Pages

Selasa, 28 Oktober 2014

Neologisme Bahasa Indonesia

Bahasa merupakan unsur dalam kehidupan manusia yang bersifat dinamis alias sering berubah-ubah mengikuti keadaan zaman. Ini menunjukkan bahasa bukanlah sesuatu yang konstan dan eksak, meskipun mempunyai formulasi yang pakem dalam tata bahasa atau pelafalan yang tepat dalam tata bunyi. Kenyataannya, bila tidak mengikuti arus utama dalam berbahasa, seringkali muncul kata-kata baru, yang ternyata dapat memberikan khazanah baru dalam berbahasa serta menyumbang kosakata.

Keadaan, yang demikian, disebut dengan neologisme. Jika merujuk pada asal katanya, neologisme berasal dari dua kata, neos dan logos. Neos berarti baru sedangkan logos kata. Jika diartikan secara harfiah, kata ini ini ialah ihwal mengenai kata baru yang sengaja diluncurkan. Di dalam banyak bidang neologisme, seperti kedokteran dan psikologi neologisme diartikan sebagai sebuah keadaan pasien penderita sakit jiwa yang menciptakan kata-kata baru yang hanya dapat dimengerti oleh dirinya sendiri. Karena itu, kata-kata itu terdengar aneh dan tidak dapat dijangkau nalar. Contoh Vicky Prasetyo bisa menjadi kasus. Ia, yang kontroversial, ketika hendak menikahi Zaskia Gotik, secara, entah sengaja atau tidak, mengucap kata-kata seperti: statuitasi kemakmuran, kontroversi hati, dan labil ekonomi.

Di dalam linguistik, neologisme, menurut KBBI, ialah kata bentukan baru atau makna baru untuk kata lama yang dipakai dalam bahasa untuk memberi ciri pribadi atau demi pengembangan kosakata. Sebenarnya, jika dilihat secara umum, istilah neologisme dalam, baik dalam linguistik maupun psikologi-kedokteran hampir mirip: mencipta kata baru demi kepentingan pribadi atau bisa dimengerti dirinya sendiri. Namun, dalam ranah linguistik neologisme bisa berhubungan dengan sosiolinguistik bahasa dan penuturnya, yang berarti juga bisa berkaitan dengan budaya pribadi atau suatu tempat.

Kata neologisme pertama kali muncul dalam bahasa Prancis, yang menyerap dari bahasa Yunani Kuno pada 1734. Lantas kata itu kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi neologism pada 1772. Ketika di Indonesia menjadi neologisme. Munculnya kata itu dari Eropa menunjukkan bahwa benua itu merupakan pengguna pertama neologisme. Neologisme muncul pada abad ke-19 dan 20 ketika dunia, yang terpusat di Eropa dan Amerika, sedang giat-giatnya mengembangkan teknologi oleh karena Revolusi Industri yang berdampak cukup luas ke beberapa aspek, yaitu, ekonomi, sosial, dan politik. Gerrymandering tercatat merupakan bentuk neologisme pertama. Kata ini masuk dalam ranah politik dan tercipta pada 1812. Terciptanya kata ini berawal dari reaksi yang dilakukan Boston Gazzete atas penggambaran ulang distrik pemilihan kongresional Massachussets di bawah pemerintahan Gubernur Elbridge Gerry. Pembagian area yang dilakukannya semata-mata untuk pemanfaatan politis bagi partainya, Republik dan Demokrat. Neologisme ini bersifat negatif karena merupakan tindakan untuk memanipulasi wilayah pemilihan. Dari gerrymandering ini, terciptalah kata-kata yang menggabungkan nama dengan mandering seperti halnya istilah -nomics. Kebalikan dengan -mandering, -nomics, yang merupakan neologisme dalam ekonomi, bersifat positif.

Neologisme kemudian menyebar ke berbagai bidang seperti komunikasi, sastra, militer, sosial, teknologi, dan budaya populer. Dalam kehidupan sehari-hari jamak terdengar global village (kampung/desa global), cyberspace (ranah maya), radar, internet, laser, dan blog. Kata-kata tersebut merupakan neologisme global yang berasal dari empunya globalisasi, Amerika Serikat. Kata-kata ini, kebanyakan muncul pada pasca-Perang Dunia ke-2.

Neologisme secara umum dapat berbentuk kata tunggal atau majemuk/gabungan jika dilihat wujud fisiknya. Selain itu dapat pula berbentuk singkatan dan akronim.

Neologisme di Indonesia

Di Indonesia juga terdapat neologisme. Neologisme di sini tampaknya lahir untuk membendung globalisasi ala Amerika Serikat. Berawal dari keinginan Presiden Soekarno, yang menginginkan Indonesia menjadi negara berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), dimasukkanlah beberapa kata dari bahasa Sansekerta untuk membendung globalisasi itu, seperti pramugari, peragawati, dan dasawarsa. Sansekerta, dan juga bahasa Jawa dipilih dikarenakan kedua bahasa itu merupakan penyumbang kosakata terbanyak dalam bahasa Indonesia meskipun bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu-Riau. Hal ini berbeda dengan di Amerika dan Eropa, yang neologismenya, berakar pada bahasa Latin dan Yunani.

Uniknya, neologisme di Indonesia ialah bahasa asing dilawan dengan bahasa asing. Hal ini karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan banyak suku bangsa dan bahasa. Beberapa suku bangsa di Indonesia secara tidak langsung ikut menyumbang kosakata-kosakata mereka. Gambaran neologisme di Indonesia ialah penyerapan bahasa asing/daerah dengan tidak mengubah ejaan kata (lokakarya), mencampur bahasa daerah/asing (prasejarah), menyerap dengan menerjemahkan total (dalam jaringan), menyerap dengan menerjemahkan sebagian (cakram flopi), dan akronim/singkatan (alutsista, tupoksi). Uniknya lagi, salah satu kata berbau neologisme, swasembada, diciptakan oleh orang asing bernama Zorica Dubovska, seorang penutur bahasa Indonesia asal Republik Ceska. Kata swasembada,  yang menurut KBBI, berarti mencukupi kebutuhan sendiri, tercipta dari kata svepomoc yang hendak diterjemahkan oleh Zorica.

Neologisme, mengingat merupakan kata baru di luar arus utama atau kelaziman, tidak sepenuhnya mudah diterjemahkan atau dipadankan ke dalam bahasa lokal. Hal ini dikarenakan sifatnya yang dinamis dan berasal dari budaya tempat kata itu berasal yang juga menyertakan kondisi masyarakatnya secara sosiolinguistik. Misal, kata-kata seperti wearable devices, electric/diesel multiple unit, bus rapid transit, mass rapid transit, smartphone, smartwatch merupakan sekian contoh. Beberapa kata sudah ada yang diterjemahkan dan dipadankan namun mubazir karena jarang digunakan akibat mentalisme masyarakat. Seperti kusala untuk award, tetikus untuk mouse, perangkat lunak untuk software, dan perangkat keras untuk hardware.

Hal ini dikarenakan kata-kata itu muncul dari negara, yang masyarakatnya, merupakan pelahir teknologi maju sehingga ketika dipadankan juga akan terasa tidak sedap di telinga. Di dalam masyarakat yang maju itu juga lahir hal-hal yang bersifat inovatif.  Akibatnya, terjadi globalisasi dan imperialisme bahasa yang pada akhirnya memaksa masyarakat yang disasar harus menerima mentah-mentah. Contoh paling sederhana dari ini ialah pemakaian nama-nama umum di bahasa asalnya dan menjadi merek produk teknologi. Twitter, Facebook, Google, dan Skype. Beberapa negara, yang kuat bahasanya, seperti Prancis, Jerman harus menerima globalisasi merek ini walau bisa dipadankan. Apalagi Indonesia.

Jumat, 24 Oktober 2014

Garup, Pergarup

HANYA DI BIOSKOP
MULAI 11 SEPTEMBER 2014
harianjogja.com
Begitulah kalimat yang tertulis pada poster sebuah film berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Extended, sebuah film yang diangkat dari roman laris karya Hamka. Poster itu terpampang di dalam gerbong Commuter Line Jakarta-Bogor sebagai sebuah reklame promosi komersial. Saya yang melihat kalimat itu langsung mengganti kalimat dalam ke dalam bahasa Inggris:

ONLY IN THEATRE
BEGINS SEPTEMBER 11 2014

Saya tahu persis bahwa kalimat itu secara tidak langsung memang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ketika menerjemahkan itu pikiran saya langsung mengarah kepada kata theatre, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi bioskop. Nah, dari sini saya mulai mengarah lagi ke terjemahan itu. Inilah yang membuat saya ingin mencoba menulis perihal itu.

Bahasa Indonesia mengenal kata bioskop untuk menyebut sebuah pertunjukan dengan gambar yang disorot sehingga dapat bergerak atau berbicara. Begitulah yang saya baca dari KBBI, sebagai kitab sahih untuk penutur dan pengguna bahasa Indonesia. Kemudian ada lema yang menyatakan: gedung pertunjukkan film cerita. Bila melihat pada lemanya, bioskop kemudian dijadikan padanan untuk kata theatre. Theatre dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Prancis theatre dan bahasa Latin theatron, tempat untuk memandang/ menyimak. Di dalam bahasa aslinya, theater bisa bermakna tempat atau gedung yang mementaskan pertunjukkan musik, drama, dan film (Webster). Mengenai hal ini, di KBBI pun sudah ada lema teater sebagai padanan serapan langsung theatre. Kata theatre untuk film sebenarnya lebih banyak ditemukan di Amerika Serikat. Kata ini bersinonim dengan kata cinema, dalam bahasa Indonesia menjadi sinema.

Namun, yang menarik dan menjadi pertanyaan bagi saya pribadi adakah kata asli yang tepat untuk mengartikan theatre? Yang saya tahu bioskop itu berasal dari bahasa Belanda, bioscoop, yang harfiahnya gambar hidup, dan berasal dari bahasa Yunani, bios (hidup) dan scoop (gambar). Kamus Van Dale pun menyatakan bahwa bioskop adalah tempat memutar film. Lantas saya teringat pada kata ini di negeri jiran Malaysia. Di sana bioskop disebut sebagai pawagam atau panggung wayang gambar. Kemudian saya teringat lagi poster film Dracula Untold yang saya lihat di sebuah media siber Malaysia. Bunyinya:

HANYA DI PAWAGAM
MULAI 3 OKTOBER

Di dalam Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, pawagam berarti tempat wayang gambar (film) dipertunjukkan atau diputar. Di dalam bahasa Malaysia, wayang berarti film, selain untuk boneka pertunjukkan bayangan. Lagi-lagi hal yang demikian dan berbeda yang terkadang membuat Indonesia sering konflik dengan Malaysia. Istilah pawagam sendiri diperkenalkan dan dipopulerkan oleh P.Ramlee, aktor legendaris dari Malaysia sebagai penerjemahan untuk theatre.

Ketika tahu Malaysia punya terjemahannya, saya langsung salut kepada negara jiran itu. Harus diakui, meskipun terdengar asing di telinga penutur bahasa Indonesia, penerjemahan yang dilakukan Malaysia merupakan hal yang harus diacungi jempol sehingga terselip harga diri di dalamnya. Saya pun berpikir seharusnya Indonesia juga demikian. Punya kata asli untuk menerjemahkan. Saya buka-buka kamus siber dan pikir-pikir terjemahan yang tepat untuk bioskop, ya gambar hidup, yang merupakan sinonim kata itu, atau pertunjukkan gambar hidup. Dan supaya bisa diterima telinga masyarakat hendaknya diakronimkan seperti pawagam, yaitu garup atau pergarup. Semoga saja usul saya ini diperhatikan para pemerhati dan pemangku bahasa sehingga bisa dimasukkan ke KBBI lantas dipopulerkan untuk mengganti kata bioskop.

Rabu, 15 Oktober 2014

Kerinduan yang (Sekali Lagi) Terwakilkan

Nama buku: Rampokan Jawa dan Selebes
Penulis: Peter van Dongen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2014
Jumlah halaman: 161

Hindia-Belanda dalam komik, apalagi digambar dengan gaya ala Tintin? Itulah yang terdapat dalam Rampokan Jawa dan Selebes, sebuah komik karya komikus Belanda, Peter Van Dongen. Bisa dibilang, untuk pertama kalinya, Hindia-Belanda, atau nama Indonesia di masa kolonial, digambarkan dengan gaya ala Tintin yang terlihat sederhana namun kuat dan mendetail. Melihatnya pun seperti melihat di foto-foto atau video-video klasik hitam-putih.

thejakartapost.com

Komik ini sejatinya bercerita mengenai kisah kerinduan seorang prajurit Belanda bernama Johan Knevel, yang lahir dan menghabiskan masa remajanya di Hindia-Belanda, tepatnya di Makassar. Kerinduan akan masa-masa di Hindia yang indah dengan menjadi seorang sinyo dan diasuh oleh seorang babu bernama Ninih menjadi alasan utama ia kembali ke Hindia-Belanda pasca-Perang Dunia ke-2. Pada saat ia kembali, Hindia-Belanda, yang ia rindukan telah merdeka sepenuhnya dan menjadi Indonesia. Sesuatu yang Knevel tolak. Hal itu terlihat ketika ia menolak penggunaan nama "Jakarta" dan tetap menggunakan nama "Batavia" (halaman 21). Perlu diketahui, Jakarta merupakan nama ibu kota Indonesia yang digunakan ketika Jepang datang. Sedangkan Batavia merupakan nama ibu kota di masa kolonial. Keduanya jelas mengandung makna yang cukup berbeda. Pada Jakarta akan tersemat ungkapan nasionalis, kemerdekaan, bebas dari penjajah. Apalagi Jakarta juga disematkan dalam Proklamasi Kemerdekaan. Lain halnya dengan Batavia yang berbau kolonial dan perlambang eksistensi kolonial. Hal yang demikian mengindikasikan Knevel sesungguhnya sama dengan kebanyakan orang-orang Belanda, terutama mereka yang lahir dan dibesarkan di koloni, menginginkan Hindia-Belanda kembali dalam pangkuan Belanda setelah 3,5 tahun diambil Jepang. Jepang, dalam pandangan orang-orang Belanda, terutama yang masih pro-kolonial, dianggap sebagai pemecah belah antara Belanda dan koloninya dengan slogan "Asia untuk orang Asia". Kedatangan Jepang juga dianggap sebagai tempat tumbuh suburnya nasionalisme yang dianggap virus oleh pihak kolonial. Hal inilah yang terlihat pada prolog awal komik mengenai kedatangan kembali Belanda ke koloninya untuk mencoba kembali menancapkan kekuasaan 350 tahun yang telah berhasil dicapai.

Latar belakang komik pada Oktober 1946 atau setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Pada tahun ini di Indonesia telah terjadi banyak peristiwa, terutama peristiwa pertempuran antara pasukan sekutu dan pasukan Republik. Yang paling terkenal adalah Peristiwa Bandung Lautan Api. Kehadiran pasukan sekutu yang dipimpin Inggris memang ditugaskan untuk menjaga keamanan di Asia Tenggara pasca-Perang Dunia ke-2. Kehadiran mereka tak pelak memancing keributan dengan pihak Republik karena dianggap membonceng dan mendukung Belanda kembali ke Indonesia. Hal yang demikian sering berakibat bentrok dan pertempuran. Salah satu yang paling fenomenal adalah Pertempuran Surabaya November 1945. Latar belakang yang demikian membuat komik memperlihatkan sebuah adegan di dalam sebuah truk dan di Batavia (Jakarta) dijaga pasukan sekutu asal Inggris namun beridentitas India. Pasukan itu dikenali dengan memakai penutup kepala Sikh. Gambaran itu memang sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa banyak pasukan Inggris asal India yang ditempatkan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kehadiran mereka juga menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat kala itu tentang keberpihakan India.

Namun yang paling sesuai juga dengan gambaran sejarah dalam komik ini adalah ungkapan Knevel kepada Fritz yang mengatakan jika Inggris memiliki orang India sebagai pasukan, Belanda pun juga memiliki orang Ambon sebagai pasukan (halaman 19). Dalam sejarahnya, Belanda memang mempunyai pasukan asal Ambon yang ditempatkan dalam kesatuan Marsose dan KNIL. Pasukan asal Ambon ini digunakan Belanda untuk membantu Belanda menaklukkan Aceh dalam Perang Aceh, dan ternyata berhasil. Selanjutnya, orang-orang Ambon itu ditempatkan di dalam kesatuan elite militer Belanda dan mendapatkan status yang hampir sama dengan orang-orang Belanda. Status yang demikian membuat mereka seperti menjadi orang Belanda sehingga ketika Jepang datang mereka ikut ditangkap dan dimasukkan ke dalam kamp internir. Ketika terjadi peristiwa proklamasi, orang-orang Ambon ini menjadi sasaran kaum nasionalis Indonesia yang menganggap mereka sebagai Belanda, dan akhirnya dibunuh. Hal yang demikan membuat beberapa orang Ambon dendam kepada kaum nasionalis Indonesia sehingga ketika memperkuat kembali pasukan Belanda, mereka tidak menyia-nyiakan, lantas bertindak galak terhadap kaum nasionalis Indonesia. Di dalam komik ini, keterlibatan pasukan Ambon dalam kesatuan militer Belanda terlihat di Selebes, yaitu ketika cerita berpindah ke Makassar dan memperlihatkan para pasukan Ambon yang sedang menggerebek sebuah desa di dekat Makassar yang dianggap sarang pemberontak. Di bagian lainnya, mereka diperlihatkan sedang berpatroli.

Dalam usahanya bertemu kembali dengan masa-masa indahnya, ternyata banyak halangan yang ditemui Knevel. Dimulai dari dirinya yang tidak sengaja membunuh rekannya, Erik Verhagen, seorang komunis yang bersimpati kepada kemerdekaan Indonesia di kapal Tegelberg yang hendak menuju ke Hindia hingga ia harus menyamar sebagai Erik dalam perjalanan selanjutnya, dituduh sebagai pengkhianat karena desersi oleh rekan-rekannya di militer Belanda, percintaannya dengan seorang Cina-Manado bernama Lisa Mangar yang kemudian Lisa hamil tetapi ia tidak mengakui, dan yang tidak disangka-sangka ia mempunyai adik dari hubungan almarhum ayahnya dengan Ninih. Hal yang membuat ia terkejut. Memang, di akhir cerita Knevel berhasil menemui walau sebentar. Namun, itu disusul dengan kematiannya yang tenggelam di dalam air dekat perkampungan air di dekat Makassar. Kematian yang mirip dengan kematian Erik Verhagen: tenggelam.

Rampokan Jawa dan Selebes ini merupakan terjemahan dari Rampokan Java en Rampokan Celebes, yang diterbitkan pada 2014 oleh Gramedia Pustaka Utama dalam bentuk 1 buku. Sebelumnya, pada 2005, oleh penerbit yang sama, buku-buku ini diterbitkan secara terpisah. Melihat dari judulnya, memang terkesan unik dan jarang sebab tak semua orang Indonesia, meskipun komik ini berlatar belakang Hindia-Belanda, tahu tentang rampokan, sebuah tradisi memburu harimau beramai-ramai di Jawa pada masa hendak memasuki akhir bulan Puasa, yang berlangsung dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Selain itu, rampokan adalah penyitaan benda secara paksa. Kata rampokan dipilih sebagai komikus sebagai judul sebab sesuai dengan cerita. Dalam cerita, Knevel diasoiasikan sebagai harimau. Harimau dalam rampokan harus dibunuh sebab ia lambang kesialan. Pun dalam cerita, Knevel harus disingkirkan karena ia seperti duri dalam daging bagi orang-orang Belanda akibat tindakannya yang desersi dan memakai identitas Erik Verhagen, yang memang diburu Belanda. Ungkapan dari Chris Jonker, seorang kapten atasan Knevel menegaskan hal itu ketika ia tidak jadi menolong Knevel yang hendak tenggelam tetapi malah menembaknya. Jonker dengan tegas menganggapnya sebagai pengkhianat (halaman 152).

Alur komik, yang naratif dan hitam putih, disertai dengan pemandangan mendetail mengenai Hindia-Belanda yang indah, pemandangan yang membuat orang-orang Belanda tidak rela melepas begitu saja ke pribumi, menjadi nilai tambah ketika membaca komik ini. Kita seolah-olah diajak bernostalgia mengenai Tempo Doeloe. Alur komik pun seperti terlihat dalam film karena memakai adegan analogi yang bersamaan. Belum lagi pewarnaan warna krem dan putih untuk membedakan internal dan eksternal persona. Dari segi penerjemahan, bahasa yang diterjemahkan begitu lentur dan mudah dipahami oleh pembaca komik. Meskipun komik ini berlatar belakang politik dan sejarah, penuturan kata-kata oleh tokohnya terlihat sederhana dengan visual yang mendukung. Yang unik dalam penerjemahan ini adalah pemasukan kata "gemblung". Itu terjadi pada frame para tentara Belanda yang sedang melihat wanita-wanita pribumi mandi di sungai (halaman 31). Bagi para tentara itu, hal itu seperti sesuatu yang menakjubkan. Penggunaan kata "gemblung" malah membuat komik seperti menjadi hidup dan nyata.

Peter Van Dongen, sang komikus, butuh waktu 3 tahun untuk meriset. Riset ia kumpulkan dari foto-foto dan cerita ibunya, yang memang keturunan Indonesia. Tentu itu bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat sudah banyak tempat yang berubah dan berbeda di foto. Akan tetapi, riset itu tidak menjadi sia-sia. Komik lulusan Grafische School Amsterdam penggemar Herge ---pengarang Tintin--  ini (Rampokan Jawa) berbuah penghargaan berupa Desain Buku Terbaik pada 1999, setahun setelah diterbitkan. Pada 2004, ia menerbitkan Rampokan Selebes, yang pada 2005 di Indonesian penjualannya mencapai 3.000 eksempelar. Selain ke bahasa Indonesia, komik ini juga sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman dan Prancis.

Membaca komik ini seperti juga belajar sejarah secara tidak langsung dan informal. Mengetahui hal-hal di balik yang bersifat textbook alias jarang diceritakan sekaligus memasukkan unsur-unsur Mooi Indie yang coba diselipkan. Meskipun, karena yang menulis orang Belanda dan berdarah Indo, kesan subjektif dan cerita yang lebih berkisar ke orang-orang Belanda, menjadikan komik ini lebih melihat Indonesia dari sudut pandang Belanda, dan mewakili kerinduan orang-orang tua di Belanda akan Indonesia (Hindia-Belanda).


Rabu, 08 Oktober 2014

English, The Mixed Lingua Franca

What do you think about English? Absolutely, you should say that is the international language. A language that  now enjoys a status as the lingua franca. This language is spoken by people, not only in the English speaking countries, but also in non English speaking countries.  This situation brings an impact that people in the world know about this language although only a few understand it. This situation also forces them have to learn English. They learn this language by school as the first foreign language or by language course place. Speaking English for many people is more prestigious than speaking in mother language. Therefore, English could marginalize mother language gradually. Something that worried by all sides, especially linguists. To prevent more marginalization and protecting mother language some linguist advise to make equivalents or loanwords from English and then they are translated to mother language. This method is seems to gain a success, but it is only in a textbook. English is prominent in everything, even in a daily conversation. Although the conversation is mixed with mother language.
palabea.com
Why English is more dominant?
To answer the question we have to trace back to the past. In the past English was not the international language. The position of this language was equal to other languages. English was only spoken in all British colonies which had spread from America to Asia. And the international language was French. This Romance language was always used in military, science, culinary, economy and politic. French had dominated those during the 19th century. But the situation changed in the early 20th century. The Treaty of Versailles was the eyewitness. In the treaty after the first world war (1914-1918), English had countered to French. Woodrow Wilson and Lloyd George as English representative wanted English has an equality to French. Therefore, the treaty was written in both of languages. From this treaty,which had been a foundation of funding League of Nations (the predecessor of UN), English gradually become international language. The momentum came after the second world war. United States, who won the war, had expanded English worldwide by the economic, cultural and political power. Before the expansion, English had got a status as a official language at UN along with French, Spanish, Russian and Chinese. But this language also got a status as a working language along with French. All happened in the beginning funding of UN. And before great expansion from America, Great Britain, land which this language comes, had done that slowly by The British Council.

Maybe nobody knows, or just a few knows, that English actually is a mixed language. If you read history of this language, you would know. Many languages came and influenced modern English language such as France, Germany, Dutch and Arabic. Many linguists said that English is a mixed language between Germanic and Romance language. But the linguists has belonged it to Germanic language. The linguist observed it from its structure and grammar which approach Germanic. Although this language had loaned many words from Latin and French which possible impact to its structure and grammar. But for some cases, this language have no more for compound despite influenced by Germanic languages which have compound. For many terms, especially in science and politics, this language loans them from Latin or French. French is most loaned words in English. The loaning due to the Norman Conquest of Britain in 1066. This invasion and occupation made French exclusively as language for noble or upper-class. The conqueror was William The Conqueror who claimed his relationship with Anglo-Saxon royal family.



Jumat, 03 Oktober 2014

Kehidupan Multibahasa di Afrika

Afrika. Benua hitam. Safari. Kehidupan alam liar. Perang Saudara. Kelaparan. Aids. Juga ebola. Itulah yang akan sering kita ucap jika menyebut kata 'Afrika'. Selain itu, sepakbola, George Weah, dan Nelson Mandela menyertai. Tetapi Afrika tak sekadar harus populer dengan kosakata-kosakata di atas jika para ilmuwan telah menyatakan bahwa Afrika merupakan benua tempat manusia modern berawal. Selain itu, benua yang bentuknya hampir bulat itu adalah rumah dari 3.000 bahasa, menurut UNESCO. Ya, di Afrikalah kehidupan multibahasa terjadi. Di benua ini banyak penduduknya bisa berbicara lebih dari satu atau dua bahasa. Sama halnya di Indonesia atau Filipina.

Namun kehidupan multibahasa di Afrika cukuplah unik. Berbeda dengan negara-negara di Asia atau Eropa (Indonesia, Filipina, Swiss, dan Belgia) yang sifat multibahasanya dinaungi dalam sebuah bahasa persatuan atau disejajarkan tidak dengan bahasa asli, Afrika sebaliknya. Hampir semua negara di Afrika, kecuali Ethiopia, menandakan kemultibahasaannya dengan cara menjadikan bahasa-bahasa yang berasal dari luar Afrika disejajarkan dengan bahasa-bahasa asli di benua itu sebagai bahasa resmi atau bahasa nasional. Salah satu contoh adalah Tanzania. Negara di Afrika Timur yang terkenal dengan Gunung Kilimanjaro-nya itu menjadikan bahasa Inggris dan Swahili sebagai bahasa resmi. Meskipun dalam kenyataannya, hanya Swahili yang benar-benar dijadikan sebagai lingua franca. Selain kedua bahasa itu terdapat bahasa Gujarat yang dituturkan oleh orang-orang keturunan India di negara itu dan 120 bahasa asli lainnya. Ada juga negara di Afrika yang benar-benar menjadikan bahasa dari luar sebagai bahasa resmi, yaitu Kamerun. Negara yang terkenal ikon pesepak bola Roger Milla itu menjadikan Inggris dan Prancis sebagai bahasa resmi. Alhasil, orang-orang di negara itu bisa fasih berbicara dalam dua bahasa. Selain itu, ada negara yang bahasa resminya bahasa Arab, namun dalam prakteknya juga menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pemerintahan dan pendidikan. Negara itu adalah Aljazair. Negara di Afrika Utara ini termasuk sebagai negara penutur bahasa Prancis terbanyak setelah Prancis. Latar belakang sejarah yang cukup dalam dengan Prancis menjadikan Aljazair menjadi faktor utamanya. Aljazair kemudian membuat gebrakan dengan menjadikan bahasa Berber, yang merupakan bahasa asli Aljazair, sebagai bahasa nasional dan bersanding dengan bahasa-bahasa dari luar negara itu.

Mengapa hal di atas bisa terjadi?

Hal itu bisa dijejakkan kembali ke masa-masa ketika Afrika dalam masa ekspansi dan kolonialisme. Dimulai dari ekspansi yang dilakukan bangsa Arab dari Asia Barat pada abad ke-7. Ekspansi yang berkenaan dengan penyebaran Islam dan pengusiran Romawi itu lantas menumbuhkan bahasa Arab sebagai bahasa yang kemudian dituturkan bagi orang-orang Islam di Afrika, termasuk di antaranya orang-orang Berber yang kemudian memeluk Islam. Bahasa Arab yang kemudian menjadi semacam lingua franca, terutama di Afrika Utara dan bertahan beberapa abad menjadi tak sendirian ketika para kolonialis dari Eropa bermunculan menyebarkan bahasa-bahasanya. Jadilah bahasa Inggris, Prancis, Portugis, Spanyol, bahkan Jerman bermunculan di Afrika. Salah satu bahasa di Eropa, Belanda, menelurkan variannya, Afrikaans, yang dituturkan di Afrika Selatan. Bahasa ini dalam pandangan populer lekat dengan politik apartheid yang pernah ada di negara itu.

Jauh sebelum munculnya bahasa-bahasa dari luar itu, Afrika mempunyai bahasa asli seperti Swahili, Yoruba, Hausa, Fulani, Amhar, dan Igbo yang dituturkan oleh 10 juta orang di Afrika. Sayangnya, bahasa-bahasa asli itu tak mendapat tempat atau tergusur dengan bahasa-bahasa asing yang malah tampak mantap di Afrika. Apalagi Uni Afrika, organisasi regional di benua hitam malah lebih memilih bahasa-bahasa Eropa dan Arab sebagai bahasa resmi dengan alasan efisiensi.Keadaan yang demikian malah mengancam bahasa-bahasa asli di Afrika sehingga pada 2006 Uni Afrika menetapkan Tahun Bahasa Afrika sebagai momentum pelestarian.

Kuatnya pemakaian bahasa-bahasa asing di Afrika sebagai bahasa resmi ditengarai juga berhubungan dengan kuatnya hubungan antara Afrika dan Eropa serta Asia Barat. Hal itu ditandai dengan sering dipakainya orang-orang Afrika sebagai tentara bayaran Eropa atau Arab. Beberapa orang Afrika pun menganggap negara-negara Eropa yang pernah menjajah mereka sebagai tempat yang baik untuk berimigrasi sehingga untuk memudahkan bahasa-bahasa bekas kolonialis mereka tetap dipakai. Bahkan, salah satu mantan kolonialis Afrika, Prancis, masih mempunyai hubungan yang teramat baik dengan negara-negara Afrika bekas koloninya. Terbukti ketika Prancis mengirimkan misinya ke salah satu negara Afrika, Mali, mendapat sambutan hangat dari pemerintah negara itu. Hal yang demikian masih melanggengkan bahasa-bahasa asing begitu kuat di Afrika. Hal tentu berbeda dengan di Asia yang menyebabkan bahasa-bahasa Eropa tidak begitu mengena dan eksis.


Rabu, 01 Oktober 2014

Tempo dan Bahasa Indonesia

Ada piring, ada sendok. Ada gula, ada semut lalu ada ban, ada mobil. Dua kata berpasangan yang saling melengkapi itu tampaknya tepat juga untuk menggambarkan judul di atas. Tempo dan Bahasa Indonesia, bisa dibilang merupakan dua unsur yang tidak bisa dipisahkan. Tempo di sini bukanlah sesuatu yang merujuk pada waktu, melainkan majalah berita mingguan berita yang terbit di Jakarta. Sedangkan bahasa Indonesia, tentu semua orang pasti mengatakan bahwa itu adalah bahasa yang sehari-hari dipakai dan dituturkan di Indonesia.
Antara Tempo dan bahasa Indonesia memang mempunyai hubungan historis yang saling melengkapi. Mengapa? Sebagai sebuah media massa yang terbit perdana pada 1971, Tempo merupakan majalah mingguan pertama di Indonesia. Majalah ini didirikan oleh sekelompok anak muda, antara lain Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, dan Harun Musawa. Mereka mendirikan sebuah majalah yang cara penyajiannnya belum pernah ada di Indonesia dengan cara mencontoh Time dan Newsweek (Amerika Serikat), Elsevier (Belanda), Der Spiegel (Jerman), dan L’Express (Prancis). Majalah berita yang diterbitkan itu bukan sekadar majalah yang memberitakan, melainkan juga menceritakan dengan cara sastrawi dan adegan per adegan seperti sebuah narasi. Hal ini yang kemudian melahirkan jurnalisme sastrawi atau literary journalism.
Cara seperti itu yang kemudian membuat Tempo berupaya menulis berita yang enak dibaca dan juga diperlukan karena berisi fakta-fakta sehingga lahirlah slogan “Enak Dibaca dan Perlu”. Semua penulisan A sampai Z, tentu saja ditulis dalam bahasa Indonesia. Bagi Tempo, bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang bukan sekadar pengantar, melainkan juga menunjukkan cara berpikir. Dengan kata lain, Tempo menganggap bahasa Indonesia merupakan bagian terpenting.
Karena itu, Tempo pun mulai menerjemahkan beberapa istilah dari bahasa Inggris dalam struktur redaksi sebuah majalah berita mingguan. Sebut saja editor in-chief yang diterjemahkan menjadi pemimpin redaksi, managing editor redaktur pelaksana, dan chief reporter koordinator reportase. Selain itu, terhadap bahasa yang merupakan percabangan bahasa Melayu itu, Tempo mempunyai redaktur bahasa untuk mengoreksi penulisan naskah. Boleh dibilang Tempo merupakan pelopor dalam pengadaan redaktur bahasa yang kemudian diikuti media-media massa lainnya. Ini semua dilakukan supaya orang dapat mengerti dan memahami berita yang disampaikan melalui tulisan.
Tempo juga pelahir kosakata-kosakata yang diambil dari bahasa daerah dan lantas dijadikan sebagai bagian kosakata baku bahasa Indonesia di kemudian hari. Sebut saja “santai”, “tumben”, “berkelindan”, “melejit”, dan “konon”. Bahkan Tempo juga yang menciptakan istilah dangdut untuk penyebutan genre musik melayu yang bercampur dengan unsur Arab dan India. Majalah ini secara tidak langsung ikut menyumbang perbendaharaan bahasa Indonesia. Selain itu, melalui Slamet Djabarudi, Tempo memelopori penggunaan kalimat bahasa Indonesia yang efektif, seperti kata “meski” yang tidak lagi memakai “namun” setelah itu, atau “jika” yang tanpa memakai lagi “maka”. Dan untuk merawat dan melestarikan bahasa Indonesia melalui kritik dan saran, sejak 2005 majalah ini melahirkan rubrik Bahasa, yang di dalamnya ditulis oleh internal atau eksternal Tempo.
Apa yang dilakukan Tempo merupakan tugas media massa sebagai penyebar bahasa Indonesia yang efektif kepada masyarakat selain pemerintah. Karena itu, Tempo merupakan salah satu bagian penting dalam sejarah bahasa Indonesia.


Imperialisme Bahasa di PBB

Manusia adalah makhluk sosial atau zoon politikon. Begitu Aristoteles berkata. Kesosialan itu terlihat dari upaya manusia yang ingin selalu hidup berkelompok dan berorganisasi. Dalam berkelompok atau berorganisasi itu supaya tujuan-tujuannya dapat tercapai tentulah dibutuhkan komunikasi. Komunikasi kebanyakan berbentuk bahasa. Bahasa yang digunakan dapat berupa lisan, tulisan, atau gestur. Karena itu, dapat dikatakan bahasa merupakan aspek terpenting dalam sebuah kelompok/organisasi yang diciptakan manusia. Selain itu, bahasa yang dipergunakan dapat dimengerti semua pihak yang mendengarkan sehingga akan tercipta satu kesamaan dan pandangan meskipun latar belakang para pendengarnya berbeda-beda.
wikipedia

Hal itu yang sepertinya berlaku untuk sebuah organisasi internasional seperti PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa. Organisasi ini didirikan pada 1945 sebagai sebuah organisasi yang berupaya mencegah perang besar seperti Perang Dunia ke-2 terulang kembali serta berusaha menjaga perdamaian melalui misi-misi perdamaian yang sering diadakan ke beberapa negara yang sedang terkena konflik. Dalam prakteknya, status PBB sebagai organisasi internasional antar-negara dengan beranggotakan 193 negara, tentulah membutuhkan bahasa yang juga berstatus internasional sebagai komunikasi pengantar yang mudah dimengerti dan dipahami.

Dalam kesehariannya, PBB mempunyai 6 bahasa yang berstatus internasional. Bahasa ini juga merupakan bahasa resmi dan bahasa kerja. Mereka adalah bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Rusia, bahasa Cina, bahasa Spanyol, dan bahasa Arab. Melalui enam bahasa itu, para pemimpin negara atau diplomat yang kebetulan mendapat kesempatan berpidato di PBB bisa menggunakan satu dari enam bahasa tersebut. Terutama bagi mereka, perwakilan dari negara-negara yang memang menggunakan salah satu bahasa resmi itu. Namun bagi yang berasal bukan dari negara-negara yang tidak menggunakan bahasa-bahasa itu sama sekali bisa menggunakan bahasa resmi di negaranya yang kemudian akan diinterpretasikan ke dalam enam bahasa resmi PBB atau menggunakan salah satu dari enam bahasa itu.

Keenam bahasa resmi PBB itu digunakan dalam berbagai pertemuan yang diadakan PBB melalui badan-badannya seperti Sidang Umum, Dewan Keamanan, dan Dewan Ekonomi dan Sosial. Keenam bahasa itu bekerja melalui penerjemahan yang terus-menerus oleh para penerjemah lisan (interpreter). Para penerjemah lisan itu bernaung dalam salah satu badan PBB bernama United Nations Interpreter Service atau Badan Pelayanan Penerjemahan Lisan PBB. Para penerjemah lisan itu bekerja dalam meja khusus bahasa yang akan diterjemahkan dan tanpa henti sehingga cukup menguras tenaga. Mereka harus mengetahui bahasa-bahasa lain selain bahasa yang diterjemahkan. Misal, penerjemah bahasa Spanyol minimal harus mengetahui bahasa Inggris dan Prancis, namun belum tentu ia mengetahui bahasa Arab atau Cina. Begitu juga sebaliknya. Dalam prakteknya, para penerjemah lisan ini dikepalai oleh seorang koordinator multibahasa, suatu jabatan yang ada di PBB sejak 2000.
UN General Assembly hall
wikipedia
Setiap bahasa resmi di PBB mempunyai hari bahasa. Hari bahasa itu ada yang ditetapkan berdasarkan hari kelahiran seseorang yang cukup berpengaruh dalam sejarah bahasa mereka. Seperti bahasa Inggris yang mempunyai hari bahasa di PBB pada setiap 23 April. Tanggal itu merujuk pada hari kelahiran William Shakespeare, sastrawan Inggris yang memulai penggunaan bahasa Inggris modern dalam karya-karyanya seperti Hamlet dan Romeo dan Juliet. Dan ada juga yang ditetapkan berkaitan dengan penemuan tempat baru di abad-abad penjelajahan. Dan itulah yang berlaku pada bahasa Spanyol di PBB. Hari bahasa itu ditetapkan berdasarkan tanggal penemuan Amerika oleh Christopher Columbus pada 12 Oktober.

Kemudian akan timbul pertanyaan mengapa bahasa-bahasa itu yang menjadi bahasa resmi di PBB? Padahal ada banyak bahasa yang lain bagi sebagian orang sangatlah pantas menjadi bahasa di organisasi itu. Ini semua berkaitan dengan sejarah pendirian PBB pada 1945. Keberadaan bahasa-bahasa resmi di PBB sesungguhnya bersifat politis. PBB yang berawal dari Piagam Atlantik, yang drafnya dikeluarkan pada 1941 oleh Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Rooselvelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchil. Di dalam piagam itu disebutkan kata 'United Nations'. Kata ini diucapkan pertama kali oleh Presiden Rooselvelt sebagai istilah untuk merujuk pada negara-negara yang bersekutu dengan Amerika Serikat pada Perang Dunia ke-2 untuk melawan Jerman, Italia, dan Jepang.Piagam Atlantik itu kemudian berubah menjadi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 24 Oktober 1945 dan ditandangani oleh perwakilan dari 50 negara di San Fransisco, Amerika Serikat. Termasuk di antaranya lima negara sekutu pemenang perang; Amerika Serikat, Prancis, Uni Soviet, Rusia, dan Cina. Lima negara ini kemudian menjadi anggota tetap PBB yang mempunyai hak veto.

wikipedia
Sebab sifatnya yang politis, Piagam PBB itu kemudian dibuat dalam bahasa-bahasa negara-negara pemenang perang itu. Dan kemudian menjadi bahasa-bahasa resmi di PBB. Pertimbangan bukan sekadar mereka memenangkan perang, melainkan juga karena kekuatan yang dimiliki negara-negara itu. Amerika Serikat sebagai pemenang perang jelas merupakan kekuatan baru yang mempunyai dampak cukup besar pasca Perang Dunia ke-2. Apalagi Amerika memainkan peranan penting dalam penyebaran bahasa Inggris ke seluruh dunia melalui propaganda-propaganda politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Inggris dan Prancis, tetap masih dianggap berpengaruh meskipun merupakan kekuatan lama, terutama di Eropa dan negara-negara bekas jajahannya. Terutama Inggris yang kerap menjalin relasi Trans-Atlantik dengan Amerika. Sedangkan Uni Soviet merupakan kekuatan besar yang luas wilayahnya hingga mencapai Asia Tengah dan Siberia sehingga patut diperhitungkan. Begitu juga dengan Cina yang dianggap strategis, baik dari segi wilayah maupun keberadaan negara itu sebagai sekutu berharga Amerika dan Eropa di masa Perang Dunia ke-2 dalam menghadapi Jepang.  Selain kelima negara yang bahasanya dijadikan bahasa resmi di PBB, bahasa Spanyol pun dimasukkan karena faktor dukungan negara-negara di Karibia, Amerika Tengah, dan Amerika Latin terhadap para sekutu di masa Perang Dunia ke-2. Negara-negara ini menggunakan Spanyol sebagai bahasanya. Ironisnya, Spanyol sebagai negara asal bahasa ini bukanlah salah satu dari sekutu itu mengingat di masa perang negara ini menjalin hubungan persekutuan dengan Jerman.

Pada 1973, PBB memasukkan bahasa Arab sebagai salah satu bahasa resmi. Pertimbangannya lagi-lagi bersifat politis, yaitu minyak yang dihasilkan negara-negara petrodolar dan merupakan bahan penting bagi industri-industri di negara Barat. Selain minyak, kepentingan berinvestasi dan kekuatan negara-negara muslim (baik negara-negara Arab maupun non-Arab) juga menyertai.

Bila melihat pemaparan di atas, jelas pemilihan bahasa-bahasa resmi di PBB bukan melihat pada cakupan bahasa-bahasa itu dituturkan. Inggris dituturkan di 60 negara di lima benua dengan pusat di Amerika Serikat. Sementara Prancis di 29 negara. Spanyol 79 negara, Arab 27, Rusia dan Cina sama-sama berbagi angka 10. Hegemoni masa lalu juga cukup mempengaruhi. Seperti yang terlihat pada Inggris dan Prancis. Di masa lalu, terutama masa-masa kolonialisme dan imprealisme, kedua negara saling berlomba memiliki tanah-tanah jajahan di lima benua. Perlombaan itu berdampak pada penyebaran bahasa kedua negara masing-masing. Bahasa-bahasa itu dituturkan di wilayah-wilayah koloni. Jauh sebelum bahasa Inggris menjadi lingua franca seperti sekarang ini, bahasa Prancis terlebih dahulu yang mendapatkan status tersebut. Namun hal tersebut berubah pada 1919 ketika hendak ditandatanganinya Perjanjian Versailles yang menjadi perjanjian berakhirnya Perang Dunia ke-1. Atas permintaan Presiden Woodrow Wilson (AS) dan Perdana Menteri Lloyd George (Inggris), bahasa Prancis yang sedari awal hanya akan dijadikan bahasa resmi perjanjian mulai disandingkan dengan bahasa Inggris. Peristiwa ini dianggap sebagai perlawanan bahasa Inggris terhadap dominasi bahasa Prancis. Dari perjanjian itulah lahirlah Liga Bangsa-Bangsa yang kemudian menggunakan dua bahasa itu sebagai pengantar.

Akibat masa lalu yang cukup mempengaruhi itu, PBB pun, meskipun memasukkan bahasa selain Inggris dan Prancis sebagai bahasa resmi, tak pelak juga menjadikan mereka sebagai bahasa kerja di samping sebagai bahasa resmi. Selang beberapa tahun kemudian status-status bahasa resmi yang lain di PBB ditingkatkan menjadi bahasa kerja. Namun perubahan itu tak berdampak apa-apa. Inggris dan Prancis kerap mendominasi, dan belakangan Inggris. Di luar badan-badan utama PBB seperti Sidang Umum, Dewan Keamanan, dan Dewan Ekonomi dan Sosial, beberapa badan lainnya tetap memakai bahasa Inggris dan Prancis sebagai pengantar. Hal yang demikian membuat bahasa resmi lainnya tersingkir sehingga memunculkan kritik, terutama dari Spanyol yang meminta agar PBB memberi perhatian lebih. Situasi inilah yang oleh Robert Philipson disebut sebagai imperalisme bahasa, yaitu dominasi atau pemaksaan pemakaian satu bahasa terhadap bahasa lainnya. Situasi ini juga mengakibatkan hanya dipakainya satu bahasa tertentu dilihat dari efisiensi, jumlah penutur, dan hegemoni politik dan ideologi. Dalam hal ini, bahasa Inggris telah berhasil menempatkan diri sebagai bahasa wajib bagi para diplomat PBB, yang kemudian disusul oleh bahasa Prancis. Itu terlihat dari diwajibkannya para penerjemah lisan atau diplomat untuk bisa berbahasa satu dari dua, Inggris atau Prancis. Selain itu, penamaan misi perdamaian kebanyakan memakai dua bahasa itu meskipun di lapangan pada helm pasukan PBB lebih sering tertulis UN yang mengindikasikan bahasa Inggris lebih mengglobal daripada bahasa lainnya, terutama bahasa Prancis. Di jejaring sosial seperti Twitter tampak bahasa Inggris lebih mendominasi. Begitu juga untuk logo-logo/banner pertemuan tingkat tinggi lebih mengutamakan bahasa Inggris. Bahkan pesaing bahasa Inggris, bahasa Prancis pun dikritik karena hanya mempunyai jumlah penutur yang sedikit dibandingkan dengan bahasa Spanyol. Hal yang demikian memunculkan keinginan menjadikan bahasa Spanyol sebagai bahasa internasional kedua setelah bahasa Inggris. Namun semua tidak berarti jika dihadapkan pada hegemoni bahasa. Faktor lain yang cukup mempengaruhi ialah biaya penerjemahan dokumen ke semua bahasa resmi sehingga tidak efisien.

gimun.org

Dominasi satu bahasa terhadap bahasa lainnya di PBB yang menyebabkan imperealisme dan hegemoni bahasa hanyalah satu contoh ketika sebuah organisasi internasional antar-negara menghadapi permasalahan multibahasa di dalamnya. Permasalahan ini akan selesai jika ada persamaan status penggunaan bahasa-bahasa yang berada di dalam organisasi itu. Namun itu semua kadang tidak terlaksana akibat kurangnya biaya dan mengganggap penggunaan satu bahasa resmi lebih efisien apalagi jika ia berstatus lingua franca. Namun yang dialami PBB tidaklah terlalu kompleks bila dibandingkan dengan Uni Eropa yang mempunyai 24 bahasa resmi.



 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran