Pages

Jumat, 11 Januari 2013

Raksasa Memang Rakus

Sewaktu kecil, oleh orangtua kita, sering kita ditakut-takuti kala menjelang tidur siang atau sore menjelang malam. Kata-katanya seperti ini: ayo tidur, kalo nggak tidur nanti diparanin buto ijo, Eh, ayo pulang udah mau malam nanti ada kolong wewek atau genderuwo. Tentu saja, kata-kata itu bagi anak kecil cukup membuat mereka takut lalu patuh. Soalnya, sosok-sosok yang tersemat dalam kata-kata itu adalah sosok-sosok yang menyeramkan dan menakutkan. Bahkan boleh dibilang sosok berbadan besar. Lebih tepatnya lagi, raksasa.

serbagratis2012.blogspot.com

Raksasa. Ya Raksasa. Kata ini jamak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti tulisan di atas, kata ini merujuk pada ukuran yang besar atau ukuran yang lebih normal. KBBI pun punya definisi untuk soal ini:
---makhluk yang menyerupai manusia, konon berbadan tinggi besar, gergasi, buta. Kemudian definisi kedua:
----sesuatu yang sangat besar, sangat terkenal di bidang tertentu.

Nah, merujuk pada definisi pertama, perawakan raksasa memang demikian: menyerupai manusia tetapi berbadan tinggi besar dengan tampang menakutkan. Hal ini sesuai dengan penceritaan di seluruh dunia yang menyatakan bahwa raksasa adalah bangsa dengan penggambaran seperti itu, namun mempunyai sifat yang bodoh, bengis, pemakan manusia, bahkan kanibal. Di bahasa Indonesia, kata raksasa sendiri berasal dari rhakshasa, kata dari bahasa Sansekerta, yang berarti kejam. Di dalam Mitologi Hindhu-Buddha, penggambaran itu tak jauh beda untuk makhluk yang konon diciptakan dari kaki Brahma tersebut. Dari kata raksasa kemudian muncul kata rakus yang berasal dari kata rakhosh, berasal dari bahasa Bengali. Di bahasa Indonesia, rakus diartikan untuk merujuk pada orang yang makan tanpa batas, tamak.

Dari penggambaran itu sudah bisa dibilang raksasa memang identik dengan kekejaman, kebengisan, dan kerakusan. Meskipun, ada juga raksasa yang mempunyai sifat sebaliknya seperti dalam cerita satir-humor Perjalanan Gulliver.

Namun, dalam kenyataannya, lebih banyak raksasa yang memang seperti cerita-cerita dongeng atau legenda. Hanya, raksasa-raksasa ini tidak lagi mengacu pada persona saja, namun pada organisasi. Contohnya, perusahaan raksasa, klub sepak bola raksasa, atau negara raksasa (adidaya).

Mengenai itu, saya ada sebuah contoh kasus. Suatu ketika, saya diundang teman saya untuk bertandang ke kantornya di Saharjo. Dia seorang pemilik dan juga pemimpin penerbit. Penerbitnya menerbitkan buku-buku keislaman. Akan tetapi, penerbitnya merupakan penerbit kecil, dan belum banyak dikenal orang. Karena kecil, staf-stafnya pun cuma sedikit. Ini sama dengan tempat saya bekerja dulu, sebuah penerbitan di Depok. Saya lalu bertanya kepada salah satu stafnya, mengapa tidak minta bantuan penerbit besar saja untuk membantu mempromosikan buku-buku penerbit ini. Dia bilang, pernah, tetapi penerbit besar itu, atau saya boleh bilang raksasa itu, ketika sudah selesai promosi dan kerja sama, sama sekali tidak mau memberikan keuntungan. Bahkan, untuk pencantuman hak cipta itu, harus atas nama mereka. Tentu saja itu membuat penerbit teman saya itu merugi. Dan, akhirnya, tidak mau bekerja sama lagi dengan penerbit besar yang dianggap rakus, semua-semua harus dimiliki mereka. Penerbit teman saya itu pun akhirnya memilih jalan gerilya daripada harus menanggung rugi lebih banyak.

Melihat contoh di atas pun kita sudah bisa menyatakan bahwa sesuatu yang bersifat raksasa itu kerap merugikan. Menyerobot atau mematikan yang kecil dengan cara harus tunduk pada peraturan yang dibuat demi kepentingan mereka semata. Di dalam dunia internasional pun sering terdengar negara-negara raksasa seperti Amerika kerap memangsa negara-negara kecil tak berdaya hingga hancur lebur. Maka, saya simpulkan raksasa memang rakus.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran