Pages

Minggu, 13 Januari 2013

Ya, Sudah, Manipulasi Saja


Benda itu terlihat mungil. Bentuknya kotak tetapi di tiap sisi permukaannya agak melengkung dan tidak lurus. Di atas bentuknya itu tertera layar sebesar 5 inci. Layar itu hampir memenuhi semua bidang kotak tersebut. Warnanya yang hitam membuatnya tampak elegan apalagi layarnya yang terlihat mengilap. Pas untuk ngaca.
Hm, benda ini memang praktis, gumam Wina ketika memperhatikan benda yang berupa telepon genggam cerdas alias smartphone ini di mejanya sekarang. Telepon genggam itu ia peroleh dari redakturnya, yang beberapa menit sebelumnya memanggil dirinya masuk ke ruangan, lalu memperlihatkan dan menyerahkan pada dirinya.

“Kamu tolong tulis ini ya,” kata redakturnya dengan senyum manis yang terkesan dibuat-buat. Wina memang sudah tahu kalau ia dipanggil pasti disuruh menulis tentang sebuah produk, tetapi pasti produk yang spesial.
“Produk dari mana ini, pak?” tanya Wina yang bertanya sedikit curiga dan pura-pura tidak tahu. Padahal ia tahu. Sebuah produk dari “negeri tirai bambu” Cina. Ia tahu itu dari namanya.

“Dari Cina, Wina,” kata redakturnya santai.

Wina yang tahu redakturnya itu mensahkan pertanyaan itu segera bertanya dalam hatinya, Hah, apa istimewanya? Luarnya aja bagus, dalamnya nggak.

“Kenapa ini yang harus saya tulis, pak?” tanya Wina penasaran, “Kan bapak tahu sendiri produk-produk begini mana ada yang berkualitas,”

“Iya, saya tahu,” jawab redakturnya datar, “Tapi, mereka bayaran cukup besar ke kita kalau ini ditulis. Sudah kamu sekarang jangan banyak nanya. Tulis saja. Kalau perlu manipulasi. Ingat! Kita semua mau makan apa kalau nggak ada yang ditulis?”

Wina terdiam mendengar ucapan redakturnya itu yang terkesan pragmatis. Ia lalu undur diri, dan segera menuju mejanya. Di mejanya itu, Wina mulai mengamati telepon genggam itu luar-dalam. Pertama ia coba masukkan telepon genggam itu ke dalam saku celananya. Oke, masuk dan muat. Lalu ia nyalakan layar. Sip! Terang sekali. Kemudian ia mulai mengoperasikan kamera di dalam telepon genggam tersebut. Hm..terang sih cuma sedikit kabur. Seterusnya ia mulai menyelami apa yang ada dari telepon genggam itu. Aplikasinya, open sourcenya, hingga tetek-bengek yang lain. Hasilnya, mengecewakan! Apalagi soal baterai. Cuma tahan beberapa jam terus drop lagi.

Yah, yang beginian mau ditulis? Nggak qualified banget! Gumamnya kesal. Jujur, Wina ogah menulis tentang telepon genggam yang ia anggap bagus luar, jeblok di dalam. Memang murah harganya. Paslah untuk kalangan low-end. Tetapi harga murah, kemampuan juga murah.

Ah, dasar redaktur pragmatis!” ujarnya kesal kembali kepada redakturnya yang menugaskan dirinya menulis tentang telepon genggam itu. Wina berpikir sejenak setelah itu. Ini bagaimana menulisnya, gumamnya lagi. Bingung, ia coba membuat moccacino lalu meneguknya supaya dapat inspirasi. Di mejanya komputer beserta tutsnya sudah siap dijamah untuk mewadahi apa yang ia pikirkan. Tak hanya itu beberapa foto dan catatan-catatan juga tertata rapi di mejanya. Siap menemani dirinya. Di seberang meja tampak temannya yang juga sedang sibuk menulis sebuah produk. Ia intip sebentar. Oalah, sebuah produk dari Korea. Oh, senangnya, gumamnya ingin menulis produk itu.

Usai meneguk moccacino sebentar, ia mulai menulis. Perlahan hingga membentuk sebuah kalimat. Ya itulah yang setiap hari dikerjakan Wina. Menulis, melaporkan sebuah produk elektronik, terutama telepon genggam dari segala macam merek untuk kemudian dimasukkan ke dalam majalah tempat ia bekerja. Ia memang wartawan sebuah majalah gadget ternama di ibu kota. Pemberitaan majalah ini sering menjadi referensi utama para pecinta dan pemburu gadget. Meski sekarang banyak bermunculan majalah sejenis, tetap majalahnya yang menjadi buruan utama.

Sudah hampir dua tahun Wina di majalah ini. Sebuah pekerjaan yang ia lakoni semenjak lulus kuliah. Keinginan menjadi wartawan, terutama wartawan majalah gadget, tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mengingat latar belakang pendidikannya berasal dari perguruan tinggi keguruan yang sudah pasti menjadi guru, konsultan, atau praktisi pendidikan. Namun karena menyukai gadget dan gemar mengutak-atik, ia putuskan melamar di sebuah majalah yang sekarang jadi tempatnya bekerja saat majalah itu membuka lowongan di surat kabar. Wina sama sekali tidak berpikir apa-apa saat melamar. Ia merasa buta dengan dunia jurnalistik. Dan benar ia buta ketika lamarannya diterima. Perlahan ia mulai diajari gaya menulis jurnalistik, terutama tulisan untuk menulis sebuah produk. Sifatnya deskriptif. Sebab tidak biasa dan memang jarang menulis, pada awalnya ia kagok, terutama untuk kosakata. Namun, lama-kelamaan, ia pun lancar menggambarkan produk itu dalam tulisannya. Sesuatu yang membuat ia dipertahankan oleh atasannya.
Awalnya juga Wina tidak menyadari bahwa menulis di media massa itu berarti harus mengikuti ketentuan yang berlaku. Ia harus menulis berdasarkan keinginan si pemilik modal atau perusahaan yang biasanya disuarakan melalui pimpinan redaksi. Atau malah melalui keinginan pengiklan. Hal demikian memang agak berlawanan dengan keinginannya ketika dahulu, sewaktu melamar, ingin memberitakan kepada masyarakat produk-produk yang bermutu melalui tulisan-tulisannya. Memang teorinya seperti itu. Tetapi prakteknya berbeda. Namun, mau bagaimana lagi, ia tidak bisa melawan sebab ia hanyalah seorang wartawan serta penulis yang harus mau menulis apa saja. Kalau sudah begini independensi menjadi tak berarti.

“Ini kan bukan majalah berita, Win,” ujar temannya, Sapta, saat mereka berdua, pada suatu hari, tengah berada di sebuah kafe kecil dekat kantor, “Ini kan majalah life style. Mencari sesuatu yang ringan bukan serius,”

“Ya gue tau,” Wina membalas, “Tetapi kan kita wartawan. Tau kan kerja wartawan itu apa? Memberitakan, melaporkan sesuai fakta bukan fiktif. Nggak peduli medianya apa,”

“Gue rasa lo lebih baik televisi atau majalah berita aja,” kata Sapta menyimpulkan, “Independensi lo dijaga,”

“Ah, gue nggak ada niat ke sana,”

Biasanya, kalau sudah begini, ia akan bergumam dalam pikirannya, ih, coba gue yang jadi pemilik modal di sini. Handphone ecek-ecek nggak gue kasih tempat. Tetapi, ia juga sadar rasanya itu sulit karena toh pemilik modal hanya memikirkan keuntungan semata supaya bisnis medianya tetap berjalan, dan bisa menggaji para karyawannya. Mana ada pemilik modal yang tidak praktis. Kalaupun ada pasti sedikit jumlahnya.

Jam menunjukkan pukul 12 siang, Wina bergegas ke luar kantor menuju ke sebuah rumah makan di dekat kantornya bersama dengan teman-temannya. Mulailah mereka saling berbincang tentang apa yang tadi dikerjakan.

“Enak nih yang dapat penugasan menulis handphone Korea,” ujar Wina kepada salah satu temannya, Hendri. Hendri segera membalasnya,

“Enak apa?” kata Hendri menjawab berlawanan, “Ribet tau! Bagus sih bagus tapi gue jadi bingung nulisnya kaya gimana. Nah lo?”

“Hm...handphone Cina,”

Lantas semua pada tertawa.

Nggak lucu deh,” kata Wina kesal.

“Kok bisa, Win?” tanya Rani.

“Tau tuh Pak Zul,” kata Wina masih kesal, “Nggak jelas,”

“Emang Pak Zul nggak jelas,” kata Rindra, “Baru tau lo,”

Semua pada tertawa kembali. Wina yang melihatnya kembali risi.

“Hm...semuanya bisa ganti topik nggak?”

Mereka yang mendengarnya langsung bereaksi,

“Iya, Bu Wina,”

Mereka lalu berjalan ke arah rumah makan yang dituju. Wina, yang rupanya sudah menyelesaikan tulisannya dalam waktu sejam untuk dua halaman, disms oleh redakturnya,

“Wina, saya sudah lihat tulisanmu. Sudah saya baca. Tulisanmu bagus, dan cukup mewakili pihak pengembang. Rupanya bisa juga kamu manipulasi,”

Wina hanya tertawa dalam hati setelah melihat sms itu. Ya iyalah bagus orang nggak boleh ditulis yang jeleknya. Tak berapa lama kemudian sampailah ia di rumah makan yang dituju, dan ketika itu,
Ah, udahlah yang penting gue udah nulis. Kelar! Mau ntar dibilang bagus atau nggak itu belakangan deh.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Statistik

Terjemahan

Wikipedia

Hasil penelusuran