Pages

Minggu, 02 Desember 2018

6 Perang Besar Modern di Asia Timur

Kemunculan Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18 berdampak perubahan sektor kehidupan yang tadinya bergantung pada pertanian beralih ke sektor industri yang mengharuskan manusia bekerja secara tertata dengan mesin-mesin dalam sebuah pabrik. Perubahan itu tak pelak akan menimbulkan akibat yang luar biasa ke seluruh dunia, yaitu perang besar modern.

Apakah yang dimaksud dengan perang besar modern?

Perang besar modern adalah sebuah konflik yang terjadi di zaman modern setelah terjadinya Revolusi Industri dalam skala yang besar dengan memakai persenjataan yang modern dan mematikan. Perang ini terjadi akibat industri yang lebih berorientasi kepada hasil jadi dan padat dalam skala besar dan massif tentu membutuhkan bahan baku atau bahan mentah yang akan diolah setelahnya. Apabila bahan-bahan baku seperti sumber daya alam dan manusia ini tidak bisa didapatkan, tentu akan berdampak negatif pada industri itu. Akibatnya, industri tersebut gulung tikar.

Untuk negara yang berorientasi pada industri tentu hal tersebut tidak bisa dibiarkan. Itu artinya bahan baku harus tetap ada, dan harus didapatkan bagaimanapun caranya. Merupakan sebuah anugerah jika negara industri itu mempunyai banyak sumber daya untuk bahan baku. Namun bagaimana jika negara itu tidak punya sama sekali sumber daya? Otomatis negara tersebut harus mengimpor yang tentu saja membutuhkan biaya-biaya yang cukup mahal. Pada akhirnya, untuk menutupi mahalnya biaya-biaya ini selain dengan perjanjian perdagangan yang diplomatis, cara terakhir adalah menguasai wilayah yang kaya sumber daya itu secara paksa melalui perang.

Setelah Revolusi Industri yang melahirkan banyak industri, perang yang berlaku memakai senjata api modern berupa senapan, meriam, kapal perang, tank, kapal selam, dan pesawat terbang dari hasil industri persenjataan.

Revolusi Industri yang berdampak besar di Eropa dan Amerika Serikat akhirnya tiba di Asia, tepatnya di Asia Timur. Di wilayah inilah kemudian atas nama nasionalisme berbungkus dengan kepentingan ekonomi dan industri terjadilah banyak pergolakan bersenjata yang berakibat negatif pada nilai-nilai kemanusiaan. Pergolakan ini yang hingga saat ini mempengaruhi hubungan-hubungan bilateral antarnegara-negara yang ada di lingkup budaya Asia Timur atau Sinosfer, Cina, Jepang, Korea Utara dan Selatan, serta Vietnam.

Konfilk bersenjata di Asia Timur
6 Perang Besar Modern di Asia Timur


Berikut adalah 6 pergolakan bersenjata yang terjadi di Asia Timur

Perang Cina-Jepang Pertama 

Di akhir abad ke-19, tepatnya pada rentang waktu 1894-1895 terjadilah perang besar modern pertama di Asia Timur. Pelakunya adalah Cina dan Jepang. Kedua negara berperang hanya karena ingin memperebutkan Korea yang merupakan wilayah yang cukup strategis bagi kedua negara. Cina yang diperintah oleh Dinasti Qing menganggap Korea yang ketika itu dikuasai oleh Dinasti Joseon merupakan wilayah bawahan sedangkan Jepang melihat Korea sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya untuk industri di Negeri Sakura sekaligus sebagai tempat penampungan orang-orang Jepang.

Perebutan kendali Korea oleh kedua negara yang budayanya sama ini merupakan pertentangan yang memperlihatkan unsur-unsur tradisional melawan modernitas. Unsur-unsur tradisional masih dipegang oleh Dinasti Qing, yang walaupun berupaya memperbarui angkatan perangnya namun tetap masih berpegang pada taktik perang tradisional serta memakai senjata-senjata tradisional seperti panah dan pedang. Sementara modernitas dipegang penuh oleh Jepang yang menerapkan prinsip-prinsip berperang ala Barat mulai dari pakaian, senjata, hingga taktik. Unsur ini muncul akibat Restorasi Meiji segera setelah Jepang membuka isolasi pada 1853, yang mengakhiri dominasi Shogun dan kaum samurai.

Perang yang terjadi dalam rentang setahun ini pada akhirnya memperlihatkan ketidakseimbangan kekuatan dan taktik. Cina yang masih menganggap dirinya lebih besar dari Jepang sehingga menganggap remeh tetangga di seberang lautan ini akhirnya mengaku kalah setelah beberapa kali diberondong serangan dan kalah beberapa kali dalam setiap pertempuran sehingga mengalami kerugian lebih banyak.

Kemenangan Jepang atas Cina tentu berdampak besar karena untuk kali pertama Asia Timur dikuasai oleh Negeri Sakura. Jepang selain berhak atas Korea melalui Perjanjian Shimonoseki, juga berhak atas Taiwan, Pulau Pescadores, dan Semenanjung Liaodong. Kemenangan ini juga karena Jepang berhasil menerapkan Restorasi Meiji yang mengubah negara itu menjadi negara industri. Sementara bagi Cina perang ini semakin merosotkan wibawa Dinasti Qing di mata masyarakat Cina, yang mengganggap dinasti ini harus keluar dari Cina, dan Cina harus segera menjadi negara modern dengan menerapkan demokrasi ala Barat. Puncaknya terjadi pada 1911 ketika Revolusi Xinhai berkobar yang mengakibatkan setahun setelahnya Dinasti Qing bubar, dan digantikan oleh Republik Cina pimpinan Yuan Shikai sebagai presiden pertama.


Perang Sipil Cina

Perang sipil Cina merupakan perang yang terjadi antara nasionalis atau Kuomintang dengan komunis atau Kungchantang. Perang ini sendiri dimulai dari 1927 hingga 1950, dan terbagi dalam dua periode. Periode pertama terjadi pada 1927 hingga 1937 sedangkan periode kedua pada 1946 hingga 1950. Dengan periode dari 1937 hingga 1945 tidak ada akibat serangan Jepang ke Cina. 

Perang sipil yang terjadi di Cina merupakan perang sipil pertama pada masa modern yang terjadi di Asia Timur, dan perang yang terjadi akibat pertentangan ideologi, nasionalis dan komunis. Pertentangan ini berawal dari gejolak yang terjadi terus-menerus di Cina setelah negara itu berhasil mengakhiri sistem dinasti selama 4.000 tahun pada 1912, yang kemudian ditandai dengan berdirinya Republik Cina sebagai republik pertama di Asia di awal abad ke-20. Namun permasalahan itu tidak begitu saja hilang. Cina masih kuat dipimpin oleh para panglima perang yang masih loyal kepada Dinasti Qing sehingga cukup sulit untuk bisa menyatukan Cina. Ditunjuknya Yuan Shikai sebagai presiden pertama tidak lantas membuat para panglima perang ini tunduk padahal Shikai adalah bekas panglima perang di zaman Dinasti Qing. Apalagi setelah Yuan Shikai meninggal pada 1916, hal tersebut kian memarah.

Penerus Shikai, Dr. Sun Yat Sen, yang berupaya memasukkan konsep demokrasi Barat ke dalam Republik Cina tidak bisa berbuat apa-apa selain meminta jenderalnya, Chiang Kai-Shek, untuk memberantas para panglima perang tersebut, dan meminta bantuan Uni Soviet demi unifikasi Cina. Tanpa disadari, permintaan bantuan ke Uni Soviet inilah yang di kemudian hari menjadi bumerang. Kader komunis seperti Zhou Enlai diperbolehkan ikut sehingga juga mendapatkan bantuan ilmu dan persenjataan. Hingga kemudian Kunchantang yang berdiri pada 1921 sebagai akibat dari situasi yang memarah di Cina, yang dianggap tidak adil untuk rakyat mulai memberontak terhadap pemerintah apalagi setelah terjadinya Insiden 12 Mei 1937 di Shanghai yang berupaya membereskan orang-orang komunis.

Konflik antara nasionalis dan komunis itu kemudian berubah menjadi perang sipil. Tentu saja terdapat ketidakseimbangan kekuatan, dengan nasionalis mempunyai keunggulan pada tentara dan persenjataan. Perang sipil ini yang membuat Cina terus bergolak. Sempat dihentikan ketika Jepang menyerang Cina yang mengakibatkan banyak korban sipil sehingga nasionalis dan komunis bersatu melawan Jepang yang kemudian menyerah pada 1945. Namun rupanya itu hanya sementara karena pada 1946 terjadi kembali pertempuran antara keduanya. Kali ini kaum komunis yang didukung oleh Uni Soviet dan jumlahnya sudah besar berhasil memenangkan pertempuran. Kaum nasionalis yang kalah lalu memindahkan pemerintahan ke Taiwan hingga sekarang sedangkan kaum komunis mendirikan Republik Rakyat Cina pada 1949. Dampak dari perang sipil tersebut masih terasa hingga sekarang karena baik Cina dan Taiwan masih keukeuh mengenai status masing-masing. Apalagi Cina menganggap Taiwan adalah provinsi yang membelot, dan karena itu kerap meneror Taiwan. Taiwan yang dibekingi Amerika Serikat tidak terima, dan meminta sekutunya itu untuk melindungi sehingga kedua negara berpotensi berperang hingga sekarang.

Perang Cina-Jepang Kedua

Setelah berhasil memenangkan perang melawan Cina di akhir abad ke-19, Jepang menjadi salah satu negara baru dalam industri modern yang kini sejajar dengan Amerika Serikat dan Eropa. Negeri Sakura terus meningkatkan kemampuan dalam persenjataan sembari menggeber industri-industri penunjang yang ada di dalamnya. Diserahkannya Taiwan kepada Jepang sebagai dampak dari Perjanjian Shimonoseki membuat Jepang bisa mengerahkan sumber-sumber daya yang ada di sana. Apalagi Jepang punya hak juga atas Korea yang dikontrol sepenuhnya pada 1910.

Pada 1905, Jepang memenangkan sebuah perang besar atas Rusia terkait dengan penguasaan atas Semenanjung Liaodong, Korea, dan Sakhalin Selatan. Kemenangan itu membuat Jepang menjadi negara yang harus ditakuti dan diwaspadai apalagi ini adalah kemenangan pertama negara Asia melawan Eropa. Jepang semakin percaya diri setelah pada 1919 sebagai bagian dari Sekutu pada Perang Dunia Pertama berhasil mengalahkan Jerman yang menguasai Tsingtao, Cina.

Meski begitu, Jepang harus tetap mendapatkan wilayah dengan sumber daya yang banyak untuk bisa menghidupkan industrinya. Karena itu, diincarlah Cina yang memang kaya sumber daya. Setelah berhasil menguasai Manchuria pada 1931, dan mendirikan negara boneka Manchukuo, Jepang kemudian mengarahkan diri untuk menguasai Cina yang sedang dilanda konflik internal melawan komunis.

Penyerangan Jepang atas Cina pada 1937 setelah insiden Jembatan Marco Polo membuat kedua negara kembali berperang. Kali ini Jepang yang sudah menjadi raksasa di Asia berupaya melawan Cina yang masih kepayahan dalam menerapkan demokrasi dan modernisasi Barat. Akibatnya, mudah ditebak. Cina kewalahan. Beberapa kota besar di Cina seperti Beijing, Shanghai, dan Nanking, jatuh ke tangan Jepang. Membuat pemerintah Cina memindahkan pemerintahan ke Chongqing hingga akhir perang. 

Selama perang Cina dan Jepang jilid dua itu, tidak hanya kerusakan material dan korban jiwa yang didapat, tetapi juga tindak kekerasan yang dilakukan tentara Jepang selama berhasil menguasai kota-kota Cina. Yang paling diingat tentu adalah Tragedi Nanking pada 1939. Di peristiwa inilah Jepang melakukan beberapa tindak kekerasan seperti pemerkosaan dan pemancungan kepala lewat sebuah kontes. Jepang juga tidak segan-segan membunuh anak-anak dan wanita. 

Jepang kemudian menyerah kalah dari Cina pada 1945 dalam perang ini, dan merupakan kemenangan pertama Cina dalam beberapa puluh tahun. Kemenangan Cina atas Jepang ini juga merupakan kerja sama kaum nasionalis dan komunis, dan juga Cina mendapat bantuan dari luar sebagai Sekutu di perang yang juga bagian dari Perang Dunia Kedua. Jepang memang akhirnya hengkang, dan beberapa perwiranya ada yang dieksekusi balik di Cina, namun ingatan akan Tragedi Nanking tetap membekas. Tragedi inilah yang mengganjal hubungan Cina dan Jepang hingga hari ini karena kedua belah pihak sama-sama mempunyai argumen untuk masing-masing pembelaan atas tindakan di perang tersebut.


Perang Korea

Berakhirnya Perang Dunia Kedua di kawasan Asia-Pasifik pada 1945 dengan kekalahan Jepang membuat pihak-pihak yang memenangkan perang berupaya menanamkan pengaruhnya ke wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh pihak-pihak yang kalah perang. Setelah perang berakhir, kawasan Asia-Pasifik terutama Korea menjadi merdeka setelah 1910 dikuasai Jepang.

Akan tetapi, pengaruh-pengaruh yang muncul selepas Perang Dunia Kedua seperti kapitalisme dan komunisme menyebar bagai virus sehingga sulit dihentikan. Korea pun menjadi tempat paham-paham itu menyebar yang kemudian membuat Korea bergejolak dalam sebuah perang, dan lantas memisahkan Korea menjadi Korea Utara dan Selatan.

Awal masalah terjadinya perang ini adalah kembali ketika Korea dikuasai sepenuhnya oleh Jepang. Korea yang kala itu masih bersatu di bawah Dinasti Joseon harus rela dinasti itu dihapus oleh Jepang. Selama pendudukan Jepang itu terjadi banyak tindakan kekerasan dan diskriminatif sehingga menimbulkan perlawanan-perlawanan. Ketika Perang Dunia Kedua berkobar banyak orang Korea yang dipekerjakan menjadi tentara, pilot pesawat tempur, hingga jugun ianfu atau wanita penghibur.

Selama masa pendudukan Jepang itu muncul ide untuk membebaskan Korea dari Jepang melalui sebuah pemikiran dan visi akan Korea merdeka dan berbentuk republik. Akan tetapi pemikiran dan visi itu berbeda satu sama lain. Kim Il-sung yang pada masa Jepang berkuasa banyak menghabiskan waktu di Cina tertarik akan paham komunisme sedangkan Syngman Rhee yang pernah menjadi seorang metodis di AS tertarik akan kapitalisme yang ditawarkan AS. Perbedaan-perbedaan ini yang kemudian menjadi benturan kala Kim Il-sung yang sudah menjadi komunis memaksakan diri menyatukan sebuah Korea dengan bantuan persenjataan dari Uni Soviet. Tentu saja tindakan Kim Il-sung ini tidak diterima begitu saja oleh Syngman Rhee yang lantas meminta bantuan ke AS dan sekutunya. AS pun merespons dengan kekhawatiran jika Korea menjadi komunis akan berlaku teori domino. Karena itu, atas mandat dari PBB AS pun membantu langsung Korea Selatan melawan Korea Utara.

Perang yang terjadi pada 1950 hingga 1953 ini merupakan perang sipil kedua di Asia Timur setelah Perang Dunia Kedua, dan menjadi perang saudara yang melibatkan banyak pihak di belakangnya terutama di saat Perang Dingin mulai menyebar. Pada akhirnya, perang ini berakhir dengan genjatan senjata kedua belah pihak yang memungkinkan perang bakal berkobar kembali. Kedua Korea lalu dipisahkan oleh batas berupa garis demarkasi militer sepanjang 250 kilometer. Perang saudara yang memisahkan Korea menjadi dua itu pada akhirnya juga merepresentasikan perbedaan kedua Korea. Korea Utara menjadi negara terbelakang sedangkan Korea Selatan menjadi negara maju dan termasuk 4 Macan Asia. Dan hubungan kedua negara sampai sekarang masih renggang.


Perang Vietnam

Berkobarnya Perang Korea pada dekade 50-an sebagai bagian dari Perang Dingin di Asia kemudian berlanjut ke Vietnam, sebuah negara berbudaya Asia Timur yang berada di Asia Tenggara. Perang ini merupakan perang saudara karena perbedaan ideologi. Vietnam yang awalnya merupakan jajahan Prancis sejak abad ke-19 berhasil memproklamirkan kemerdekaan pada September 1945 setelah Jepang yang menguasai wilayah itu menyerah kalah. Akan tetapi Prancis sebagai pemilik Vietnam sebelumnya tidak rela jika tanah jajahannya itu merdeka. Maka, Prancis pun berniat menguasai Vietnam yang berakibat perang hingga 1954. Prancis kalah lalu hengkang. Namun permasalahan tidak lantas berhenti. Melalui sebuah Perjanjian Jenewa pada tahun yang sama, Prancis mengakui kemerdekaan Vietnam namun hanya di utara sedangkan di selatan sebaliknya yang kemudian dipegang oleh AS. Keduanya dipisahkan oleh sebuah garis paralel. Hal ini dilakukan untuk membendung komunisme yang dipegang oleh Vietnam Utara.

Tidak puas dengan perjanjian itu, Vietnam Utara yang dipimpin oleh Ho Chi Minh berupaya menyatukan seluruh Vietnam, dengan menaklukkan Vietnam Selatan yang dipimpin Ngo Dienh Diem. Tentu saja aksi sepihak Ho tidak disukai Ngo juga AS yang mulai membantu Vietnam Selatan dari asistensi, persenjataan, hingga terjun langsung. AS yang merasa harus melindungi Vietnam Selatan dari ekspansi komunisme akhirnya menerjunkan diri langsung ke perang yang kemudian berkobar dari 1965 hingga 1975 setelah insiden di Teluk Tonkin pada 1964.

Tentu saja dengan dibantu oleh negara besar dengan persenjataan modern dan lengkap akan membuat Vuetnam Selatan aman dan dapat memenangkan perang dalam waktu singkat. Namun kenyataannya tidak. AS malah kerepotan dalam perang ini terutama ketika menghadapi semangat juang tentara Vietnam Utara dan Vietkong yang kerap menyusup masuk wilayah Vietnam Selatan. Apalagi sekutu-sekutu Vietnam Utara seperti Uni Soviet dan Cina tidak tinggal diam dengan membantu persenjataan.

Perang Vietnam pada akhirnya menjadi sebuah perang sipil ketiga di wilayah budaya Asia Timur yang cukup merugikan kedua belah pihak, terutama AS. Untuk kali pertama dalam sejarah AS akhirnya mengaku kalah dari Vietnam Utara sehingga kemudian meninggalkan Vietnam Selatan. Apalagi selama masa peperangan juga terjadi konflik internal di Vietnam Selatan. Vietnam Selatan yang kemudian ditinggal itu menjadi linglung. Para warganya berupaya melarikan diri, dan tidak mau hidup di bawah komunisme sehingga menciptakan kekacauan ketika pada 1975 Vietnam Utara masuk, dan berhasil menguasai Saigon, Ibu Kota Vietnam Selatan. Dengan jatuhnya Saigon, yang kemudian berganti nama menjadi Ho Chi Minh City, membuat Perang Vietnam selesai. Semenjak itu Vietnam pun bersatu hingga sekarang dengan nama Republik Sosialis Vietnam.


Perang Cina-Vietnam

Kesamaan budaya juga ideologi tidak lantas membuat akur dan kompak. Ibarat dua saudara yang lahir dari rahim yang sama namun pada akhirnya berselisih karena suatu hal. Inilah yang terjadi pada Cina dan Vietnam. Dilihat dari sisi historis dan budaya, Cina dan Vietnam bagai kakak-adik. Budaya Cina begitu kental di Vietnam yang tergambar dalam arsitektur, sastra, bahasa, tulisan, tahun baru, dan makanan. Hal itu karena Cina pernah menguasai Vietnam selama 1.000 tahun. Namun dalam masa 1.000 tahun itu kerap terjadi perlawanan dari Vietnam terhadap Cina, yang berakibat hubungan kedua negara naik-turun. Ketika Vietnam sepenuhnya merdeka dari Cina, kebiasaan yang dilakukan Cina diikuti oleh Vietnam, yaitu melakukan perluasan wilayah melalui penaklukkan ke selatan, yaitu ke wilayah Campa, yang kemudian dikuasai seluruhnya pada sekitar 1700-an.

Ketika Cina mengadopsi paham komunis, Vietnam pun mengikutinya. Bahkan Ho Chi Minh belajar komunisme di Cina. Kedua negara karena berpaham sama kemudian saling membantu terutama pada saat Perang Vietnam. Namun semua berubah setelah itu ketika Vietnam tiba-tiba menginvasi Kamboja pada 1978 yang menyebabkan Kamboja pimpinan Pol Pot tersingkir ke hutan. Cina tentu saja tidak senang dengan keadaan itu karena Pol Pot adalah sekutunya apalagi Vietnam menyerang Kamboja dengan bantuan Uni Soviet sehingga hal tersebut membuat Cina harus memerangi Vietnam. Perlu diketahui bahwa sejak 1956 hubungan Cina dan Uni Soviet sebagai dua negara komunis merenggang akibat perbedaan prinsip. Perbedaan prinsip ini yang kemudian menyebar ke sekutu-sekutu mereka.

Permasalahan perbatasan juga menjadi faktor lain penyebab perang ini karena perang kebanyakan berkobar di perbatasan kedua negara. Selama 12 tahun (1979-1991) kedua negara berperang, dengan Cina berhasil beberapa kota di perbatasan yang bisa mengarah ke Hanoi. Kota-kota yang dikuasai itu dianggap sebagai milik Cina. Tentu saja Vietnam melawan balik, dan berhasil memukul mundur. Cina yang awalnya memang ingin mengusir Vietnam dari Kamboja ternyata tidak berhasil sama sekali. Vietnam tetap berada di Kamboja hingga 1991. Kedua negara kemudian menormalisasi hubungan setelah perang tanpa pemenang itu. Akan tetapi hal itu tetap tidak bisa memperbaiki hubungan kedua negara secara utuh karena hingga saat ini keduanya masih tetap mengklaim satu sama lain kepemilikan atas Pulau Spratly atau Paracel di Laut Cina Selatan.

Dari berbagai sumber

Sumber gambar: Canva















 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran