Pages

Rabu, 30 Maret 2022

Di Antara Rayuan Matahari dan Tangisan Giok

Tiba-tiba ia menangis padaku. Air matanya perlahan keluar disertai dengan suara yang sesenggukan. Raut wajah itu mengguratkan kepedihan. Aku yang melihatnya jujur terkejut. Aku berusaha untuk mendekap dan menenangkannya. Namun tangannya segera menolakku. Aku pun terdiam.


Quora

Air mata mengalir tepat di wajah putih dan sipitnya. Ia yang menangis menengadahkan kepala ke atas kemudian segera mengambil tisu di tempat tisu di dekatnya, dan menyekanya perlahan masih dengan nada yang sesenggukan. Ia lalu melihat padaku. Tatapannya tajam menyiratkan rasa tidak suka padaku.

"Kamu memang tidak akan bisa mengerti karena kamu tidak akan mengalami,"

Itulah sebaris kata yang keluar dari mulutnya. Ia lalu mengambil sebatang rokok baru di meja samping kemudian menyalakan korek pada rokok, mengisap, dan mengembusnya.

"Maafkan aku, Mei, aku tidak bermaksud untuk pro pada Kenichi. Aku hanya ingin kamu tidak berprasangka saja pada orang yang niatnya baik,"

Itulah kata-kataku yang yang kukeluarkan karena aku merasa wanita di depanku ini, Mei-Ling, sudah bisa menenangkan dirinya dengan merokok.

"Kamu terlalu polos, Didiek," ujar Mei setelah aku berkata. Ia sepertinya masih menilai bahwa aku memang tidak paham terhadap seseorang yang bernama Kenichi, seorang fotografer keliling yang aku kenal di sebuah pesta beberapa bulan yang lalu jauh sebelum Mei Ling datang.

"Ada baiknya aku dengarkan saja Frederik. Pikirannya sama denganku," ujar Mei-Ling kemudian tanpa basa-basi segera meninggalkanku. Aku hanya diam. Tak berusaha mengejar. Membiarkan saja karena tahu rasanya percuma mengejar seorang wanita yang seperti itu kondisinya. Aku kemudian menatap pada langit-langit rumahku, dan langsung melayangkan pikiran pada kejadian sebelum hal ini terjadi.

***

Beberapa bulan yang lalu tepatnya Juni 1941 aku datang ke pesta temanku yang berada di kawasan Oranje Boulevard, Menteng. Temanku ini bernama Willem, seorang Indo. Bapaknya Belanda, ibunya Minahasa-Ambon. Pesta yang diadakan ini adalah pesta ulang tahunnya. Aku yang kebetulan sudah lama mengenal Willem di bangku sekolah tentu saja hadir sembari memberi hadiah dan harapan pada Willem yang kala itu hendak berusia 25 tahun namun belum mendapatkan jodoh seperti halnya diriku.

"Aku sedang tidak mau memikirkan hal itu, kawan. Sedang ingin bersenang-senang. Kau juga kan?" Begitulah kata-katanya kalau ditanya masalah tersebut. Willem adalah seorang arsitek, dan ia lulusan Sekolah Teknik di Bandung. Sedangkan aku? Aku lulusan hukum di sekolah hukum Batavia, dan sehari-hari bekerja sebagai notaris muda di sebuah firma hukum di Kramat.

Sewaktu pesta itulah aku mendapatkan bahwa Willem menyewa seorang juru foto keliling bernama Kenichi Fukuyama. Asalnya dari Jepang, dan sudah selama setahun lebih tinggal di Hindia. Sewaktu aku dikenalkan oleh Willem ke orang Jepang ini, ia mengaku tinggal di kawasan Kramat namun lebih dekat ke Senen. Aku perhatikan bahasa Belanda dan Indonesianya cukup lancar. 

Ya, aku sendiri soal bahasa akan lebih menyebutnya Indonesia bukan Melayu karena itu lebih menunjukkan identitas diriku sebagai orang Indonesia dari suku Sunda-Jawa, dan masih mempunyai darah biru dari kedua keluargaku. Karena itulah, aku bisa dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi daripada rekan sebangsa yang lain. Aku hanya berharap suatu saat tidak ada diskriminasi soal hak mendapatkan pendidikan karena pendidikan itu perlu.

Namun aku akan menyebut bahasa Indonesia terhadap sebangsaku sedangkan kepada orang Belanda bahasa Melayu. Namun untuk Willem, ia menyatakan tidak masalah dan sama saja hanya berbeda nama. Untuk hal ini aku kurang setuju dengan pendapatnya. Begitu juga dengan Kenichi yang memintaku untuk menyebut nama Indonesia saja, baik itu bahasa maupun wilayahnya. Dalam artian ia lebih akan senang aku menyebut negara yang aku tempati adalah Indonesia bukan Hindia-Belanda.

"Ini akan lebih bisa jelas mengungkap siapa kalian dan rasa nasionalisme akan tanah air," begitulah ujarnya pada suatu waktu yang senggang saat kami berdua jalan-jalan sore di wilayah Kramat.

Kenichi pula yang membukakan mataku soal rasa cinta tanah air sampai mati, dan pengorbanan tanpa pamrih bagi negara dan bangsa. Ia selalu mencontohkan negaranya yang berhasil mengalahkan negara-negara besar seperti Cina dan Rusia.

"Itu terjadi karena kami semua bersatu. Bersumpah setia pada kaisar dan Hinomaru demi kejayaan negara kami ke depannya, Didiek-san,"

Aku jujur terpesona oleh pandangan dan pemikirannya yang selalu diekspresikan dengan berkobar-kobar khas Jepang. Di situ juga aku sering mengungkapkan bahwa sebenarnya orang-orang Indonesia itu sudah lama ingin merdeka dari cengkraman ratusan tahun Belanda namun selalu saja gagal dan gagal. Aku ingin seperti negaranya Kenichi yang benar-benar bebas dan mandiri serta mampu bersaing dan sejajar dengan negara-negara besar di Barat.

"Itu karena kalian semua belum bersatu sama sekali sehingga mudah diadu domba. Kalau kamu tahu sejarah kami kamu akan mendapati bahwa kami dulu juga sering berperang satu sama lain tetapi setelah Kaisar Meiji memerintah kami jadi bersatu hingga sekarang. Kamu hendaknya lihat kami sebagai contoh. Kami yang sama dengan kamu sebagai orang Asia bisa mengalahkan Rusia. Itu artinya Indonesia bisa mengalahkan Belanda,"

Boleh dibilang semenjak pertemuan di pestanya Willem dan sering melakukan pertemuan, aku akrab dengan Kenichi.

Namun hal itu berubah ketika suatu hari aku diajak oleh rekan satu firmaku, Frederik, untuk makan malam di rumahnya. Sebenarnya aku sudah sering makan malam di rumah Frederik, orang Belanda keturunan Yahudi. Di rumahnya aku sering melihat atribut-atribut Yahudi seperti Bintang Daud dan Menorah. Tak hanya itu, makanan yang disajikan Frederik dan keluarganya juga makanan-makanan yang halal karena orang Yahudi tidak boleh mengonsumsi yang haram seperti babi.

"Kita ini sama-sama anak Ibrahim, kawan," begitulah Frederik selalu berujar kepadaku mengenai kesamaan kepercayaan yang kami anut meski berbeda di luar. Ia yudaisme, aku muslim. Ketika aku yang sering ke rumah Frederik yang juga ada di Menteng dekat dengan Lapangan Vios, kusadari ada sesuatu yang berbeda dalam pandanganku. Aku melihat seorang wanita sipit dengan rambut panjang yang dikuncir serta memakai pakaian Cina. Ia tampak membawa nampan makanan ke arah kami. Apa ia pembantu rumah tangga Frederik yang baru? 

Tahu aku menatap sesuatu yang baru tersebut, Frederik segera memanggil wanita tersebut ke arah kami.

"Didiek, kenalkan ini Mei-Ling. Dia pembantu baruku, dan baru 2 hari bekerja di sini. Asalnya dari Cina,"

Kami segera bersalaman. Wanita yang tampak sipit tersebut tampak malu berjabat tangan denganku. Ia menatapku sebentar lalu menunduk, dan kemudian membalikkan badan, menjauhi kami.

"Ia pemalu, kawan," kata Frederik setelah itu.

Aku yang heran kemudian bertanya pada Frederik.

"Ia betul dari Cina? Maksudku bukan Cina yang ada di Glodok, kan?"

Frederik hanya tertawa kecil soal keherananku. Ia lalu berkata,

"Memang ia berasal dari Cina tepatnya dari Wuhan. Datang ke sini untuk mengadu nasib dan keluar dari neraka,"

"Maksudmu? Bagaimana kau bisa mendapatkannya?"

Mendengar pertanyaanku itu Frederik menghela napas sebentar seperti mempersiapkan sesuatu yang ia hendak ungkapkan kepadaku.

"Didiek, kau tentunya sudah tahu kalau negara Mei-Ling ini dikuasai oleh Jepang sejak 1937, dan kau tahu banyak rakyat Cina yang menjadi korban kekejaman Jepang. Kau pasti sudah tahu kekejaman di Nanjing dan Shanghai? Nah, di Wuhan, tempat Mei-Ling, juga terjadi kekejaman yang sama. Ia adalah saksinya. Keluarganya sudah habis semua dibunuh Jepang. Ditusuk demgan bayonet dan dipenggal tanpa tahu kesalahan mereka. Mei-Ling ke sini karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan aku mendapatkan dia dari kenalanku yang juga orang Cina, yang membawanya ke sini di Tanjung Priok,"

Frederik diam sebentar lalu berbicara lagi,"

"Kasihan dia. Aku hanya berharap ia damai di sini, dan tidak mengalami trauma. Apa yang ia rasakan sama seperti yang kami, orang Yahudi, rasakan karena kau pun tahu di Eropa kami juga jadi kekejaman Hitler dan Nazinya. Keluargaku di Belanda salah satunya. Menurut kabar mereka dibawa ke Auschwitz. Semoga di Hindia tidak ada perang seperti di Eropa dan Cina. Entah bagaimana kalau itu terjadi?"

"Jujur, aku kurang mengamati perkembangan yang terjadi di luar kawan. Mungkin karena aku terlalu sibuk bekerja,"

"Ya, kau sesekali harus melihat apa yang terjadi di luar supaya kau bisa sadar dan paham dengan apa yang terjadi"

Ketika mendengar itu aku jujur tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Frederik. Aku hanya diam dan tak ingin bertanya.

Semenjak itu aku jadi sering bertandang ke rumah Frederik. Entah kenapa aku jadi tertarik dan menyukai Mei-Ling. Gadis Cina itu memesonaku. Ketika Frederik mengajak kami bertiga bicara, dan kemudian meninggalkan kami berdua di saat itulah aku coba berkomunikasi dengannya. Awalnya aku bingung memakai bahasa yang ingin digunakan tetapi dengan Mei-Ling segera menyatakan dengan singkat,

"Bahasa Inggris saja karena aku guru bahasa Inggris di Wuhan,"

Dan, begitulah seterusnya aku berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa Inggris. Dari Mei-Ling lah aku mendapatkan gambaran tentang situasi yang ia alami di Cina terutama di masa pendudukan Jepang,

"Kami adalah bangsa besar yang sebenarnya berupaya memerdekakan diri dari kekuasaan asing selama ratusan tahun. Ketika impian kami tercapai pada 1911 dengan menendang orang-orang Manchu, situasi selanjutnya tidak menentu. Terjadi perang di mana-mana antara sesama kami, antara pemerintah dengan para panglima perang, dan juga dengan komunis. Di saat begitu, tanpa alasan yang jelas Jepang menyerang kami. Rumah-rumah kami dibom, dibakar, orang-orang ditangkap, ditusuk bayonet, dipenggal, dan bahkan diperkosa. Aku pun hampir kena jika saja ada temanku seorang tentara berhasil menyelamatkamu lewat penyamaran, dan dari situlah ia membawaku ke seorang teman lalu membawaku ke sini. Jujur, aku selalu bertanya-tanya dalam hati apa salah negaraku sampai jadi hancur-lebur karena perang?"

Mei-Ling akan selalu menangis saat menceritakan kisahnya, dan aku selalu berupaya menenangkannya sembari memberinya ia tisu.

"Apa berarti semua orang Jepang itu jahat?" tanyaku lagi setelahnya.

"Tadinya aku menganggap tidak semua namun setelah aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri mereka semua jahat, dan aku tidak paham alasan orang-orang yang secara budaya di bawah kami menghabisi kami yang sudah memberi banyak ilmu pengetahuan ke mereka. Mereka benar-benar benci kami yang jujur tidak tahu apa-apa,"

Aku sekali lagi hanya bisa diam, dan belum memahami masalah ini sama sekali karena ternyata pandanganku soal Jepang terganggu oleh pengalaman yang dirasakan Mei-Ling.

"Ketika aku tiba di sini aku bisa melihat banyak juga orang Jepang di sini" kata Mei-Ling setelah itu, "Bisa jadi mereka mata-mata, dan sebentar lagi akan datang ke tempatmu,"

***

Seujujurnya aku kurang begitu paham dengan kondisi perang yang terjadi di Cina antara Cina dan Jepang. Aku juga tidak merasakan apa-apa saat sebagian orang mengatakan bahwa perang juga akan pecah di Indonesia seperti yang diyakini oleh Ilham, teman dekat tempat tinggalku,

"Sebentar lagi Jepang akan datang, dan para Belanda itu akan kabur lalu kita merdeka!"

Tapi apa iya untuk merdeka harus kedatangan Jepang dahulu, dan aku merasa tidak melihat hal-hal yang mengarah ke sana apalagi soal Jepang akan datang.

"Kau seharusnya peka. Jangan urusi pekerjaan mulu. Ingat sebentar lagi Jepang akan datang ke sini!" Begitulah Ilham selalu memperingatkanku.

Karena juga masih belum bisa menyadari hal yang akan terjadi, dan menganggap situasi aman-aman saja aku pun mencoba mengajak Mei-Ling untuk bertemu Kenichi di rumahku. Mungkin saja keduanya berprasangka soal bangsa masing-masing, dan bisa saja kenyataannya sebaliknya.

Tetapi rupanya..

Mei-Ling dan Kenichi berdebat satu sama lain. Perdebatan itu sebenarnya sudah ada dari mulai keduanya kuajak berkenalan dan memperkenalkan diri. Raut wajah yang tadinya ramah seketika menegang.

Dengan bahasa Inggrisnya Mei-Ling menyerang Kenichi sebagai orang dari negara yang kejam dan imprealis.

"Apa kau tidak puas berbuat kejam pada kami semua lalu bilang itu sebagai tanda sayang dan persahabatan? Apa yang kalian inginkan di negara kami? Kalian benar-benar tidak tahu terima kasih atas semua ilmu yang sudah kami berikan. Apa karena restorasi itu membuat kalian jadi imprealis. Tidak ada bedanya kalian dengan negara-negara Barat!"

"Tutup mulutmu, Nona!" Jawab Kenichi juga dengan sengitnya memakai bahasa Inggris, "Kami hanya berupaya membantu situasi negara kalian yang sedang kacau!"

"Kami tidak perlu bantuan siapa-siapa apalagi dari negara yang orang-orangnya mati demi Kaisar! Suruh kaisarmu mati sendiri!"

Mendengar kata-kata itu raut muka Kenichi berubah marah, dan ia pun geram,

"Kurang ajar! Jangan menghina Kaisar!"

Aku perhatikan Kenichi berusaha melayangkan tangannya ke arah Mei-Ling namun segera aku mencegahnya. Setelah itu, Mei-Ling yang hendak ditampar itu terduduk, dan Kenichi melanjutkan amarahnya.

"Kalian orang Cina hanya jadi bangsa rendahan, dan selamanya rendahan!" Kenichi lalu menatapku, "Didiek-san, kau sudah lihat pada negaranya. Itulah akibatnya jika perang melulu, dan wajar jika kami bisa serang dan duduki. Ingat, Frederik, buat negaramu bersatu. Usir Belanda dan juga orang-orang Cina, musuh besar Jepang!"

Kenichi lalu pergi meninggalkan kami berdua. Di saat itulah Mei-Ling terdiam lalu menangis dan mulai menyatakan bahwa aku polos lalu meninggalkanku.

***

"Kau benar-benar tidak sensitif, kawan," ujar Frederik beberapa hari setelah kejadian. Ia mengatakan bahwa Mei-Ling sudah pindah ke Australia untuk mencoba hidup tenang, dan mendapat kabar dari teman-temannya bahwa Jepang akan datang ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.

"Kau pikir negara ini akan aman-aman saja tidak terkena dampak perang di Eropa dan Cina? Tidak, kawan, cepat atau lambat perang akan datang ke sini. Jerman juga sudah meminta Jepang untuk ekspansi di Asia. Mereka berdua sudah berbagi kekuasaan. Aku sendiri juga akan pergi menyusul Mei-Ling di Australia karena aku Yahudi, dan akan juga jadi korban. Ingat, kawan, cobalah untuk peka. Separuh dunia sudah dalam keadaan hancur lebur, dan ini serius!"

Ketika Frederik berkata seperti itu barulah aku paham dengan ungkapan Mei-Ling sebelumnya bahwa ia dan Frederik berpikiran sama, dan beberapa hari kemudian ia pergi ke Australia. Aku juga setelah kejadian pertengkaran Mei-Ling dan Kenichi yang aku dianggap pro-Jepang oleh Mei-Ling akibat terpesona oleh propagandanya Kenichi, juga tidak pernah bertemu lagi Kenichi.

***

Banyak orang berada di depanku. Mereka tampak berdiri di tepian jalan seperti melihat sebuah parade. Kulihat beberapa mengibarkan bendera Jepang ukuran kecil lalu ada yang berteriak "Banzai". Tak berapa lama kemudian datanglah parade tentara Jepang yang berjalan berbaris sambil menenteng senjata, dan ada juga yang bersepeda. Di belakangnya ada beberapa kendaraan militer. Semua menyambut suka cita dan gempita seperti menyambut seorang pahlawan.

Aku akhirnya baru tahu dan memahami kalau Jepang benar-benar datang. Apakah ini tanda Indonesia akan merdeka seperti yang dikatakan Ilham? Dan, kulihat tidak ada lagi orang Belanda yang mungkin bersembunyi di rumah masing-masing.

Saat aku seperti itu tiba-tiba sebuah kendaraan militer menghampiriku lalu di dalamnya keluar seorang perwira yang kemudian datang padaku lalu membuka topinya. Aku pun terkejut,

"Kenichi-san," 

Ia hanya tersenyum lalu membungkuk dan berkata setelahnya, "Ya, ini saya, Didiek-san. Seperti yang sudah saya bilang saya akan membantu kemerdekaan bangsa Anda. Nanti sore datanglah ke tangsi di Galur karena di situlah saya bermarkas. Saya ingin bicara banyak dengan Anda,"

Aku hanya mengiyakan. Lalu Kenichi si perwira itu masuk kembali ke mobilnya, dan dengan bahasa Jepang ia menyuruh bawahannya menjalankan mobil kembali. Aku setelah itu malah seperti diliputi kebingungan.





0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran