Pages

Kamis, 31 Maret 2022

Orang Korea dan Taiwan di Tentara Kekaisaran Jepang

Jepang yang bertempur di Perang Dunia Kedua tidak melulu mengerahkan orang-orang 'asli'nya untuk melawan musuh di banyak palagan. Meniru negara-negara Eropa, Jepang juga mengerahkan tentara dari wilayah kolonialnya, Korea dan Taiwan. Keberadaan tentara dari negara jajahan ini untuk membantu upaya Jepang memenangkan setiap pertempuran di Perang Dunia Kedua di Pasifik yang prolognya dimulai dari Cina hingga kemudian membesar Ke Pearl Harbor dan berakhir menyakitkan di Hiroshima dan Nagasaki.


Korea

Semenjak 1910 Jepang mulai menguasai Korea. Keadaan ini berlangsung hingga 1945. Berkuasanya Jepang pada negara tetangga di seberang lautan ini karena adanya perjanjian mengikat antara Kekaisaran Jepang dan Kekaisaran Korea pada 1910 yang menyetujui aneksasi Jepang terhadap Korea sebagai lanjutan dari perjanjian-perjanjian sebelumnya yang menyatakan Korea adalah protektorat Jepang (1905) dan mulai kehilangan haknya dalam administrasi dalam negeri (1907).

Adapun keinginan Jepang sendiri menguasai Korea adalah sebagai jalan utama menuju Cina serta untuk mendapatkan sumber daya alam yang diperlukan untuk keperluan ekonomi Jepang pasca Restorasi Meiji di abad ke-19. Jepang sebenarnya setelah Restorasi Meiji sudah mulai mengadakan perjanjian dengan Korea pada 1876 sebagai perjanjian ekonomi dan perdagangan kedua negara termasuk impor makanan dan sejumlah bahan baku dari Korea. 

Karena itulah, ketika terjadi peperangan dengan Cina pada 1894-1895, Jepang segera harus mengamankan Korea yang memang jadi rebutan antara negara tersebut dan Cina. Ketika perang dimenangkan Jepang, negara ini mulai mempersiapkan diri menguasai Korea tahap demi tahap hingga nantinya bisa menguasai Cina yang kemudian terjadi mulai 1931 melalui Insiden Mukden dan peperangan pada 1937 hingga 1945.

Penguasaan Jepang terhadap negara-negara tetangganya lebih karena kebutuhan ekonomi karena Jepang setelah Restorasi Meiji mulai menjadi negara industri tapi miskin sumber daya alam. Berkuasanya Jepang di Korea selama 35 tahun ditandai oleh banyak kekerasan dan kekejaman terhadap orang Korea yang dipaksa menghilangkan identitas Koreanya melalui japanisasi dari nama, bahasa, dan lainnya, dengan alasan asimilasi. Bahkan kekejaman itu juga dilakukan oleh orang-orang Korea yang menjadi aparat Jepang. Peristiwa kekejaman Jepang itu paling besar terlihat pada demonstrasi kemerdekaan 1 Maret 1919, sebuah demonstrasi damai yang ditanggapi dengan penembakan, pembunuhan, dan penangkapan para peserta demo.

Tak hanya di tanah Korea, kekejaman Jepang juga terlihat pada pembantaian sejumlah orang Korea di Negeri Matahari Terbit tahun 1923 hanya karena secara mengada-ngada dianggap sebagai dalang onar dalam peristiwa gempa bumi yang terjadi sebelum pembantaian. Diperkirakan terdapat 6.000 orang Korea menjadi korban "berita palsu" yang dilancarkan pemerintah Jepang dan dieksekusi para milisi. Selain orang Korea, para sosialis dan komunis Jepang turut jadi korban karena dianggap sebagai musuh dalam selimut.

Ketika Jepang mulai berperang dengan Cina, baik dengan nasionalis dan komunis, dikeluarkanlah undang-undang mobilisasi nasional pada 1938 yang mengharuskan orang Jepang untuk wajib bertempur membela negara dalam perang di Cina. Peraturan ini juga berlaku bagi orang-orang Korea yang wajib masuk ketentaraan Jepang serta bersumpah setia atas nama Kaisar. Tak hanya pengerahan menjadi tentara, banyak orang Korea yang dikerahkan menjadi jugun ianfu dan pekerja paksa di tambang-tambang industri Jepang ---banyak dari mereka yang tewas selama pengeboman Sekutu pada 1945 di daratan Jepang.

Sebanyak 110.000 orang Korea tercatat sebagai tentara Jepang di Perang Dunia Kedua. Kebanyakan orang Korea ini ditempatkan di Manchuria atau Guangdong yang secara geografis lebih dekat dari Semenanjung Korea. Mereka pun menjadi bagian dari Tentara Kwantung, dan ikut berperang dengan Jepang melawan Uni Soviet pada pertempuran di Khalkin Gol (1939) selain tentu juga tugas utamanya adalah melawan gerilyawan komunis. Adapun orang-orang Korea ini di Tentara Kwantung ini ditempatkan dalam Unit Khusus Gando.

Ketika Perang Dunia Pecah, mulai banyak lagi orang Korea yang dikerahkan dalam Angkatan Kekaisaran. Tak hanya di pasukan darat, tetapi juga di pasukan laut, dan bahkan beberapa menjadi penerbang Kamikaze. Banyaknya orang Korea ini jelas terlihat pada pertempuran di Tarawa 1943 yang merupakan pertempuran paling berdarah di teater Pasifik Perang Dunia Kedua. Karena di sinilah marinir AS harus mati-matian menghadapi kegigihan orang-orang Korea dalam ketentaraan Jepang. Pertempuran itu sendiri berakhir dengan kemenangan AS, dan jumlah korban di kedua belah pihak mencapai 6.400 orang.

Orang Korea yang menjadi tentara Jepang juga tidak di bagian bawah saja namun beberapa menjadi perwira. Sebut saja Yi Un, putera mahkota Korea yang menyandang pangkat Letnan Jenderal, Pangeran Yi Geon dan Yi Wu yang menjabat sebagai kapten. Di luar istana, terdapat nama Hong Sa-ik, Letnan Jenderal dengan nama Jepang Shiyoku Ko yang didakwa melakukan kejahatan perang di Filipina Selatan pada 1944-1955. Selanjutnya ada nama Park Chung-hee yang menjabat sebagai Letnan di Manchuria, dan kemudian menjadi Presiden ketiga Korea Selatan. Anaknya, Park Gyun-hee, mengikuti jejaknya menjadi presiden.

Selain para perwira tinggi, tentu ada juga orang Korea yang tidak hanya bekerja untuk Jepang namun juga bekerja untuk negara lainnya dalam Perang Dunia Kedua. Ia adalah Yang Kyungjong yang awalnya adalah bagian dari Tentara Kwantung kemudian menjadi tentara Merah Ini Soviet, dan setelah itu bertarung untuk Nazi Jerman di bagian Ostlegionen. Ia sendiri tertangkap oleh Sekutu pada Pendaratan di Normandia 6 Juni 1944. Kisahya yang terbilang unik kemudian menjadi inspirasi untuk film My Way (2011).

Kisah menjadi tentara negara lain oleh orang Korea juga pernah terjadi di Indonesia tepatnya di masa Revolusi Kemerdekaan setelah Proklamasi. Adalah Yang Chil-seong, orang Korea yang berada di ketentaraan Jepang dengan nama Jepang Tanagawa. Ia bersama rekan-rekannya orang Jepang menolak menyerah pada Sekutu serta kembali ke Jepang kemudian beralih membela Indonesia dengan menjadi bagian dari tentara Republik di Garut, Jawa Barat, untuk melawan Belanda, dan kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi oleh Belanda pada Agustus 1949. Kisahnya sempat menjadi dokumenter di salah satu televisi Korea.

Setelah Jepang menyerah kemudian meninggalkan Korea, banyak dari orang Korea ini kemudian tetap melanjutkan karier kemiliterannya di Korea Selatan dan Utara, dan terlibat dalam Perang Korea.

Taiwan

Untuk Taiwan, periode penjajahan Jepang di negara pulau tersebut cukup lama, yaitu dimulai pada 1895 sejak ditandatanganinya Perjanjian Shimonoseki yang mengakhiri konflik antara Cina dan Jepang. Dengan demikian, Cina harus menyerahkan Taiwan kepada Jepang, dan menjadi koloni pertama Jepang setelah Restorasi Meiji.

Sama seperti di Korea, Jepang juga melakukan banyak kekerasan dan kekejaman. Tidak hanya kepada etnis Cina namun juga kepada suku asli Taiwan. Terdapat peristiwa paling besar di Taiwan yang terjadi pada 1930 tepatnya di Wushe antara suku Seediq pimpinan Mona Rudao melawan pemerintah Jepang. Mona Rudao yang setelah insiden terus melakukan perlawanan terhadap Jepang kemudian bunuh diri saat hendak ditangkap, oleh orang Taiwan dianggap sebagai pahlawan, dan namanya cukup populer bahkan kemudian difilmkan dalam film arahan John Woo, Warriors of The Rainbow (2011).

Orang Taiwan sendiri mulai masuk ketentaraan Jepang pada 1937 ketika berkobarnya Perang Cina-Jepang Kedua yang ditandai dengan jatuhnya sejumlah kota penting di Cina seperti Shanghai, Nanjing, dan Beijing. Pada umumnya mereka direkrut menjadi penerjemah dalam berbagai bahasa seperti Min, Kanton, dan Mandarin untuk penghubung ke kemiliteran Jepang.

Ketika Perang Dunia Kedua pecah di Pasifik, pemerintah Jepang mulai merekrut orang banyak orang Taiwan sebagai tentara lapangan, baik di Kaigun dan Rikugun, untuk kemudian bertarung melawan musuh-musuh Jepang. Tentu saja yang direkrut tidak hanya etnis Cina, namun juga para penduduk asli seperti yang ditunjukkan oleh Sukarelawan Takasago yang memang kebanyakan direkrut dari para suku aborigin Taiwan. Fungsi sukarelawan ini bermacam-macam mulai dari perang langsung di lapangan hingga aksi bunuh diri. Mereka dipilih karena memang punya kemampuan yang bagus di kondisi hutan tropis dan sub tropis yang dominan menjadi medan pertempuran di Perang Pasifik terutama di teater Asia Tenggara.

Salah satu prajurit yang terkenal dari Sukarelawan Takasago ini adalah Teruo Nakamura yang berasal dari suku Amis, dan mempunyai nama asli Attun Palalin. Ia terkenal karena baru menyerah pada tahun 1974 tepatnya di Kepulauan Morotai, Maluku, setelah 29 tahun bersembunyi dari sejak menyerahnya Jepang pada Agustus 1945. 

Sedangkan dari etnis Cina sendiri ada Lee Teng-hui yang di kemudian hari menjadi Presiden Taiwan dari 1988 hingga 2000. Total selama Perang Dunia Kedua terdapat 207.183 orang Taiwan di ketentaraan Jepang.

Kejahatan perang

Orang Korea dan Taiwan di dalam ketentaraan Jepang juga tidak bisa lepas dari kejahatan perang selama beraksi. Banyak dari mereka yang didakwa sebagai penjahat perang kelas B atau C yang menandakan kejahatan itu dilakukan di lapangan. Salah satu yang terkenal adalah Hong Sa-ik. Banyak saksi mata dari Sekutu yang mengatakan bahwa orang Korea disebut lebih galak dan kejam daripada orang Jepang, bahkan lebih bersemangat dalam pertempuran. Begitu juga orang Taiwan yang ditunjukkan oleh Sukarelawan Takasago. Pada akhirnya para penjahat perang dari orang-orang beda negara ini diabadikan di Kuil Yasukuni.

Rabu, 30 Maret 2022

Di Antara Rayuan Matahari dan Tangisan Giok

Tiba-tiba ia menangis padaku. Air matanya perlahan keluar disertai dengan suara yang sesenggukan. Raut wajah itu mengguratkan kepedihan. Aku yang melihatnya jujur terkejut. Aku berusaha untuk mendekap dan menenangkannya. Namun tangannya segera menolakku. Aku pun terdiam.


Quora

Air mata mengalir tepat di wajah putih dan sipitnya. Ia yang menangis menengadahkan kepala ke atas kemudian segera mengambil tisu di tempat tisu di dekatnya, dan menyekanya perlahan masih dengan nada yang sesenggukan. Ia lalu melihat padaku. Tatapannya tajam menyiratkan rasa tidak suka padaku.

"Kamu memang tidak akan bisa mengerti karena kamu tidak akan mengalami,"

Itulah sebaris kata yang keluar dari mulutnya. Ia lalu mengambil sebatang rokok baru di meja samping kemudian menyalakan korek pada rokok, mengisap, dan mengembusnya.

"Maafkan aku, Mei, aku tidak bermaksud untuk pro pada Kenichi. Aku hanya ingin kamu tidak berprasangka saja pada orang yang niatnya baik,"

Itulah kata-kataku yang yang kukeluarkan karena aku merasa wanita di depanku ini, Mei-Ling, sudah bisa menenangkan dirinya dengan merokok.

"Kamu terlalu polos, Didiek," ujar Mei setelah aku berkata. Ia sepertinya masih menilai bahwa aku memang tidak paham terhadap seseorang yang bernama Kenichi, seorang fotografer keliling yang aku kenal di sebuah pesta beberapa bulan yang lalu jauh sebelum Mei Ling datang.

"Ada baiknya aku dengarkan saja Frederik. Pikirannya sama denganku," ujar Mei-Ling kemudian tanpa basa-basi segera meninggalkanku. Aku hanya diam. Tak berusaha mengejar. Membiarkan saja karena tahu rasanya percuma mengejar seorang wanita yang seperti itu kondisinya. Aku kemudian menatap pada langit-langit rumahku, dan langsung melayangkan pikiran pada kejadian sebelum hal ini terjadi.

***

Beberapa bulan yang lalu tepatnya Juni 1941 aku datang ke pesta temanku yang berada di kawasan Oranje Boulevard, Menteng. Temanku ini bernama Willem, seorang Indo. Bapaknya Belanda, ibunya Minahasa-Ambon. Pesta yang diadakan ini adalah pesta ulang tahunnya. Aku yang kebetulan sudah lama mengenal Willem di bangku sekolah tentu saja hadir sembari memberi hadiah dan harapan pada Willem yang kala itu hendak berusia 25 tahun namun belum mendapatkan jodoh seperti halnya diriku.

"Aku sedang tidak mau memikirkan hal itu, kawan. Sedang ingin bersenang-senang. Kau juga kan?" Begitulah kata-katanya kalau ditanya masalah tersebut. Willem adalah seorang arsitek, dan ia lulusan Sekolah Teknik di Bandung. Sedangkan aku? Aku lulusan hukum di sekolah hukum Batavia, dan sehari-hari bekerja sebagai notaris muda di sebuah firma hukum di Kramat.

Sewaktu pesta itulah aku mendapatkan bahwa Willem menyewa seorang juru foto keliling bernama Kenichi Fukuyama. Asalnya dari Jepang, dan sudah selama setahun lebih tinggal di Hindia. Sewaktu aku dikenalkan oleh Willem ke orang Jepang ini, ia mengaku tinggal di kawasan Kramat namun lebih dekat ke Senen. Aku perhatikan bahasa Belanda dan Indonesianya cukup lancar. 

Ya, aku sendiri soal bahasa akan lebih menyebutnya Indonesia bukan Melayu karena itu lebih menunjukkan identitas diriku sebagai orang Indonesia dari suku Sunda-Jawa, dan masih mempunyai darah biru dari kedua keluargaku. Karena itulah, aku bisa dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi daripada rekan sebangsa yang lain. Aku hanya berharap suatu saat tidak ada diskriminasi soal hak mendapatkan pendidikan karena pendidikan itu perlu.

Namun aku akan menyebut bahasa Indonesia terhadap sebangsaku sedangkan kepada orang Belanda bahasa Melayu. Namun untuk Willem, ia menyatakan tidak masalah dan sama saja hanya berbeda nama. Untuk hal ini aku kurang setuju dengan pendapatnya. Begitu juga dengan Kenichi yang memintaku untuk menyebut nama Indonesia saja, baik itu bahasa maupun wilayahnya. Dalam artian ia lebih akan senang aku menyebut negara yang aku tempati adalah Indonesia bukan Hindia-Belanda.

"Ini akan lebih bisa jelas mengungkap siapa kalian dan rasa nasionalisme akan tanah air," begitulah ujarnya pada suatu waktu yang senggang saat kami berdua jalan-jalan sore di wilayah Kramat.

Kenichi pula yang membukakan mataku soal rasa cinta tanah air sampai mati, dan pengorbanan tanpa pamrih bagi negara dan bangsa. Ia selalu mencontohkan negaranya yang berhasil mengalahkan negara-negara besar seperti Cina dan Rusia.

"Itu terjadi karena kami semua bersatu. Bersumpah setia pada kaisar dan Hinomaru demi kejayaan negara kami ke depannya, Didiek-san,"

Aku jujur terpesona oleh pandangan dan pemikirannya yang selalu diekspresikan dengan berkobar-kobar khas Jepang. Di situ juga aku sering mengungkapkan bahwa sebenarnya orang-orang Indonesia itu sudah lama ingin merdeka dari cengkraman ratusan tahun Belanda namun selalu saja gagal dan gagal. Aku ingin seperti negaranya Kenichi yang benar-benar bebas dan mandiri serta mampu bersaing dan sejajar dengan negara-negara besar di Barat.

"Itu karena kalian semua belum bersatu sama sekali sehingga mudah diadu domba. Kalau kamu tahu sejarah kami kamu akan mendapati bahwa kami dulu juga sering berperang satu sama lain tetapi setelah Kaisar Meiji memerintah kami jadi bersatu hingga sekarang. Kamu hendaknya lihat kami sebagai contoh. Kami yang sama dengan kamu sebagai orang Asia bisa mengalahkan Rusia. Itu artinya Indonesia bisa mengalahkan Belanda,"

Boleh dibilang semenjak pertemuan di pestanya Willem dan sering melakukan pertemuan, aku akrab dengan Kenichi.

Namun hal itu berubah ketika suatu hari aku diajak oleh rekan satu firmaku, Frederik, untuk makan malam di rumahnya. Sebenarnya aku sudah sering makan malam di rumah Frederik, orang Belanda keturunan Yahudi. Di rumahnya aku sering melihat atribut-atribut Yahudi seperti Bintang Daud dan Menorah. Tak hanya itu, makanan yang disajikan Frederik dan keluarganya juga makanan-makanan yang halal karena orang Yahudi tidak boleh mengonsumsi yang haram seperti babi.

"Kita ini sama-sama anak Ibrahim, kawan," begitulah Frederik selalu berujar kepadaku mengenai kesamaan kepercayaan yang kami anut meski berbeda di luar. Ia yudaisme, aku muslim. Ketika aku yang sering ke rumah Frederik yang juga ada di Menteng dekat dengan Lapangan Vios, kusadari ada sesuatu yang berbeda dalam pandanganku. Aku melihat seorang wanita sipit dengan rambut panjang yang dikuncir serta memakai pakaian Cina. Ia tampak membawa nampan makanan ke arah kami. Apa ia pembantu rumah tangga Frederik yang baru? 

Tahu aku menatap sesuatu yang baru tersebut, Frederik segera memanggil wanita tersebut ke arah kami.

"Didiek, kenalkan ini Mei-Ling. Dia pembantu baruku, dan baru 2 hari bekerja di sini. Asalnya dari Cina,"

Kami segera bersalaman. Wanita yang tampak sipit tersebut tampak malu berjabat tangan denganku. Ia menatapku sebentar lalu menunduk, dan kemudian membalikkan badan, menjauhi kami.

"Ia pemalu, kawan," kata Frederik setelah itu.

Aku yang heran kemudian bertanya pada Frederik.

"Ia betul dari Cina? Maksudku bukan Cina yang ada di Glodok, kan?"

Frederik hanya tertawa kecil soal keherananku. Ia lalu berkata,

"Memang ia berasal dari Cina tepatnya dari Wuhan. Datang ke sini untuk mengadu nasib dan keluar dari neraka,"

"Maksudmu? Bagaimana kau bisa mendapatkannya?"

Mendengar pertanyaanku itu Frederik menghela napas sebentar seperti mempersiapkan sesuatu yang ia hendak ungkapkan kepadaku.

"Didiek, kau tentunya sudah tahu kalau negara Mei-Ling ini dikuasai oleh Jepang sejak 1937, dan kau tahu banyak rakyat Cina yang menjadi korban kekejaman Jepang. Kau pasti sudah tahu kekejaman di Nanjing dan Shanghai? Nah, di Wuhan, tempat Mei-Ling, juga terjadi kekejaman yang sama. Ia adalah saksinya. Keluarganya sudah habis semua dibunuh Jepang. Ditusuk demgan bayonet dan dipenggal tanpa tahu kesalahan mereka. Mei-Ling ke sini karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan aku mendapatkan dia dari kenalanku yang juga orang Cina, yang membawanya ke sini di Tanjung Priok,"

Frederik diam sebentar lalu berbicara lagi,"

"Kasihan dia. Aku hanya berharap ia damai di sini, dan tidak mengalami trauma. Apa yang ia rasakan sama seperti yang kami, orang Yahudi, rasakan karena kau pun tahu di Eropa kami juga jadi kekejaman Hitler dan Nazinya. Keluargaku di Belanda salah satunya. Menurut kabar mereka dibawa ke Auschwitz. Semoga di Hindia tidak ada perang seperti di Eropa dan Cina. Entah bagaimana kalau itu terjadi?"

"Jujur, aku kurang mengamati perkembangan yang terjadi di luar kawan. Mungkin karena aku terlalu sibuk bekerja,"

"Ya, kau sesekali harus melihat apa yang terjadi di luar supaya kau bisa sadar dan paham dengan apa yang terjadi"

Ketika mendengar itu aku jujur tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Frederik. Aku hanya diam dan tak ingin bertanya.

Semenjak itu aku jadi sering bertandang ke rumah Frederik. Entah kenapa aku jadi tertarik dan menyukai Mei-Ling. Gadis Cina itu memesonaku. Ketika Frederik mengajak kami bertiga bicara, dan kemudian meninggalkan kami berdua di saat itulah aku coba berkomunikasi dengannya. Awalnya aku bingung memakai bahasa yang ingin digunakan tetapi dengan Mei-Ling segera menyatakan dengan singkat,

"Bahasa Inggris saja karena aku guru bahasa Inggris di Wuhan,"

Dan, begitulah seterusnya aku berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa Inggris. Dari Mei-Ling lah aku mendapatkan gambaran tentang situasi yang ia alami di Cina terutama di masa pendudukan Jepang,

"Kami adalah bangsa besar yang sebenarnya berupaya memerdekakan diri dari kekuasaan asing selama ratusan tahun. Ketika impian kami tercapai pada 1911 dengan menendang orang-orang Manchu, situasi selanjutnya tidak menentu. Terjadi perang di mana-mana antara sesama kami, antara pemerintah dengan para panglima perang, dan juga dengan komunis. Di saat begitu, tanpa alasan yang jelas Jepang menyerang kami. Rumah-rumah kami dibom, dibakar, orang-orang ditangkap, ditusuk bayonet, dipenggal, dan bahkan diperkosa. Aku pun hampir kena jika saja ada temanku seorang tentara berhasil menyelamatkamu lewat penyamaran, dan dari situlah ia membawaku ke seorang teman lalu membawaku ke sini. Jujur, aku selalu bertanya-tanya dalam hati apa salah negaraku sampai jadi hancur-lebur karena perang?"

Mei-Ling akan selalu menangis saat menceritakan kisahnya, dan aku selalu berupaya menenangkannya sembari memberinya ia tisu.

"Apa berarti semua orang Jepang itu jahat?" tanyaku lagi setelahnya.

"Tadinya aku menganggap tidak semua namun setelah aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri mereka semua jahat, dan aku tidak paham alasan orang-orang yang secara budaya di bawah kami menghabisi kami yang sudah memberi banyak ilmu pengetahuan ke mereka. Mereka benar-benar benci kami yang jujur tidak tahu apa-apa,"

Aku sekali lagi hanya bisa diam, dan belum memahami masalah ini sama sekali karena ternyata pandanganku soal Jepang terganggu oleh pengalaman yang dirasakan Mei-Ling.

"Ketika aku tiba di sini aku bisa melihat banyak juga orang Jepang di sini" kata Mei-Ling setelah itu, "Bisa jadi mereka mata-mata, dan sebentar lagi akan datang ke tempatmu,"

***

Seujujurnya aku kurang begitu paham dengan kondisi perang yang terjadi di Cina antara Cina dan Jepang. Aku juga tidak merasakan apa-apa saat sebagian orang mengatakan bahwa perang juga akan pecah di Indonesia seperti yang diyakini oleh Ilham, teman dekat tempat tinggalku,

"Sebentar lagi Jepang akan datang, dan para Belanda itu akan kabur lalu kita merdeka!"

Tapi apa iya untuk merdeka harus kedatangan Jepang dahulu, dan aku merasa tidak melihat hal-hal yang mengarah ke sana apalagi soal Jepang akan datang.

"Kau seharusnya peka. Jangan urusi pekerjaan mulu. Ingat sebentar lagi Jepang akan datang ke sini!" Begitulah Ilham selalu memperingatkanku.

Karena juga masih belum bisa menyadari hal yang akan terjadi, dan menganggap situasi aman-aman saja aku pun mencoba mengajak Mei-Ling untuk bertemu Kenichi di rumahku. Mungkin saja keduanya berprasangka soal bangsa masing-masing, dan bisa saja kenyataannya sebaliknya.

Tetapi rupanya..

Mei-Ling dan Kenichi berdebat satu sama lain. Perdebatan itu sebenarnya sudah ada dari mulai keduanya kuajak berkenalan dan memperkenalkan diri. Raut wajah yang tadinya ramah seketika menegang.

Dengan bahasa Inggrisnya Mei-Ling menyerang Kenichi sebagai orang dari negara yang kejam dan imprealis.

"Apa kau tidak puas berbuat kejam pada kami semua lalu bilang itu sebagai tanda sayang dan persahabatan? Apa yang kalian inginkan di negara kami? Kalian benar-benar tidak tahu terima kasih atas semua ilmu yang sudah kami berikan. Apa karena restorasi itu membuat kalian jadi imprealis. Tidak ada bedanya kalian dengan negara-negara Barat!"

"Tutup mulutmu, Nona!" Jawab Kenichi juga dengan sengitnya memakai bahasa Inggris, "Kami hanya berupaya membantu situasi negara kalian yang sedang kacau!"

"Kami tidak perlu bantuan siapa-siapa apalagi dari negara yang orang-orangnya mati demi Kaisar! Suruh kaisarmu mati sendiri!"

Mendengar kata-kata itu raut muka Kenichi berubah marah, dan ia pun geram,

"Kurang ajar! Jangan menghina Kaisar!"

Aku perhatikan Kenichi berusaha melayangkan tangannya ke arah Mei-Ling namun segera aku mencegahnya. Setelah itu, Mei-Ling yang hendak ditampar itu terduduk, dan Kenichi melanjutkan amarahnya.

"Kalian orang Cina hanya jadi bangsa rendahan, dan selamanya rendahan!" Kenichi lalu menatapku, "Didiek-san, kau sudah lihat pada negaranya. Itulah akibatnya jika perang melulu, dan wajar jika kami bisa serang dan duduki. Ingat, Frederik, buat negaramu bersatu. Usir Belanda dan juga orang-orang Cina, musuh besar Jepang!"

Kenichi lalu pergi meninggalkan kami berdua. Di saat itulah Mei-Ling terdiam lalu menangis dan mulai menyatakan bahwa aku polos lalu meninggalkanku.

***

"Kau benar-benar tidak sensitif, kawan," ujar Frederik beberapa hari setelah kejadian. Ia mengatakan bahwa Mei-Ling sudah pindah ke Australia untuk mencoba hidup tenang, dan mendapat kabar dari teman-temannya bahwa Jepang akan datang ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.

"Kau pikir negara ini akan aman-aman saja tidak terkena dampak perang di Eropa dan Cina? Tidak, kawan, cepat atau lambat perang akan datang ke sini. Jerman juga sudah meminta Jepang untuk ekspansi di Asia. Mereka berdua sudah berbagi kekuasaan. Aku sendiri juga akan pergi menyusul Mei-Ling di Australia karena aku Yahudi, dan akan juga jadi korban. Ingat, kawan, cobalah untuk peka. Separuh dunia sudah dalam keadaan hancur lebur, dan ini serius!"

Ketika Frederik berkata seperti itu barulah aku paham dengan ungkapan Mei-Ling sebelumnya bahwa ia dan Frederik berpikiran sama, dan beberapa hari kemudian ia pergi ke Australia. Aku juga setelah kejadian pertengkaran Mei-Ling dan Kenichi yang aku dianggap pro-Jepang oleh Mei-Ling akibat terpesona oleh propagandanya Kenichi, juga tidak pernah bertemu lagi Kenichi.

***

Banyak orang berada di depanku. Mereka tampak berdiri di tepian jalan seperti melihat sebuah parade. Kulihat beberapa mengibarkan bendera Jepang ukuran kecil lalu ada yang berteriak "Banzai". Tak berapa lama kemudian datanglah parade tentara Jepang yang berjalan berbaris sambil menenteng senjata, dan ada juga yang bersepeda. Di belakangnya ada beberapa kendaraan militer. Semua menyambut suka cita dan gempita seperti menyambut seorang pahlawan.

Aku akhirnya baru tahu dan memahami kalau Jepang benar-benar datang. Apakah ini tanda Indonesia akan merdeka seperti yang dikatakan Ilham? Dan, kulihat tidak ada lagi orang Belanda yang mungkin bersembunyi di rumah masing-masing.

Saat aku seperti itu tiba-tiba sebuah kendaraan militer menghampiriku lalu di dalamnya keluar seorang perwira yang kemudian datang padaku lalu membuka topinya. Aku pun terkejut,

"Kenichi-san," 

Ia hanya tersenyum lalu membungkuk dan berkata setelahnya, "Ya, ini saya, Didiek-san. Seperti yang sudah saya bilang saya akan membantu kemerdekaan bangsa Anda. Nanti sore datanglah ke tangsi di Galur karena di situlah saya bermarkas. Saya ingin bicara banyak dengan Anda,"

Aku hanya mengiyakan. Lalu Kenichi si perwira itu masuk kembali ke mobilnya, dan dengan bahasa Jepang ia menyuruh bawahannya menjalankan mobil kembali. Aku setelah itu malah seperti diliputi kebingungan.





Sabtu, 05 Maret 2022

Amerika Latin di Perang Dunia Kedua

Selama ini kita mengetahui bahwa Perang Dunia Kedua kebanyakan terjadi Eropa dan Asia-Pasifik serta sebagian Afrika. Lalu bagaimana dengan kawasan Amerika Latin? Lokasi pertempuran yang kebanyakan terjadi di Eropa dan Asia adalah karena kedua wilayah yang lokasinya berdekatan tersebut merupakan lokasi utama beberapa pertempuran bahkan paling penting sekalipun.


Canva

Sebut saja Blitzkrieg Jerman ke Polandia, Pertempuran Britania, Pertempuran Stalingrad, D-Day Normandia Juni 1944, Penyerangan Jepang ke Pearl Harbor, Pertempuran Midway, Pertempuran Shanghai, dan Pengeboman Hiroshima-Nagasaki. Nama-nama pertempuran sangat populer dalam sejarah Perang Dunia Kedua. Bahkan karena populernya, beberapa kali pertempuran tersebut ditulis lalu diangkat ke layar lebar tentunya dengan mengambil sudut pandang yang berbeda.

Lalu bagaimana dengan kawasan Amerika Latin? Semasa Perang Dunia Kedua kawasan yang memanjang dari Meksiko hingga Argentina ini boleh dibilang kawasan yang damai dan aman. Tidak ada pertempuran di kawasan tersebut yang mengakibatkan kota dan desa hancur serta banyak orang terbunuh. Kehidupan berjalan seperti biasa termasuk ajang sepak bola di kawasan tersebut (Amerika Selatan), Copa America.

Semasa Perang berkobar, negara-negara Amerika Latin berupaya netral meskipun pihak yang bertikai berupaya menganggu kenetralan mereka seperti Jerman dan AS. Jerman diketahui merupakan mitra terbesar perdagangan di kawasan Amerika Latin sebelum perang terjadi seperti dengan Brasil, Cile, Peru, dan Argentina. Karena itulah, orang-orang Jerman terutama anggota Nazi bebas pergi ke sana kemari dari Jerman ke kawasan tersebut. Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan AS sebagai salah satu negara berkekuatan besar di benua Amerika yang tidak menginginkan negara-negara Latino terpengaruh oleh Nazisme.

Ketika perang berkobar, beberapa negara Amerika Latin seperti Brasil memutuskan perdagangan dengan Jerman namun menyatakan netralitas. Netralitas itu beberapa tahun kemudian berubah menjadi pernyataan perang dari Brasil kepada negara-negara Poros pada 1943 menyusul banyaknya kapal dagang dan penumpang yang ditorpedo oleh U-Boat Jerman. Mulai 1944 Brasil membantu AS dalam perang melawan Jerman di Eropa.

Selain Brasil yang turun langsung di medan tempur Eropa, negara Amerika Latin lainnya yang juga turun langsung ke pertempuran adalah Meksiko. Namun, berbeda dari Brasil, Meksiko turun di medan tempur di Pasifik melawan Jepang. Di bawah komando AS, Meksiko yang masuk dalam skuadron petempur 201 yang terkenal dengan nama Aguila Aztecas atau Elang Aztec. Skuadron ini membantu AS dalam perang melawan Jepang di Luzon-Chiapas, Filipina. Keterlibatan Negeri Sombrero dalam Perang Dunia Kedua terjadi karena ditorpedonya dua kapal tanker minyak itu oleh U-boat Jerman pada 1942. Selain bertempur di udara, orang-orang Meksiko yang ada di AS diikutsertakan dalam ketentaraan AS untuk membela Paman Sam.

Sebenarnya ada satu pertempuran fisik yang terjadi di kawasan tersebut namun pertempuran ini adalah pertempuran laut yang terjadi di dekat muara Sungai Rio de Plata yang melibatkan Jerman dan Inggris. Pertempuran yang dikenal dengan Pertempuran Rio de Plata pada Desember 1939 itu berujung dengan tenggelamnya kapal perang Jerman, Admiral Graf Spee di kawasan tersebut karena dikeroyok habis-habisan oleh kapal-kapal tempur Inggris yang memergoki kapal perang kelas berat Kriegsmarine berada di dekat muara Sungai Rio de Plata untuk perbaikan setelah peperangan di Atlantik. Adapun kapal tersebut berada di Uruguay, salah satu negara netral di Amerika Latin.

Simpati Dibalik Netralitas

Meski negara-negara Amerika Latin menyatakan netralitas, diam-diam ada beberapa negara yang menyatakan simpatinya kepada Jerman seperti Argentina yang baru mendukung Sekutu pada 1945 setelah Jerman mengalami kekalahan. Kondisi yang demikian pada akhirnya membuat para buronan Nazi kabur ke kawasan ini setelah perang. Salah satunya adalah Adolf Eichmann yang kemudian ditangkap oleh Mossad Israel lalu dieksekusi pada 1960. 

Selain Argentina ada juga Urugay, Peru, dan Cile. Simpati terhadap Jerman juga diperlihatkan oleh para diktator di kawasan tersebut seperti Rafael Trujillo dari Republik Dominika, Jorge Ubico dari Guatemala, Tiburias Andino dari Honduras, dan Maximiliano Martinez dari El Salvador. Mereka semua terpikat oleh ketegasan dan gaya eksentrik yang dimiliki oleh Adolf Hitler untuk kemudian dijadikan acuan.

Negara-negara Amerika Latin sebenarnya cukup terkejut perang terjadi di Eropa karena hal itu dapat mematikan ekonomi kawasan ini yang sebelum perang merupakan mitra dagang terbesar Jerman. Ketika perang berkobar, AS yang tidak mau kawasan ini masuk pengaruh Nazi mulai berupaya menggalang negara-negara tersebut untuk melawan Jerman dan memberikan bantuan ekonomi sehingga kawasan Amerika Latin yang dipandang mempunyai industri potensial seperti di Meksiko dan Kolombia bisa terus membantu AS memenangkan perang. Apalagi laut di sekitar kawasan ini juga sudah diblokade oleh Inggris untuk menghalau Jerman. Bahkan saat Perang pecah di Pasifik AS sudah mengarahkan konsentrasi ke Terusan Panama yang sewaktu-waktu bisa diserang Jepang. Jepang sendiri memang pada Juni 1945 berniat menyerang terusan yang menghubukan Samudra Pasifik dan Atlantik melalui serangan dari kapal selam terbesar mereka I-400.

Jerman tentu saja tidak tinggal diam. Mereka melancarkan banyak operasi intelijen seperti ke Bolivia yang dinamakan Operasi Bolivar yang terjadi di Bolivia pada 1942. Operasi yang mengambil nama dari Simon Bolivar, pejuang revolusi kemerdekaan di Amerika Latin pada abad ke-19 ini bertujuan melakukan sabotase sumber daya alam yang ada di negara-negara Amerika Latin seperti minyak, katun, dan tembaga. Selain itu, operasi ini bertujuan menyabotase jalur perdagangan di Terusan Panama. Sayang, operasi intelijen ini gagal, dengan beberapa agen ditahan di Argentina.

Uni Soviet di Amerika Latin

Mulai berkiblatnya negara-negara Amerika Latin ke Sekutu pada Perang Dunia Kedua, juga secara tidak langsung membuat beberapa negara bersimpati pada Uni Soviet, salah satu Sekutu yang diserang Jerman pada 1941. Salah satunya adalah Kuba yang mengirimkan 42.000 rokok ke Uni Soviet kemudian pada 1942 menjalin hubungan diplomatik yang menandakan Kuba adalah negara Amerika Latin pertama yang menjalin kesepakatan dengan Negeri Tirai Besi. Hal yang demikian pada akhirnya berlanjut di masa Perang Dingin yang salah satunya menimbulkan peristiwa Teluk Babi pada 1962. Setelah Uni Soviet runtuh hingga hari ini Kuba masih terus melanjutkan kemitraan politik dengan penerus terbesar Uni Soviet, Rusia.

Selain Kuba negara-negara Amerika Latin lain yang juga menjalin hubungan diplomatik menjelang perang berakhir adalah Kolombia, Cile, Argentina, dan negara-negara Latin di kawasan Amerika Tengah. Bahkan Meksiko yang lebih banyak membantu AS sangat mengagumi patriotisme Uni Soviet saat melawan Jerman. Kondisi yang demikian akhirnya melahirkan polarisasi di Amerika Latin pada Perang Dingin yang membuat AS waspada dan curiga pada tetangganya karena lebih banyak berkiblat ke Uni Soviet hingga harus campur tangan lewat invasi militer.

Kesimpulan 

Pada masa Perang Dunia Kedua, bisa disimpulkan bahwa kawasan Amerika Latin damai dan aman dari serangan dan kehancuran fisik yang diakibatkan oleh negara-negara yang bertikai di medan perang karena netralitas yang dianut meskipun berubah saat perang pecah juga di Pasifik yang menandakan kawasan ini bisa rentan terkena serangan dari Jepang. Dan terjadinya perang juga menganggu aliran investasi dari Eropa.

Meski demikian AS sebagai pemimpin Sekutu di Perang Dunia Kedua menghendaki semua negara Amerika Latin membantu AS melawan Poros dan memenangkan perang, dengan cara memberikan bantuan ekonomi, dan menggalang anti Nazi. Berpihaknya Amerika Latin pada Sekutu ini secara tidak langsung memberikan pintu masuk bagi Uni Soviet untuk memberikan pengaruh yang terasa di Perang Dingin.

Permasalahan yang dihadapi oleh kawasan Amerika Latin di masa Perang Dunia Kedua bukanlah ancaman dari luar, melainkan antar negara kawasan yang bertikai karena sengketa wilayah seperti yang dilakukan oleh Peru dan Ekuador yang berperang pada 1941 hingga 1942.

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran