman seperti di Surabaya, Semarang, dan Malang. Kondisi ini mencapai puncaknya sebelum Perang Dunia Kedua meletus di Asia dan Pasifik pada 1942-1945. Ketika Jepang datang ke Jakarta pada 1942, mereka pun cukup kagum dengan arsitektural Menteng sehingga menempatkan beberapa pejabatnya untuk tinggal di kawasan tersebut selama masa perang seperti Laksamana Tadashi Maeda yang kediamannya dijadikan sebagai tempat untuk merumuskan teks proklamasi dan sekarang dijadikan Museum Perumusan Teks Proklamasi.

Setelah Indonesia merdeka terutama setelah Belanda benar-benar hengkang seusai kesepakatan pengakuan kedaulatan pada 1949, berbondong-bondong para pejabat dan kantor pemerintahan bertempat tinggal di Menteng yang masih memancarkan pesonanya. Tak hanya para aparatur pemerintahan dalam negeri, para kedutaan besar pun menempatkan perwakilan mereka di kota taman tersebut.

Di masa setelah kemerdekaan pulalah terutama pada 1965 terjadilah peristiwa penculikan dan penembakan para jenderal AD di rumah mereka masing-masing yang kebanyakan ada di Menteng. Contohnya adalah Jenderal Ahmad Yani yang ditembak mati oleh kesatuan Cakrabirawa yang loyal pada PKI, dan kemudian dibuang ke Lubang Buaya. Di rumah tempat Ahmad Yani gugur itu kemudian dijadikan sebagai Museum Sasmita Loka. Atau peristiwa-peristiwa lainnya seperti Kudatuli 1996 dan penggusuran cagar budaya Stadion Persija di Lapangan Vios yang dijadikan sebagai Taman Menteng pada 2007.

Lalu bagaimana dengan Kebayoran Baru?

Jika Menteng saya mengenalnya karena ada kantor bapak ibu saya di Jalan Raya Menteng, kalau Kebayoran Baru ini karena awalnya berasal dari Blok M, yang di masa saya kecil begitu tersohor sebagai terminal bus dan mal. Memang hingga sekarang pun di Blok M masih ada terminal dan mal yang lebih dari satu, yaitu Mal Blok M, Blok M Square, Blok M Plaza, dan Pasaraya Blok M. Kemudian di kawasan ini sekarang juga ada Stasiun MRT Blok M BCA dan tempat nongkrong baru anak muda bernama M Bloc yang tempatnya mengambil tempat bekas perumahan Peruri.

Koleksi pribadi

Blok M sendiri memang merupakan bagian dari Kebayoran Baru, dan tepatnya merupakan kawasan di Kelurahan Melawai. Kawasan ini memang paling populer di Kebayoran Baru karena merupakan tempat nongkrong anak muda pada era 80 dan 90-an. Karena populernya tidaklah mengherankan jika Blok M menjadi latar belakang video klipnya Denny Malik, "Jalan-jalan Sore". Bahkan saya semasa SMA dan kuliah sering main ke Blok M untuk sekadar ke Blok M Plaza lalu menonton film di bioskop dalam mal tersebut. Apalagi di Blok M juga ada dua SMA yang cukup terkenal dan sering tawuran, SMA 6 dan SMA 70. Kondisi yang demikian membuat Blok M adalah magnet untuk tempat pergaulan di masa muda.

Tentunya kehadiran Blok M ini memang tidak akan lepas dari penciptaan sebuah kawasan bernama Kebayoran Baru pada 1948. Secara administratif, Kebayoran Baru adalah sebuah kecamatan dalam Kota Administrasi Jakarta Selatan. Adapun kecamatan ini terdiri dari 10 kelurahan, yaitu Senayan, Gunung, Selong, Rawa Barat, Kramat Pela, Melawai, Petogogan, Gandaria Utara, Pulo, dan Cipete Utara. Wilayah ini merupakan pecahan dari Kebayoran Lama di sebelah barat yang juga dibatasi Kali Grogol sebagai batas alami.

Seperti halnya Menteng, Kebayoran Baru juga mempunyai ciri khas pada beberapa kelurahannya, yaitu Melawai yang kental dengan Blok M atau Senayan yang kental dengan kawasan distrik bisnis, SCBD. Pada kecamatan ini juga terdapat 4 stasiun kereta api MRT, yaitu Senayan, ASEAN, Blok M BCA, dan Blok A. Keempat stasiun ini melayani jalur Lin Utara-Selatan dari Jakarta Kota ke Lebak Bulus.

Kebayoran Baru merupakan kota taman kedua di Indonesia setelah Menteng yang pada awalnya merupakan sebuah perkampungan di Afdeeling Meester Cornelis pada era Hindia-Belanda yang masuk district Kebajoran dengan ibu kota berada di Kebayoran Lama. Awalnya Kebayoran Baru dirancang sebagai kota satelit Batavia setelah Perang Dunia Kedua ketika Belanda datang kembali ke Indonesia seusai menyerahnya Jepang.

Kota taman ini dirancang oleh H. Moh. Soesilo, murid Thomas Karsten, dan dikerjakan oleh CSW, yang tentu masih populer namanya bagi yang ingin ke Blok M, dan nama ini sekarang dijadikan sebagai nama Halte TransJakarta koridor 13 dan sebuah bangunan integrasi antara TransJakarta dan MRT Jakarta. 

Pengerjaan kota taman Kebayoran Baru oleh CSW sebenarnya sama dengan pengerjaan Menteng oleh NV Bouwploeg atau Boplo. Pengambilan tema kota taman berdasarkan tren yang terjadi pada awal abad ke-20 dan pasca Perang Dunia Kedua. Kebayoran Baru sendiri dirancang sebagai kota satelit untuk mengakomodasi kebutuhan akan permukiman di Jakarta kala itu yang bagi pemerintah Belanda dirasa sangat mendesak karena Batavia kota inti sudah tidak bisa menampung banyak orang lagi.

Pengerjaan kota taman ini dimulai pada 1949 setahun setelah perancangan, dan di saat Indonesia masih terus mempertahankan kemerdekaan dengan berbagai pertempuran melawan Belanda di luar Jakarta. Ketika Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia lewat KMB, pengerjaan kota taman satelit Kebayoran Baru tidak terpengaruh hingga akhirnya kelar pada 1955.

Meskipun merupakan kota taman, kenyataannya Kebayoran Baru dirancang secara heterogen pada permukimannya dengan berbagai bentuk tipe, dan dibuat dengan blok-blok, yaitu blok A, O, dan P yang masuk Kelurahan Pulo, Blok B, C, D yang masuk Kelurahan Kramat Pela, Blok M dan N yang masuk Kelurahan Melawai, Blok Q yang masuk Kelurahan Petogogan, dan Blok R dan S yang masuk Kelurahan Rawa Barat. Pada akhirnya blok-blok ini menjadi lebih populer daripada nama kelurahannya seperti Blok M, Blok A, dan Blok S.

Dalam perkembangannya, Kebayoran Baru yang terdiri blok-blok tersebut mencakup beberapa wilayah seperti Senayan, Cipete Utara, dan Gandaria Utara sebagai bagian dari perluasan wilayah. Ketika kota satelit ini selesai pada 1955, terjadilah permasalahan lain yang berkaitan dengan letaknya yang cukup jauh dari pusat kota Jakarta yang berada di kawasan Monas. Walaupun Belanda sudah membangun jalan penghubung berupa jembatan dari Menteng dari Jalan Teluk Betung menyeberangi Sungai Ciliwung, hal tersebut belumlah cukup sehingga pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno membuat sebuah jalan baru yang lebih luas serta memanjang dari Medan Merdeka Barat ke Sisingamangaraja. Jalan itu dinamai Jalan M. H. Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman sepanjang 13 kilometer.

Tak hanya itu, Bung Karno juga membangun kompleks olahraga di Senayan dan jembatan di Semanggi yang memudahkan orang-orang bermobilisasi dari utara ke selatan tepatnya ke Kebayoran Baru. Pembangunan bangunan-bangunan monumental itu seiring dengan keinginan Bung Karno membuat Jakarta menjadi mercusuar dunia yang ia manfaatkan lewat Asian Games 1962 sekaligus membuat poros ekonomi baru dari Thamrin hingga Sudirman yang tetap eksis hingga kini.

Dalam perjalanan sejarahnya kawasan Kebayoran Baru yang juga merupakan kawasan elite di Jakarta pernah punya sejarah kelam, yaitu penculikan dan penembakan Jenderal D.I. Panjaitan oleh para tentara loyalis Soekarno yang pro-PKI di rumahnya di Jalan Hasanuddin seberang Terminal Blok M pada 1965. Sang jenderal yang tewas itu langsung dibawa ke Lubang Buaya. Peristiwa ini seperti halnya pada Menteng sehingga kedua kota taman ini ada keterkaitan peristiwa historis yang sama pada 1965.

Kesimpulan 

Menteng dan Kebayoran Baru merupakan dua kota taman pertama di Jakarta yang menjadikan keduanya sebagai pelopor kawasan yang asri, sejuk, dan terintegrasi. Tentunya dari gambaran di atas Menteng adalah kawasan permukiman yang identik dengan gaya hidup kolonial yang gemerlap pada awal abad ke-20, dan karena kolonial kawasan ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa di masa penjajahan sedangkan Kebayoran Baru walaupun dikerjakan oleh biro Belanda, pada akhirnya menjadi kawasan permukiman yang identik dengan orang-orang Indonesia pascakolonial, yang tentunya masih begitu membara semangat nasionalismenya.

Dewasa ini kita melihat kedua kawasan ini masih tetap eksis meskipun ada perubahan struktur bangunan di dalamnya yang tentu saja bisa mengaburkan pandangan historis keduanya. Menteng di masa pasca kolonial ini menjadi tempat tinggal bagi para pejabat, kantor partai-partai ternama, lembaga-lembaga pemerintahan, dan kedutaan besar negara-negara asing.

Sedangkan Kebayoran Baru yang mempunyai distrik bisnis dan serta pusat perbelanjaan menjadi tempat lembaga-lembaga pemerintahan seperti Polri, PLN, Kejaksaan Agung, Kantor Walikota Jakarta Selatan serta Sekretariat Jenderal ASEAN. Keduanya juga merupakan ibu kota kota administrasi masing-masing sehingga bisa dibilang keduanya masih sangat istimewa, dan berbicara mengenai perluasan kota Jakarta tidak akan bisa dilepaskan dari keduanya.


Sabtu, 04 Desember 2021

Dari Timur ke Barat: Sejarah Poros Ekonomi, Bisnis, dan Perdagangan Jakarta

Belakangan ini nama Dukuh Atas sedang begitu terkenal sebagai sebuah kawasan berorientasi transit yang dikembangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat sejak 2019. Disebut demikian karena kawasan yang terhampar di Jakarta Pusat dan Selatan merupakan titik pertemuan antara berbagai moda transportasi di Ibu Kota, yaitu KRL Jabodetabek, TransJakarta, Kereta Bandara Soekarno-Hatta, dan MRT Jakarta.


Pada Agustus 2022 kawasan ini akan bertambah lagi satu moda transportasi, yaitu LRT Jabodebek yang mempunyai jalur dari Cibubur dan Bekasi, dan Pemprov DKI pun melalui para BUMD transportasinya (MITJ dan MRT Jakarta) sedang membangun Simpang Temu Dukuh Atas yang akan menghubungkan Stasiun LRT Jabodebek dan Stasiun KRL Sudirman di seberang Waduk Setiabudi. Simpang Temu yang direncanakan mempunyai 11 lantai itu juga akan terhubung dengan Halte TransJakarta Dukuh Atas 2 di bawahnya serta di situ terdapat juga jalur pejalan kaki dan sepeda.

Kehadiran fasilitas penunjang mobilitas untuk transportasi terintegrasi di Jakarta ini merupakan yang kedua setelah Terowongan Jalan Kendal di bawah Jalan Jenderal Sudirman diubah menjadi jalur pejalan kaki yang begitu luas untuk memudahkan mobilitas para kaum penglaju Ibu Kota yang hendak berpindah antarmoda seperti dari Stasiun KRL Sudirman ke Stasiun MRT Dukuh Atas dengan aman.

Kawasan Segitiga Emas Jakarta

Dukuh Atas sendiri sebenarnya merupakan bagian dari kawasan Segitiga Emas Jakarta yang di dalamnya terdapat Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, SCBD, Senayan, Rasuna Epicentrum, dan Mega Kuningan. Kawasan yang berisikan banyak gedung pencakar langit yang dimaksudkan sebagai distrik bisnis, ekonomi, dan perdagangan Jakarta hari ini merupakan sebuah kawasan yang dikonsepkan sejak dekade 90-an. Awal mulanya konsep ini berawal dari perkembangan Jakarta pasca kemerdekaan terutama di tahun 1950-an dan 1960-an, yang kemudian sekarang berkembang menjadi kawasan yang supermegah dan mewah, dengan jarak sekitar 19,01 km.

Pada hari di kawasan ini terutama dari arah Bundaran HI hingga Bundaran Senayan terlihat banyak revitalisasi fasiltas publik mulai dari halte hingga JPO yang dibuat futuristik demi memancarkan keindahan kota. Hal tersebut pun berkelindan dengan adanya stasiun-stasiun bawah tanah MRT di jalur tersebut.

Ketika di masa  sekarang kawasan yang sedang mencuri perhatian adalah sepanjang Jalan Jenderal Soedirman dan M.H. Thamrin yang benar-benar mencirikan sebagai nyawa ekonomi Ibu Kota apakah hal yang sama pernah ada di masa Jakarta masih bernama Batavia yang merupakan ibu kota Hindia-Belanda, nama historis Indonesia sampai 1949 menurut pandangan orang Belanda?

Jawabannya tentu saja ada. Bahkan sebenarnya di masa Batavialah integrasi moda transportasi sudah dilakukan dengan berbagai moda transportasi yang ada pada masa itu, yaitu trem, kereta listrik, dan bus. Namun kawasan yang menjadi pusat perdagangan dan perekonomian di zaman Belanda itu berada di sebelah timur jika ditarik dari Dukuh Atas sekarang, dan kawasan itu bernama Senen.

Kawasan Segitiga Senen

Nama Senen tentu sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang Jakarta atau dari luar Jakarta terutama dari Cirebon dan Tanah Jawa yang sering naik kereta api dari tempat asalnya kemudian turun di Stasiun Pasar Senen yang merupakan salah satu stasiun terbesar di Jakarta selain Gambir dan Jatinegara. Pada kawasan yang masuk administrasi Jakarta Pusat ini juga terdapat Terminal Bus Senen sebagai salah satu terminal bus untuk mudik dari pusat kota ke daerah.


Kawasan Senen yang berdekatan langsung dengan Cempaka Putih, Johar Baru di timur serta Menteng dan Kwitang di barat merupakan kawasan yang cukup termasyhur di masa Batavia. Letak kawasan ini yang cukup strategis karena hanya satu jalan lurus saja dari Arah Ancol dan Gunung Sahari di utara serta Salemba dan Jatinegara di selatan membuatnya berada di pertengahan titik pertemuan. Apalagi di kawasan ini juga terdapat Pasar Senen yang dibangun sejak abad ke-18 oleh Justus Vinck setelah membeli beberapa hektare tanah dari Cornelis Chastelein yang terkenal memilki tanah dari Jatinegara hingga Depok di masa ketika VOC  sudah mulai ada di Jakarta.

Seperti halnya Dukuh Atas, kawasan Senen juga merupakan salah satu dari poros ekonomi Jakarta di masa Batavia. Di kawasan ini banyak bermunculan toko-toko orang Cina setelah pasar, tempat hiburan berupa bioskop dan gelanggang seni, dan lain-lain. Bahkan karena ramai dan padatnya kawasan ini disebut juga dengan Segitiga Senen karena memang jika dilihat dari peta bentuknya seperti segitiga yang di dalamnya terdapat toko dan fasilitas publik lainnya serta pasar yang sampai sekarang masih ada serta pusat perbelanjaan Mal Atrium.

Di Senen pulalah banyak lahir para seniman gelanggang yang disebut dengan seniman Senen seperti Chairil Anwar dan  Misbach Yusa Biran yang memang sering berkumpul di tempat-tempat seni dan hiburan di kawasan itu seperti bioskop Rivoli (dahulu Asia) dan Rex yang sekarang sudah tutup serta berganti nama Grand Theater Senen. Tak hanya di tempat seni dan hiburan, para seniman itu juga sering berkumpul dekat Stasiun Pasar Senen sampai kemudian pusat kebudayaan dan seni di Jakarta dipindahkan ke Taman Ismail Marzuki pada dekade akhir 1960-an.

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kawasan Senen yang cukup populer di masa Batavia dan pada dekade-dekade awal kemerdekaan sebenarnya merupakan salah satu dari poros ekonomi, bisnis, dan perdagangan yang diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda di Batavia. Kawasan ini berawal dari Weltevreden (sekarang kawasan Monas) lalu ke Salemba, dan berakhir di Jatinegara yang  kala itu bernama Meester Cornelis sebagai batas poros di selatan yang mengarah ke Bekasi.

Awal munculnya poros ini karena keinginan orang-orang Belanda yang lama menetap di Batavia sejak abad ke-17 untuk membuat kembali distrik perdangangan dan ekonomi sekeluarnya mereka dari kawasan benteng yang sekarang berada di Kota Tua akibat permasalahan kesehatan seperti malaria, sesak napas karena udara dalam rumah-rumah di kawasan itu yang pengap akibat dibangun mengikuti Amsterdam, serta udara tropis yang tidak bersahabat. Kondisi kota benteng Batavia yang tidak sehat tersebut menyebabkan banyak penghuninya meninggal hampir setiap harinya, dan setiap harinya pula Kali Besar di kawasan itu akan selalu ada peti jenazah yang menuju ke pemakaman Tanah Abang (sekarang Museum Taman Prasasti).

Dari kawasan benteng inilah kemudian mereka ke beneden stad atau kota bawah yang dianggap lebih sehat serta masih mempunyai suhu yang menyejukkan sehingga kemudian disebut dengan Weltevreden hingga Belanda hengkang dari Indonesia selama-lamanya. Permukiman baru seketika muncul dan tumbuh dengan pesat meskipun Batavia dikuasai Inggris pada 1811-1816. Di Weltevreden inilah mulailah dibangun banyak bangunan publik seperti Gedung Harmoni yang sekarang menjadi lapangan parkir Sekretariat Negara, Gedung Schouwburg yang sekarang menjadi Gedung Kesenian Jakarta, Museum Batavia yang sekarang adalah Museum Nasional, Gereja Katedral, Gereja Immanuel, serta Istana Weltevreden yang sekarang menjadi gedung Kementerian Keuangan yang berada di sebelah timur Waterlooplein atau sekarang Lapangan Banteng.

Massifnya perkembangan kawasan di Weltevreden terutama di sebelah timur berlanjut hingga ke kawasan-kawasan di bawahnya, Senen, Salemba, dan Jatinegara. Selain kawasan Senen yang sudah disebutkan di awal juga ada kawasan Kwitang yang di dalamnya terdapat gedung Stovia yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional kemudian ke Salemba terdapat Sekolah Kedokteran STOVIA yang baru untuk menggantikan gedung STOVIA lama di Kwitang. Selain fasilitas pendidikan di Kwitang dan Salemba juga berdiri banyak toko dan perkantoran, dan hal itu berlanjut hingga Jatinegara via Matraman, yang  mulai berkembang pesat menjadi gemeente atau kotamadya pada awal abad ke-20 seiring dengan adanya Stasiun Jatinegara dan jalur trem yang mengarah dari Pasar Ikan. Poros ekonomi masa Batavia ini juga semakin berkembang setelah adanya perumahan tropis khusus orang Eropa di kawasan Menteng dan Gondangdia yang terhubung oleh jalur trem dari Pasar Ikan ke Menteng serta Harmoni ke Pasar Senen dan kereta api dari Stasiun Batavia BEOS (sekarang Stasiun KRL Jakarta Kota) ke Buitenzorg (Bogor). Di sepanjang jalur Salemba-Matraman integrasi antara trem dan kereta yang sudah dialiri listrik pada 1925 ada di viaduk Matraman. Di situlah trem yang mengarah ke Meester Cornelis bertemu dengan kereta di Stasiun Matraman di atasnya.

Gambaran mengenai poros ekonomi, bisnis, dan perdagangan di kala Jakarta masih bernama Batavia ini banyak disebutkan dalam beberapa karya sastra Indonesia seperti para sastrawan Balai Pustaka yang dalam novel-novel seperti Salah Asuhan selalu menyebutkan Kwitang sebagai asrama bagi para mahasiswa kedokteran yang kuliah di STOVIA serta menyaksikan gemerlapnya poros ekonomi tersebut atau Jejak Langkah bagian dari Tetralogi Pulau Buru yang juga menyebut kawasan-kawasan di poros ini seperti Kwitang, Salemba, Kramat, bahkan Jatinegara sebagai latar belakang tokoh Minke yang kuliah di STOVIA.

Bergeser ke barat

Perkembangan kota Jakarta di masa kolonial dari abad ke-18 hingga awal abad ke-20 sebelum Perang Dunia Kedua mengindikasikan jika perkembangan kota hanya berada di sebelah timur saja setelah turun dari utara sementara di luar perkembangan berarti adalah pinggiran kota yang berisi kampung-kampung yang tidak terjamah oleh gemerlap pembangunan di timur yang lebih banyak ditujukan bagi orang Eropa. Hal ini berdasarkan peta-peta Jakarta zaman dahulu yang di dalamnya juga sudah ada jalur trem dan kereta api.


Karena poros tersebut dianggap sebagai bentuk keangkuhan Belanda di masa kolonial, di masa-masa awal kemerdekaan terutama setelah pengakuan kedaulatan pada 1949, Bung Karno sebagai Presiden mulai memikirkan poros ekonomi baru untuk Jakarta yang mulai berkembang sekaligus meninggalkan kesan kolonial yang kejam dan diskriminatif.  Pada dekade 1950-an dan 1960-an mulailah ia merancang poros dari kawasan Monas sebelah barat hingga ke Kebayoran Baru dengan membangun jalan-jalan  baru penghubung kawasan tua dan baru Jakarta , yaitu Jalan M.H. Thamrin dan Jenderal Sudirman dengan beberapa bangunan monumental di sekitarnya, yaitu Monas, gedung Sarinah, patung selamat datang di bundaran HI, Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Jembatan Semanggi, hingga Kompleks Olahraga Bung Karno yang bisa dibilang berupaya mengangkangi arsitektur-arsitektur dan infrastruktur kolonial di sebelah timur, dan seiring perkembangan zaman poros dari Monas hingga ke Kebayoran Baru ini menjadi kawasan bisnis utama Jakarta hingga saat ini.

Foto dari berbagai sumber


 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran