Pages

Kamis, 31 Januari 2013

Anime-Tokusatsu: Gambaran Jepang dalam Fiksi

Anak lelaki kecil berkacamata itu terkejut bukan main. Di hadapannya tiba-tiba muncul sesosok makhluk. Yang bikin ia terkejut lagi makhluk itu muncul dari dalam laci meja belajarnya. Makhluk berbentuk kucing itu kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Doraemon, dan mengatakan bahwa dia berasal dari abad ke-22. Hanya si anak lelaki ini sepertinya masih merasa heran kok bisa ya ada robot muncul dari balik lacinya?

***
Penggalan di atas merupakan cuplikan dari seri Doraemon episode pertama, tentang munculnya Doraemon yang diceritakan ditugaskan oleh Sewashi, cucu dari Nobita di masa depan untuk membantu kakeknya tersebut supaya tidak selamanya menjadi orang bodoh. Mengenai Doraemon, tentu semua sudah tahu, bahwa ia termasuk salah satu produk animasi Jepang yang populer disebut anime.

Anime sendiri bukanlah barang baru di Indonesia. Produk budaya populer asal Jepang ini sudah ada sejak dekade akhir 70-an. Wanpaku Omukashi Kum-Kum menjadi anime pertama yang masuk ke negara ini. Kemudian berturut-turut menyusullah seperti Cyborg 009 dan Voltus V  lalu pada dekade 90-an hingga sekarang sesaklah televisi-televisi di Indonesia oleh kehadiran animasi dari "negeri matahari terbit" ini seperti  Doraemon, Astro Boy, Saint Seiya, Shurato, Sailormoon, Patlabor, Pokemon, Digimon, InuYasha, Samurai X, hingga yang terpopuler, Naruto. Saking populernya, beberapa majalah dan tabloid anak-anak selalu pada sampul depan memasang karakter anime.

daigeki.fansubers.com.br
Anime merupakan produk animasi Jepang yang mempunyai ciri khas pada penggambaran fisik berupa mata lebar, hidung dan mulut yang kecil, muka lebar, bahkan bulat, dan rambut warna-warni. Selain itu, cerita yang ditawarkan terkadang bukanlah cerita yang biasa. Mark Wilshin dalam Sinema dalam Sejarah:  Fiksi Sains dan Fantasi, menggolongkan anime ke dalam genre tersebut. Ini dikarenakan hampir sebagian besar anime memang berkutat di dalamnya. Doraemon boleh saja menceritakan mengenai kehidupan sehari-hari, tetapi pemasukan unsur-unsur teknologi masa depan seperti alat-alat yang dikeluarkan Doraemon dari kantongnya, serta Doraemon sendiri yang merupakan robot merupakan unsur-unsur fiksi ilmiah. Hal itu ditambah pula dengan ruang lintas waktu yang sering digunakan Doraemon bersama Nobita dan kawan-kawannya untuk menjelajah ke suatu tempat pernah terjadinya sebuah peristiwa.

Wilshin juga menyinggung tentang fantasi dalam anime yang biasanya menggunakan cerita rakyat, legenda, atau mitos yang kemudian ditampilkan kembali secara populer. Ambil contoh InuYasha, kisah tentang makhluk setengah manusia, setengah rubah putih yang jatuh cinta pada seorang manusia, Kagome Higurashi. Di Inuyasha sendiri settingnya berlangsung pada masa Sengoku, masa Jepang penuh dengan peperangan. Namun yang unik adalah karakter Inuyasha itu sendiri. Di masyarakat Jepang, rubah putih dianggap sebagai simbol kramat. Masyarakat Jepang sendiri mempunyai nama khusus, yaitu Kitsune. Ia dikabarkan bisa berubah wujud menjadi manusia, dan bila mencapai usia 100 tahun, ia diyakini akan menjelma menjadi orang tua yang bijaksana.

Namun penampilan kembali dongeng dan mitos itu ke dalam budaya populer tentu sudah mengalami banyak perubahan sehingga tak lagi mengikuti aslinya. Paul Heru Wibowo dalam Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture menuturkan bahwa penampilan kembali itu secara tidak langsung telah mengasingkan nilai-nilai asali yang sebenarnya ingin dibangun masyarakat kuno seperti pengalaman kosmologis-antropologis yang terdapat dalam misteri alam, hubungan antarmanusia, atau tradisi-tradisi kebijaksanaan. Pada akhirnya, apa yang dibawa kembali itu hanyalah sensasi sesaat serta nilai jual yang harus dipatri.

Selain anime, Jepang juga terkenal dengan tokusatsu. Tentu semua tak asing dengan produk berupa tayangan live-action khas Jepang yang selalu menampilkan para superhero asli Jepang seperti Ultraman, Kamen Rider, hingga Super Sentai (Power Rangers). Selain itu, ada beberapa superhero tunggal seperti Jiban, Janperson, dan Metalder. Megaloman, si superhero berambut panjang, dan berpenampilan seperti Ultraman bisa dibilang sebagai tokusatsu pertama yang muncul di Tanah Air. Ciri khas dari tokusatsu biasanya kyodai hero, si superhero bisa mengubah dirinya menjadi raksasa mengingat musuhnya adalah monster-monster raksasa, berpenampilan futuristik  dan warna-warni, bergrup hingga lima orang, mempunyai kendaraan serbacanggih, dan selalu mempunyai musuh dari planet lain.

Kedua genre budaya populer di bidang hiburan itulah yang membuat Jepang semakin terkenal di dunia internasional di samping produk-produk elektronik dan otomotif "negeri sakura" tersebut. Cerita yang sederhana, klise alias mudah ditebak, banyak dialog, tetapi menghibur menjadikan anime dan tokusatsu banyak digemari di seluruh dunia. Sampai-sampai untuk hal ini, Amerika Serikat pun sebagai superpower budaya populer harus meminjam atau meminta lisensi beberapa produk Jepang tersebut untuk ditayangkan di televisi mereka, atau malah dijadikan film bioskop. Sebut saja Super Sentai, Kamen Rider, Astro Boy, dan Dragon Ball. Keunikan dan sesuatu yang tidak biasa juga mempunyai kesan tersendiri bagi mereka yang melihat produk budaya populer ala Jepang ini, terutama kostum-kostumnya yang banyak ragam dan warna sehingga melahirkan komunitas cosplay. Juga ciri-ciri fisik ala anime pun bukanlah sesuatu yang asing ditemukan dalam kehidupan sehari-hari di Tanah Air sebab banyak remaja, terutama remaja putri yang suka menggambar dengan ciri khas anime.

Telah membudayanya anime dan tokusatsu justru tidak lepas dari keinginan Jepang sendiri untuk bisa bangkit dari Perang Dunia ke-2 yang meluluhlantahkan negeri tersebut. Munculnya anime dan tokusatsu pasca perang pun dibarengi dengan kebangkitan ekonomi dan teknologi negara tersebut yang menemukan kestabilannya pada  dekade 1980 dan 1990-an, sehingga memudahkan promosi budaya mereka sendiri ke negara orang. Pada akhirnya, anime dan tokusatsu bisa dibilang refleksi orang Jepang itu sendiri: gemar bekerja keras, suka berinovasi, dan mempunyai dinamika kehidupan yang tinggi.

Minggu, 27 Januari 2013

Perse- dan Persi-: Tautologi Sepak Bola Indonesia


Sebuah klub sepakbola lazimnya dinamai berdasarkan asal daerahnya, dan untuk menyatakan bahwa itu adalah klub sepakbola, para pendirinya selalu menggunakan embel-embel tambahan seperti FC, FA, atau SA yaitu singkatan dari Football Club, Football Association, dan Sports Association. Contoh-contoh seperti ini sering muncul di Britania dan daerah berbahasa Inggris. Namun, pada masa sekarang karena pengaruh globalisasi nama-nama demikian muncul di daerah bukan berbahasa Inggris.
Penamaan klub sepakbola berdasarkan daerah asalnya dimaksudkan agar daerah mereka terkenal dan mudah diingat disertai juga harapan bisa bersaing dengan daerah-daerah lainnya di dalam sepakbola. Maka sering sekali kita mendengar klub-klub sepakbola yang demikian seperti Liverpool FC, FC Barcelona, dan AS Roma. Nama-nama tersebut terlihat cukup singkat dan sederhana sehingga mudah untuk diingat. Kebanyakan orang akan mengucapkan pada domisili daerah klub tersebut. Semisal Liverpool FC hanya diucapkan Liverpool tanpa harus mengucapkan kata “FC”.
Namun ada juga karena di dalam satu daerah atau kota itu ada dua klub, maka untuk membedakannya seringkali para pendirinya menempel sebuah embel-embel yang maknanya cukup sakral seperti United, City, Real, Atletico, dan sebagainya. Contoh adalah Manchester United dan Manchester City. Kedua-duanya berasal dari satu kota yang sama, Manchester. Mengingat dari satu kota yang sama maka pendukung kedua kesebelasan, dan juga kebanyakan orang lainnya akan memanggil keduanya cukup “united” dan “city”. Begitu juga yang terjadi di Spanyol ketika di kota Madrid ada klub yaitu Real Madrid dan Atletico yang lantas keduanya akan disebut dengan “real” dan “atletico”.
Selain untuk membedakan identitas dengan sesuatu yang sacral, ada juga yang menamakan klubnya dengan sesuatu yang bersifat eklektis. Baik itu di depan nama daerahnya atau di belakang. Sesuatu yang berbau eklektis ini dikarenakan bersumber pada adanya suatu peristiwa, tempat, atau hal-hal yang dianggap penting. Adanya eklektis dalam klub-klub yang seperti ini biasanya orang akan lebih condong menyebut pada eklektis tersebut. Juventus FC Turin, Arsenal FC London, Inter Milan FC, Kashima Antlers, dan Jubilo Iwata adalah contoh-contoh klub yang tersengat sesuatu yang eklektis tersebut.
Lalu bagaimana dengan penamaan klub-klub sepakbola di Tanah Air?
mendunia32.blogspot.com
Sebenarnya penamaan klub-klub sepakbola di sini juga tidak berbeda jauh. Tetap menggunakan nama daerah serta embel-embel khas lokal untuk menandakan bahwa itu adalah klub sepakbola seperti PS, singkatan dari persatuan sepakbola. Kata yang diserap dari bahasa Belanda, voetbalbond. Dalam perkembangannya kata PS pun kemudian divariasikan menjadi Persi-, singkatan dari Persatuan Sepakbola Indonesia dan Perse- yang mempunyai padanan singkatan yang sama dengan PS.
Kebanyakan klub-klub di Indonesia amat jarang menggunakan kata PS dan lebih sering menggunakan kata Persi- dan Perse- yang pada akhirnya ketika dipadankan dengan nama daerahnya malah menjadi sebuah akronim. Contoh-contohnya seperti Persija, Persib, Persebaya, dan Persela yang berasal dari kepanjangan Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta, Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung, Persatuan Sepakbola Surabaya, dan Persatuan Sepakbola Lamongan.
Pengakroniman klub-klub sepakbola di Indonesia sebenarnya tidak lepas dari upaya penyerapan serta peminjaman kata-kata dalam bahasa Belanda. Kata “Persatuan Sepakbola Indonesia” sejatinya berasal dari kata “Indonesische Voetbal Bond”. Maka, beberapa klub di Indonesia seperti Persib dan Persebaya dahulunya mempunyai nama seperti ini : Bandoengsch Indonesische Voetbal Bond, Soerabaisch Indonesisch Voetbal Bond yang kemudian di akronimkan menjadi BIVB dan SIVB.
Pencantuman nama “Indonesia” pada klub-klub sepakbola di Indonesia hingga saat ini sebenarnya tidak lepas dari situasi politik pada masa kolonial ketika si kulit bundar pertama kali diperkenalkan. Hal tersebut menjadi pembeda dan identitas bahwa klub-klub sepakbola tersebut adalah milik pribumi (Indonesia) dan bukan milik Belanda atau Cina.
Pengakroniman yang demikian pada akhirnya akan membuat sebagian besar orang menyebut akronim tersebut mengingat mudah dan gampang diingat. Namun, bagi para kuli tinta ini justru menjadi masalah. Mereka menginginkan supaya harus ada nama daerah setelah nama akronim tersebut meskipun di dalam akronim mengandung nama daerah.
Karena keinginan tadi akhirnya dibubuhilah juga nama daerah di belakang akronim oleh para kuli tinta dalam setiap laporannya dan menjadi seperti ini: Persija karena berasal dari Jakarta disebut dengan Persija Jakarta, Persib karena berasal dari Bandung disebut dengan Persib Bandung. Dan disinilah terjadi yang disebut dengan tautologi.
Dalam ilmu linguistik, tautologi adalah sesuatu yang diulang-ulang dalam kalimat meskipun kalimat sebelumnya sudah menyatakan adanya penegasan. Contohnya adalah turun ke bawah. Kata turun sudah pasti ke bawah. Atau pulang ke rumah. Kata pulang pun juga sudah pasti ke rumah. Hal-hal yang demikian pada akhirnya menyebabkan penggandaan makna dan pemubaziran suatu kalimat atau kata-kata.
Dalam sepakbola Indonesia hal yang demikian sangat berlaku sehingga tautologi adalah sesuatu yang wajib dan lumrah bagi klub-klub Tanah Air. Seperti dikatakan tadi bahwa maknanya akan menjadi ganda dan mubazir. Maka jika merunut pada kata Persija Jakarta ketika dipanjangkan akan menjadi Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta Jakarta. Secara harafiah tentu saja aneh melihat padanan kalimat yang seperti ini karena itu berarti menyatakan bahwa Jakarta berjumlah dua buah..
Secara tidak langsung hal-hal yang bersifat tautologis dalam sepakbola Indonesia juga berasal dari Belanda. Di Belanda ada beberapa klub sepakbola mereka yang juga mengandung sesuatu yang tautologis seperti AZ Alkmaar, MVV Maastricht, NEC Nijmegen, dan VVV Venlo. Huruf pertama singkatan sebelum huruf kedua menyiratkan adanya hal-hal yang bersifat tautologis karena huruf-huruf pertama itu merupakan tempat klub-klub tersebut. Contoh AZ Alkmaar. AZ adalah singkatan dari Alkmaar Zandstreek. Ketika disandingkan dengan Alkmaar maka menjadi Alkmaar Zandstreek Alkmaar.
Indonesia tampaknya setia memakai tautologi akibat dari pengakroniman. Bahkan karena sifatnya historis menjadi haram hukumnya jika hal tersebut diganti. Persib dan Persebaya pernah mengalami hal yang demikian, namun urung terjadi karena kegigihan para pengurusnya.



Transformers: Ketika Mitos Kuno Dimodernkan

Mobil itu tiba-tiba berhenti. Di saat berhenti itu perlahan menyembul beberapa bagian yang membuat mobil itu berdiri dan bersosok seperti manusia raksasa namun dalam bentuk robot. Jika Anda bisa membayangkannya pasti Anda mengira bahwa itu pasti terjadi dalam Transformers. Dan itu betul.
---------------------------

Enam tahun yang lalu, dunia perfilman internasional disodori sebuah film yang tidak biasanya. Sebuah film berjudul Transformers yang mengisahkan pertarungan para robot baik dan jahat (Autobots dan Decepticons) di bumi. Sebuah film yang boleh dibilang menghadirkan pertarungan para robot yang tidak biasa. Berubah wujud dari bentuk kendaraan, baik sipil maupun militer, lalu berlari, meloncat, dan terbang seperti manusia yang tubuhnya lentur. Sebuah film yang mengagumkan. Saking mengagumkannya, dan membuat takjub yang melihatnya, dibuatlah sekuel dua (2009) dan tiga (2011). Sebuah film yang menarik untuk dikaji secara keilmuan.

fanpop.com
Transformers pun seketika itu juga menjadi salah satu ikon dan magnet budaya populer. Kemunculannya yang dalam bentuk film dirasa tepat karena pada kemunculannya teknologi komunikasi, internet berkembang begitu pesat. Apalagi tampilan para robot itu yang begitu mendetail serta tidak kaku menjadi daya tarik bagi para remaja. Padahal, sebelumnya, Transformers sudah ada dalam bentuk kartun dan komik. Namun, kelihatannya tidak begitu populer bila dibandingkan dengan filmnya.

Mengenai Transformers, yang sampai hari ini masih menjadi daya tarik budaya populer, bahkan sampai dibuat seri kartunnya (Transformers Animated) berdasarkan film, saya melihatnya sebagai sebuah pemindahan mitos kuno ke dalam masyarakat modern yang dipadu dengan teknologi canggih nan rancak. Ini seperti halnya film-film superhero yang memindahkan mitos kuno tentang manusia super seperti Hercules, Samson, dan Gatot Kaca ke masyarakat modern melalui tampilan yang juga modern alias jauh dari kesan-kesan kuno.

Nah, mitos-mitos kuno yang dipindahkan di dalam Transformers:
Pertama, raksasa. Semua orang sudah tahu siapa itu raksasa. Mahkluk yang tingginya melebihi tinggi manusia normal, gemar memakan manusia, tetapi idiot dan bodoh. Di banyak kebudayaan pun raksasa sering muncul dalam berbagai bentuk.Hanya saja di Transformers itu raksasanya para robot bukan manusia bertampang jelek atau buruk rupa, serta menyeramkan. Ini mengikuti paham modern sebab robot itu adalah buatan manusia di zaman modern.

Kedua, berubah bentuk atau wujud. Kalau di Indonesia konsep seperti ini biasanya disebut makhluk jadi-jadian. Konsep tentang makhluk jadi-jadian juga ada di seluruh dunia, baik dalam bentuk dongeng dan legenda seperti angsa berubah menjadi perempuan cantik atau kodok berubah menjadi seorang putri. Cuma di Transformers, mengikuti paham modern yang rasional, maka yang dijadikan sasarannya adalah kendaraan. Jadilah kendaraan itu bisa berubah wujud.

Ketiga, perang saudara ala Mahabharata. Semua sudah pasti tahu cerita perang saudara antara Pandawa dan Kurawa dalam memperebutkan tanah di Astina. Nah, di Transformers hal demikian bisa terlihat ketika Autobots dan Decepticons yang berasal dari planet yang sama, dan masih mempunyai hubungan persaudaraan harus terlibat konflik yang melibatkan para penduduk bumi. Pada akhirnya, pertempuran antara dua pihak adalah pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan.

Mengapa hal demikian bisa terjadi?

Ini karena manusia sejujurnya belum bisa lepas dari akar-akar kebudayaannya mengenai mitos yang kemudian dikaji dalam mitologi. Penceritaan akan mitos kepada manusia dan generasi selanjutnya di masa kecil tentu akan membekas dalam ingatannya. Apalagi jika hal itu ditambah dengan imajinasi yang sesungguhnya tidak lepas dari penceritaan-penceritaan akan mitos-mitos yang sudah ada. Hal ini yang kemudian coba digali dan digarap melalui produk visual seperti film, salah satu produk budaya populer, lalu disesuaikan dengan kondisi masyarakat modern.



Sabtu, 26 Januari 2013

Alessandra

Alessandra. Sebuah nama yang gampang teringat. Terus terngiang-ngiang di telingaku. Nama yang kedengarannya enak didengar. Meskipun pengucapannya harus ditekan huruf ss yang dobel itu sehingga terkesan nge-bas. Sebuah nama yang menurutku merupakan bentuk betina dari Alessandro. Yang tentunya diserap dari kata Alexander, nama seorang kaisar dari Makedonia yang telah menaklukkan dunia sebelum umur 30. Arti dari nama itu pembela umat manusia. Nama yang bagus artinya.

Dan mengenai Alessandra, dia seorang wanita yang pernah kutemui. Seorang wanita dari belahan benua lain. Berkulit putih, bermata lebar, bermuka bulat, berambut coklat, dan bertubuh pendek. Tetapi, dia mempunyai pesona bagiku yang melihatnya. Bentuk tubuhnya memang aduhai.
***
Ombak terlihat tenang. Cuaca nampak cerah. Berpadu dengan pasir putih yang membuatku terpesona ketika aku menginjakkan kaki di sebuah pantai terkenal di Bali, Kuta. Ya sebuah pantai yang terkenal. Karena terkenalnya menjadi ramai oleh mereka, para wisatawan. Aku ke Bali jelas untuk berlibur. Mencoba melarikan diri dari kepenatan di Jakarta yang rasa-rasanya membuat tubuh ini memang butuh penyegaran. Kebetulan aku sedang ada uang, dan tiket penerbangan murah, maka tak salah kupilih Bali, meski aku sudah ke sana beberapa kali.

Meski sudah beberapa kali, rasa-rasanya tidak ada rasa bosan sama sekali. Padahal Bali sudah banyak berubah. Padat. Malah seperti Jakarta. Di sana sini disesaki bangunan-bangunan tempat hiburan dan belanja. Sama sekali tiada ruang. Dan pantai itu bisa kubilang ruang itu. Dan inilah ritualku tiap kali ke Bali. Selalu ke Kuta yang kondang sampai Kutub Utara.

Kebetulan Kuta belumlah ramai. Maklum masih pagi hari. Biasanya Kuta ramai pada siang hingga malam. Tak banyak wisatawan yang duduk atau malah tidur-tiduran telanjang dada. Sebuah pemandangan yang dirasa biasa oleh masyarakat sekitar. Hm..kalau di Jakarta bagaimana ya? Nah, tebak sendiri deh.

Dan ketika di Kuta, di depanku nampak seseorang sedang berada di depan ombak. Memegang papan selancar. Aku rasa ia pasti hendak berselancar. Kuperhatikan lagi ia seorang wanita. Dan bule. Jelas aku melihat bule pasti aku samperin. Maklum, aku pede kalau berbicara dengan orang asing.

Saat mendekati dia, aku berbasa-basi dengan bahasa Inggrisku yang kubilang lancar,

"Hai," sapaku pelan dan ramah.

Ia yang mendengar sapaanku jelas menoleh,

"Oh, hai," balasnya dengan senyuman.

"Hendak berselancar?" tanyaku.

"Betul," jawabnya.

"Boleh kita berkenalan?" tanyaku lagi.

"Oh, tentu,"

Saat aku dengar suaranya itu, dan juga posturnya, aku mengira pasti ia berasal dari Spanyol atau Italia. Apalagi saat kulihat wajahnya. Tampang Mediterania yang tersirat dicampur dengan kemanisan raut makin menguatkan dugaanku. Ia memperkenalkan dirinya Alessandra.

"Baskoro," kataku memperkenalkan namaku. Ketika ia bilang Alessandra, spontan aku berkata,

"Are you from Italy?"

Alessandra yang mendengar spontanitasku itu tertawa-tawa sambil sesekali tersenyum dan menggeleng-geleng kepala,

"Ah, kamu sok tau,"

Aku pun heran dan langsung berkata,

"Tapi, namamu menunjukkan demikian,"

Ia lalu menatapku. Sebuah tatapan yang membuatku terbius melihatnya. Ditambah raut manisnya.
"I come from Argentina,"
Argentina? Jelas aku heran. Kalau mendengar Argentina biasanya yang langsung terngiang padaku itu sepak bola, Evita Peron, Maradona, bahkan Gaston Castano. Selebihnya tidak. Dan Argentina juga aku mengenalnya sebagai negara berbahasa Spanyol. Seharusnya ia bernama Alejandra. Itulah yang kuutarakan pada dia.
"Apa kamu tahu sejarah Argentina seperti apa?" tanyanya setelah itu.

"Tidak," jawabku, "Can you tell me why?"

Alessandra yang masih memegang papan selancar itu mengajakku berjalan menyusuri pantai. Aku tanya padanya apa ini pertama kalinya ke Indonesia. Dia bilang tidak. Ia bilang katanya pernah ke Pulau Komodo. Weleh, aku saja yang orang Indonesia asli malah belum pernah ke sana.

Alessandra yang terlihat cantik, eksotis dengan kulit putih kecoklatan sebagaimana wanita-wanita dari Amerika Latin, bercerita kepadaku mengenai mengapa namanya seperti orang Italia. Ia bilang di Argentina ada banyak orang Italia. Dan orang Italia merupakan komunitas terbesar di Argentina. Datang ke negara itu pada awal abad ke-20 karena alasan ekonomi. Ketika sampai di Italia mereka mengubah nama Italia menjadi nama Spanyol seperti Domenico menjadi Domingo.

"Kamu pasti tahu kan Gabriel Batistuta?"

"Ya, saya tahu," jawabku yakin, "Pesepakbola kondang kan?"

"Betul," kata Alessandra, "Dia salah satu orang Argentina keturunan Italia. Dan di Albiceleste," Ia kemudian diam, "Kamu penggemar sepak bola kan?"

"Iya,"

"Pasti tahu kan apa itu Albiceleste?"

"Itu julukan untuk timnas Argentina, kan?"

"Ah, betul!" ujarnya senang, "Di Albiceleste ada banyak sekali orang Argentina keturunan Italia. Termasuk juga Lionel Messi,"

"O, ya?" jawabku kaget.

"Iya," katanya bersemangat, "Nama Messi adalah nama salah satu klan di Italia pada abad ke-16,"

"Oke," kataku, "Kamu cantik, tapi pintar juga ya,"

Ia tersanjung mendengar pujian itu, dan bilang,

"Ah, muchas gracias!"

Aku meskipun tidak tahu apa yang diucapkan, tapi mengerti pasti kata itu untuk "terima kasih banyak,"
"O, ya lalu apa nama panjangmu?" tanyaku kemudian.

"Allessandra Messi," jawabnya.

"Heh?" tanyaku terkejut, "Apa kamu punya relasi dengan Messi?"

"Nggak," jawabnya, "Messi itu sejujurnya nama yang umum di Argentina, dan kebetulan Lionel Messi memopulerkannya,"

"Oh, oke. Aku kira kamu punya hubungan dengan dia. Jika ia aku bisa minta tanda tangan,"

Ia jelas tertawa. Begitu juga aku.

Alessandra. Memang dia begitu cantik, manis, dan eksotis. Aroma khas Amerika Latinnya terasa pada tubuhnya. Amerika Latin memang eksotis. Inilah sebuah wilayah dengan percampuran kebudayaan antara Eropa, Indian, Asia, dan Afrika. Percampuran kebudayaan itu yang terlihat pada bentuk fisik orang-orangnya juga hasil-hasil bentuk kebudayaanya seperti sepak bola yang memang populer di sana. Bahkan sudah menjadi agama seperti di Eropa.

Dan bagiku Alessandra orang yang cukup ramah juga. Murah senyum dan senang dipuji. Ketika itu pun aku teringat suatu hal bukankah wanita Argentina suka dipuji seperti halnya wanita Mesir. Bukankah juga kaum Adam di Argentina gemar memuji dan bergombal seperti halnya di Italia dan Prancis? Sebuah bentuk budaya jikalau diterapkan di Indonesia langsung ada reaksi "Ih, apaan sih lo,"

Bahasa Inggrisnya yang nge-bas dan salah dalam pengucapan beberapa kata memang membuatku kesulitan memahami bicaranya, namun aku tetap bisa paham. Bagiku wajar, sebab sistem bahasa Spanyol atau Italia memang membuat beberapa pengucapan seperti harus di-bas. Hm...tapi bagiku menarik.

Perkenalan yang tidak aku rencanakan itu pada akhirnya meninggalkan kesan bagiku. Selama dua hari aku di Bali aku pun bercengkrama dan berjalan-jalan dengan Alessandra. Mencoba menjelaskan apa saja yang ada di Bali, juga di provinsi di Indonesia lainnya. Dia begitu tertarik dengan Indonesia. Katanya cantik dan mengagumkan. Tidak seperti yang dibilang di televisi. Gaya bicaranya yang nge-bas serta pesonanya membuatku tambah tertarik dengannya. Tak ada kesan sombong meski ia berkulit putih. Sebuah prasangka ras yang kadang suka masih terbawa sebab superioritas kulit putih di masa lalu. Tetapi, Alessandra orang kulit putih dari negara dunia ketiga, yang ekonominya hampir sama dengan Indonesia. Mungkin karena itu ia tidak berlaku demikian.

Saat aku hendak berpisah darinya, aku bilang agar datang ke Jakarta, dan kalau perlu mampir ke tempatku. Ia hanya mengiyakan. Ia lalu memberikan aku alamat email, Facebook, dan Twitternya supaya kami tetap dapat berhubungan. Jelas aku senang sekali. Aku pun bilang,

"Muchas Gracias, Senorita,"

Ia tentu saja terkejut, dan bertanya,

"Kamu belajar dari mana?"

Aku bilang,

"Alessandra, di Indonesia banyak sekali ekspatriat dari Argentina. Kebanyakan bermain sepak bola. Nah, salah satu temanku punya kenalan para pesepakbola itu,"

"O, ya? Beruntung sekali kamu,"

"Justru aku yang beruntung bisa bertemu dengan wanita cantik sepertimu,"

"Oh, terima kasih,"

Dan ketika berpisah pula, aku minta foto bareng bersama dirinya. Awalnya, ia kurang sreg, dan buat apa, tanyanya. Aku bilang, ini kebiasaan kami di sini lho terutama di Jakarta, ketemu orang asing lalu foto deh.
Alessandra hanya tersenyum. Senyum itu makin menaklukkan hatiku.

Saat berpisah pun, kupandangi terus wajah dengan senyum manis di hapeku. Rasa-rasanya aku ingin bertemu dia lagi. Dia memang bukan kekasihku, tetapi aku menyukainya. Dan aku merindukannya. Sungguh. Aku hanya berharap bisa bertemu dengannya lagi suatu saat. Kalau teringat dia, aku jadi ingat lagunya Search, Isabella. Tetapi, judulnya aku ganti jadi Alessandra.

Jumat, 25 Januari 2013

India

India. Nama sebuah negara yang akrab di telinga kita. Nama sebuah negara yang selalu muncul dalam kehidupan sehari-hari. Dan nama sebuah negara yang pengaruhnya begitu kuat sejak masa lampau hingga sekarang.

Bila berbicara mengenai India, pikiran kita sudah pasti tertuju pada yang disebut dengan Bollywood, tari-tarian, dan cerita menjual mimpi yang sarat dengan drama, intrik, hingga yang populer disebut orang "nangis Bombay". Kenyataannya memang demikian, India salah satu negara penyumbang budaya populer dewasa ini seiring dengan kemajuan yang dicapai negara berpenduduk 1 milyar tersebut.

Pada masa sebelum tren budaya populer meraja, India akan selalu dikenal oleh para sejarawan sebagai negara yang sudah bisa melakukan praktek indianisasi di luar negaranya, termasuk Nusantara. Para sejarawan seperti Krom, Brandes begitu percaya dengan hal itu. Hal demikian dikarenakan dilihatnya dengan mata kepala sendiri praktek-praktek indianisasi dalam masyarakat Nusantara. Mulai dari masuknya ajaran Hindu-Budha, pembuatan candi, penyerapan nama-nama India yang lazim ditemukan pada masyarakat Nusantara seperti Wisnu, Bima, Arjuna, dan Arimbi, penyerapan cerita-cerita seperti Ramayana dan Mahabharata, serta penyerapan mitologi, khususnya dalam Mitologi Jawa. Meskipun begitu, praktek-praktek indianisasi tidak begitu kental dikarenakan masyarakat Nusantara mempunyai semacam kearifan lokal dengan menyertakan unsur-unsur lokal yang dirasa sesuai dengan kepribadian masyarakat Nusantara itu sendiri.

India, negara yang dikenal dengan nama anak benua Asia itu, memang juga populer dalam pelajaran sejarah mengenai peradaban dunia. Kita tentu mengenal Mohenjo Daro-Harappa. Juga Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru jika berbicara mengenai sejarah pergerakan kemerdekaan di sana. Bahkan nama terakhir akrab dengan Bung Karno sebagai sama-sama pelopor kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Dalam bahasa dan pengalaman kebudayaan, nyatanya India membawa pengaruh yang cukup besar. Bahasa di Nusantara, terutama bahasa Indonesia, menyerap beberapa kata dari India seperti khintu untuk pintu, vancana untuk bencana, dan bhusana untuk busana. Dalam pengalaman budaya, yaitu adanya konsep singa di Nusantara, yang padahal di Nusantara sendiri bukanlah habitat singa, melainkan harimau.

Pengaruh India memang cukup kuat dewasa ini, terutama dalam bidang hiburan di Nusantara. Musik dangdut bisa menjadi contoh di samping film-film sinetron bergaya India, yang lebih menjual intrik dengan latar belakang keluarga berada yang terkadang harus diselesaikan dengan air mata dan balas dendam.

Itulah India, negara yang kini mencoba menjadi negara adidaya baru bersama-sama dengan Cina dan Rusia, nyatanya telah mempunyai akar sejarah yang panjang di Nusantara ini. Bisa dibilang India itu memang benar-benar lekat dengan kita.





Selasa, 22 Januari 2013

Sungai

Sungai. Nama yang cukup erat dengan kita. Sebuah terusan alami yang terjadi melalui proses geologis, bahkan hidrologis. Bentuknya pun terkadang mengikuti geografi suatu tempat. Tak mengherankan, bila ada sungai besar yang bentuknya meliak-liuk seperti ular besar. Lalu ada juga sungai yang alirannya lurus mendatar. Kontur tanah yang kadang tinggi, kadang rendah juga mempengaruhi letak sungai.

Sungai, sudah ada sebelum manusia muncul. Ketika manusia muncul, dengan akal budinya, manusia membangun sebuah kehidupan di tepiannya. Sebuah kehidupan yang sederhana. Yang mungkin dimulai dari sebuah keluarga kecil atau komunitas yang berusaha memanfaatkan apa saja yang ada di sekitar sungai seperti tumbuhan, hewan, lalu memanfaatkan air sungai untuk digunakan sebagai pengairan bagi sawah dan ladang, mandi, mencuci, minum, serta rekreasi.

encyclopediaindonesia.com


Dari sebuah kehidupan yang sederhana itu kemudian muncullah jumlah masyarakat besar yang kemudian membentuk sebuah peradaban. Tercatat dalam lintasan sejarah manusia, peradaban-peradaban besar muncul dari tepian sungai yang memang memberikan kehidupan yang cukup vital. Lihatlah pada peradaban di Cina, India, dan Mesir. Ketiga sungai di negara itu (Yang Tse, Gangga, dan Nil) menjadi akar bagi para manusianya untuk melukiskan kisah-kisah mereka dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian menjadi sejarah bagi generasi selanjutnya. Di masa modern pun, sungai tetap punya peranan seperti di masa lalu. Chao Phraya di Bangkok dan Musi di Palembang menjadi contoh-contoh nyata ketika sungai-sungai besar yang membelah kota menjadi dua, bukannya menjadi pemisah tetapi menjadi pemersatu. Manusia yang hidup di tepian dan sekitar sungai itu memanfaatkan betul bahwa sungai memang mempunyai peranan penting terutama dalam transportasi.

Di sungai pulalah legenda-legenda pun bergaung. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya tentu mempunyai rasa, karsa, dan cipta. Maka, dengan kemampuannya itu, manusia, terutama yang tinggal di dekat sungai mengonstruksi realitas-realitas yang berkenaan dengan sungai. Namun konstruksi itu bersifat irasional. Ini dikarenakan manusia tidak bisa memahami dengan nalarnya secara baik tentang kejadian-kejadian di sungai. Kemudian muncullah legenda tentang dewa sungai, makhluk misterius penunggu sungai seperti peri, hewan, monster, bahkan siluman dan hantu. Keadaan yang demikian akhirnya membuat manusia melakukan tradisi berupa ritual-ritual yang berisi nasihat, anjuran, dan larangan. Di sungai jugalah manusia bertemu pencipta-Nya. Sungai pun menjadi medium suci vertikal-horizontal. Ini yang dilakukan umat Hindu di India pada Sungai Gangga yang mereka anggap suci airnya. Sungai pun juga tercatat dalam kisah-kisah kitab suci seperti kisah penghanyutan Musa oleh ibunya sendiri ke Sungai Nil demi menghindari kejaran pasukan Firaun atau kisah pembaptisan Yesus di Sungai Yordan.

Namun sungai juga bisa membawa bencana. Banjir menjadi bencana yang identik dengan sungai. Meluapnya air ke daratan karena tidak kuat menampung aliran dari hulu di pegunungan menjadi faktor utama yang berasal dari siklus hidrologis yang terkadang tanpa henti. Meski begitu, faktor manusia juga mempengaruhi, bahkan melebihi. Alih fungsi lahan, buang sampah sembarangan ke sungai, dan pembangunan rumah di bantaran kali hingga permukaan sungai menyempit menjadi faktor yang tidak bisa dihindari ketika banjir datang. Contoh paling muktahir adalah banjir yang terjadi di Jakarta. Di musim hujan yang intens, Sungai Ciliwung yang seharusnya bisa dengan lancar mengalirkan air dari hulunya di Puncak malah harus meluapkan isinya ke daratan sebab faktor kerusakan-kerusakan ekologis yang telah membudaya. Bisa ditebak, Jakarta sebagai Ibu Kota pun terendam selama beberapa hari. Ekonomi pun lumpuh. Kerugian entah berapa milyar. Beberapa solusi mulai disuarakan. Mulai dari pembuatan waduk, sodetan, bahkan pemindahan Ibu Kota. Sayang, semua menjadi percuma kalau saja yang ada di hulu serta perilaku manusia tidak diperbaiki.

Sungai, sejujurnya anugerah terindah, terutama di Nusantara ini. Melalui sungai, muncul beberapa kerajaan yang pernah membawa kejayaan Nusantara. Dari sungailah, muncul juga kebudayaan yang berbeda-beda. Hanya saja semua itu bisa menjadi mimpi buruk karena manusia yang hidup di sekitarnya.

Senin, 21 Januari 2013

Banjir Jakarta

Seperti sebuah pesta yang dinanti-nanti
Semua-semua menjadi sarang persiapan
lalu mulai menghitung-hitung dan mereka-reka
kemanakah air coklat keruh kan mengalir

Seperti sebuah pesta yang telah dihikayatkan
beragam sajian masa lalu diumbar-umbar
mengukur ketinggian-ketinggian yang pernah terjadi
kemudian mencari-cari solusi yang nyata cuma sesaat
hangat-hangat tahi ayam
pada akhirnya terninabobokan lagi selama 5-6 tahun


Minggu, 13 Januari 2013

Ya, Sudah, Manipulasi Saja


Benda itu terlihat mungil. Bentuknya kotak tetapi di tiap sisi permukaannya agak melengkung dan tidak lurus. Di atas bentuknya itu tertera layar sebesar 5 inci. Layar itu hampir memenuhi semua bidang kotak tersebut. Warnanya yang hitam membuatnya tampak elegan apalagi layarnya yang terlihat mengilap. Pas untuk ngaca.
Hm, benda ini memang praktis, gumam Wina ketika memperhatikan benda yang berupa telepon genggam cerdas alias smartphone ini di mejanya sekarang. Telepon genggam itu ia peroleh dari redakturnya, yang beberapa menit sebelumnya memanggil dirinya masuk ke ruangan, lalu memperlihatkan dan menyerahkan pada dirinya.

“Kamu tolong tulis ini ya,” kata redakturnya dengan senyum manis yang terkesan dibuat-buat. Wina memang sudah tahu kalau ia dipanggil pasti disuruh menulis tentang sebuah produk, tetapi pasti produk yang spesial.
“Produk dari mana ini, pak?” tanya Wina yang bertanya sedikit curiga dan pura-pura tidak tahu. Padahal ia tahu. Sebuah produk dari “negeri tirai bambu” Cina. Ia tahu itu dari namanya.

“Dari Cina, Wina,” kata redakturnya santai.

Wina yang tahu redakturnya itu mensahkan pertanyaan itu segera bertanya dalam hatinya, Hah, apa istimewanya? Luarnya aja bagus, dalamnya nggak.

“Kenapa ini yang harus saya tulis, pak?” tanya Wina penasaran, “Kan bapak tahu sendiri produk-produk begini mana ada yang berkualitas,”

“Iya, saya tahu,” jawab redakturnya datar, “Tapi, mereka bayaran cukup besar ke kita kalau ini ditulis. Sudah kamu sekarang jangan banyak nanya. Tulis saja. Kalau perlu manipulasi. Ingat! Kita semua mau makan apa kalau nggak ada yang ditulis?”

Wina terdiam mendengar ucapan redakturnya itu yang terkesan pragmatis. Ia lalu undur diri, dan segera menuju mejanya. Di mejanya itu, Wina mulai mengamati telepon genggam itu luar-dalam. Pertama ia coba masukkan telepon genggam itu ke dalam saku celananya. Oke, masuk dan muat. Lalu ia nyalakan layar. Sip! Terang sekali. Kemudian ia mulai mengoperasikan kamera di dalam telepon genggam tersebut. Hm..terang sih cuma sedikit kabur. Seterusnya ia mulai menyelami apa yang ada dari telepon genggam itu. Aplikasinya, open sourcenya, hingga tetek-bengek yang lain. Hasilnya, mengecewakan! Apalagi soal baterai. Cuma tahan beberapa jam terus drop lagi.

Yah, yang beginian mau ditulis? Nggak qualified banget! Gumamnya kesal. Jujur, Wina ogah menulis tentang telepon genggam yang ia anggap bagus luar, jeblok di dalam. Memang murah harganya. Paslah untuk kalangan low-end. Tetapi harga murah, kemampuan juga murah.

Ah, dasar redaktur pragmatis!” ujarnya kesal kembali kepada redakturnya yang menugaskan dirinya menulis tentang telepon genggam itu. Wina berpikir sejenak setelah itu. Ini bagaimana menulisnya, gumamnya lagi. Bingung, ia coba membuat moccacino lalu meneguknya supaya dapat inspirasi. Di mejanya komputer beserta tutsnya sudah siap dijamah untuk mewadahi apa yang ia pikirkan. Tak hanya itu beberapa foto dan catatan-catatan juga tertata rapi di mejanya. Siap menemani dirinya. Di seberang meja tampak temannya yang juga sedang sibuk menulis sebuah produk. Ia intip sebentar. Oalah, sebuah produk dari Korea. Oh, senangnya, gumamnya ingin menulis produk itu.

Usai meneguk moccacino sebentar, ia mulai menulis. Perlahan hingga membentuk sebuah kalimat. Ya itulah yang setiap hari dikerjakan Wina. Menulis, melaporkan sebuah produk elektronik, terutama telepon genggam dari segala macam merek untuk kemudian dimasukkan ke dalam majalah tempat ia bekerja. Ia memang wartawan sebuah majalah gadget ternama di ibu kota. Pemberitaan majalah ini sering menjadi referensi utama para pecinta dan pemburu gadget. Meski sekarang banyak bermunculan majalah sejenis, tetap majalahnya yang menjadi buruan utama.

Sudah hampir dua tahun Wina di majalah ini. Sebuah pekerjaan yang ia lakoni semenjak lulus kuliah. Keinginan menjadi wartawan, terutama wartawan majalah gadget, tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mengingat latar belakang pendidikannya berasal dari perguruan tinggi keguruan yang sudah pasti menjadi guru, konsultan, atau praktisi pendidikan. Namun karena menyukai gadget dan gemar mengutak-atik, ia putuskan melamar di sebuah majalah yang sekarang jadi tempatnya bekerja saat majalah itu membuka lowongan di surat kabar. Wina sama sekali tidak berpikir apa-apa saat melamar. Ia merasa buta dengan dunia jurnalistik. Dan benar ia buta ketika lamarannya diterima. Perlahan ia mulai diajari gaya menulis jurnalistik, terutama tulisan untuk menulis sebuah produk. Sifatnya deskriptif. Sebab tidak biasa dan memang jarang menulis, pada awalnya ia kagok, terutama untuk kosakata. Namun, lama-kelamaan, ia pun lancar menggambarkan produk itu dalam tulisannya. Sesuatu yang membuat ia dipertahankan oleh atasannya.
Awalnya juga Wina tidak menyadari bahwa menulis di media massa itu berarti harus mengikuti ketentuan yang berlaku. Ia harus menulis berdasarkan keinginan si pemilik modal atau perusahaan yang biasanya disuarakan melalui pimpinan redaksi. Atau malah melalui keinginan pengiklan. Hal demikian memang agak berlawanan dengan keinginannya ketika dahulu, sewaktu melamar, ingin memberitakan kepada masyarakat produk-produk yang bermutu melalui tulisan-tulisannya. Memang teorinya seperti itu. Tetapi prakteknya berbeda. Namun, mau bagaimana lagi, ia tidak bisa melawan sebab ia hanyalah seorang wartawan serta penulis yang harus mau menulis apa saja. Kalau sudah begini independensi menjadi tak berarti.

“Ini kan bukan majalah berita, Win,” ujar temannya, Sapta, saat mereka berdua, pada suatu hari, tengah berada di sebuah kafe kecil dekat kantor, “Ini kan majalah life style. Mencari sesuatu yang ringan bukan serius,”

“Ya gue tau,” Wina membalas, “Tetapi kan kita wartawan. Tau kan kerja wartawan itu apa? Memberitakan, melaporkan sesuai fakta bukan fiktif. Nggak peduli medianya apa,”

“Gue rasa lo lebih baik televisi atau majalah berita aja,” kata Sapta menyimpulkan, “Independensi lo dijaga,”

“Ah, gue nggak ada niat ke sana,”

Biasanya, kalau sudah begini, ia akan bergumam dalam pikirannya, ih, coba gue yang jadi pemilik modal di sini. Handphone ecek-ecek nggak gue kasih tempat. Tetapi, ia juga sadar rasanya itu sulit karena toh pemilik modal hanya memikirkan keuntungan semata supaya bisnis medianya tetap berjalan, dan bisa menggaji para karyawannya. Mana ada pemilik modal yang tidak praktis. Kalaupun ada pasti sedikit jumlahnya.

Jam menunjukkan pukul 12 siang, Wina bergegas ke luar kantor menuju ke sebuah rumah makan di dekat kantornya bersama dengan teman-temannya. Mulailah mereka saling berbincang tentang apa yang tadi dikerjakan.

“Enak nih yang dapat penugasan menulis handphone Korea,” ujar Wina kepada salah satu temannya, Hendri. Hendri segera membalasnya,

“Enak apa?” kata Hendri menjawab berlawanan, “Ribet tau! Bagus sih bagus tapi gue jadi bingung nulisnya kaya gimana. Nah lo?”

“Hm...handphone Cina,”

Lantas semua pada tertawa.

Nggak lucu deh,” kata Wina kesal.

“Kok bisa, Win?” tanya Rani.

“Tau tuh Pak Zul,” kata Wina masih kesal, “Nggak jelas,”

“Emang Pak Zul nggak jelas,” kata Rindra, “Baru tau lo,”

Semua pada tertawa kembali. Wina yang melihatnya kembali risi.

“Hm...semuanya bisa ganti topik nggak?”

Mereka yang mendengarnya langsung bereaksi,

“Iya, Bu Wina,”

Mereka lalu berjalan ke arah rumah makan yang dituju. Wina, yang rupanya sudah menyelesaikan tulisannya dalam waktu sejam untuk dua halaman, disms oleh redakturnya,

“Wina, saya sudah lihat tulisanmu. Sudah saya baca. Tulisanmu bagus, dan cukup mewakili pihak pengembang. Rupanya bisa juga kamu manipulasi,”

Wina hanya tertawa dalam hati setelah melihat sms itu. Ya iyalah bagus orang nggak boleh ditulis yang jeleknya. Tak berapa lama kemudian sampailah ia di rumah makan yang dituju, dan ketika itu,
Ah, udahlah yang penting gue udah nulis. Kelar! Mau ntar dibilang bagus atau nggak itu belakangan deh.



Sabtu, 12 Januari 2013

Kumis

Dalam dua hari terakhir ini, situasi politik Indonesia sedang hangat-hangatnya. Banyak berita seputar politik yang pantas untuk diperbincangkan. Namun, ada satu yang dirasa membuat orang terkejut, bahkan boleh dibilang tak menyangka.

Sebut saja nama itu: Roy Suryo. Hampir semua media massa dan juga media sosial, bahkan diskusi sampai akar rumput pun tak lepas dari nama ini. Seseorang yang cukup dikenal sebagai ahli telematika. Keterkenalannya lebih lagi karena dia menjabat Menpora menggantikan Andi Mallarangeng yang terkena kasus korupsi proyek Hambalang. Yah, banyak yang meributkan kapasitas Roy Suryo bisa memangkul jabatan politis itu. Mereka jelas meragukan, dan bahkan mencibir. Kemudian banyak permasalahan sudah menunggu. Terutama masalah PSSI-KPSI.

Tapi, yang unik adalah pada fisik Roy Suryo yang berkumis itu. Ramai-ramai semua media memberitakan kumis Roy Suryo yang kemudian dikaitkan dengan Menpora-Menpora sebelumnya yang selalu berkumis, seperti Andi Mallarangeng dan Adyhaksa Dault. Kemudian muncullah opini dinasti berkumis Menpora. Juga selentingan: jadi Menpora itu harus berkumis dulu...hm...

Kumis. Ya kumis. Nampaknya ini memang sesuatu yang unik. 

Kumis, rambut yang tumbuh di atas bibir. Identik dengan pria. Lambang dari kegagahan, kewibawaan, ketampanan, dan gairah seksual tinggi. Pria berkumis memang kerap disukai wanita. Sebab libidonya itu. Kumis pun ada tebal. Ada yang tipis. Dalam  sejarah kehidupan manusia, tokoh-tokoh terkenal juga banyak yang berkumis. Sebut saja Adolf Hitler, Salvador Dali, dan Charlie Chaplin. Kumis yang dimiliki mereka pun menjadi tren.

Di Indonesia, Komodor Udara Ignatius Dewanto, salah satu tokoh Angkatan Udara Indonesia, juga mempunyai kumis. Namun kumisnya tebal. Karena itu, Bung Karno menjulukinya Werkudoro, salah satu tokoh dalam pewayangan yang juga berkumis. Juga berwibawa.

inilah.com
Pertanyaannya? apakah dengan berkumis, Roy Suryo yang melanjutkan dinasti berkumis, bisakah mempunyai sikap yang berwibawa, jantan, serta kalem dalam menghadapi setiap permasalahan. Hm...jika dilihat dari rekaman media selama ini, tingkah lakunya mungkin sedikit paradoks. Atau seperti kata orang saja: yang penting ada kumisnya. Tapi, kita lihat saja. Waktu yang akan menjawab.

Jumat, 11 Januari 2013

Raksasa Memang Rakus

Sewaktu kecil, oleh orangtua kita, sering kita ditakut-takuti kala menjelang tidur siang atau sore menjelang malam. Kata-katanya seperti ini: ayo tidur, kalo nggak tidur nanti diparanin buto ijo, Eh, ayo pulang udah mau malam nanti ada kolong wewek atau genderuwo. Tentu saja, kata-kata itu bagi anak kecil cukup membuat mereka takut lalu patuh. Soalnya, sosok-sosok yang tersemat dalam kata-kata itu adalah sosok-sosok yang menyeramkan dan menakutkan. Bahkan boleh dibilang sosok berbadan besar. Lebih tepatnya lagi, raksasa.

serbagratis2012.blogspot.com

Raksasa. Ya Raksasa. Kata ini jamak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti tulisan di atas, kata ini merujuk pada ukuran yang besar atau ukuran yang lebih normal. KBBI pun punya definisi untuk soal ini:
---makhluk yang menyerupai manusia, konon berbadan tinggi besar, gergasi, buta. Kemudian definisi kedua:
----sesuatu yang sangat besar, sangat terkenal di bidang tertentu.

Nah, merujuk pada definisi pertama, perawakan raksasa memang demikian: menyerupai manusia tetapi berbadan tinggi besar dengan tampang menakutkan. Hal ini sesuai dengan penceritaan di seluruh dunia yang menyatakan bahwa raksasa adalah bangsa dengan penggambaran seperti itu, namun mempunyai sifat yang bodoh, bengis, pemakan manusia, bahkan kanibal. Di bahasa Indonesia, kata raksasa sendiri berasal dari rhakshasa, kata dari bahasa Sansekerta, yang berarti kejam. Di dalam Mitologi Hindhu-Buddha, penggambaran itu tak jauh beda untuk makhluk yang konon diciptakan dari kaki Brahma tersebut. Dari kata raksasa kemudian muncul kata rakus yang berasal dari kata rakhosh, berasal dari bahasa Bengali. Di bahasa Indonesia, rakus diartikan untuk merujuk pada orang yang makan tanpa batas, tamak.

Dari penggambaran itu sudah bisa dibilang raksasa memang identik dengan kekejaman, kebengisan, dan kerakusan. Meskipun, ada juga raksasa yang mempunyai sifat sebaliknya seperti dalam cerita satir-humor Perjalanan Gulliver.

Namun, dalam kenyataannya, lebih banyak raksasa yang memang seperti cerita-cerita dongeng atau legenda. Hanya, raksasa-raksasa ini tidak lagi mengacu pada persona saja, namun pada organisasi. Contohnya, perusahaan raksasa, klub sepak bola raksasa, atau negara raksasa (adidaya).

Mengenai itu, saya ada sebuah contoh kasus. Suatu ketika, saya diundang teman saya untuk bertandang ke kantornya di Saharjo. Dia seorang pemilik dan juga pemimpin penerbit. Penerbitnya menerbitkan buku-buku keislaman. Akan tetapi, penerbitnya merupakan penerbit kecil, dan belum banyak dikenal orang. Karena kecil, staf-stafnya pun cuma sedikit. Ini sama dengan tempat saya bekerja dulu, sebuah penerbitan di Depok. Saya lalu bertanya kepada salah satu stafnya, mengapa tidak minta bantuan penerbit besar saja untuk membantu mempromosikan buku-buku penerbit ini. Dia bilang, pernah, tetapi penerbit besar itu, atau saya boleh bilang raksasa itu, ketika sudah selesai promosi dan kerja sama, sama sekali tidak mau memberikan keuntungan. Bahkan, untuk pencantuman hak cipta itu, harus atas nama mereka. Tentu saja itu membuat penerbit teman saya itu merugi. Dan, akhirnya, tidak mau bekerja sama lagi dengan penerbit besar yang dianggap rakus, semua-semua harus dimiliki mereka. Penerbit teman saya itu pun akhirnya memilih jalan gerilya daripada harus menanggung rugi lebih banyak.

Melihat contoh di atas pun kita sudah bisa menyatakan bahwa sesuatu yang bersifat raksasa itu kerap merugikan. Menyerobot atau mematikan yang kecil dengan cara harus tunduk pada peraturan yang dibuat demi kepentingan mereka semata. Di dalam dunia internasional pun sering terdengar negara-negara raksasa seperti Amerika kerap memangsa negara-negara kecil tak berdaya hingga hancur lebur. Maka, saya simpulkan raksasa memang rakus.

Rabu, 09 Januari 2013

Rumah Sakit, Kerja Sama, dan Toko Bunga

Belanda, negeri kecil di Barat Eropa. Sebutan "negeri kincir angin" memang tepat untuk negeri yang satu ini karena di sana memang banyak kincir angin yang difungsikan untuk mengeringkan air laut dan menjadi daratan. Belanda, akrab di telinga masyarakat Indonesia, dikarenakan aksi negara ini kepada Indonesia yang berlangsung selama hampir 350 tahun, meskipun 350 tahun itu hanya ada di Pulau Jawa, dan juga ditentang G.J.Resink dalam bukunya, Bukan 350 Tahun Dijajah. Tetapi, apapun itu, saya tidak akan membahas mengenai sesuatu yang nyata-nyata bersifat politis tersebut. Di sini saya akan membahas salah satu peninggalan Belanda.

Sebab sudah lama bercokol di republik ini, Belanda tentu saja meninggalkan banyak sekali apa yang telah dikerjakan. Baik dalam bentuk fisik dan juga mental. Baik terlihat dan tidak terlihat. Baik disadari maupun tidak. Semua itu ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Salah satunya bahasa. Jamak diketahui jika bahasa Indonesia tentu banyak menggunakan kata serapan atau pinjam dari Belanda. Kebanyakan berada pada ranah ilmu pengetahuan, kesehatan, transportasi, dan juga kuliner. Ada sekitar 3.000-an kata serapan Belanda dalam bahasa Indonesia. Menjadikannya sebagai serapan terbanyak di antara serapan-serapan lainnya.

Dari serapan-serapan itu ada serapan yang berbentuk tunggal. Ada juga yang berbentuk jamak. Ada yang diserap mengikuti lidah masyarakat. Ada yang diserap seperti bentuk aslinya. Dan diserap kemudian diterjemahkan. Di sini saya mau membahas serapan yang kemudian diterjemahkan. Biasanya ini kebanyakan terjadi pada kata majemuk atau penggabungan dua kata atau lebih menjadi satu kesatuan kosakata. Di Belanda sendiri istilah ini disebut samenstelling.

Baiklah, tanpa banyak basa-basi, saya langsung pada sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia yang berisikan kata majemuk tersebut:

"Di dekat rumah sakit mereka bekerja sama membuat toko bunga"

Sepintas kalimat di atas terlihat biasa saja. Terlihat wajar, dan tidak mempunyai permasalahan. Namun, bagi mereka yang mempunyai latar belakang bahasa Belanda, tentu bisa menebak bahwa kata-kata majemuk dalam kalimat tersebut diserap dari bahasa Belanda. Hm...bagaimana bisa? tentu saja bisa. Mari sekarang kita runut satu per satu kata-kata majemuk itu yang berjumlah 3.
1. Rumah sakit
2. (be) kerja sama
3. Toko bunga

Mari sekarang kita pereteli.

Rumah sakit. Gabungan dari rumah+sakit. Tempat untuk merawat orang sakit. Setelah ditelusuri berasal dari dua kata dalam bahasa Belanda, zieken+huis yang kemudian menjadi ziekenhuis. Zieken adalah jamak dari sakit yang merujuk pada orang-orang yang sakit, sedangkan huis berarti rumah.

Kata kedua: kerja sama. Menurut KBBI: kegiatan yang dilakukan beberapa orang (lembaga, pemerintah, dsb) untuk mencapai tujuan bersama. Gabungan dari kata kerja+sama. Berasal dari bahasa Belanda samenwerken yang merupakan gabungan dari samen+werken. Samen berarti bersama-sama atau bersama sedangkan werken, infinitif dari werk, berarti kerja.

Terakhir: Toko bunga. Toko yang khusus menjual berbagai macam bunga. Gabungan dari toko+bunga. Berasal dari kosakata bloemenwinkel. Gabungan dari bloemen+winkel. Bloemen berarti bunga. Jamak dari bloem. Sedangkan winkel berarti toko.

Contoh-contoh di atas hanyalah sekian dari contoh-contoh yang sebenarnya beredar dalam kehidupan sehari-hari. (kantor pos, sakit kepala, sakit perut, kepala sekolah, tanda tangan, dan lain-lainnya). Hanya memang banyak dari kita yang tidak menyadari. Saya sendiri baru menyadari ini ketika kuliah sejarah bahasa Belanda pada 2006 saat membahas kata majemuk serapan dari Belanda yang ada pada bahasa Indonesia. Belanda sendiri, juga Jerman, dan Sansekerta adalah bahasa-bahasa yang sering menggunakan kata majemuk dalam kosakatanya. Hal yang demikian pun berpengaruh pada negara bekas jajahannya. Sedangkan Inggris dan Prancis amat sedikit untuk kata majemuk mengingat kebanyakan dari kosakata mereka menyerap bahasa latin yang terlihat lebih ringkas dan melingkupi subjek, predikat, dan objek.

Selasa, 08 Januari 2013

Oh, Parahyangan

skripinsan.wordpress.com

Orang bilang Tuhan menciptakanmu dengan senyuman
Tangan-Nya melukiskan rasa-rasa yang indah
Mulut-Nya menitahkan keanggunan padamu
dan mata-Nya terlihat begitu mengagumimu

Tuhan membuat diriku terpesona melihatmu
dalam kehijauan juga kesejukan
Melayang di ranah surga
penuh dengan mahadewi
bidadari pengumbar senyum
Menikmati setiap tuturan halus yang keluar
membentuk bagai nada-nada elok

Sungguh memang engkau mempesona
tertakjub rasa ini tiap kali menengokmu
anugerah yang tak boleh kulepaskan begitu saja
Untunglah ia menciptakan dirimu memang untukku
Oh, Parahyangan

Senin, 07 Januari 2013

Singa

knowledgeoverflow.com
Singa, binatang buas. Identik dengan hutan dan sabana Afrika. Penguasa alam rimba. Auman dan tingkah lakunya ditakuti semua penghuni hutan dan sabana. Bahkan manusia sekalipun. Yang lalu berusaha hati-hati dan menghormati. Singa, si kucing besar, selalu menjadi tontonan gratis untuk kita yang jauh dari habitatnya. Tinggal klik dan nyalakan televisi, kita pun disuguhi sepak terjang si raja hutan melalui Discovery Channel atau National Geographic. Sepak terjang yang utama, menerjang mangsa yang kebanyakan binatang-binatang herbivora.

Singa memang binatang buas. Suka menyerang manusia, jika manusia itu mengganggu habitatnya. Akan tetapi, manusia sebagai insan budaya yang dianugerahi rasa, karsa, dan cipta, tentunya mempunyai penghargaan yang khusus dan istimewa terhadap binatang dari keluarga Felidae ini. Lihatlah! Dalam berbagai kebudayaan, terutama kebudayaan-kebudayaan yang sudah berusia ribuan tahun seperti Mesir, Babilonia, India, dan Cina, singa akan selalu mendapat tempat dalam cerita-cerita, baik cerita keagamaan, kepahlawanan, dan juga mitos. Singa akan selalu digambarkan sebagai binatang yang mempunyai keberanian dan wibawa. Menjadi penjaga pintu gerbang di Persia, membawa panji dan pedang di Babilonia, serta menjadi wahana Durga di India. Dalam kebudayaan Arab pun, nama singa selalu menjadi nama yang istimewa. Assad, kosakata singa untuk masyarakat di sana, akan selalu disematkan pada orang yang mempunyai keberanian dan wibawa sehingga ia disegani dan ditakuti. Salah satu contohnya, sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar bin Khattab, yang dijuluki "singa padang pasir".

Kemunculan singa di  wilayah-wilayah tersebut erat kaitannya dengan keberadaan singa pada masa prasejarah yang membentang dari Afrika hingga India. Dalam bentangan itu, wilayah Eropa Timur dan Turki juga termasuk. Kemunculan itu yang kemudian membekas dalam masyarakat kebudayaan-kebudayaan di wilayah-wilayah tersebut.

Namun dalam penggambaran itu, ada sesuatu yang menarik untuk dicermati. Kemunculan singa nyatanya juga sampai ke Asia Timur dan Tenggara. Ini terlihat dari gambaran-gambaran singa dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada. Di Cina, singa muncul dalam bentuk barongsai, di Tibet ia menjadi lambang dalam bendera Tibet, di Jepang ia muncul di Kabuki, di negara-negara Asean seperti Indonesia, Thailand, dan Myanmar, ia menjadi penjaga candi, nama kerajaan, dan nama sebuah bir. Bahkan ada satu singa yang cukup terkenal hingga ke seluruh penjuru dunia. Singa itu adalah Merlion. Ikon dan lambang dari Singapura, sebuah nama yang konon katanya berasal dari ucapan Sang Nila Utama, pangeran dari Sriwijaya yang melihat binatang misterius yang ia sebut singa.

Tentu saja menjadi pertanyaan mengapa singa yang habitatnya hanya sampai India bisa ada dalam kebudayaan-kebudayaan di Asia Timur dan Asia Tenggara, yang notabene memang nihil hidup di sana? Jawabannya: pengaruh Hindu-Budha dan pengalaman kebudayaan. Asia Timur dan Asia Tenggara yang wilayahnya letaknya berdekatan dengan wilayah-wilayah kebudayaan besar memang mudah untuk dimasuki budaya-budaya yang dibawa dari situ. Mengenai singa, sang penutur membawa pengalaman kebudayaan mengenai sebuah binatang buas, berkaki empat, berkuku runcing, dan seperti kucing yang kemudian diterima, dan dimasukkan dalam kebudayaan-kebudayaan mereka sehingga terciptalah singa-singa di wilayah itu.

Dalam kasus Singapura, bagaimana Sang Nila Utama, yang sudah terpengaruh oleh konsepsi tentang singa sehingga ketika bertemu binatang buas, tanpa ragu ia menyebutnya singa dan mendirikan wilayahnya dengan nama Singapura atau Kota Singa. Setelah ditelusuri bahwa singa nihil hidup di wilayah itu, maka diambil kesimpulan apa yang dilihat Sang Nila Utama adalah harimau malaya.

Di Indonesia, yang juga terpengaruh Hindu-Budha, seperti disebut di atas, nama singa juga muncul di Nusantara ini. Selain sebagai penjaga candi, nama sebuah kerajaan di Jawa Timur, ia juga menjadi nama dalam Mitologi Batak, nama sebuah kecamatan di Tasikmalaya, nama sebuah ibu kota kabupaten di Bali, nama sebuah makhluk dalam Mitologi Bali,  nama sebuah maskapai penerbangan, dan juga nama sebuah julukan bagi sebuah klub sepak bola di Malang. Jelas nama bukanlah sekedar nama. Penamaan demikian dikarenakan adanya sifat yang terkandung dalam satwa tersebut. Seharusnya ini yang ada pada setiap orang di Indonesia, terutama pemimpinnya. Mempunyai sifat seperti singa: pemberani dan berwibawa untuk menghadapi situasi dan kondisi yang berlaku sekarang di negeri ini.

Sabtu, 05 Januari 2013

Kok Begitu

Kok kamu begitu bicaranya
tidak sopan
tidak punya etika

Kok kamu begitu tingkah lakunya
tidak ada tata krama
tidak punya rasa hormat

Saya heran sama bicara dan tingkah laku kamu
kok melebihi orang dewasa
memang umur kamu berapa nak

Jumat, 04 Januari 2013

Menerjemahkan (Memang) Tidak Gampang

Suatu hari, di sebuah kelas pascasarjana komunikasi UMB, sebuah perbicangan terjadi. Perbincangan itu berkisar pada sebuah buku tentang komunikasi berjudul Teori Komunikasi: Theories of Human Communication yang ditulis oleh Stephen W. Littlejohn dan Karen A.Foss. Bukan bagaimana materi, cara mendapatkan, dan harga buku yang diperbincangkan, melainkan terjemahannya yang dinilai membingungkan. Banyak dari mahasiswa itu, yang kebanyakan memang teman-teman saya, mengeluhkan terjemahan bahasa Indonesia buku tersebut. Malah mereka beranggapan lebih baik dalam bahasa aslinya saja. Lalu salah seorang teman saya bilang kalau si penerjemah ini tidak mengerti sama sekali istilah-istilah komunikasi sehingga ia terkesan menerjemahkan secara harfiah saja tanpa melihat konteks. Bisa dibilang juga ia gagal karena hanya, katakanlah, jago dalam bahasa yang dikuasainya saja sehingga mengalami kesulitan dalam penerjemahan. Saat saya membacanya pun, jujur, saya juga mengalami kesulitan memahami.

Dari perbincangan itu, saya pun jadi teringat, bahwa pada masa yang lalu, ketika masih duduk di bangku kuliah S1 di UI, saya juga pernah melakukan hal yang sama: menerjemahkan teks-teks Belanda. Baik itu di sejarah, arkeologi, dan juga sastra Jawa ---perlu diingat di Sastra Jawa ada tokoh peneliti sastra tersebut dari Belanda bernama P.J. Zoetmulder, yang karya-karyanya kebanyakan dalam bahasa Belanda. Saya akui, saya juga mengalami hal yang sama: stagnan dan kesulitan pada beberapa kata yang kalau diterjemahkan menjadi sangat aneh kedengarannya apalagi saat dibaca. Boleh dibilang, dengan kata lain, tidak umum bagi kebanyakan orang. Kalau sudah begitu, biasanya saya rada pusing. Padahal, kalimat yang hendak diterjemahkan itu hanya beberapa baris kalimat. Tapi, penting. Akhirnya, untuk mengalami kesulitan itu, saya mengecek di kamus Belanda-Indonesia atau Belanda-Belanda sambil mencari lema dan entri katanya. Kalau ketemu, saya cukup bersyukur, lalu saya cocokkan dengan teks dan bisa mengambil kesimpulan bagaimana menerjemahkannya. Kalau tidak ketemu, ya mau tidak mau, diraba-raba saja.

Ketika masih di kuliah S1 itu juga, saya mendapatkan mata kuliah penerjemahan. Kalau di bahasa Belanda, namanya vertaling. Oke, awalnya saya memang menyukai mata kuliah ini. Tentang penerjemahan soalnya. Siapa yang tidak suka. Apalagi sudah sering menerjemahkan. Namun, lama kelamaan, saya malah pusing ketika mengikutinya. Banyak kesulitan yang saya alami. Lalu saya berkesimpulan: menerjemahkan itu tidak gampang.

Itu memang betul. Menerjemahkan itu, secara harfiah, memindahkan sebuah teks dari bahasa aslinya ke bahasa yang setiap kali kita tuturkan. Tujuannya, supaya kita mendapatkan gambaran dari sang penulis dengan mudah, terutama soal pemikirannya. Tetapi, ya seperti itu tadi, urusan pemindahan itu bukanlah hal gampang belaka. Apalagi jika berkaitan dengan budaya-budaya atau kebiasaan yang berlaku dan menjadi latar belakang si penulis. Tentu saja yang demikian harus disesuaikan atau diberi tanda kutip, juga catatan sehingga pembaca tidak kebingungan. Inilah yang kebanyakan tidak disadari ketika menerjemahkan.

Satu contoh saja, pada saat kelas kuliah penerjemahan, suatu ketika saya pernah mendapat artikel tentang Bo, anjingnya Barrack Obama. Artikel itu kelihatan simpel ketika dibaca namun saat diartikan menjadi ribet apalagi ketika hendak menerjemahkan ras anjingnya Obama ke bahasa Indonesia. Di artikel itu tertulis dalam bahasa Belanda yang saya artikan begini: Anjing air Portugis. Hm...kalau diterjemahkan secara harfiah seperti itu, tentu makna yang diinginkan meleset. Akhirnya, diambil kesepakatan untuk menuliskan nama latinnya saja, Canis Lupus subsp.familiaris. Lalu di kuliah itu, pernah saya menerjemahkan tentang ciri-ciri badan si anjing itu yang terjemahkan harfiah, dan malah terkesan ngaco. Dosen saya pun, yang memang ahli dalam penerjemahan, menaikkan kerut. Bingung. Dan bilang: ngasal!

Menerjemahkan itu memang tidak gampang. Sebab ketika menerjemahkan dibutuhkan juga pengalaman, bakat, dan pengetahuan umum. Ini kata Benny Hoedoro Hoed, si ahli semiotika terkenal, dan pernah jadi promotor mantan dosen saya. Ketiga unsur itu, menurut beliau, terdiri gabungan pengetahuan atau intelegensi (kognitif), rasa bahasa (emotif), dan keterampilan menggunakan bahasa (retoris). Ia juga menekankan bahwa penerjemah sebaiknya tidak harus menerjemahkan naskah segala bidang, dan harus menguasai kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Kalau tidak menguasai itu semua ya, bisa dibilang akan gagal seperti contoh kasus di atas.

Saya pernah membaca sebuah artikel bagaimana seorang penerjemah terkenal seperti Listiana Srisanti, yang menerjemahkan serial Harry Potter, karena pengalamannya bisa mengatasi kesulitan ketika berhadapan dengan kalimat seperti ini: Where the hell am I. Ia lalu terjemahkan itu dengan kalimat: Di mana gerangan saya. Jika dilihat sepintas kalimat itu sudah logis. Orang tahu dan mengerti apa itu gerangan. Bayangkan jika itu diartikan secara harfiah saja. Nah, silakan Anda bayangkan sendiri.

Namun dalam penerjemahan dibutuhkan juga seorang editor. Editor ini hendaknya juga harusnya mengerti dengan apa yang diterjemahkan. Boleh dibilang, dia harus dari latar belakang bahasa yang sama. Sebab, jika dari latar belakang yang sama akan terjadi kesinkronan antara penerjemah dengan editor. Tapi, kalau beda ya lain ceritanya. Saya punya pengalaman. Mantan dosen saya pernah menerjemahkan sebuah buku berjudul Melintasi Dua Jaman karangan Elien Utrecht. Buku itu mengenai kisah seorang wanita bernama Elien Utercht yang menjalani masa hidupnya di dua negara: Indonesia dan Belanda. Boleh saya bilang sih buku tentang pascakolonial. Cuma, ada teman saya yang kurang sreg dengan terjemahan dosen saya itu. Bilangnya: kacrut. Karena penasaran, ketika ada bimbingan akademis, saya tanyakan kenapa. Mantan dosen saya bilang itu karena editornya, Koesalah Soebagyo Toer ---adik dari almarhum Pramoedya Ananta Toer, berlatar belakang sastra dan bahasa Rusia. Dapat dikatakan, ia tidak mengerti terjemahan yang berasal dari bahasa Belanda. Akibatnya, terjadilah kekacauan. Mengapa editornya yang dipilih itu beliau? kata mantan dosen saya itu hak penerbit. Ya, kalau sudah begini, menurut Benny Hoedoro Hoed lagi, penerbit, terutama editornya sering memaksakan naskah itu dengan alasan: yang penting bahasa Indonesia sesuai kosakata, lalu naskah itu layak jual dan laku. Lupa dengan akurasi dan ketepatan.

Menerjemahkan itu, sebenarnya, menyenangkan. Dengan menerjemahkan kita bisa mengetahui budaya dan perilaku sosial yang berasal dari negara yang bersangkutan. Ini seperti kata pepatah: bahasa adalah teropong budaya. Menerjemahkan pun bisa menjadi jembatan penghubung antara dua pihak yang berlainan secara lisan dan tulisan.  Cuma, ya itu tadi, seringkali hal seperti ini dianggap remeh. Hanya dengan bekal jago bahasa asing. Nah, akhirnya bisa ditebak kan...






 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran